Delapan bulan kemudian
Hampir delapan belas jam perjalanan dari Zürich menuju Jakarta, membuat Farzan tidak bisa memejamkan mata sedikit pun. Dia sudah tidak sabar bertemu lagi dengan Arini, wanita yang sangat dirindukan saat ini. Sejak beberapa jam yang lalu, foto wanita itu yang selalu dilihatnya di pesawat.
Akhirnya Farzan selesai menempuh pendidikan di kota yang dikenal dengan nama lain Turicum tersebut. Pemuda itu berencana untuk bekerja di perusahaan otomotif dibandingkan harus mengelola perusahaan sang Ayah yang kini ditangani oleh Brandon, kakak tirinya. Apalagi perusahaan The Harun’s Group tidak bergerak di bidang otomotif, melainkan properti dan garment.
Dua jam kemudian, pesawat yang ditumpangi Farzan berhasil mendarat di bandara internasional Soekarno-Hatta. Seperti biasa, tidak ada yang menjemputnya di bandara karena kondisi kesehatan Arini sedang tidak baik. Kedua keponakannya juga bersekolah, sementara Brandon sibuk dengan pekerjaan di perusahaan.
“Pulang sama apa, Zan?” tanya Bram menepuk bahu Farzan.
“Taksi. Biasa,” jawab Farzan singkat.
Bramasta senyam-senyum melihat wajah semringah sahabatnya. “Senang banget mau ketemu sama pujaan hati.”
Farzan meninju pelan perut Bram, lantas melingkarkan tangan di lehernya. “Pujaan hati apanya?” sungut pemuda itu.
Pemuda berkacamata itu meringis kesakitan dan berusaha melepaskan lingkaran tangan sahabatnya.
“Lo udah janji nggak bakal bahas itu di Jakarta, Bram,” protes Farzan setelah menurunkan lengannya.
“Ya sorry. Lagian gue ‘kan nggak nyebut merek, Zan,” ucap Bram menggerakkan leher yang terasa sedikit sakit.
Farzan kembali mengalihkan pandangan ke tempat baggage conveyor berada. Sorot mata elangnya mencari keberadaan dua koper besar yang diangkut dari Zürich.
“Cari pacar gih sana, biar nggak berlarut-larut tuh perasaan,” saran Bram membuat Farzan kembali menoleh kepadanya.
Pemuda bertubuh tinggi tegap tersebut mengangkat bahu singkat, lantas menggelengkan kepala.
“Kenapa?”
“Ngapain cari pacar kalau cuma buat pelarian,” tanggapnya singkat, “kasihan anak orang dong.”
Bram tertawa mendengar perkataan sahabatnya. Entah berapa kali ia menyarankan hal yang sama kepada Farzan dan sudah berapa kali juga mendengar jawaban serupa.
“Ya udah. Gue harap, lo bisa kuat, Zan.” Bram menepuk lagi pundak sahabatnya tiga kali.
Setelah menemukan barang bawaan masing-masing, mereka berdua segera keluar dari area pengambilan bagasi. Senyuman kembali menghias paras tampan Farzan, karena sebentar lagi akan bertemu dengan Arini.
Begitu tiba di pintu keluar terminal kedatangan, senyuman itu memudar seketika. Langkah Farzan berhenti saat melihat perempuan yang tidak ingin lagi ditemuinya, kini berdiri di antara puluhan orang yang menunggu kedatangan keluarganya.
“Kenapa, Zan?” Bram bingung sendiri melihat reaksi aneh Farzan.
“Hah?”
“Apanya yang hah? Kenapa berhenti? Counter taksi ada di sebelah sana,” kata Bram menunjuk sebelah kanan pintu masuk terminal.
Farzan menelan ludah, kemudian menurunkan topinya ke bawah. Dia mempercepat langkah menuju tempat pemberhentian taksi.
“Lo kenapa sih, Zan?” Bram sudah berjalan di samping Farzan setelah mengejarnya dengan napas mulai tersengal-sengal.
“Gue pengin cepetan nyampe rumah aja. Kangen sama Mama dan Papa,” desis Farzan asal.
Bramasta menatap curiga sahabatnya. Dia tidak percaya begitu saja dengan apa yang dikatakan pemuda itu. Empat tahun mengenal Farzan, ia tahu persis ada yang disimpan olehnya.
“Ya udah. Gue cabut duluan ya. Jangan lupa weekend kita nongkrong di Beer Garden,” pungkas Farzan ketika melihat taksi yang dipesan tiba.
Dia segera meninggalkan Bram yang kebingungan dengan perubahan sikapnya barusan. Taksi mulai berjalan pelan meninggalkan area terminal kedatangan internasional, termasuk dengan perempuan yang dilihat Farzan. Mata elangnya terpejam erat saat tubuh bersandar di jok mobil.
“Gimanapun, dia adalah Ibu kamu. Dia yang melahirkan kamu, jadi harus tetap berbakti ya, Dek.”
Penggalan nasihat yang kerap diberikan Arini kembali terngiang di pikiran pemuda itu. Tangannya naik lagi ke atas, mengusap wajah dengan kasar. Dia mendesah pelan sebelum bersuara.
“Pak, boleh balik lagi ke tempat tadi?” pintanya merasa tak tega meninggalkan perempuan paruh baya itu sendiri di depan pintu terminal.
Taksi segera berputar arah lagi menuju terminal kedatang internasional. Selang beberapa menit kemudian kendaraan roda empat tersebut berhenti di area drop-off penumpang.
“Bisa tunggu sebentar, Pak? Saya cuma sebentar. Argo jangan dimatikan,” ujar Farzan sebelum membuka pintu mobil.
Setelah memastikan Bram sudah tidak ada lagi di sana, ia segera turun dari mobil lalu melangkah ke tempat wanita paruh baya itu berdiri. Ternyata sosok yang ingin dihindari tadi masih berdiri di sana, menunggu kedatangannya.
Farzan menghela napas berat, sebelum menarik tangan kurus itu menjauh dari kerumunan. Sorot matanya menjelajahi wajah yang kini sudah menua. Tidak ada lagi kecantikan yang dulu dibanggakan di sana. Kerutan sudah menghiasi area mata dan kening. Rambut putih juga mendominasi mahkota hitam tebal yang dulu melengkapi sempurnanya kecantikan seorang Rahayu Harun, istri kedua Sandy Harun.
“Kenapa Mommy bisa ada di sini?” tanya Farzan dengan sorot mata dingin kepada wanita yang telah melahirkannya.
Perbuatan Ayu di masa lalu benar-benar membuat Farzan malu. Apalagi ia juga hasil dari perbuatan buruk sang Ibu yang menjebak ayahnya hingga hamil sebelum menikah. Bagi pemuda itu hanya Maylisa Harun yang diakui sebagai ibu di depan teman-temannya.
“Arini yang kasih tahu kalau kamu datang hari ini,” jawab Ayu tanpa bisa menyembunyikan kerinduan dengan buah hati.
Lagi-lagi Farzan mendesah. “Mommy nggak ngerecokin Papa lagi, ‘kan?”
Ayu menggeleng lesu. “Mommy ke sini hanya ingin ketemu sama kamu, Nak. Mommy kangen.”
Tangan yang mulai berkerut itu naik membelai pinggir wajah Farzan yang sudah menunjukkan sisi dewasanya. Dia tumbuh menjadi pemuda yang tampan melebihi kakaknya dulu.
“Sekarang udah ketemu, ‘kan? Sekarang Mommy balik lagi ke Uluwatu.” Farzan memperlihatkan wajah memohon.
Ayu kembali menggeleng seraya mengulas senyum. “Arini sudah pesankan apartemen untuk Mommy tinggal selama satu minggu.”
“Kamu nggak perlu khawatir, Mommy janji nggak akan ganggu Mas Sandy dan Mbak Lisa lagi.” Ayu menggenggam erat kedua tangan Farzan. “Toh kamu juga sudah cukup untuk menjamin kehidupan Mommy,” sambungnya kemudian.
Kening Farzan berkerut dalam ketika mencoba menganalisa perkataan Ayu.
“Kamu akan handle perusahaan Papa, ‘kan?” Ayu mengajukan pertanyaan yang membuat Farzan terkesiap. “Tentu iya, ‘kan? Mommy tahu kamu pasti akan dapat setengah dari group perusahaan itu.”
Pemuda itu tidak menyangka sang Ibu masih saja memikirkan materi. Bahkan setelah dipenjara, Ayu masih belum berubah. Dia tidak habis pikir bagaimana Arini bisa membiarkan ular berbisa seperti ini berkeliaran di Jakarta.
Sorot mata elang Farzan menajam ketika menatap Ayu lurus. Kedua tangan menggenggam erat bahu yang begitu kurus.
“Jika itu alasan Mommy ingin tinggal bersama denganku di sini, sebaiknya buang aja jauh-jauh.” Farzan menarik napas mencoba mengendalikan amarah yang mulai naik. “Aku nggak mau kerja di perusahaan Papa. Lagian perusahaan itu milik Mas Brandon. Jadi jangan pernah berpikir hidup Mommy akan sejahtera denganku.”
Farzan kembali menegakkan tubuh. Dia melangkah pergi meninggalkan wanita itu tak jauh dari pintu keluar terminal kedatangan. Hati terasa sakit ketika menyadari sang Ibu hanya menginginkan materi, bukan murni karena rasa sayang layaknya seorang ibu kepada anaknya.
“Farzan,” panggil Ayu namun tak dihiraukan.
Pemuda itu terus melangkah menuju taksi yang akan membawanya ke rumah keluarga Harun. Tempat di mana ia bisa mendapatkan kasih sayang yang tulus dari Lisa dan terutama Arini.
Sekuat tenaga Farzan menahan bulir bening yang ingin keluar dari netra hitamnya. Dia mendadak menjadi anak laki-laki cengeng. Saat ini yang dibutuhkan adalah bahu Arini, tempat ia biasa menumpahkan air mata ketika merasa sedih dengan nasibnya.
Bersambung....
Taksi yang ditumpangi Farzan sudah memasuki area perumahan tempat kediaman keluarga Harun berada. Rumah yang telah ditempatinya semenjak Ayu masuk ke dalam penjara atas kasus penggelapan dana perusahaan. Karena itulah sang Ayah menceraikan ibu kandungnya.Semakin mendekat, jantungnya semakin gaduh. Kurang dari lima menit ia akan bertemu lagi dengan Arini.Farzan sudah tidak sabar ingin berbagi cerita dengan kakak iparnya. Selama ini wanita itulah yang selalu mendengar keluh kesahnya mengenai apapun. Dari sana juga, ia menemukan kenyamanan dan kasih sayang tulus yang sangat didambakan.“Ini ongkosnya, Pak,” ujar pemuda itu menyerahkan sejumlah uang sesuai dengan argonya.Begitu taksi berhenti di depan pagar, Farzan segera menurunkan barang bawaan. Dua koper be
Farzan terkesiap saat mendengar suara bariton yang sangat dikenalnya, sehingga tubuh tegap itu mundur lagi ke belakang. Dia menoleh ke arah pintu dan melihat Brandon berdiri sambil menyipitkan mata. Pria paruh baya itu menggoyang-goyangkan tangan dengan jari telunjuk ke atas.“Kamu itu udah gede, Zan. Masa masih nempel-nempel sama Kak Iin. Bikin Mas cemburu aja,” kata Brandon memasang tampang cemberut.Pemuda itu tergelak, begitu juga dengan Arini yang sudah berdiri menghampiri suaminya. Wanita tersebut memberi kecupan singkat di bibir Brandon, sebelum mengambil tas kantor yang dibawa.“Biar aku aja, In. Kamu duduk aja,” suruh Brandon membelai lembut rambut panjang hitam istrinya.“Dari tadi duduk terus, bosan. Untung ada Farzan yang nemenin,” tanggap Arini menggandeng lengan Bran.Farzan mulai salah tingkah melihat kemesraan suami istri itu. Jika dulu ia senang melihat Brandon dan Arini bermesraan, namun kini ju
“Ngapain berdiri di tangga, Bang?” Tiba-tiba terdengar suara setengah matang dari belakang.Farzan menoleh bingung ke sumber suara dan melihat Elfarehza, anak pertama Brandon dan Arini, berdiri tepat di belakang.El yang heran dengan keanehan gelagat Farzan, segera mengalihkan pandangan ke ruang keluarga.“Oh shit my eyes!” ucapnya menirukan jargon yang diucapkan oleh Im Ju Young di drama Korea True Beauty, “My holy eyes. Astaghfirullah, ampuni dosa hamba.”Pemuda itu mengusap pelan kedua belah mata.“Watch your mouth, Kid!” tegur Brandon di sela napas yang tidak teratur saat belaian panas bibirnya dengan Arini terlepas paksa.El turun ke bawah dengan santai, seolah tanpa dosa. Dia duduk di antara Brandon dan Arini, lantas menunjuk ke arah Farzan.“Gara-gara Mami-Papi nih. Kasihan tuh Bang Farzan sampe ragu mau turun ke bawah.” El berdecak
Farzan memandang pantulan diri di depan cermin ketika memastikan pakaian dan juga tatanan rambut sudah rapi. Hari ini ia akan pergi ke Beer Garden bertemu dengan Bramasta sesuai dengan janji sebelumnya.Semenjak pertemuan keluarga tiga hari yang lalu, Arini dan Brandon masih berusaha membujuk Farzan untuk bekerja di The Harun Group. Pemuda itu masih bersikukuh tidak akan bekerja di sana, karena tidak memiliki minat di bidang properti dan garment.Beruntung tadi pagi ia mendapatkan panggilan kerja di salah satu perusahaan otomotif berskala internasional di Cikarang. Farzan bisa bernapas lega, karena bisa lolos dari bujukan kedua kakaknya tersebut.“Cie, mau ke mana malam Minggu, Dek?” tanya Arini melihat Farzan turun dari tangga.“Ketemu sama Bram di Beer Garden, Kak,” jawab Farzan sembari mengenakan jaket kulit.“Bram atau gebetan?” Arini mulai menggoda adik iparnya.Farzan menyipitkan mata sambil
Mata hitam lebar Nadzifa melihat Farzan dan Bramasta bergantian. Tanpa diminta, gadis itu sudah duduk di kursi yang masih kosong di meja kedua pemuda itu berada. Dia mengibaskan rambut panjang yang terurai di depan bahu ke belakang.“Nggak nyangka loh bisa ketemu lo lagi di sini,” ujar Nadzifa semringah.Farzan tak menyangka gadis yang pernah ditolong dulu masih ingat dengan dirinya. Apalagi saat itu Nadzifa sedang mabuk berat. Ketika pulang pun ia masih hangover.“Mbak tinggal di Jakarta?” tanya Farzan kemudian.“Iya. Keluarga gue tinggal di sini, tapi gue sih tinggal di daerah Cikarang.” Nadzifa melambaikan tangan memanggil pelayan. Dia menambah lagi minuman beralkohol sama seperti sebelumnya.“Eh, lo yang waktu pagi itu, ‘kan?” Pandangan Nadzifa beralih kepada Bramasta.“Iya, Mbak.” Bram mengulurkan tangan memperkenalkan diri. “Bramasta, panggil aja Bram. Sah
Tiga bulan kemudianFarzan menyusun kardus berisikan barang-barangnya di dekat dinding. Dia menghitung jumlah, memastikan tidak ada yang tertinggal ketika dibawa nanti. Sebenarnya tidak banyak yang ia bawa dari rumah, hanya tiga kardus besar dan dua kardus kecil. Tak lupa juga satu koper berukuran besar berisikan pakaian.“Yakin mau pindah, Dek?” tanya Arini duduk di pinggir tempat tidur Farzan.“Iya, Kak. Capek kalau bolak balik Jakarta-Cikarang setiap hari. Apalagi kalau harus masuk hari Sabtu. Nggak ada waktu istirahat,” jawab Farzan seraya memasukkan peritilan barang yang akan diangkut ke dalam ransel.Benarkah itu yang menjadi alasan sebenarnya Farzan memutuskan pindah ke Cikarang dan tinggal di apartemen? Tentu tidak pemirsa. Pemuda itu tidak ingin terus-terusan bertemu dengan Arini, takut khilaf. Ditambah lagi tidak kuat melihatnya bermesraan dengan Brandon. (Duh, sabar yaa, Zan.)“Trus siapa ya
Suara alarm terdengar nyaring memekakkan telinga ketika subuh menjelang. Jika saja di sini adalah pedesaan, maka akan terdengar bunyi ayam jantan berkokok. Sayangnya kamar ini berada di gedung apartemen yang tinggi, sehingga tidak ada ayam jantan yang bertengger hanya sekedar untuk membangunkan penduduk. Tangan yang cukup berotot itu bergerak meraba atas nakas, tempat ponsel berada. Sepasang netra elang berwarna hitam perlahan terbuka, mencari tahu pukul berapa sekarang. Ah, seharusnya tidak begitu juga karena dia tahu persis jam berapa alarm diterapkan. Farzan langsung mengubah posisi menjadi duduk, karena sebentar lagi waktu subuh tiba. Dengan masih terkantuk, ia berusaha berdiri kemudian melangkah menuju kamar mandi untuk menggosok gigi. “Kalau mau salat Subuh jangan lupa gosok gigi, Dek. Mau ketemu sama manusia aja kita nggak pede kalau belum gosok gigi, apalagi ketemu sama Allah.” Nasihat yang kerap dilontarkan Arini, selalu terpatri di dalam ingatannya.
Nadzifa dan Farzan berdiri di depan flat masing-masing sebelum berpisah. Kucing kesayangan gadis itu sudah dikuburkan di tanah kosong belakang gedung apartemen. Jangan ditanyakan lagi bagaimana sedihnya ia saat kucing jenis persia himalaya tersebut menjelang dikubur.“Thanks banget ya udah bantuin,” ucap Nadzifa tersenyum singkat, “jangan tolak bantuan gue. Habis ganti pakaian, gue ke flat lo.”Awalnya Farzan keberatan, tapi Nadzifa kekeh untuk membantu. Gadis itu merasa bersalah, karena sudah mengganggunya pagi-pagi.“Oke. Nanti pencet bel aja, jangan ketuk-ketuk. Berisik,” tanggap Farzan.Gadis berambut panjang itu tertawa singkat. “Iya, bawel.”“Astaga, lo bener-bener kayak Nyokap gue deh,” sambungnya geleng-geleng kepala.Setelah itu Farzan memasuki flat untuk berganti pakaian. Ujung kaki celana katun bermotif kotak yang dikenakan terkena tana
Lima bulan kemudianBunyi ciuman terdengar jelas di sebuah kamar kondominium mewah yang berada di kawasan Marina, Singapura. Suara desahan menjadi penutup penyatuan sepasang suami istri yang entah berapa kali melakukannya hingga siang ini. Keduanya saling berbagi tatapan dan senyuman dalam posisi duduk berhadap-hadapan.Nadzifa segera turun dari pangkuan Farzan, kemudian masuk ke dalam selimut. Napas memburu keluar dari hidung seiringan dengan jantung yang berdebar cepat. Farzan juga ikut masuk ke balik selimut, sebelum menarik tubuh istrinya merapat.“Mentang-mentang libur, aku nggak dibolehin keluar kamar,” sungut Nadzifa mencubit hidung mancung suaminya.Farzan tersenyum lebar seraya menatap gemas wajah Nadzifa yang masih memancarkan rona merah. “Habis kamu bikin aku nagih. Top banget deh.”Nadzifa berdecak seraya menyipitkan mata. “Segitunya kamu.”Meski usia wanita itu tidak lagi muda
Farzan duduk di ruang kunjungan tahanan berhadap-hadapan dengan Ayu. Di sampingnya ada Nadzifa yang menemani pria itu menemui sang Ibu. Rahang tegasnya tampak mengeras menahan luapan amarah yang tertahan. Dia malu dengan perbuatan wanita yang telah melahirkannya itu.“Aku pikir Mommy udah berubah sejak keluar dari penjara waktu itu,” ujar Farzan memecah keheningan ruangan yang dikelilingi dinding berwarna abu-abu itu. Dia menundukkan kepala, seakan enggan melihat Ayu.“Kamu yang bikin Mommy begini, Zan,” balas wanita tua itu menyalahkan putranya.Sorot mata Farzan terlihat tajam ketika pandangannya terangkat. Sklera netra elangnya memerah digenangi air mata.“Mommy salahkan aku?” tanya Farzan dengan kedua tangan mengepal erat di atas paha.Nadzifa langsung meraih tangan suaminya, berusaha menenangkan.“Coba waktu itu kamu mau kerja di perusahaan dan jamin hidup Mommy.
Sepasang netra elang mengerjap ketika mencoba untuk terbuka. Pandangannya turun ke arah sesosok tubuh yang lelap dalam dekapan. Farzan tersenyum ketika melihat Nadzifa tidur seperti bayi. Begitu tenang dan imut dengan bibir sedikit terbuka. Beruntung tidak ada air liur yang keluar. Haha!Dia menarik napas sebentar, sebelum mengeratkan lagi pelukan. Terasa kelembutan yang baru dirasakan tadi malam. Juga kehangatan yang disalurkan oleh tubuh Nadzifa. Pagi ini Farzan merasakan perubahan dalam hidupnya.Sebuah kecupan diberikan di kening Nadzifa beberapa detik, membuat tubuh semampai itu menggeliat kecil di dalam pelukannya. Perlahan tapi pasti kepala gadis itu, ah bukan, wanita itu terangkat seiringan dengan kelopak mata yang terbuka.Nadzifa memicingkan mata ketika ingat dirinya sekarang sudah resmi menjadi istri dari Farzan Harun. Pria yang berusia sembilan tahun lebih muda darinya. Dia menenggelamkan wajah tepat di dada bidang pria itu.“Aku banguni
Seluruh keluarga Harun dibuat panik gara-gara pernikahan dadakan Farzan dan Nadzifa. Begitu juga dengan Brandon yang baru saja pulang dari rumah sakit. Beruntung menjelang sore semua berjalan sesuai dengan rencana. Tinggal menunggu akad nikah dilaksanakan.Paman Nadzifa juga bisa hadir untuk menikahkan keponakan yang jarang berjumpa. Semesta seakan memberi kelancaran baik dari segi dokumen, penghulu sampai pakaian yang akan dikenakan oleh Nadzifa dan Farzan untuk akad nikah.Jangan ditanyakan lagi bagaimana gugup Farzan sekarang. Pria itu tampak gagah mengenakan setelan beskap berwarna putih gading. Sebuah peci berwarna senada menutupi rambut model layered miliknya.“Penghulu udah datang tuh, Zan,” info Bramasta yang sejak tadi sibuk sendiri, pasca diberitahukan tentang pernikahan Farzan. Pria berkacamata itu langsung minta izin pulang dari kantor lebih awal.Farzan menganggukkan kepala, kemudian berdiri. Dia menarik napas dan mengemb
“Mas Brandon benar, Kak. Ada yang ingin menyingkirkan Mas Brandon. Orang itu adalah Tante Ayu.”Perkataan yang diucapkan Nadzifa barusan menyurutkan niat Farzan untuk memasuki ruang perawatan yang baru saja ditinggalkannya beberapa menit lalu. Dia baru saja mendapatkan telepon dari Pak Habib mengenai reschedule jadwal meeting dengan klien. Senyum yang terurai di wajah tampan itu hilang ketika mendengar nama ibunya disebut.“Mommy?” gumamnya dengan kening berkerut.Farzan memilih menguping pembicaraan ketiga orang yang ada di dalam ruang perawatan VIP tersebut. Semakin lama ia berdiri di sana, amarah yang dirasakan semakin memuncak. Dia tidak menyangka sang Ibu bisa melakukan tindakan rendah seperti itu, hanya demi seonggok harta.“Tolong rahasiakan ini dari Farzan ya? Dia pasti marah banget kalau tahu Ayu yang celakai Mas Brandon.” Terdengar suara Arini memohon kepada Nadzifa. “Farzan it
“Mas Brandon benar, Kak. Ada yang ingin menyingkirkan Mas Brandon.” Nadzifa menarik napas panjang, sebelum melanjutkan perkataannya. “Orang itu adalah Tante Ayu.”Mata cokelat besar Arini melebar seketika. Bibirnya ternganga ketika mendengar nama Ayu disebut. Kepalanya langsung menggeleng cepat.“Nggak mungkin itu ulah Ayu. Dia ‘kan lagi di Uluwatu.” Arini tidak percaya begitu saja meski yang mengatakannya Nadzifa.“Ayu tinggal di Jakarta tiga bulan ini, In. Kita udah dibohongi mentah-mentah sama dia,” ujar Brandon meyakinkan.Pandangan Arini berpindah kepada suaminya. “Bran, kita yang carikan rumah buat dia di Uluwatu biar nggak ngerecokin Papa. Nggak mungkin dia ke sini.”Brandon meraih tangan Arini, lalu menggenggamnya erat. “Faktanya gitu, In. Dia ada di Jakarta.”Arini mendesah keras dengan napas terasa sesak. Dia ingat pernah mencarikan apartemen untuk Ayu di
Farzan dan Nadzifa saling berpandangan dalam waktu yang lama. Mereka menyelami perasaan masing-masing. Keduanya tidak pernah menyangka hubungan yang semula hanya pura-pura, kini menjadi serius. Bahkan benih cinta juga tumbuh mekar di hati mereka.“Aku … mau, Zan,” desis Nadzifa setelah menemukan binar cinta di mata Farzan untuknya.“Mau apa?” tanya Farzan bingung.“Masa nggak tahu sih?” sungut gadis itu dengan wajah mengerucut.“Ya aku nggak tahu maksud kamu apa?”“Mau nikah sama kamu secepatnya,” gumamnya berlalu dari hadapan Farzan, kemudian pergi menemui El dan Al yang masih berada di depan pintu.“Mau nikah secepatnya?” ulang Farzan hanya terdengar olehnya. Dia tersenyum lebar, sehingga bibir bagian atas itu nyaris tak terlihat. Kakinya melangkah ringan ke dekat Nadzifa.“Ngapain sih mojok di sana berdua? Nggak asyik banget. Untung Si Fatih nggak
Pagi-pagi sekali selesai menunaikan salat Subuh, Farzan sudah berangkat ke ruko tempat Nadzifa saat ini berada. Ternyata gadis itu lebih sering menghabiskan waktu di sana selama ini. Dia tidak mau tinggal di apartemen, khawatir akan berjumpa dengan Farzan.Seperti permintaannya kemarin, Farzan disuguhi satu porsi nasi goreng buatan Nadzifa. Entah kenapa sekarang terasa semakin lezat. Apa mungkin karena ia mulai bucin dengan gadis itu? Hanya Tuhan dan Farzan yang tahu. Haha!Tidak banyak percakapan berarti yang tercipta di antara keduanya. Hanya pembahasan seputar aktivitas Farzan selama satu bulan ini. Selesai sarapan, pria itu memutuskan untuk pergi ke rumah sakit, mengunjungi Brandon sebelum berangkat ke kantor.Alhasil di sinilah ia berada, bersama dengan Nadzifa. Ya, gadis itu juga ingin ikut mengunjungi calon kakak iparnya. Ehmmm … ehmmm ….“Loh pagi-pagi udah ada di sini,” seru Brandon terkejut melihat kedatangan Farzan dan
Nadzifa mengalihkan pandangan ke sisi kiri ruangan. Dia pura-pura tidak mendengar apa yang dikatakan Farzan barusan. Padahal hatinya sekarang meronta-ronta kegirangan. “Zi?” Farzan masih menanti jawaban darinya. Gadis itu memutar kepala ke arah Farzan dalam gerakan slow motion lagi. “Emang … harus dijawab ya?” Farzan menganggukkan kepala. “Kalau nggak mau gimana?” Dia memberi tatapan malas, bertolak belakang dengan isi hatinya. “Aku nggak mau pulang sampai kamu jawab,” ancam Farzan tersenyum manis. (Ya ampun, cowok tersenyum manis.) Mata hitam lebar Nadzifa membesar seketika. “Zan, ini udah malam. Kamu mau nginap di sini?” “Kita udah pernah tidur satu ranjang sebelumnya, Zi,” goda Farzan. Nadzifa semakin melongo mendengar perkataan Farzan. Matanya terpejam erat ketika kepala bergerak ke kiri dan kanan. “Nggak bisa! Pulang gih sana, nanti jadi gunjingan orang. Dosa loh bikin orang ghibah,” usirnya mengib