Samar-samar terdengar ponsel berdering. Tangan kokoh itu berusaha menyelusup ke bawah bantal sofa mencari keberadaan gadget tersebut. Kelopak matanya mulai mengerjap agar bisa melihat dari siapa panggilan tersebut.
Netra hitam itu langsung terbuka lebar ketika menyadari sekarang sudah pukul 07.00, artinya sudah lewat dari waktu subuh. Tilikan beralih kepada nama yang tertera di layar ponsel. Kakak Cantik.
“Assalamualaikum, Kak,” sapa Farzan setelah menggeser tombol hijau.
Dia beralih ke posisi duduk sambil mengurut pelipis. Pemuda itu tidak bisa tidur nyenyak, setelah insiden yang tidak terduga tadi malam. Pandangannya beralih melihat gadis yang masih terbaring di atas kasur.
“Waalaikum salam. Katanya tadi malam mau video call,” balas Arini di seberang sana.
“Maaf banget, Kak. Aku sampai apartemen udah kemaleman banget, kakak pasti tidur nyenyak,” ujarnya beralasan.
Terdengar tarikan napas berat. “Di sini sekarang udah siang. Mana nih? Kakak mau lihat wajah kamu.”
Farzan tersenyum lebar. Dengan hal kecil seperti ini sudah cukup berarti baginya. Dia juga mendapatkan kasih sayang dan perhatian Arini, meski tidak bisa memilikinya.
Sekali lagi, ia cukup tahu diri dengan posisi sebagai anak dari perempuan yang telah merenggut kebahagiaan wanita lain.
“Bentar, Kak. Aku cuci muka dulu.”
Arini berdecak berkali-kali. “Salatnya jangan lewat dong, Dek. Dosa loh ditinggalin. Apalagi salat Subuh.”
Farzan hanya nyengir kuda sambil garuk-garuk kepala. “Ketiduran, Kak. Biasanya nggak begini. Cuma tadi malam nggak bisa tidur aja.”
“Lain kali kalau ketiduran, langsung salat jangan ngapa-ngapain dulu. Ngerti?”
“Ngerti, Kakak Sayang. Ya udah, sekarang aku cuci muka dulu. Habis itu kita video call,” janji Farzan sebelum mengakhiri panggilan.
Kedua tangannya terangkat ke atas meregangkan tubuh yang terasa pegal. Menggendong tubuh kurus perempuan tadi malam, ternyata bisa membuat ototnya menegang. Farzan mengembuskan napas lesu saat ingat ada orang asing di flatnya.
“Bahaya kalau kakak lihat,” gumamnya mulai panik.
Sambil mengucek mata, ia berdiri lantas beranjak menuju tempat tidur.
“Mbak,” panggil Farzan membangunkan.
Perempuan itu bergeming.
“Mbak,” ulangnya lagi menendang pinggir tempat tidur, sehingga wanita tersebut tersentak.
Netra hitam lebar itu langsung membesar, kemudian beredar ke sekeliling. Sedetik kemudian, ia meringis karena kepala terasa pusing.
Farzan hanya berdiri sambil berkacak pinggang. “Udah sadar, ‘kan? Sekarang silakan pergi.”
Lagi-lagi perempuan berwajah tirus itu melotot bingung. “Lo siapa? Kenapa gue bisa ada di sini?”
Dia menarik selimut menutupi tubuh yang masih berpakaian lengkap. “Lo apain gue tadi malam?” tanyanya sambil meraba di bagian bawah selimut.
Tawa singkat keluar dari sela bibir Farzan. “Makanya kalau minum jangan kebanyakan, Mbak. Untung ada saya yang tolongin. Kalau nggak, mungkin udah diculik dan diperkosa sama dua bule tadi malam.”
Bibir terisi penuh itu sedikit terbuka ketika kening berkerut. Dia berusaha mengingat apa yang terjadi tadi malam, sebelum tertunduk lesu.
“Udah ingat? Nah, sekarang silakan pergi dari sini sebelum ada yang datang,” usir Farzan berusaha sopan.
“Sorry, udah nuduh lo macam-macam. Thanks juga udah tolongin gue.” Wanita itu mengangkat pandangannya.
“You’re welcome.” Farzan menyatukan kedua tangan di depan kepala. “Please, sekarang Mbak pergi ya. Saya nggak mau ada kesalah pahaman.”
Perempuan itu keluar dari selimut yang membungkus tubuh, kemudian mengambil tas yang tergeletak di lantai. Dia malu sekali karena telah menuduh Farzan yang bukan-bukan. Seperti anak kecil yang melakukan kesalahan, ia berdiri takut-takut sambil membungkukkan tubuh.
“Sekali lagi makasih ya,” ucapnya sembari merapikan rambut di sela pusing yang masih terasa.
Farzan mengangguk singkat sambil melirik jam dinding. Dia ingin gadis ini cepat pergi, agar bisa memenuhi janji untuk video call dengan Arini.
Pemuda itu mengulurkan tangan ke arah pintu. “Silakan.”
Perempuan bertubuh semampai itu melangkah menuju pintu, namun kembali membalikkan tubuh menghadap Farzan.
“Nama gue Nadzifa. Gue ke sini cuma buat liburan aja.” Dia nyengir kuda sebelum melanjutkan perkataan. “Gue tahu ini nggak penting buat lo. Tapi gue nggak mau lo berpikir aneh-aneh tentang gue.”
Farzan memiringkan kepala sambil mengerling ke arah pintu. Pertanda gadis itu sudah harus pergi dari sana. Khawatir juga jika Bram datang pagi-pagi ke flatnya. Apalagi pemuda berkacamata tersebut tinggal di flat sebelah.
Gadis bernama Nadzifa itu kembali memutar tubuh menghadap pintu, lantas mengayunkan kaki lagi. Langkahnya berhenti ketika Farzan membukakan pintu.
“Wah kebetulan lo buka pintu, Zan. Tadi ma—” Tiba-tiba sosok yang tidak ingin ditemui Farzan muncul di sela pintu.
Netra di balik kacamata itu memelotot ketika melihat perempuan berada di flat sahabatnya pagi-pagi sekali. Keningnya berkerut ketika pandangan berpindah kepada Farzan. Sudah pasti menuntut penjelasan.
“Nanti gue ceritain,” ujarnya.
Nadzifa hanya tersenyum gugup kepada Bramasta.
“Sekali lagi thanks ya. Kalau lo nggak datang tepat waktu, gue pasti—”
“Udah, Mbak. Saya terima kok ucapan permintaan maaf dan terima kasih dari Mbak. Sekarang pergi ya,” kata Farzan tak sabar.
Kepala Nadzifa manggut-manggut. Tanpa mengucapkan kata-kata lagi, ia pergi dari sana dengan langkah gontai.
“Ternyata lo diam-diam menghanyutkan, Man,” goda Bramasta menepuk pelan dada Farzan setelah gadis itu menghilang di dalam kotak besi.
“Sialan.” Tangan Farzan naik ke atas, lalu mengusap wajah Bram.
Mereka berdua berjalan memasuki flat yang terlihat berantakan, gara-gara kejadian tadi malam.
“Cuci dulu tuh otak lo. Jangan salah paham.” Farzan mengempaskan tubuh di sofa.
Bram ikut duduk di sebelah sang Sahabat dengan tenang. Ah, tidak tenang juga karena senyum usil masih tergambar jelas di parasnya.
“Gimana nggak suuzan coba. Pagi-pagi ada cewek di flat lo.” Bram tampak antusias. “Udah gitu tadi malam pulang dadakan, tanpa pamitan juga. Wajar dong kalau gue pikir kalian ngapa-ngapain.”
Farzan berdecak malas sambil bersandar di sofa. Dia mulai menceritakan kejadian tadi malam tanpa mengurangi atau melebihkan. Termasuk dengan celotehan Nadzifa ketika bangun, sebelum tertidur lagi.
“Dia ngajak lo nikah?” seru Bram tak percaya.
Farzan mengangkat bahu singkat. “Jangan berpikir kalau lo percaya dengan ucapan orang mabok.”
Bram menegakkan tubuh sambil memangku tangan. “Zan, Zan. Lo pikir ucapan orang mabok nggak bisa dipercaya?”
“Justru orang mabok itu suka ngomong jujur,” sambungnya lagi.
“Udah ah, nggak penting juga.” Farzan mengibaskan tangan malas. Dia kemudian berdiri lagi, berniat membersihkan wajah di kamar mandi.
“Mau ke mana lo?”
“Cuci muka. Ngantuk banget. Nggak bisa tidur tadi malam,” sahut Farzan tanpa menoleh kepada Bran.
“Nggak bisa tidur karena ada cewek cakep?” Bram tidak berhenti menggoda sahabatnya.
“Cakep apaan? Kurus kayak gitu,” teriak Farzan yang sudah berdiri di depan wastafel.
“Iya deh. Bagi lo yang paling cantik itu Kak Arini,” balas Bram ikutan teriak juga.
Farzan hanya tergelak sambil geleng-geleng kepala. Dia segera menggosok gigi, kemudian mencuci muka. Tak lupa juga membasahi rambut bagian atas, agar rapi ketika disisir.
“Sana gih balik. Gue mau VC sama Kak Arini,” usir Farzan mengibaskan tangan singkat.
Senyum usil tergambar jelas di paras Bramasta. Dia berdiri setelah membuang napas singkat. Tangannya bergerak menepuk pundak Farzan dua kali.
“Take your time, Man. Jangan lupa dua jam lagi kita ke kampus,” tutur Bram sebelum beranjak ke luar flat.
Farzan hanya geleng-geleng kepala melihat ekspresi sahabatnya. Setelah memastikan pintu flat tertutup, ia langsung bergerak menuju sofa. Tempat dirinya tidur tadi malam.
Tak lama setelah melakukan panggilan video, wajah cantik Arini sudah memenuhi layar ponsel.
“Akhirnya bisa lihat kamu, Dek,” kata Arini tersenyum memperlihatkan kedua lesung pipi.
Pemuda itu tersenyum mengamati wajah kakak iparnya yang tampak sedikit pucat. Meski begitu, tidak mengurangi kecantikan alami yang dimiliki perempuan berusia awal empat puluh tahun tersebut.
“Maaf tadi malam ada masalah dikit, jadi nggak bisa VC sama kakak.”
Kening Arini berkerut bingung. “Masalah apa? Kamu nggak kenapa-napa ‘kan, Dek?”
Farzan menggelengkan kepala dengan seulas senyum. Dia suka Arini yang perhatian seperti ini. Ternyata penyakit yang diderita tidak membuat wanita tersebut melupakan dirinya.
“Aku keluar sama teman-teman, trus lihat ada cewek Indonesia yang diganggu sama dua orang bule.”
“Trus?” Arini tidak bisa menutupi raut khawatirnya.
“Alhamdulillah mereka langsung kabur waktu aku ancam.”
“Syukurlah kalau gitu.” Sesaat kemudian iras wajah Arini berganti jail.
“Cewek yang digangguin cantik nggak? Masih muda? Single?” cecarnya sambil menaik-naikkan kedua alis.
“Kakak apaan sih?” sungut Farzan dengan wajah mengerucut.
“Ya kali aja ketemu soulmate gitu, Zan. Jangan sampai ketikung sama Alyssa loh nanti. Udah ada yang nungguin tuh anak,” tanggap Arini tersenyum lebar.
Aku berharap perempuan itu kamu, Kak, batin Farzan terasa sesak.
“Al dan El lagi di sekolah ya, Kak?” tanya Farzan mengalihkan pembicaraan.
Wanita berkerudung itu berdecak dua kali. “Kamu ini persis kayak Mas Brandon. Kalau nggak mau tersudutkan, langsung ganti topik.”
“Bukannya Kakak yang gitu? Kok malah nuduh Mas Brandon,” balas Farzan menyipitkan mata elangnya.
Bola mata Arini naik ke atas seperti sedang berpikir.
Farzan kembali memperhatikan reaksi kakak iparnya. Dia tahu sekarang memori Arini kembali kacau.
“Kakak udah minum obat?”
Wanita itu bergeming.
“Kak?” panggil Farzan.
“Eh? Apa?” Arini kembali melihat ke kamera. “Kamu cepat pulang ya, Dek. Kakak kangen.”
Pemuda tersebut mengangguk berkali-kali dengan tubuh mulai bergetar. Perasaannya terasa sakit melihat kondisi Arini seperti ini.
“Pasti, Kak. Aku akan pulang secepatnya. Aku janji akan jagain Kakak baik-baik,” desisnya tercekat.
Bersambung....
Delapan bulan kemudianHampir delapan belas jam perjalanan dari Zürich menuju Jakarta, membuat Farzan tidak bisa memejamkan mata sedikit pun. Dia sudah tidak sabar bertemu lagi dengan Arini, wanita yang sangat dirindukan saat ini. Sejak beberapa jam yang lalu, foto wanita itu yang selalu dilihatnya di pesawat.Akhirnya Farzan selesai menempuh pendidikan di kota yang dikenal dengan nama lain Turicum tersebut. Pemuda itu berencana untuk bekerja di perusahaan otomotif dibandingkan harus mengelola perusahaan sang Ayah yang kini ditangani oleh Brandon, kakak tirinya. Apalagi perusahaan The Harun’s Group tidak bergerak di bidang otomotif, melainkan properti dan garment.Dua jam kemudian, pesawat yang ditumpangi Farzan berhasi
Taksi yang ditumpangi Farzan sudah memasuki area perumahan tempat kediaman keluarga Harun berada. Rumah yang telah ditempatinya semenjak Ayu masuk ke dalam penjara atas kasus penggelapan dana perusahaan. Karena itulah sang Ayah menceraikan ibu kandungnya.Semakin mendekat, jantungnya semakin gaduh. Kurang dari lima menit ia akan bertemu lagi dengan Arini.Farzan sudah tidak sabar ingin berbagi cerita dengan kakak iparnya. Selama ini wanita itulah yang selalu mendengar keluh kesahnya mengenai apapun. Dari sana juga, ia menemukan kenyamanan dan kasih sayang tulus yang sangat didambakan.“Ini ongkosnya, Pak,” ujar pemuda itu menyerahkan sejumlah uang sesuai dengan argonya.Begitu taksi berhenti di depan pagar, Farzan segera menurunkan barang bawaan. Dua koper be
Farzan terkesiap saat mendengar suara bariton yang sangat dikenalnya, sehingga tubuh tegap itu mundur lagi ke belakang. Dia menoleh ke arah pintu dan melihat Brandon berdiri sambil menyipitkan mata. Pria paruh baya itu menggoyang-goyangkan tangan dengan jari telunjuk ke atas.“Kamu itu udah gede, Zan. Masa masih nempel-nempel sama Kak Iin. Bikin Mas cemburu aja,” kata Brandon memasang tampang cemberut.Pemuda itu tergelak, begitu juga dengan Arini yang sudah berdiri menghampiri suaminya. Wanita tersebut memberi kecupan singkat di bibir Brandon, sebelum mengambil tas kantor yang dibawa.“Biar aku aja, In. Kamu duduk aja,” suruh Brandon membelai lembut rambut panjang hitam istrinya.“Dari tadi duduk terus, bosan. Untung ada Farzan yang nemenin,” tanggap Arini menggandeng lengan Bran.Farzan mulai salah tingkah melihat kemesraan suami istri itu. Jika dulu ia senang melihat Brandon dan Arini bermesraan, namun kini ju
“Ngapain berdiri di tangga, Bang?” Tiba-tiba terdengar suara setengah matang dari belakang.Farzan menoleh bingung ke sumber suara dan melihat Elfarehza, anak pertama Brandon dan Arini, berdiri tepat di belakang.El yang heran dengan keanehan gelagat Farzan, segera mengalihkan pandangan ke ruang keluarga.“Oh shit my eyes!” ucapnya menirukan jargon yang diucapkan oleh Im Ju Young di drama Korea True Beauty, “My holy eyes. Astaghfirullah, ampuni dosa hamba.”Pemuda itu mengusap pelan kedua belah mata.“Watch your mouth, Kid!” tegur Brandon di sela napas yang tidak teratur saat belaian panas bibirnya dengan Arini terlepas paksa.El turun ke bawah dengan santai, seolah tanpa dosa. Dia duduk di antara Brandon dan Arini, lantas menunjuk ke arah Farzan.“Gara-gara Mami-Papi nih. Kasihan tuh Bang Farzan sampe ragu mau turun ke bawah.” El berdecak
Farzan memandang pantulan diri di depan cermin ketika memastikan pakaian dan juga tatanan rambut sudah rapi. Hari ini ia akan pergi ke Beer Garden bertemu dengan Bramasta sesuai dengan janji sebelumnya.Semenjak pertemuan keluarga tiga hari yang lalu, Arini dan Brandon masih berusaha membujuk Farzan untuk bekerja di The Harun Group. Pemuda itu masih bersikukuh tidak akan bekerja di sana, karena tidak memiliki minat di bidang properti dan garment.Beruntung tadi pagi ia mendapatkan panggilan kerja di salah satu perusahaan otomotif berskala internasional di Cikarang. Farzan bisa bernapas lega, karena bisa lolos dari bujukan kedua kakaknya tersebut.“Cie, mau ke mana malam Minggu, Dek?” tanya Arini melihat Farzan turun dari tangga.“Ketemu sama Bram di Beer Garden, Kak,” jawab Farzan sembari mengenakan jaket kulit.“Bram atau gebetan?” Arini mulai menggoda adik iparnya.Farzan menyipitkan mata sambil
Mata hitam lebar Nadzifa melihat Farzan dan Bramasta bergantian. Tanpa diminta, gadis itu sudah duduk di kursi yang masih kosong di meja kedua pemuda itu berada. Dia mengibaskan rambut panjang yang terurai di depan bahu ke belakang.“Nggak nyangka loh bisa ketemu lo lagi di sini,” ujar Nadzifa semringah.Farzan tak menyangka gadis yang pernah ditolong dulu masih ingat dengan dirinya. Apalagi saat itu Nadzifa sedang mabuk berat. Ketika pulang pun ia masih hangover.“Mbak tinggal di Jakarta?” tanya Farzan kemudian.“Iya. Keluarga gue tinggal di sini, tapi gue sih tinggal di daerah Cikarang.” Nadzifa melambaikan tangan memanggil pelayan. Dia menambah lagi minuman beralkohol sama seperti sebelumnya.“Eh, lo yang waktu pagi itu, ‘kan?” Pandangan Nadzifa beralih kepada Bramasta.“Iya, Mbak.” Bram mengulurkan tangan memperkenalkan diri. “Bramasta, panggil aja Bram. Sah
Tiga bulan kemudianFarzan menyusun kardus berisikan barang-barangnya di dekat dinding. Dia menghitung jumlah, memastikan tidak ada yang tertinggal ketika dibawa nanti. Sebenarnya tidak banyak yang ia bawa dari rumah, hanya tiga kardus besar dan dua kardus kecil. Tak lupa juga satu koper berukuran besar berisikan pakaian.“Yakin mau pindah, Dek?” tanya Arini duduk di pinggir tempat tidur Farzan.“Iya, Kak. Capek kalau bolak balik Jakarta-Cikarang setiap hari. Apalagi kalau harus masuk hari Sabtu. Nggak ada waktu istirahat,” jawab Farzan seraya memasukkan peritilan barang yang akan diangkut ke dalam ransel.Benarkah itu yang menjadi alasan sebenarnya Farzan memutuskan pindah ke Cikarang dan tinggal di apartemen? Tentu tidak pemirsa. Pemuda itu tidak ingin terus-terusan bertemu dengan Arini, takut khilaf. Ditambah lagi tidak kuat melihatnya bermesraan dengan Brandon. (Duh, sabar yaa, Zan.)“Trus siapa ya
Suara alarm terdengar nyaring memekakkan telinga ketika subuh menjelang. Jika saja di sini adalah pedesaan, maka akan terdengar bunyi ayam jantan berkokok. Sayangnya kamar ini berada di gedung apartemen yang tinggi, sehingga tidak ada ayam jantan yang bertengger hanya sekedar untuk membangunkan penduduk. Tangan yang cukup berotot itu bergerak meraba atas nakas, tempat ponsel berada. Sepasang netra elang berwarna hitam perlahan terbuka, mencari tahu pukul berapa sekarang. Ah, seharusnya tidak begitu juga karena dia tahu persis jam berapa alarm diterapkan. Farzan langsung mengubah posisi menjadi duduk, karena sebentar lagi waktu subuh tiba. Dengan masih terkantuk, ia berusaha berdiri kemudian melangkah menuju kamar mandi untuk menggosok gigi. “Kalau mau salat Subuh jangan lupa gosok gigi, Dek. Mau ketemu sama manusia aja kita nggak pede kalau belum gosok gigi, apalagi ketemu sama Allah.” Nasihat yang kerap dilontarkan Arini, selalu terpatri di dalam ingatannya.
Lima bulan kemudianBunyi ciuman terdengar jelas di sebuah kamar kondominium mewah yang berada di kawasan Marina, Singapura. Suara desahan menjadi penutup penyatuan sepasang suami istri yang entah berapa kali melakukannya hingga siang ini. Keduanya saling berbagi tatapan dan senyuman dalam posisi duduk berhadap-hadapan.Nadzifa segera turun dari pangkuan Farzan, kemudian masuk ke dalam selimut. Napas memburu keluar dari hidung seiringan dengan jantung yang berdebar cepat. Farzan juga ikut masuk ke balik selimut, sebelum menarik tubuh istrinya merapat.“Mentang-mentang libur, aku nggak dibolehin keluar kamar,” sungut Nadzifa mencubit hidung mancung suaminya.Farzan tersenyum lebar seraya menatap gemas wajah Nadzifa yang masih memancarkan rona merah. “Habis kamu bikin aku nagih. Top banget deh.”Nadzifa berdecak seraya menyipitkan mata. “Segitunya kamu.”Meski usia wanita itu tidak lagi muda
Farzan duduk di ruang kunjungan tahanan berhadap-hadapan dengan Ayu. Di sampingnya ada Nadzifa yang menemani pria itu menemui sang Ibu. Rahang tegasnya tampak mengeras menahan luapan amarah yang tertahan. Dia malu dengan perbuatan wanita yang telah melahirkannya itu.“Aku pikir Mommy udah berubah sejak keluar dari penjara waktu itu,” ujar Farzan memecah keheningan ruangan yang dikelilingi dinding berwarna abu-abu itu. Dia menundukkan kepala, seakan enggan melihat Ayu.“Kamu yang bikin Mommy begini, Zan,” balas wanita tua itu menyalahkan putranya.Sorot mata Farzan terlihat tajam ketika pandangannya terangkat. Sklera netra elangnya memerah digenangi air mata.“Mommy salahkan aku?” tanya Farzan dengan kedua tangan mengepal erat di atas paha.Nadzifa langsung meraih tangan suaminya, berusaha menenangkan.“Coba waktu itu kamu mau kerja di perusahaan dan jamin hidup Mommy.
Sepasang netra elang mengerjap ketika mencoba untuk terbuka. Pandangannya turun ke arah sesosok tubuh yang lelap dalam dekapan. Farzan tersenyum ketika melihat Nadzifa tidur seperti bayi. Begitu tenang dan imut dengan bibir sedikit terbuka. Beruntung tidak ada air liur yang keluar. Haha!Dia menarik napas sebentar, sebelum mengeratkan lagi pelukan. Terasa kelembutan yang baru dirasakan tadi malam. Juga kehangatan yang disalurkan oleh tubuh Nadzifa. Pagi ini Farzan merasakan perubahan dalam hidupnya.Sebuah kecupan diberikan di kening Nadzifa beberapa detik, membuat tubuh semampai itu menggeliat kecil di dalam pelukannya. Perlahan tapi pasti kepala gadis itu, ah bukan, wanita itu terangkat seiringan dengan kelopak mata yang terbuka.Nadzifa memicingkan mata ketika ingat dirinya sekarang sudah resmi menjadi istri dari Farzan Harun. Pria yang berusia sembilan tahun lebih muda darinya. Dia menenggelamkan wajah tepat di dada bidang pria itu.“Aku banguni
Seluruh keluarga Harun dibuat panik gara-gara pernikahan dadakan Farzan dan Nadzifa. Begitu juga dengan Brandon yang baru saja pulang dari rumah sakit. Beruntung menjelang sore semua berjalan sesuai dengan rencana. Tinggal menunggu akad nikah dilaksanakan.Paman Nadzifa juga bisa hadir untuk menikahkan keponakan yang jarang berjumpa. Semesta seakan memberi kelancaran baik dari segi dokumen, penghulu sampai pakaian yang akan dikenakan oleh Nadzifa dan Farzan untuk akad nikah.Jangan ditanyakan lagi bagaimana gugup Farzan sekarang. Pria itu tampak gagah mengenakan setelan beskap berwarna putih gading. Sebuah peci berwarna senada menutupi rambut model layered miliknya.“Penghulu udah datang tuh, Zan,” info Bramasta yang sejak tadi sibuk sendiri, pasca diberitahukan tentang pernikahan Farzan. Pria berkacamata itu langsung minta izin pulang dari kantor lebih awal.Farzan menganggukkan kepala, kemudian berdiri. Dia menarik napas dan mengemb
“Mas Brandon benar, Kak. Ada yang ingin menyingkirkan Mas Brandon. Orang itu adalah Tante Ayu.”Perkataan yang diucapkan Nadzifa barusan menyurutkan niat Farzan untuk memasuki ruang perawatan yang baru saja ditinggalkannya beberapa menit lalu. Dia baru saja mendapatkan telepon dari Pak Habib mengenai reschedule jadwal meeting dengan klien. Senyum yang terurai di wajah tampan itu hilang ketika mendengar nama ibunya disebut.“Mommy?” gumamnya dengan kening berkerut.Farzan memilih menguping pembicaraan ketiga orang yang ada di dalam ruang perawatan VIP tersebut. Semakin lama ia berdiri di sana, amarah yang dirasakan semakin memuncak. Dia tidak menyangka sang Ibu bisa melakukan tindakan rendah seperti itu, hanya demi seonggok harta.“Tolong rahasiakan ini dari Farzan ya? Dia pasti marah banget kalau tahu Ayu yang celakai Mas Brandon.” Terdengar suara Arini memohon kepada Nadzifa. “Farzan it
“Mas Brandon benar, Kak. Ada yang ingin menyingkirkan Mas Brandon.” Nadzifa menarik napas panjang, sebelum melanjutkan perkataannya. “Orang itu adalah Tante Ayu.”Mata cokelat besar Arini melebar seketika. Bibirnya ternganga ketika mendengar nama Ayu disebut. Kepalanya langsung menggeleng cepat.“Nggak mungkin itu ulah Ayu. Dia ‘kan lagi di Uluwatu.” Arini tidak percaya begitu saja meski yang mengatakannya Nadzifa.“Ayu tinggal di Jakarta tiga bulan ini, In. Kita udah dibohongi mentah-mentah sama dia,” ujar Brandon meyakinkan.Pandangan Arini berpindah kepada suaminya. “Bran, kita yang carikan rumah buat dia di Uluwatu biar nggak ngerecokin Papa. Nggak mungkin dia ke sini.”Brandon meraih tangan Arini, lalu menggenggamnya erat. “Faktanya gitu, In. Dia ada di Jakarta.”Arini mendesah keras dengan napas terasa sesak. Dia ingat pernah mencarikan apartemen untuk Ayu di
Farzan dan Nadzifa saling berpandangan dalam waktu yang lama. Mereka menyelami perasaan masing-masing. Keduanya tidak pernah menyangka hubungan yang semula hanya pura-pura, kini menjadi serius. Bahkan benih cinta juga tumbuh mekar di hati mereka.“Aku … mau, Zan,” desis Nadzifa setelah menemukan binar cinta di mata Farzan untuknya.“Mau apa?” tanya Farzan bingung.“Masa nggak tahu sih?” sungut gadis itu dengan wajah mengerucut.“Ya aku nggak tahu maksud kamu apa?”“Mau nikah sama kamu secepatnya,” gumamnya berlalu dari hadapan Farzan, kemudian pergi menemui El dan Al yang masih berada di depan pintu.“Mau nikah secepatnya?” ulang Farzan hanya terdengar olehnya. Dia tersenyum lebar, sehingga bibir bagian atas itu nyaris tak terlihat. Kakinya melangkah ringan ke dekat Nadzifa.“Ngapain sih mojok di sana berdua? Nggak asyik banget. Untung Si Fatih nggak
Pagi-pagi sekali selesai menunaikan salat Subuh, Farzan sudah berangkat ke ruko tempat Nadzifa saat ini berada. Ternyata gadis itu lebih sering menghabiskan waktu di sana selama ini. Dia tidak mau tinggal di apartemen, khawatir akan berjumpa dengan Farzan.Seperti permintaannya kemarin, Farzan disuguhi satu porsi nasi goreng buatan Nadzifa. Entah kenapa sekarang terasa semakin lezat. Apa mungkin karena ia mulai bucin dengan gadis itu? Hanya Tuhan dan Farzan yang tahu. Haha!Tidak banyak percakapan berarti yang tercipta di antara keduanya. Hanya pembahasan seputar aktivitas Farzan selama satu bulan ini. Selesai sarapan, pria itu memutuskan untuk pergi ke rumah sakit, mengunjungi Brandon sebelum berangkat ke kantor.Alhasil di sinilah ia berada, bersama dengan Nadzifa. Ya, gadis itu juga ingin ikut mengunjungi calon kakak iparnya. Ehmmm … ehmmm ….“Loh pagi-pagi udah ada di sini,” seru Brandon terkejut melihat kedatangan Farzan dan
Nadzifa mengalihkan pandangan ke sisi kiri ruangan. Dia pura-pura tidak mendengar apa yang dikatakan Farzan barusan. Padahal hatinya sekarang meronta-ronta kegirangan. “Zi?” Farzan masih menanti jawaban darinya. Gadis itu memutar kepala ke arah Farzan dalam gerakan slow motion lagi. “Emang … harus dijawab ya?” Farzan menganggukkan kepala. “Kalau nggak mau gimana?” Dia memberi tatapan malas, bertolak belakang dengan isi hatinya. “Aku nggak mau pulang sampai kamu jawab,” ancam Farzan tersenyum manis. (Ya ampun, cowok tersenyum manis.) Mata hitam lebar Nadzifa membesar seketika. “Zan, ini udah malam. Kamu mau nginap di sini?” “Kita udah pernah tidur satu ranjang sebelumnya, Zi,” goda Farzan. Nadzifa semakin melongo mendengar perkataan Farzan. Matanya terpejam erat ketika kepala bergerak ke kiri dan kanan. “Nggak bisa! Pulang gih sana, nanti jadi gunjingan orang. Dosa loh bikin orang ghibah,” usirnya mengib