Pesta ulang tahun putra mahkota di lingkaran sosial ibu kota, Clayton, diadakan di tepi Bendungan Kariba. Banyak orang dari kalangan elite yang menghadiri acara itu. Ketika aku tiba, seorang selebriti baru, Lulu, sedang bermanja-manja di pelukan Clayton.Clayton duduk santai dengan satu tangan yang memegang gelas anggur dan tangan lainnya melingkar di pinggang ramping Lulu. Lulu memandangku dengan tatapan meremehkan. "Siapa ini? Sepertinya aku belum pernah ngelihat dia sebelumnya.""Cuma sekretaris, abaikan saja."Ya, aku hanyalah seorang sekretaris di bawah perusahaan Clayton, jelas tidak cocok berada di lingkungan pergaulan ini. Kalau bukan karena "menempel" pada Clayton, aku juga tidak akan punya kesempatan bertemu dengan para pengusaha top di sini.Clayton tersenyum lagi, "Cuma mainan."Aku tidak membantah. Selama tiga tahun, dia tidak pernah mengakui aku sebagai pacarnya, bahkan menyebutku sebagai kekasih simpanan saja dia enggan.Dia berkata, "Vanessa itu memang begini. Mau dipe
Saat aku keluar dari air, kerumunan orang sudah berkumpul untuk menonton. Seseorang bercanda kepada Clayton, "Pak Clayton, sepertinya hari ini kamu bakal lepas dari status lajang, ya?"Clayton tidak menanggapi lelucon itu. Dia hanya menatapku dan berkata dengan suara serak, "Vanessa, aku nggak nyangka kamu benar-benar bakal ...."Sampai akhirnya, aku berjongkok di hadapannya dan membuka telapak tanganku perlahan-lahan untuk memperlihatkan gelang yang terbelah menjadi dua.Tubuhnya kaku seketika. Dia menatapku dengan tajam. "Vanessa, apa maksudmu?"Aku mengangkat pandanganku dengan tenang dan berkata perlahan, "Clayton, kamu pernah bilang, kalau gelang ini terbelah menjadi dua, saat itu juga kamu akan membiarkanku pergi. Sekarang, gelang ini sudah patah. Aku harap kamu menepati kata-katamu."Ekspresi Clayton tertegun. Aku tahu dia akhirnya teringat.....Aku dan Clayton saling mengenal sejak masa remaja. Setelah tujuh tahun bersama, hubungan kami sangat dekat. Aku pikir semuanya akan b
Lulu bersembunyi di pelukan Clayton seraya memandangku dengan tatapan menantang. Dengan nada manja, dia mendengus, "Ngapain berdiri di sini? Mainan harus berada di tempatnya."Aku menatap Clayton. "Gelangnya sudah patah, mulai sekarang kita benar-benar putus." Setelah berkata demikian, aku bersiap untuk berbalik dan pergi."Tunggu!" Clayton memanggilku.Aku berhenti sejenak dan berusaha beradu pandang dengannya. Beberapa saat kemudian, dia mematikan rokoknya dan berjalan mendekat. Jari-jarinya yang panjang mencengkeram daguku dan memaksaku menatapnya.Aroma tembakau yang samar tercium di hidungku. Wajah Clayton begitu dekat. Wajah yang dulu sangat kukagumi, kini membuatku takut. Dia menatapku, lalu tiba-tiba tertawa pelan. Namun, senyuman itu malah membawa hawa dingin yang menusuk."Kenapa? Kamu benar-benar mau pergi? Tapi dosa Keluarga Kosasih belum lunas."Aku menggigit bibir, menolak mengucapkan sepatah kata pun untuk melawan. Melihat sikapku, sorot matanya yang gelap memancarkan si
"Clayton!" teriakku dengan histeris. Terakhir kali aku memanggil namanya, itu adalah saat aku menjawab pernyataan cintanya dengan malu-malu.Aku tidak ingin percaya bahwa dia bisa melakukan hal sejauh ini, tapi kenyataan sudah ada di depanku. Dia benar-benar seorang iblis."Kalau kamu sakiti ibuku, aku pasti ... pasti akan membunuhmu!"...."Membunuhku?" Clayton tertawa dingin, "Vanessa, kamu selalu terlalu percaya diri."Aku menatap kosong ke arah tangga yang sepi. Ya, apa yang bisa kulakukan? Aku hanya bisa terus memaksakan diriku untuk menjadi seperti yang dia inginkan, merendah dan memohon, seperti seorang penjahat."Kumohon .... aku akan mengikuti semua keinginanmu ...." Percuma saja melawan.Kali ini, sepertinya Clayton sudah bosan dengan cara-cara lamanya. Sebuah mobil yang tertutup rapat membawaku ke rumahnya. Di sana, akhirnya aku berhasil menghubungi ibuku. Dia mengatakan dia baru saja keluar berjalan-jalan sebentar dengan seseorang dan kini sudah kembali ke rumah sakit.Tubu
Clayton terdengar acuh tak acuh, "Silakan saja, coba saja laporkan. Kita lihat siapa yang lebih dulu masuk penjara, aku atau ibumu yang lebih dulu ke neraka."Aku menutup mata. Bayangan wajah ibuku yang pucat dan tak berdaya muncul di benakku. "Setelah Ibu sembuh, kita pergi lihat gunung dan salju sama-sama ya, Vanessa. Vanessa-ku benar-benar sudah banyak berkorban."Suaraku terdengar serak dan berat, "Clayton, aku setuju untuk tetap berada di sisimu."Clayton bertanya, "Yakin nggak akan pernah ngungkit mau pergi lagi?""Ya.""Aku nggak dengar, coba ulangi sekali lagi."Aku menutup mata, lalu mengulangi dengan suara yang gemetaran, "Aku, Vanessa, berjanji nggak akan pernah meninggalkan Clayton!"Clayton tertawa puas. Kemudian, dia menutup telepon.Malam itu, aku mengikuti orang yang diutus Clayton untuk menemuinya. Clayton hanya duduk di sana dengan sebatang rokok di jarinya. Asap rokok itu mengepul, membuat wajahnya terlihat samar-samarAku tidak tahan lagi, dan bertanya dengan getir,
Amarahku memuncak. Aku mengangkat tangan dan berusaha menamparnya agar dia sadar. Rasa penghinaan yang luar biasa membuat seluruh tubuhku gemetar. Clayton menangkap tanganku dengan cepat dan menahannya di atas kepalaku.Ciumannya yang kasar memaksa bibirku terbuka. Aku mencoba sekuat tenaga mendorong bahunya, bahkan sampai bibirnya terluka oleh gigitanku. Namun, dia tetap tidak melepaskanku. Aroma tembakau bercampur dengan rasa darah, membuat kepalaku pusing hingga nyaris tak bisa bernapas.Aku menutup mata dan berhenti melawan. Air mata terus mengalir dari sudut mataku. Namun, dari sudut pandang ibuku, dia mengira aku berpura-pura menolak, tapi tetap menikmatinya. Dia tiba-tiba duduk tegak, lalu melangkah cepat ke arah kami dan menarik Clayton dengan keras.Begitu aku bisa duduk tegak, Ibu langsung menamparku dengan sekuat tenaga. "Vanessa! Apa yang kamu lakukan? Perhatikan baik-baik siapa dia! Dia itu Clayton, orang yang menyebabkan kematian ayahmu!"....Suara Ibu bergetar. Hatiku s
Dokter menahanku. "Tangkap dia! Suntikkan obat penenang lagi!"....Aku disuntik obat penenang. Sebelum aku kembali pingsan, aku melihat Clayton. Tatapannya tidak menunjukkan penyesalan sedikit pun, malah dia tersenyum padaku. Dia tertawa kecil dengan nada meremehkan dan tatapannya menjadi semakin kelam."Kamu seharusnya senang, ayahmu yang korup dan busuk itu akhirnya punya teman. Kalau kamu mau ibumu bisa beristirahat dengan tenang, berhentilah membuat keributan!"....Di pemakaman, aku terus menerus memandangi barang-barang peninggalan Ibu yang diberikan dokter kepadaku.Buku hariannya. Di halaman terakhir, dia menulis.[ Anakku tersayang, maafkan aku. Kalau Ibu nggak bertahan sampai akhir, jangan bersedih. Ibu nggak meninggalkanmu, hanya menemanimu dari dunia lain. Vanessa, tanpa Ibu menjadi beban, kamu akan hidup lebih baik .... ]Setiap kata terasa seperti pisau yang menusuk ke jantungku. Tanggal di akhir catatan itu tertulis sebelum Clayton datang mencariku. Jadi, Ibu sudah tahu
"Kami cuma menjalankan perintah, tolong jangan persulit kami."Aku gemetar karena marah. Rasanya jantungku hampir meledak. Saking bencinya pada Clayton, ingin sekali aku menghancurkannya berkeping-keping untuk memuaskan hatiku. "Suruh dia segera pulang!"Setengah jam kemudian, Clayton muncul di depanku. Dia melangkah masuk ke ruang tamu dan aku segera meraih pisau buah yang tajam di atas meja dan menempelkannya ke leherku. Aku menatapnya dengan penuh kebencian, "Clayton, kalau kamu nggak biarkan aku pergi, aku akan mati di depanmu sekarang juga!"Matanya dipenuhi dengan ancaman. Dia berjalan perlahan mendekatiku dan memojokkanku ke sudut ruangan. Dengan kasar, dia mencengkeram daguku. Pisau yang kupegang terjatuh ke lantai.Tatapannya seolah-olah melihat lelucon."Vanessa, jangan kira kamu bisa pergi hanya karena ibumu sudah meninggal. Kamu harus menebus kesalahan Keluarga Kosasih seumur hidup! Kalau kamu lupa, aku akan membantumu mengingatnya!"Setelah berkata demikian, dia membalikka