"Ya Allah, ternyata benar ini kamu Nak, wanginya sama, wangi minyak kayu putih. Terimakasih ya Allah, di sisa usiaku yang tak lama lagi, Engkau kembalikan menantuku," isak Bu Sundari, air matanya deras mengalir, pelukannya begitu erat kepada Fani. Pak Karim yang menyaksikan ikut meneteskan air mata, begitu juga Munos dan Tiyan, mereka terharu. Begitu besar kerinduan dan cinta Bu Sundari kepada Fani, wanita yang pernah menjadi menantunya. Bu Sundari merenggangkan pelukannya, menatap Fani dengan seksama, menyentuh lembut pipi Fani. "Ya Allah cantiknya menantuku," puji Bu Sundari menatap Fani dengan berbinar. Khimar yang dipakai Fani sangat pas di wajahnya.Fani tersenyum lalu menunduk malu, pandangannya beralih kepada Pak Karim. "Pa," panggil Fani, lalu menghampiri Pak Karim dan mencium punggung tangannya. Pak Karim balas mengusap lembut kepala Fani."Itu siapa?" tanya Bu Sundari tiba-tiba, saat melihat Tiyan berdiri di samping Munos."Itu..mmm..suami Fani, Ma," ucap Fani ragu, takut
Bau obat-obatan dan disinfektan begitu menyengat, menyadarkan Fani dari pingsannya. Tampak Munos sedang duduk di kursi samping ranjang Fani, sambil menutup mata. Tampak luka dipelipisnya yang dibalut perban dan sedikit lebam biru di tulang pipinya.Fani menatap sekeliling dengan tatapan layu."Pak," panggilnya lirih."Pak," panggilnya lagi, membuat Munos terbangun dari tidurnya."Eh..kamu sudah sadar, Fan? Alhamdulillah," ucap Munos lega."Mana suami saya?" "Mmmhh...masih di ICU. " "Saya mau ke sana!" "Kamu masih lemah, Fan." "Tidak, bawa aku ke sana!" Fani mencoba duduk dan menurunkan kedua kakinya dari atas ranjang."Sssssttt..." Fani merintih memegang perutnya."Hati-hati, Fan!" Munos mencoba memegang lengan Fani."Lepas! Saya bisa sendiri," ucap Fani ketus sambil menepis tangan Munos. Dengan tertatih sambil memegang perut, Fani mencoba meraih pegangan pintu ruang perawatan."Ssstt..aaahhh." Fani berjongkok menahan nyeri pada perutnya.Munos dengan sigap menghampiri dan membant
"Pak, sa...ya..ti..tiip..anak dan..." Tiyan menarik nafas."Istri...s-saya..ngi..mere..ka..to..long," ucap Tiyan terbata. Munos meneteskan air mata iba. "Saya berjanji, Mas," ucap Munos pelan, karena ia juga menahan air mata."Maas....ya Allah...ya Allah..Mas.. Dokteerr!" jerit Fani histeris sambil memanggil dokter, saat nafas suaminya semakin terengah-engah."Aku...men..cintaiimuu..De..saa..ngaatt...." Air mata Tiyan menetes, nafasnya semakin sesak.Dokter datang memeriksa mencoba segala cara."Asyhadu allaa..ilaa..ha illallah..wa asyhadu annaa muhammadarrasulullah. "Ttiiiiiiit!"Innaalillahi wa inaa ilaihii rooji'un. "Ucap dokter dan perawat."Tidak!Ya Allah.....ya Allah...Mas, jangan tinggalkan aku Mas!" Fani menjerit histeris, Munos berusaha menenangkan dengan merangkulnya, namun tenaga Fani begitu kuat, dada Munos dipukuli oleh Fani."Ini semua gara-gara kamu! Kamu pembunuh! Kamu pembunuh! Aku benci kamu! Pergiiiiiii!" "Faaan...tenang!" Munos masih merangkul Fani walaupun Fani
Lima Bulan KemudianPerut Fani sudah tampak membuncit di usia kehamilan menginjak lima bulan. Senyum selalu terkembang di bibirnya takkala berbicara atau sekedar mengusap perutnya. Sore ini, Fani tengah duduk di depan mesin jahitnya, fokus mengerjakan sesuatu."Permisi, paket!" suara seorang pria di depan pintu rumahnya.Fani membuka pintu lebar, tampak sang kurir pengantar membawa kotak yang cukup besar yang terbungkus kertas kado yang lucu.Dari : Oma Sundari JakartaFani tersenyum saat tahu siapa pengirim semua barang-barang itu. Sejak meninggalnya Tiyan, Bu Sundari dan Pak Karim rutin mengirimkan barang apa saja kepada Fani, mereka juga rutin menelepon dan juga video call menanyakan kabar Fani dan kandungannya.Setelah mengucapkan terimakasih, Fani masuk dan penasaran segera membuka kotak besar tersebut."Apa itu, Nduk?" tanya si mbok ikut duduk bersama Fani di karpet depan ruang tv."Dari Bu Sundari, Mbok," sahut Fani dengan senyuman. Ibu Tiyan kini tinggal bersama Fani, menemani
"Ya Allah, ya nggak, Fan." Munos mengusap dadanya kaget mendengar sindiran Fani barusan. Tidak ada pembicaraan lagi setelahnya, Fani membungkam mulutnya, begitu juga dengan Munos, ia tidak ingin salah bicara lagi yang bisa mengakibatkan Fani marah."Bapak ga ke kantor?" tanya Fani berbasa-basi saat kini mereka tengah dalam perjalanan.Kota Malang memang tak semacet Jakarta atau Bandung, Fani masih dapat menikmati pemandangan sepanjang perjalanan."Tidak, hari ini saya sengaja libur, paling nanti sore ke proyek, ada perlu dengan Pakde Warmo."Fani mengangguk, tak ada percakapan lagi."Apakah dia sudah mulai bergerak?" tanya Munos menatap perut Fani yang membuncit."Sudah.""Mm...apa saya boleh merasakan gerakannya?" tanya Munos pelan."Tidak!"Bahu Munos melorot, baiklah Fani memang belum bisa benar-benar berdamai dengan dirinya. Bisa seperti ini saja sudah luar biasa sudah alhamdulillah.Beep!Beep!Ponsel Munos berdering.[Hallo Assalamualaikum, Mah][Iya sudah tadi malam, ini sekara
"Kalau Bapak bicara seperti itu lagi, sebaiknya kita tidak perlu bertemu lagi!" ucap Fani ketus sambil memandang jalanan, menghindari tatapan Munos yang terkadang menggoyahkan imannya."Jangan begitu, Bu." Munos akhirnya mengalah."Jangan panggil saya ibu!""Kenapa?""Bukankah kamu calon ibu?""Aneh kalau itu keluar dari mulut bapak!"Fani bersungut manyun. Munos malah merasa wajah manyun itu sangat menggemaskan."Trus kenapa kamu manggil saya bapak?" Munos kembali bertanya dengan tatapan gemasnya."Karena memang dari awal saya manggilnya bapak.""Kalau gitu biar saya manggil kamu ibu, baru pas!""Kecuali kalau kamu ganti panggilan saya menjadi 'sayang'," lanjut Munos sambil menggoda Fani."Ngaco!""Udah ah saya mau pulang!" Fani sudah berdiri dari duduknya. "Aaauuu..." perutnya kembali nyeri."Tuhkaan..marah-marah melulu sih, jadi debaynya protes," ucap Munos bermaksud memapah Fani keluar dari restoran."Lepas!" Fani menghalau tangan Munos."Aaauu...ssstt," rintih Fani lagi."Kamu ke
"Temani Fani, Nak!" pinta si Mbok dengan begitu yakin. Munos mengangguk, lalu masuk ke ruang persalinan. Lelaku itu menemani Fani, memberinya semangat, padahal ia sendiri susah payah menopang tubuhnya agar tidak pingsan di ruang operasi."Sayang, kamu pasti bisa, ada aku di sini.""Aku bukan sayang kamu, ocehan apa itu!" protes Fani tidak terima dengan ucapan Munos. Wanita yang tengah berjuang menahan mulas itu, sungguh sebal dengan Munos dan juga mulut lelaki itu. Seandainya tidak sedang mulas, tentulah ia sudah mencekek sampai mati, duda bantet seperti Munos."Ayo, Bu. Tarik nafas, hembuskan, dorong!""Huuu...aaaahhh...""Ayo Bu, sedikit lagi.""Huuu...aaaahhhh...""Ooeek..oooeek... Alhamdulillah," ucap dokter, perawat, dan Munos bersamaan.Bayinya lahir dengan selamat dan sempurna, tanpa perlu operasi cesar."Ya Allah dok, pasien pendarahan!" dokter dan seluruh perawat di dalam ruangan sibuk, mondar mandir membawa berkantong-kantong darah. Melakukan yang terbaik untuk keselamatan
Dengan mahir Munos menggendong Abi yang baru saja menangis, saat malam menjelang. Sepulang kantor, Munos menyempatkan diri mampir ke rumah Fani, hendak menjenguk cintanya, juga Abi, yang saat ini juga telah mencuri hatinya.Entah sejak kapan, mungkin saat masih di dalam perut sang ibu, Munos sudah jatuh hati dengan sang bayi tampan. Bahkan sang bayi seakan mengenal Munos dengan baik, saat mendengar suaranya saja, maka bayi di dalam perut ibunya itu bergerak dengan sangat lincah, mengingat itu Munos tersenyum gembira.Munos masih menimang-nimang Abi yang mulai terlelap, sedangkan Fani saat ini tengah duduk di sofa menahan kantuk. Sedari pagi, Abi terus terjaga, hanya menyusui dan menyusu lagi, padahal malam hari, Abi juga membuat Fani bergadang semalaman."Tidurlah Bu, biar saya yang gendong Abi!" titah Munos menatap wajah Fani yang sangat kelelahan, ditambah kantung mata yang berwarna hitam, tentulah Fani terjaga sepanjang malam begadang menunggui Abi."Iya Pak, saya lelah banget hari
Pertemuan mengharu-biru antara si Mbok, Fani, dan Munos pun tidak terelakkan. Ditambah melihat cucunya tumbuh sehat, montok, dan tampan; Abi; cucu satu-satunya yang diurus Munos dan Fani dengan sangat baik dan penuh kasih sayang. Bu Darsih tidak bisa menahan air mata kerinduan sekaligus haru. Bu Sundari pun sama terharunya dengan anak menantunya. Bagi Bu Sundari, ibu dari Tiyan adalah keluarga, bukan orang lain. Bu Sundari tidak akan pernah bisa membalas kebaikan almarhum Tiyan dan ibunya yang sudah mau menerima Fani dahulu apa adanya. "Mbah jangan nangis," kata Abi yang kini sudah di pangkuan Bu Darsih. "Mbah nangis bukan karena sedih, tapi karena senang ketemu Abi dan adik kembar. Duh, pipi Abi kayak bakpao coklat. Makannya apa, Nak?" Bu Darsih mencium gemas pipi cucunya. "Minum susunya kuat sekali, Mbak. Ya ampun, nyedot botol terus, padahal udah mau sekolah." Bu Sundari menjawab sambil tersenyum. "Pantas saja pipinya gembul. Perutnya juga ndut. Aduh, Mbah senang sekali lihat
Bu Darsih sudah sampai di Stasiun Gambir pukul delapan pagi. Perjalanan dari Malang menuju Jakarta memang memakan waktu kurang lebih tiga belas jam dengan kereta api. Semalam Bu Darsih berangkat dari Stasiun Malang Kota Lama pukul tujuh malam. Dengan dibantu jasa dua porter, Bu Darsih menurunkan semua barang bawaannya sampai di pintu keluar. Masing-masing porter diberikan uang tujuh puluh lima ribu rupiah oleh wanita itu, sengaja ia lebihkan karena porter stasiun yang mengangkut barangnya mungkin seumuran suaminya. Tidak tega ia memberikan pas ataupun menawar dengan harga sangat rendah, karena ia teringat akan suaminya yang juga bekerja hanya sebagai buruh. "Bu." Gadis berwajah manis menepuk pundak Bu Darsih dengan riang. "Ya ampun, kamu bikin kaget Ibu saja. Udah lama nunggu?""Nggak, Bu, baru sepuluh menit. Ibu udah sarapan belum?" tanya Hesti. "Belum.""Sama, Hesti juga belum, emang sengaja nunggu Ibu, biar ditraktir." Gadis itu menggandeng tangan Bu Darsih, lalu membawanya ke
"Mama tadi bilang, Fani harus cukup istirahat. Jika si Kembar tidur, maka Fani juga harus tidur. Gak usah pedulikan bayi tua yang suka iseng gangguin. Biarkan ia berpuasa selama empat puluh hari, itu juga kalau beruntung. Bisa saja jadi buntung, saat nifasnya kamu menjadi enam puluh hari, ha ha ha.... "Bu Sundari berbalik badan dengan cepat. Ia tergelak dan tidak sanggup melihat wajah Munos yang pastinya sangat kesal dengan ocehan tidak jelasnya. "Mama mau lihat Abi dulu di kamarnya!" Seru Bu Sundari setelah kedua kakinya berada di luar kamar. Setelah pintu kamar tertutup rapat. Munos menghampiri Fani yang tengah memangku Fathia yang sudah pulas. Wajah Fathia sangat mirip dengan Munos, begitu juga Ibrahim. Tidak ada sedikit pun mengambil wajahnya yang biasa-biasa saja. Wajah anak kembarnya sedikit ke timur tengahan, persis bapak mereka. Lelaki itu duduk di samping Fani sambil memperhatikan wajah Fathia yang terlelap. "MasyaAllah, anak Bapak Munos kenapa cakep semua?" pria itu me
Kabar Fani yang sudah melahirkan sampai juga ke telinga si Mbok di kampung. Wanita paruh baya; ibu dari Tiyan. Si Mbok mendapatkan kabar itu dari orang tua Fani yang masih berhubungan baik dengan ibunya Tiyan itu. Bukan main senangnya si Mbok mendengar kabar Fani melahirkan anak kembar. Si Mbok bahkan pergi ke pemakaman Tiyan untuk menceritakan kabar gembira ini di pusara putra satu-satunya. Ia mengatakan akan pergi ke Jakarta untuk menjenguk Fani dan bayi kembarnya. "Bu, sudah, jangan nangis terus. Ini sudah bertahun-tahun berlalu, Ibu masih saja menangis saat di pusara Tiyan. Kasihan Tiyan, Bu. Ikhlaskan ya." "Iya, Pak, saya hanya terharu saja." Wanita yang biasa dipanggil si Mbok oleh Fani dan Tiyan itu bernama asli Darsih. Semenjak Fani kembali ke Jakarta dan menikah dengan Munos, Bu Darsih tinggal sendiri di kampung. Ditemani keponakannya. Namun setahun lalu, Bu Darsih yang masih berusia empat puluh delapan tahun ini dijodohkan dengan seorang duda anak tiga, untuk menemani ha
Fani merapikan mukenanya setelah selesai sholat isya, malam ini suaminya lembur kemudian ia mengambil ponsel, melihat pesan masuk, apakah ada dari suaminya? Ternyata Munos baru saja mengirim pesan bahwa Munos baru akan pulang dari kantor, dan menanyakan pada Fani, mau dibelikan apa untuk oleh-oleh saat pulang.[Mau bapak saja.][Hahahaha..awas ya, Buu]Fani terkekeh membaca balasan pesan suaminya. Kehamilan ketiga ini dirasanya sangat berbeda. Tanpa ngidam berlebihan dan mual muntah juga yang biasa saja. Hanya seluruh tubuhnya, seakan tak rela jika berjauhan lama dengan suaminya. Kalau kata reader mah, bucin. Aah..ntah dari mana dimulainya perasaan bahagia ini, yang jelas dikehamilan ketiga ini, Fani merasa dipenuhi cinta dari kedua mertuanya, dari orangtuanya,khususnya sang suami yang bersiap siaga kapan pun mengabulkan keinginan dirinya. Fani tengah menemani Abi bermain lempar tangkap bola. Usia Abi yang sudah memasuki enam belas bulan, dan kandungan Fani sudah menginjak empat bula
Wanita itu menggelengkan kepala dengan air mata yang bercucuran dengan sangat deras. Saat melihat celah lalai lelaki di depannya, Fani bermaksud berlari turun dari ranjang, tetapi dengan cepat Munos mencekal tangan Fani dan menghempaskannya kembali ke atas ranjang.Secepat itu juga Munos menindih tubuh lemah Fani dengan tubuh besarnya. Wanita itu semakin kalang-kabut ketakutan. Terus saja ia memukul badan Munos dengan kedua tangannya. Ingin sekali ia menendang lelaki bajungan ini, tetapi tidak bisa karena kedua kakinya terkunci.“Aku sangat menginginkanmu, Risti. Ayo, kita membuat anak,” bisik Munos yang sudah mencium leher Fani dengan rakus.“Pak, saya Fani, bukan Risti, tolong jangan apa-apakan saya,” rintih Fani penuh permohonan, tetapi sayang. Munos sudah gelap mata dan dengan garangnya ia merobek pakaian Fani, hingga menyisakan bra saja dan rok. Dengan gemas Munos mulai mencicipi tubuh wanita yang kesadarannya hampir hilang.“Jangan, Pak. Jangan!” terjadilah hal menyedihkan di
Fani menjadi salah satu karyawan yang sangat beruntung. Dari delapan orang pelamar yang ditraining, Fani diterima sebagai karyawan kontrak. Ada tiga orang yang terpilih. Yaitu dirinya, Samuel, dan juga Seli. Fani betugas di bagian resepsionis dan dua teman lainnya di bagian yang lain. Semakin hari, semakin baik Fani belajar menjadi seorang resepsionis yang professional dan cekatan. Dia juga semakin mahir berdandan dengan make up tipis, tetapi tetap anggun dengan sanggul cantik setiap harinya. Tutur bahasanya juga semakin halus, berikut kemampuan bahasa Inggrisnya. Saat ini Fani memilih kembali ngekos di dekat hotel. Hanya perlu berjalan kaki sepuluh menit dari rumah kosnya menuju hotel. Walau biaaya kos cukup tinggi karena berada di pusat kota, tetapi itu lebih baik daripada ia harus pulang pergi. Jika dapat shift malam, maka akan sangat kerepotan jadinya.Seperti malam ini, ia kebagian jaga dari pukul delapan malam sampai pukul tujuh pagi. Ritme kerja yang baru ia lakoni ini, mema
Fani mengembuskan napas lega. Membuka mulutnya begitu lebar, agar mendapat asupan oksigen yang cukup banyak. Bukannya simpati, Ratih, Andra, dan Mas Rahman malah menertawakannya saat ditegur tadi.“Awas loh, Fan. Kamu udah ditandai. Sayang aja Pak Munos udah mau nikah. Kalau tidak, kamu bisa mencoba menggodanya,” ujar Mbak Ratih sambil terkekeh geli.“Ish, walau saya jelek. Pak Munos bukan tipe saya, Mbak. Saya sukanya tipe lelaki lemah lembut, kayak tempe mondoan,” balas Fani dengan tawa renyahnya.Tepat pukul delapan malam, ia sudah kembali lagi berada di atas motor ojek online. Sepanjang jalan, ia terus saja memikirkan hari pertama bekerja yang sungguh sangat luar biasa. Semoga training sepekan yang ia ikuti ini bisa memberikan hasil yang baik untuknya dan juga keluarganya.Tak sabar rasanya menunggu esok. Hari kedua mencoba tutorial make up yang sudah diajarkan Mbak Andra padanya. Tiba di rumah lampu ruang depan sudah padam. Itu tandanya bapak, ibu, dan adiknya sudah tidur. Su
Fani berdiri dengan sangat tegang di samping resepsionis senior yang berjaga saat ini. Semua kejadian di awal pagi tadi, sukses membuatnya tak bersemangat dan sangat canggung saat diwawancara tadi. Namun, dia harus mencoba berhusnudzon, bahwa hal seperti tadi hanyalah sebuah ujian sebelum ia benar-benar terjun bekerja di sini. Satu hal yang harus selalu ia ingat, bahwa jangan sampai ia mengulangi kesalahan yang sama. Tidak boleh ceroboh dan satu lagi yang harus ia ingat. Lelaki yang memarahinya di depan hotel dan yang ia tabrak tubuhnya tadi pagi adalah bos pemilik hotel yang bernama Munos karim. Semoga lelaki itu tidak mengingat wajahnya. Fani bermonolog sambil memandang lalu-lalang orang yang keluar masuk hotel.“Fani, senyumnya jangan kaku, seperti menahan buang air. Kenapa jadi seperti ngeden gitu senyumnya?” tegur Ratih;resepsionis yang berdiri di sampingnya.“Eh, iya Mbak Ratih. Saya akan coba tersenyum manis,” jawab Fani dengan tak enak hati.“Nih, anggap saja tamu yang ber