"Pak, sa...ya..ti..tiip..anak dan..." Tiyan menarik nafas."Istri...s-saya..ngi..mere..ka..to..long," ucap Tiyan terbata. Munos meneteskan air mata iba. "Saya berjanji, Mas," ucap Munos pelan, karena ia juga menahan air mata."Maas....ya Allah...ya Allah..Mas.. Dokteerr!" jerit Fani histeris sambil memanggil dokter, saat nafas suaminya semakin terengah-engah."Aku...men..cintaiimuu..De..saa..ngaatt...." Air mata Tiyan menetes, nafasnya semakin sesak.Dokter datang memeriksa mencoba segala cara."Asyhadu allaa..ilaa..ha illallah..wa asyhadu annaa muhammadarrasulullah. "Ttiiiiiiit!"Innaalillahi wa inaa ilaihii rooji'un. "Ucap dokter dan perawat."Tidak!Ya Allah.....ya Allah...Mas, jangan tinggalkan aku Mas!" Fani menjerit histeris, Munos berusaha menenangkan dengan merangkulnya, namun tenaga Fani begitu kuat, dada Munos dipukuli oleh Fani."Ini semua gara-gara kamu! Kamu pembunuh! Kamu pembunuh! Aku benci kamu! Pergiiiiiii!" "Faaan...tenang!" Munos masih merangkul Fani walaupun Fani
Lima Bulan KemudianPerut Fani sudah tampak membuncit di usia kehamilan menginjak lima bulan. Senyum selalu terkembang di bibirnya takkala berbicara atau sekedar mengusap perutnya. Sore ini, Fani tengah duduk di depan mesin jahitnya, fokus mengerjakan sesuatu."Permisi, paket!" suara seorang pria di depan pintu rumahnya.Fani membuka pintu lebar, tampak sang kurir pengantar membawa kotak yang cukup besar yang terbungkus kertas kado yang lucu.Dari : Oma Sundari JakartaFani tersenyum saat tahu siapa pengirim semua barang-barang itu. Sejak meninggalnya Tiyan, Bu Sundari dan Pak Karim rutin mengirimkan barang apa saja kepada Fani, mereka juga rutin menelepon dan juga video call menanyakan kabar Fani dan kandungannya.Setelah mengucapkan terimakasih, Fani masuk dan penasaran segera membuka kotak besar tersebut."Apa itu, Nduk?" tanya si mbok ikut duduk bersama Fani di karpet depan ruang tv."Dari Bu Sundari, Mbok," sahut Fani dengan senyuman. Ibu Tiyan kini tinggal bersama Fani, menemani
"Ya Allah, ya nggak, Fan." Munos mengusap dadanya kaget mendengar sindiran Fani barusan. Tidak ada pembicaraan lagi setelahnya, Fani membungkam mulutnya, begitu juga dengan Munos, ia tidak ingin salah bicara lagi yang bisa mengakibatkan Fani marah."Bapak ga ke kantor?" tanya Fani berbasa-basi saat kini mereka tengah dalam perjalanan.Kota Malang memang tak semacet Jakarta atau Bandung, Fani masih dapat menikmati pemandangan sepanjang perjalanan."Tidak, hari ini saya sengaja libur, paling nanti sore ke proyek, ada perlu dengan Pakde Warmo."Fani mengangguk, tak ada percakapan lagi."Apakah dia sudah mulai bergerak?" tanya Munos menatap perut Fani yang membuncit."Sudah.""Mm...apa saya boleh merasakan gerakannya?" tanya Munos pelan."Tidak!"Bahu Munos melorot, baiklah Fani memang belum bisa benar-benar berdamai dengan dirinya. Bisa seperti ini saja sudah luar biasa sudah alhamdulillah.Beep!Beep!Ponsel Munos berdering.[Hallo Assalamualaikum, Mah][Iya sudah tadi malam, ini sekara
"Kalau Bapak bicara seperti itu lagi, sebaiknya kita tidak perlu bertemu lagi!" ucap Fani ketus sambil memandang jalanan, menghindari tatapan Munos yang terkadang menggoyahkan imannya."Jangan begitu, Bu." Munos akhirnya mengalah."Jangan panggil saya ibu!""Kenapa?""Bukankah kamu calon ibu?""Aneh kalau itu keluar dari mulut bapak!"Fani bersungut manyun. Munos malah merasa wajah manyun itu sangat menggemaskan."Trus kenapa kamu manggil saya bapak?" Munos kembali bertanya dengan tatapan gemasnya."Karena memang dari awal saya manggilnya bapak.""Kalau gitu biar saya manggil kamu ibu, baru pas!""Kecuali kalau kamu ganti panggilan saya menjadi 'sayang'," lanjut Munos sambil menggoda Fani."Ngaco!""Udah ah saya mau pulang!" Fani sudah berdiri dari duduknya. "Aaauuu..." perutnya kembali nyeri."Tuhkaan..marah-marah melulu sih, jadi debaynya protes," ucap Munos bermaksud memapah Fani keluar dari restoran."Lepas!" Fani menghalau tangan Munos."Aaauu...ssstt," rintih Fani lagi."Kamu ke
"Temani Fani, Nak!" pinta si Mbok dengan begitu yakin. Munos mengangguk, lalu masuk ke ruang persalinan. Lelaku itu menemani Fani, memberinya semangat, padahal ia sendiri susah payah menopang tubuhnya agar tidak pingsan di ruang operasi."Sayang, kamu pasti bisa, ada aku di sini.""Aku bukan sayang kamu, ocehan apa itu!" protes Fani tidak terima dengan ucapan Munos. Wanita yang tengah berjuang menahan mulas itu, sungguh sebal dengan Munos dan juga mulut lelaki itu. Seandainya tidak sedang mulas, tentulah ia sudah mencekek sampai mati, duda bantet seperti Munos."Ayo, Bu. Tarik nafas, hembuskan, dorong!""Huuu...aaaahhh...""Ayo Bu, sedikit lagi.""Huuu...aaaahhhh...""Ooeek..oooeek... Alhamdulillah," ucap dokter, perawat, dan Munos bersamaan.Bayinya lahir dengan selamat dan sempurna, tanpa perlu operasi cesar."Ya Allah dok, pasien pendarahan!" dokter dan seluruh perawat di dalam ruangan sibuk, mondar mandir membawa berkantong-kantong darah. Melakukan yang terbaik untuk keselamatan
Dengan mahir Munos menggendong Abi yang baru saja menangis, saat malam menjelang. Sepulang kantor, Munos menyempatkan diri mampir ke rumah Fani, hendak menjenguk cintanya, juga Abi, yang saat ini juga telah mencuri hatinya.Entah sejak kapan, mungkin saat masih di dalam perut sang ibu, Munos sudah jatuh hati dengan sang bayi tampan. Bahkan sang bayi seakan mengenal Munos dengan baik, saat mendengar suaranya saja, maka bayi di dalam perut ibunya itu bergerak dengan sangat lincah, mengingat itu Munos tersenyum gembira.Munos masih menimang-nimang Abi yang mulai terlelap, sedangkan Fani saat ini tengah duduk di sofa menahan kantuk. Sedari pagi, Abi terus terjaga, hanya menyusui dan menyusu lagi, padahal malam hari, Abi juga membuat Fani bergadang semalaman."Tidurlah Bu, biar saya yang gendong Abi!" titah Munos menatap wajah Fani yang sangat kelelahan, ditambah kantung mata yang berwarna hitam, tentulah Fani terjaga sepanjang malam begadang menunggui Abi."Iya Pak, saya lelah banget hari
Empat puluh hari sudah usia Abi, tubuhnya semakin montok, pipinya bulat dengan lesung pipi di sebelah kiri, menambah gemas orang-orang yang melihatnya. Fani menyusuinya secara eksklusif, sehingga pertumbuhan Abi sangat baik. Abi juga kini sudah mengenali orang-orang di sekitarnya. Saat melihat wajah mbahnya maka dia tersenyum, jika melihat wajah Fani apalagi, Abi sudah sangat mengenalnya. Lalu bagaimana dengan Munos, Abi bahkan sangat bergantung pada Munos, saat malam Abi hanya akan tertidur bila sudah di gendong Munos.Munos sangat menyayangi Abi seperti anaknya sendiri, membelikan banyak mainan dan selalu menggendongnya. Setiap malam, sudah tiga pekan ini, Munos selalu datang setelah isya, karena jadwal tidurnya Abi setelah isya. [Hari ini saya ada meeting, jadi terlambat ke rumah ya]Isi pesan singkat Munos pada Fani, Fani membaca dan membalasnya."Oke."Munos tersenyum getir, Fani masih bersikap dingin padanya, meskipun setiap hari Munos bertandang ke rumahnya, memberi perhatia
"Bapak ke mana ya Bi, kok tumben ga kirim pesan atau telpon?" gumam Fani pada Abi yang kini tengah asik menyusu padanya."Apa aku yang kirim pesan duluan ya. Ah..gak deh, nanti malah dia ke GR-an!" Fani masih bermonolog dengan dirinya sendiri.Begitu juga dengan Abimayu, seharian ini rewel dan menangis, tetapi badannya tidak hangat, buang airnya juga normal. Entah apa yang kini Abi rasakan sehingga begitu tak nyaman. Hingga malam tiba, tak ada kabar apapun dari Munos. Fani mulai khawatir dan bicara pada si Mbok, bagaimana kalau Fani mendatangi apartemen Munos, namun si Mbok melarang, apalagi Fani belum selesai nifas, pamali kalau kata orang tua untuk bepergian. Fani masih terus mencoba menghubungi Munos di hari kedua namun tetap tak tersambung. "Ya Allah ada apa? Semoga Pak Munos baik-baik saja." Fani bergumam.Fani yang tak sabar akhirnya menghubungi Bu Sundari, yang masih dia panggil dengan sebutan mama."Hallo Assalamualaikum, Mah.""Wa'alaykumussalam, Anak mama, apa kabar? ""Se