"Bapak ke mana ya Bi, kok tumben ga kirim pesan atau telpon?" gumam Fani pada Abi yang kini tengah asik menyusu padanya."Apa aku yang kirim pesan duluan ya. Ah..gak deh, nanti malah dia ke GR-an!" Fani masih bermonolog dengan dirinya sendiri.Begitu juga dengan Abimayu, seharian ini rewel dan menangis, tetapi badannya tidak hangat, buang airnya juga normal. Entah apa yang kini Abi rasakan sehingga begitu tak nyaman. Hingga malam tiba, tak ada kabar apapun dari Munos. Fani mulai khawatir dan bicara pada si Mbok, bagaimana kalau Fani mendatangi apartemen Munos, namun si Mbok melarang, apalagi Fani belum selesai nifas, pamali kalau kata orang tua untuk bepergian. Fani masih terus mencoba menghubungi Munos di hari kedua namun tetap tak tersambung. "Ya Allah ada apa? Semoga Pak Munos baik-baik saja." Fani bergumam.Fani yang tak sabar akhirnya menghubungi Bu Sundari, yang masih dia panggil dengan sebutan mama."Hallo Assalamualaikum, Mah.""Wa'alaykumussalam, Anak mama, apa kabar? ""Se
Sorot mata tajam Munos kini tengah memperhatikan proses finishing dari proyek mega kos-kosan yang sedang dibangunnya. Sekelebat bayangan bagaimana tadiannya dia menolak keras perintah papanya untuk mengawasi proyek ini, dan meninggalkan hotel yang dipimpinnya. Tapi siapa sangka dengan dia ada disini, akhirnya dia kembali dipertemukan dengan Fani, wanita yang selama setahun ini dia cari-cari. Mungkinkah ia memang berjodoh, ataukah jodoh yang sedang mempermainkannya? Karena hingga saat ini tak ada tanda-tanda Fani akan kembali ke sisinya. Fani masih sangat mencintai suaminya.Pakde Warmo menghampiri Munos. "Kapan acara peresmiannya, Pak?" "Dua hari lagi, tolong bantu saya menyiapkan segalanya ya Pakde!" "Papa dan mama saya yang akan meresmikannya." Dua hari kemudian, Bu Sundari beserta suaminya sudah berada di kota Malang dalam acara peresmian mega kos-kosan yang dibangun oleh keluarga Karim. Tampak hadir beberapa relasi Pak Karim, Munos serta pejabat dan warga sekitar. Tak lupa Fan
Setahun Kemudian.Munos tengah duduk sarapan bersama dengan kedua orangtuanya, sekarang hari sabtu dan Munos tidak berangkat ke kantor. Bu Sundari membuatkan mie goreng lengkap dengan sambal goreng kentang ati sapi dan acar. Munos menatap masakan kesukaannya yang sama persis dengan Fani. Ah..bagaimana kabarnya Fani dan Abi hampir sebelas bulan sudah tidak pernah berkomunikasi lagi, karena nomor ponsel Fani yang tidak pernah aktif. Ingin rasanya mengunjungi Fani dan Abi, rasa rindu itu membuncah, namun Munos harus tahu diri, jika Fani enggan berhubungan dengannya."Kok bengong, Nak?" tanya Bu Sundari yang memperhatikan Munos, sedari tadi hanya memandangi makanan yang tertata di atas piringnya." Eh..iya, Ma.""Sedang memikirkan apa?" tanya papanya."Mmm...tak ada, Pa," kilahnya kini sembari menyendokkan nasi ke dalam mulutnya."Bagaimana perkenalanmu dengan Lusi?""Biasa aja, Pa Tak ada yang istimewa," sahutnya malas."Dengan Laura? Anaknya Pak Bimo?" tanya papa Munos lagi."Sama, bia
Flash BackAbi masih terus menangis. Dibujuk dan dirayu oleh Fani dan juga si mbok belum juga mau berhenti. Digendong dan juga sudah disusui asi, tetap saja masih sesegukan. Air matanya terus saja mengalir hingga membuat mata bayi itu sangat merah dan bengkak. Dari hidungnya juga keluar air karena menangis tiada henti. Fani dan si mbok iba dan cukup kaget denga reaksi yang diberikan Abi, begitu mobil Munos menghilang dari pekarangan rumah.Fani sudah kehabisan akal untuk menenangkan Abi. Ia pun merasa sedih yang sama, tetapi ia mencoba untuk menahannya. Bukan ia tak jujur pada diri sendiri. Selama ada Munos yang perhatian padanya dan juga Abi serta si mbok. Tentulah ia sangat berterima kasih. Ia pun kehilangan. Entah kehilangan sebagai saudara, atau teman. Untuk saat ini kesedihan yang anaknya rasakan, ia pun juga merasakannya."Fan, bawa keliling pakai sepeda. Bonceng di depan. Siapa tahu mau berhenti menangis," ujar si mbok saat melihat Abi tak kunjung mereda tangisnya. Fani pun men
Setahun Kemudian.Munos tengah duduk sarapan bersama dengan kedua orangtuanya, sekarang hari sabtu dan Munos tidak berangkat ke kantor. Bu Sundari membuatkan mie goreng lengkap dengan sambal goreng kentang ati sapi dan acar. Munos menatap masakan kesukaannya yang sama persis dengan Fani. Ah..bagaimana kabarnya Fani dan Abi hampir sebelas bulan sudah tidak pernah berkomunikasi lagi, karena nomor ponsel Fani yang tidak pernah aktif. Ingin rasanya mengunjungi Fani dan Abi, rasa rindu itu membuncah, namun Munos harus tahu diri, jika Fani enggan berhubungan dengannya."Kok bengong, Nak?" tanya Bu Sundari yang memperhatikan Munos, sedari tadi hanya memandangi makanan yang tertata di atas piringnya." Eh..iya, Ma. ""Sedang memikirkan apa?" tanya papanya."Mmm...tak ada, Pa," kilahnya kini sembari menyendokkan nasi ke dalam mulutnya."Bagaimana perkenalanmu dengan Lusi?" "Biasa aja, Pa! Tak ada yang istimewa." sahutnya malas."Dengan Laura? Anaknya Pak Bimo!"tanya papa Munos lagi."Sama, b
Kondangan yukk maak! Fani menatap takjub, ballroom hotel yang telah disulap menjadi tempat pernikahan yang begitu megah. Dulu saat ia bekerja sebagai resepsionis di hotel Munos. Fani pernah membayangkan bagaimana rasanya menjadi sepasang pengantin berbahagia menikmati acara di ballroom hotel mewah. Hiasan bunga disepanjang jalan menuju pelaminan, aroma yang menyeruak begitu memabukkan siapapun yang berada di dalamnya. Air matanya menggenang, bila teringat kembali peristiwa, hampir dua setengah tahun lalu. dimana ia juga menikah disini, dalam keadaan terpaksa, semua begitu indah namun menyesakkan. Kini ia kembali duduk di pelaminan megah ini, berdampingan dengan lelaki yang sama, lelaki yang dulu menikahinya dengan terpaksa. Fani melirik sekilas lelaki itu yang kini sudah resmi menjadi suaminya kembali. Lelaki yang saat ini betapa begitu melebarkan senyumnya kepada setiap tamu yang mengucapkan selamat. Usianya tak lagi muda, beberapa helai rambut putih mengintip dari balik topi peci
Setelah acara semua selesai Fani dan Munos masuk di kamar VVIP utama. Kamar yang sudah dihias begitu cantik dan mempesona. Banyak kelopak bunga mawar yang bertebaran di atas ranjang pengantinnya. Lengkap dengan hiasan sepadang handuk bentuk angsa yang ditata bentuk hati. Munos melihat Fani yang sedikit canggung saat berduaan saja dengannya di kamar. Sangat maklum. Munos memutuskan ia akan mandi terlebih dahulu. Meninggalkan Fani untuk meredakan rasa canggungnya. Munos keluar dengan hanya memakai handuk yang dililitkan di pinggangnya. Fani melotot kaget, wajahnya bersemu merah. Masih dengan pakaian pernikahan lengkap Fani mencoba melepaskan satu persatu hiasan di kepalanya yang dilapisi hijab. Munos dengan sengaja menghampiri Fani, berdiri di depan istrinya yang malu-malu."Ish...kenapa harus berdiri disitu, Pak?" gerutu Fani sambil mengalihkan pandangannya, tak berani menatap Munos dengan tampilan seperti itu. Jantungnya saja serasa maraton, Fani takut dia tidak bisa menguasai kejol
Munos bangun dengan tubuh segar, setelah semalam puas tertidur memeluk istrinya hingga shubuh, sesekali senyumnya terbit mengingat kejadian konyol semalam. Sehabis mandi Munos langsung melaksanakan sholat shubuh, hampir setengah enam karena dia terlalu pulas tidur semalaman. Tidur paling berkualitas yang hampir dua tahun ini tak ia rasakan lagi.Munos membuka pintu kamar dan sudah menyaksikan pemandangan yang sangat indah di ujung sana. Wanitanya sedang memasak sarapan dan anaknya sedang duduk di babychair asik memakan roti. Wanitanya memakai baju kaos besar dengan dipadukan celana motif kotak-kotak warna biru berbahan katun. Rambutnya masih digelung dengan handuk, lehernya putih begitu menggoda ingin segera digigit. Munos berjalan mendekati Fani yang masih serius membuat bihun goreng dan ayam goreng cryspy untuk sarapan keluarganya. Mumpung ayah dan ibu mertuanya menginap. Tetapi mereka belum keluar kamar.Munos melingkarkan kedua lengannya di pinggang Fani, menempatkan dagunya di p
Pertemuan mengharu-biru antara si Mbok, Fani, dan Munos pun tidak terelakkan. Ditambah melihat cucunya tumbuh sehat, montok, dan tampan; Abi; cucu satu-satunya yang diurus Munos dan Fani dengan sangat baik dan penuh kasih sayang. Bu Darsih tidak bisa menahan air mata kerinduan sekaligus haru. Bu Sundari pun sama terharunya dengan anak menantunya. Bagi Bu Sundari, ibu dari Tiyan adalah keluarga, bukan orang lain. Bu Sundari tidak akan pernah bisa membalas kebaikan almarhum Tiyan dan ibunya yang sudah mau menerima Fani dahulu apa adanya. "Mbah jangan nangis," kata Abi yang kini sudah di pangkuan Bu Darsih. "Mbah nangis bukan karena sedih, tapi karena senang ketemu Abi dan adik kembar. Duh, pipi Abi kayak bakpao coklat. Makannya apa, Nak?" Bu Darsih mencium gemas pipi cucunya. "Minum susunya kuat sekali, Mbak. Ya ampun, nyedot botol terus, padahal udah mau sekolah." Bu Sundari menjawab sambil tersenyum. "Pantas saja pipinya gembul. Perutnya juga ndut. Aduh, Mbah senang sekali lihat
Bu Darsih sudah sampai di Stasiun Gambir pukul delapan pagi. Perjalanan dari Malang menuju Jakarta memang memakan waktu kurang lebih tiga belas jam dengan kereta api. Semalam Bu Darsih berangkat dari Stasiun Malang Kota Lama pukul tujuh malam. Dengan dibantu jasa dua porter, Bu Darsih menurunkan semua barang bawaannya sampai di pintu keluar. Masing-masing porter diberikan uang tujuh puluh lima ribu rupiah oleh wanita itu, sengaja ia lebihkan karena porter stasiun yang mengangkut barangnya mungkin seumuran suaminya. Tidak tega ia memberikan pas ataupun menawar dengan harga sangat rendah, karena ia teringat akan suaminya yang juga bekerja hanya sebagai buruh. "Bu." Gadis berwajah manis menepuk pundak Bu Darsih dengan riang. "Ya ampun, kamu bikin kaget Ibu saja. Udah lama nunggu?""Nggak, Bu, baru sepuluh menit. Ibu udah sarapan belum?" tanya Hesti. "Belum.""Sama, Hesti juga belum, emang sengaja nunggu Ibu, biar ditraktir." Gadis itu menggandeng tangan Bu Darsih, lalu membawanya ke
"Mama tadi bilang, Fani harus cukup istirahat. Jika si Kembar tidur, maka Fani juga harus tidur. Gak usah pedulikan bayi tua yang suka iseng gangguin. Biarkan ia berpuasa selama empat puluh hari, itu juga kalau beruntung. Bisa saja jadi buntung, saat nifasnya kamu menjadi enam puluh hari, ha ha ha.... "Bu Sundari berbalik badan dengan cepat. Ia tergelak dan tidak sanggup melihat wajah Munos yang pastinya sangat kesal dengan ocehan tidak jelasnya. "Mama mau lihat Abi dulu di kamarnya!" Seru Bu Sundari setelah kedua kakinya berada di luar kamar. Setelah pintu kamar tertutup rapat. Munos menghampiri Fani yang tengah memangku Fathia yang sudah pulas. Wajah Fathia sangat mirip dengan Munos, begitu juga Ibrahim. Tidak ada sedikit pun mengambil wajahnya yang biasa-biasa saja. Wajah anak kembarnya sedikit ke timur tengahan, persis bapak mereka. Lelaki itu duduk di samping Fani sambil memperhatikan wajah Fathia yang terlelap. "MasyaAllah, anak Bapak Munos kenapa cakep semua?" pria itu me
Kabar Fani yang sudah melahirkan sampai juga ke telinga si Mbok di kampung. Wanita paruh baya; ibu dari Tiyan. Si Mbok mendapatkan kabar itu dari orang tua Fani yang masih berhubungan baik dengan ibunya Tiyan itu. Bukan main senangnya si Mbok mendengar kabar Fani melahirkan anak kembar. Si Mbok bahkan pergi ke pemakaman Tiyan untuk menceritakan kabar gembira ini di pusara putra satu-satunya. Ia mengatakan akan pergi ke Jakarta untuk menjenguk Fani dan bayi kembarnya. "Bu, sudah, jangan nangis terus. Ini sudah bertahun-tahun berlalu, Ibu masih saja menangis saat di pusara Tiyan. Kasihan Tiyan, Bu. Ikhlaskan ya." "Iya, Pak, saya hanya terharu saja." Wanita yang biasa dipanggil si Mbok oleh Fani dan Tiyan itu bernama asli Darsih. Semenjak Fani kembali ke Jakarta dan menikah dengan Munos, Bu Darsih tinggal sendiri di kampung. Ditemani keponakannya. Namun setahun lalu, Bu Darsih yang masih berusia empat puluh delapan tahun ini dijodohkan dengan seorang duda anak tiga, untuk menemani ha
Fani merapikan mukenanya setelah selesai sholat isya, malam ini suaminya lembur kemudian ia mengambil ponsel, melihat pesan masuk, apakah ada dari suaminya? Ternyata Munos baru saja mengirim pesan bahwa Munos baru akan pulang dari kantor, dan menanyakan pada Fani, mau dibelikan apa untuk oleh-oleh saat pulang.[Mau bapak saja.][Hahahaha..awas ya, Buu]Fani terkekeh membaca balasan pesan suaminya. Kehamilan ketiga ini dirasanya sangat berbeda. Tanpa ngidam berlebihan dan mual muntah juga yang biasa saja. Hanya seluruh tubuhnya, seakan tak rela jika berjauhan lama dengan suaminya. Kalau kata reader mah, bucin. Aah..ntah dari mana dimulainya perasaan bahagia ini, yang jelas dikehamilan ketiga ini, Fani merasa dipenuhi cinta dari kedua mertuanya, dari orangtuanya,khususnya sang suami yang bersiap siaga kapan pun mengabulkan keinginan dirinya. Fani tengah menemani Abi bermain lempar tangkap bola. Usia Abi yang sudah memasuki enam belas bulan, dan kandungan Fani sudah menginjak empat bula
Wanita itu menggelengkan kepala dengan air mata yang bercucuran dengan sangat deras. Saat melihat celah lalai lelaki di depannya, Fani bermaksud berlari turun dari ranjang, tetapi dengan cepat Munos mencekal tangan Fani dan menghempaskannya kembali ke atas ranjang.Secepat itu juga Munos menindih tubuh lemah Fani dengan tubuh besarnya. Wanita itu semakin kalang-kabut ketakutan. Terus saja ia memukul badan Munos dengan kedua tangannya. Ingin sekali ia menendang lelaki bajungan ini, tetapi tidak bisa karena kedua kakinya terkunci.“Aku sangat menginginkanmu, Risti. Ayo, kita membuat anak,” bisik Munos yang sudah mencium leher Fani dengan rakus.“Pak, saya Fani, bukan Risti, tolong jangan apa-apakan saya,” rintih Fani penuh permohonan, tetapi sayang. Munos sudah gelap mata dan dengan garangnya ia merobek pakaian Fani, hingga menyisakan bra saja dan rok. Dengan gemas Munos mulai mencicipi tubuh wanita yang kesadarannya hampir hilang.“Jangan, Pak. Jangan!” terjadilah hal menyedihkan di
Fani menjadi salah satu karyawan yang sangat beruntung. Dari delapan orang pelamar yang ditraining, Fani diterima sebagai karyawan kontrak. Ada tiga orang yang terpilih. Yaitu dirinya, Samuel, dan juga Seli. Fani betugas di bagian resepsionis dan dua teman lainnya di bagian yang lain. Semakin hari, semakin baik Fani belajar menjadi seorang resepsionis yang professional dan cekatan. Dia juga semakin mahir berdandan dengan make up tipis, tetapi tetap anggun dengan sanggul cantik setiap harinya. Tutur bahasanya juga semakin halus, berikut kemampuan bahasa Inggrisnya. Saat ini Fani memilih kembali ngekos di dekat hotel. Hanya perlu berjalan kaki sepuluh menit dari rumah kosnya menuju hotel. Walau biaaya kos cukup tinggi karena berada di pusat kota, tetapi itu lebih baik daripada ia harus pulang pergi. Jika dapat shift malam, maka akan sangat kerepotan jadinya.Seperti malam ini, ia kebagian jaga dari pukul delapan malam sampai pukul tujuh pagi. Ritme kerja yang baru ia lakoni ini, mema
Fani mengembuskan napas lega. Membuka mulutnya begitu lebar, agar mendapat asupan oksigen yang cukup banyak. Bukannya simpati, Ratih, Andra, dan Mas Rahman malah menertawakannya saat ditegur tadi.“Awas loh, Fan. Kamu udah ditandai. Sayang aja Pak Munos udah mau nikah. Kalau tidak, kamu bisa mencoba menggodanya,” ujar Mbak Ratih sambil terkekeh geli.“Ish, walau saya jelek. Pak Munos bukan tipe saya, Mbak. Saya sukanya tipe lelaki lemah lembut, kayak tempe mondoan,” balas Fani dengan tawa renyahnya.Tepat pukul delapan malam, ia sudah kembali lagi berada di atas motor ojek online. Sepanjang jalan, ia terus saja memikirkan hari pertama bekerja yang sungguh sangat luar biasa. Semoga training sepekan yang ia ikuti ini bisa memberikan hasil yang baik untuknya dan juga keluarganya.Tak sabar rasanya menunggu esok. Hari kedua mencoba tutorial make up yang sudah diajarkan Mbak Andra padanya. Tiba di rumah lampu ruang depan sudah padam. Itu tandanya bapak, ibu, dan adiknya sudah tidur. Su
Fani berdiri dengan sangat tegang di samping resepsionis senior yang berjaga saat ini. Semua kejadian di awal pagi tadi, sukses membuatnya tak bersemangat dan sangat canggung saat diwawancara tadi. Namun, dia harus mencoba berhusnudzon, bahwa hal seperti tadi hanyalah sebuah ujian sebelum ia benar-benar terjun bekerja di sini. Satu hal yang harus selalu ia ingat, bahwa jangan sampai ia mengulangi kesalahan yang sama. Tidak boleh ceroboh dan satu lagi yang harus ia ingat. Lelaki yang memarahinya di depan hotel dan yang ia tabrak tubuhnya tadi pagi adalah bos pemilik hotel yang bernama Munos karim. Semoga lelaki itu tidak mengingat wajahnya. Fani bermonolog sambil memandang lalu-lalang orang yang keluar masuk hotel.“Fani, senyumnya jangan kaku, seperti menahan buang air. Kenapa jadi seperti ngeden gitu senyumnya?” tegur Ratih;resepsionis yang berdiri di sampingnya.“Eh, iya Mbak Ratih. Saya akan coba tersenyum manis,” jawab Fani dengan tak enak hati.“Nih, anggap saja tamu yang ber