159. TANGISAN USMAN DAN ELLENA (Bagian B)"Ibra sama Om Galuh dulu, ya. Mama mau antar Bang Aksa ke kamar," ujar Ambar pada anaknya.Ibra mengangguk patuh dan langsung berlari menuju ke arah Galuh, dia terlihat menggelayut manja di pangkuan adik iparku itu."Galuh, habis ini makan sama Bang Usman ya." Ambar berucap tegas, sambil berlalu.Aku dan Galuh berpandangan lalu dia mengangkat bahu pertanda tak bisa melawan perintah Ambar. Melihat itu aku langsung bergegas menyusul Ambar, tidak enak rasanya melihat dia harus menggendong tubuh anakku yang sudah beranjak besar."Kamar Abang yang mana?" tanya Ambar sambil menatapku. "Yang tengah, itu dulu kamar Abang. Sekarang kosong, tapi kalau Abang lagi nginep di sini Abang akan tidur di situ," balasku pelan, sambil membuka pintu kamar. Dan alangkah terkejutnya aku saat aku membuka pintu, pemandangan yang pertama kali kulihat adalah keberadaan istriku yang sedang berada di atas ranjang. Dan dengan santai dia tengah memainkan ponselnya, sambi
Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas160. MASIH BELUM BISA MENERIMA (Bagian A)POV ELLENABukankah mempunyai keluarga yang lengkap adalah impian semua orang? Dulu aku merasa sangat bahagia, hidupku terasa sempurna, mempunyai keluarga yang hangat dan juga saling menyayangi satu sama lainnya.Mempunyai suami yang tampan, baik, perhatian, dan juga setia serta bertanggung jawab seperti Bang Galuh. Mertua dan ipar yang baik, penyayang dan juga kompak, juga Abang kandungku satu-satunya yang baik, dan selalu bisa melindungiku. Dan yang terpenting adalah kedua orang tuaku yang menyayangi dan juga bisa mengayomi kami, orang tua terbaik di dunia. Itulah yang sering aku katakan pada orang lain tentang penggambaran Ibu dan Bapak di mataku.Orang tua yang selalu bisa adil, dan juga bijaksana. Mereka tidak pernah membedakan kasih sayang maupun materi yang mereka berikan antara aku dan Bang Usman.Mereka selalu bisa menempatkan posisi mereka di garis netral, tidak berat sebelah dan juga selalu
161. MASIH BELUM BISA MENERIMA (Bagian B)Rasanya bahkan lebih sakit dari yang tadi, mungkin tadi aku tidak bisa menangis lepas di depan Ibu. Tapi saat di depan Bulek Rosma, entah kenapa aku sama sekali tidak bisa menahan tangisanku.Aku bisa merasakan keberadaan Bulek Rosma di sampingku, ranjangku bergoyang pelan saat dia membawa aku ke dalam pelukannya. Dengan lembut dia menepuk punggungku, dan membisikkan kata-kata agar aku sabar dan kuat."Cup, cup, jangan di tahan, Nduk. Tapi kamu harus janji, ini terakhir kalinya kamu menangis. Bisa?" tanya Bulek Rosma padaku.Aku menggeleng pelan, dan Bulek Rosma sontak terkekeh karenanya."Oalah, piye iki?" katanya heran."E—ellen sedih, Bulek," ujarku dengan terbata-bata."Lah, yo Bulek juga sedih. Kehilangan Mas dan Mbak ku sekaligus. Pakdemu, Mas Burhan sudah mendahului kami, dan sekarang Bapakmu. Bulek sekarang sendirian, kamu masih mending punya Usman," kata Bulek Rosma.Nada suaranya terdengar biasa, namun aku tahu dia pasti juga meras
Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas162. MENUNTUT WARISAN (Bagian A)"Kak, ngapain di situ? Ngalangin jalan aja," Aku dan Bang Galuh sontak menoleh ke belakang dan kami langsung bisa melihat seorang gadis manis, tengah berdiri sambil membawa nampan.Wajahnya merengut lucu, dia terlihat kelelahan. Keringat kecil muncul di wajahnya yang ayu."Minggir," katanya ketus."Lala! Jaga sikapmu!" kataku spontan.Dia berhenti dan berbalik, sambil merengut sepupu jauhku itu menunduk dan kemudian berbisik lirih."Maaf," cicitnya hampir tidak terdengar."Lain kali jangan diulangi, atauuuuu …." "Iya, iya, nggak akan Lala ulangi!" katanya sambil cemberut.Dia langsung bergegas meletakkan nampan berisi beberapa gelas kotor itu ke atas wastafel, dan berbalik pergi sambil melewatiku lagi."Dasar galak! Untung sering ngasih uang jajan!" katanya sambil mengejek.Dan aku hanya bisa menghela nafas panjang saat mendengarnya, dasar sepupu tidak ada akhlak!"Dek, ngapain di situ? Masuk," ujar Bang Usman
163. MENUNTUT WARISAN (Bagian B)"Yang di peringgannya tanah Kek Soleh, mau Uwak jual untuk biaya Abangmu membuka usaha," katanya lagi."Loh, bukannya tanah yang di samping Atuk Soleh itu di bayar ya? Itu bukan dari Nenek!" balasku dengan tajam."Siapa yang bilang?" tanya Wak Nurma dengan ketus. “Itu dari nenekmu, dari Ibuku!" katanya lagi.“Lah, Aku dan Bang Usman bahkan ikut ke sana waktu membayar tanah itu pada nenek!" kataku tegas.“Tidak, itu warisan dari Nenekmu. Dan Uwak punya hak juga di situ!” katanya semakin ketus."Maaf, ya Wak, bukannya saya mau ikut campur. Tapi tidak elok rasanya kita membicarakan perkara harta saat ini, padahal Bapak dan Ibu baru sore tadi di kebumikan," ujar Bang Galuh dengan tegas."Wah, wah, ini lah sebabnya makanya aku tidak mau orang luar ikut campur dalam masalah keluarga kita!" kata Wak Nurma dengan ketus. "Jangan kau pikir, kau punya hak untuk bicara Galuh!" ujar Wak Nurma lagi.Bang Galuh hanya diam dan tidak menanggapi ucapan Wak Nurma yang ak
Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas164. KERIBUTAN DI PAGI HARI (Bagian A)Tidak terasa sudah tiga hari Bapak dan Ibu meninggalkan kami semua, sisa kesedihan masih terlihat jelas. Bisa dilihat dari suasana mendung yang masih menggelayuti wajah kami.Pagi ini, aku dan Bulek Rosma memasak sayur asam untuk menu sarapan kami pagi ini. Bulek Rosma terlihat sekali sedang berusaha menghiburku dengan guyonan-guyonannya yang receh, namun entah kenapa selalu mampu membuat aku tertawa lepas.Aku bersyukur, setidaknya aku masih dikelilingi orang-orang baik seperti Bulek Rosma dan juga yang lainnya. "Nduk, kamu yang buat sambal terasinya, ya," ujar Bulek Rosma di sela-sela kegiatan kami. "Bulek rindu sama sambal terasi kamu yang jos banget itu," katanya lagi, kali ini sambil terkekeh kecil."Bulek, beneran pengen? Atau cuma ngejek aku?" tanyaku manyun."Loh, kok di bilang ngejek? Di bagian mana dari kata-kata Bulek tadi, yang kamu anggap ngejek?" tanyanya, namun lagi-lagi sambil terkekeh."Na
165. KERIBUTAN DI PAGI HARI (Bagian B)Ya, Kak Ika dan Kak Nuri merupakan sahabat sejak kecil, kebetulan rumah mereka berada di kampung yang sama. Dan berjodoh pula dengan dua orang lelaki yang memang bersaudara.Untung saja, Kakak Iparku itu tidak mempunyai sifat seperti Kak Nuri. Kalau sampai itu terjadi, bisa-bisa kami bertengkar setiap saat dan membuat hubungan persaudaraan aku dan Bang Usman merenggang."Tanya saja sama mereka ini, kok bisa-bisanya pagi-pagi begini sudah membuat keributan, dan mengganggu tidur kita!" ujar Wak Nurma semakin ketus sambil menunjuk aku dan Bulek Rosma."Loh, kok jadi kami yang salah, Kak?" tanya Bulek tidak terima.Aku masih diam dan tidak menanggapi, dengan santai aku menggoreng bahan-bahan yang aku butuhkan untuk membuat sambal terasi yang diminta oleh Bulek Rosma. Tidak memperdulikan suara-suara sumbang yang berdengung indah di belakangku, suara Kak Nuri dan juga Wak Nurma masih mendominasi percakapan."Ya Bulek seharusnya mengerti, dong. Aku dan
Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas166. KELUARGA KAK IKA (Bagian A)"Oi!"Wak Nurma berhenti berjalan dan langsung menatapku dengan pandangan tajam, dia berbalik dan berdiri menghadapku dari jarak sekitar tiga meter."Apa kamu bilang tadi?" tanyanya pelan. "Oi? Sejak kapan keponakan Uwak menjadi tidak sopan seperti ini?" ujarnya lagi dengan nada marah."Hah?" tanyaku pura-pura tidak tahu. Maksud Uwak apa kataku lagi.Wak Nurma masih diam, dia melotot menyeramkan ke arahku. Namun aku tidak peduli dan malah berlagak cuek."Oi, Aksa. Ngapain ke sini Tante belum siap masak, loh. Mama kamu kemana?" tanyaku pelan.Semua orang yang ada di ruangan ini langsung menoleh ke belakang dan di ambang pintu sana terlihatlah keponakanku yang begitu imut tengah mengucek kedua matanya dengan jari-jemarinya yang kecil nan mungil."Kenapa sayang? Kamu haus?" tanyaku pada Aksa.Aku mendekat dan langsung menggendongnya, aku segera duduk di kursi dan ikut membawanya untuk duduk ke atas pangkuanku."Mam