Gilang dan Saras kembali berciuman dengan panas. Tak mau melewatkan lampu hijau yang telah diberikan sang istri, pria itu mulai membuka satu per satu kancing kemeja kerja putih yang dikenakan istrinya.Bra berwarna ungu kehitaman yang seksi terpampang jelas di mata, membuat gairah pria itu semakin menggebu. Saat tangannya akan mencopot tali bra sang istri, tiba-tiba istrinya justru melepas ciuman kemudian mencegah tangannya sembari berkata, "Mas, a-ku malu ...""Sayang, kita kan sudah menjadi suami-istri. Tidak perlu malu lagi sayang. Nih, biar adil aku juga akan buka bajuku."Setelah mengatakannya, pria itu langsung melepas semua pakaiannya hingga telanjang bulat. Tongkat Sakti miliknya berdiri tegak bak tiang bendera upacara tujuh belasan.Hal ini membuat wajah sang istri memerah sambil menutup mata dengan kedua telapak tangannya. Walau begitu, sang istri terkadang mencuri pandang dengan beberapa kali membuka celah jarinya, penasaran dengan penampakan Tongkat Sakti sang suami."Aku
Sang suami mengernyitkan dahi, mencoba merenung sejenak sebelum menjawab pertanyaan yang berupa gumaman sang istri."Mungkin tamu dari kerabat atau teman mama.""Ya, mungkin juga," sahut sang istri datar. Ia memang tidak tahu siapa penumpang mobil tersebut.Mereka terus berjalan mendekati rumah, hati-hati memilih kata-kata agar tidak "terpergok" oleh sang mama. Setibanya di depan pintu, mereka mengucapkan salam dengan senyum manis."Selamat sore, Ma," sapa sang istri mencoba menunjukkan ketenangan.Di sampingnya, sang suami mulai bersikap seperti biasa--terlihat bodoh!Sang mama melayangkan senyum ramah, namun mata cermatnya tidak luput memeriksa ekspresi wajah keduanya."Kalian berdua pulang bersama, dari mana?" tanyanya menyelidik."Iya, Ma. Kami tadi dari taman saja. Mas Gilang mau bermain, tentunya pulang bersama juga," jawab sang istri, berusaha tetap tenang.Sang mama mengangguk mengerti, tetapi sepertinya ada keraguan di matanya.Tapi karena hati dan harinya sedang senang, wani
"Aku harus kembali mendapatkan rasa hormat dan kepercayaan dari mereka. Aku harus membuktikan bahwa aku masih kekuasaan!"Gelapnya suasana ruangan seakan mencerminkan perasaan hatinya yang hancur. Lembaran-lembaran dokumen bisnis tergeletak di meja, mengingatkan pria itu pada kegagalan yang dialaminya.Matanya nanar menatap layar laptopnya yang kosong, merenungkan tentang bagaimana semuanya bisa berakhir seperti ini.Pikiran Mario kemudian terarah pada Surya, yang memiliki hutang besar padanya. Tetapi sekarang, Surya juga menghilang tanpa jejak, meninggalkannya dengan kekesalan dan kemarahan yang semakin dalam. Rasa pengkhianatan semakin memenuhi benaknya."Bangsat, si Surya! Menghilang setelah aku jatuh seperti ini."Mario bangkit dari tempat duduknya dengan gerakan kesal, menghentakkan langkahnya menuju jendela. Ia melihat keluar, memandang pemandangan kota yang sebelumnya menjadi lahan mainnya. Namun, kini segalanya tampak suram dan berubah.Rasa uring-uringan menguasai dirinya, mem
Pandangan pria muda itu tertuju pada Mario yang tersandar di tepi trotoar, tampak tak berdaya dalam keadaan mabuknya. Pandangan sang paman berubah serius, dan dia merasa iba melihat sosok yang dulu pernah memiliki nama besar."Pahami, Ibra. Kesuksesan bukanlah jaminan kau luput dari kehancuran sehingga bangkrut, apalagi adanya skandal. Musuh utama yang meruntuhkan siapa pun," ucap sang paman dengan serius, terlihat sabar dan bijak.Pria itu mengangguk pelan, mengerti pesan yang disampaikan sang paman. Saudara sekaligus mentor baginya.Pria itu kembali melihat bagaimana keadaan Mario, yang dulunya dikelilingi oleh kemewahan kini berada dalam keadaan terpuruk. Ibra merenung sejenak, merenungi arti dari semua yang telah diajarkan oleh sang paman.Sementara itu, Mario terus melangkah tanpa tujuan, rasanya dunia sedang runtuh di atas kepalanya. Ketika dia melintasi gang kecil, pandangannya tertuju pada sebuah poster yang menampilkan wajah Ryan dengan tulisan besar.SUKSES DALAM BISNIS DAN
"Emhhh ... eh, ini sudah pagi?"Gilang merasa seakan-akan dalam mimpi saat matahari perlahan menyinari kamarnya. Setelah beberapa detik memproses informasi, ia menyadari bahwa yang terjadi adalah nyata."Di mana, Saras?" tanyanya bergumam, saat tidak menemukan istrinya di tempat tidur."Oh, dia sedang membersihkan diri."Dari gemericik air yang terdengar di kamar mandi, pria itu tahu jika sang istri sedang mandi, tersenyum dengan ingatan atas kegiatan mereka berdua semalam.Segera pria itu mengingat lagi mimpinya, sebuah peluang bisnis besar ada di depan matanya. Dengan cepat, ia bangkit dari tempat tidur dan meraih ponselnya yang tergeletak di meja.Dengan tangan yang sedikit gemetar karena antusias, Gilang membuka aplikasi analisis saham favoritnya dan mulai memasukkan data-data baru yang diperolehnya dari "cheat" yang terlihat."Seharusnya begini? Hm, ya!"Pagi hari membuat otaknya jernih, bisa bekerja dengan sangat maksimal. Ditambah lagi dengan entengnya tubuh setelah selesai akt
Ella, seorang analis berpengalaman dengan kacamata melingkar di hidungnya, melipat tangan di depan dadanya sambil menatap layar komputer dengan serius."Hasil pemetaan sektor ini menunjukkan potensi pertumbuhan yang signifikan," ujarnya, suaranya tenang dan penuh keyakinan.Ryan mengangguk pelan, menyatakan perhatian yang sama seperti yang dikatakan anak buahnya tersebut."Bagus. Saya ingin memastikan kita memiliki pemahaman yang mendalam tentang faktor-faktor yang mendorong pertumbuhan ini. Apakah kita sudah mengidentifikasi risiko-risiko potensial yang perlu kita awasi?" tanya pria itu kemudian.Tim riset mengalihkan pandangan mereka kepadanya, ekspresi serius terpampang di wajah-wajah mereka. Jonathan, seorang analis data muda yang energetik, memberikan menjawab."Kami sedang melihat volatilitas pasar yang bisa mempengaruhi potensi pertumbuhan ini. Perubahan kebijakan pemerintah dan fluktuasi mata uang juga harus menjadi perhatian kita."Ryan mengangguk mengapresiasi. "Bagus, Jonat
"Semua lancar, Mas Gilang.""Bagus. Terus jalankan semua rencana dan strategi seperti biasanya," sahut Gilang.Pagi ini, setelah Saras pergi ke kantor dan mama mertuanya pergi entah kemana, Gilang hubungi "tangan kanannya" untuk memastikan semuanya berjalan dengan baik."Mario, sudah ditahan di kantor polisi. Sudah ada beberapa tuntutan korban yang masuk, ditambah Yun tuntutan dari pihak perusahaan.""Pastikan bahwa pria itu tidak bisa bebas dengan mudah. Kamu tahu sendiri, meskipun dia tidak lagi berkuasa di masih mempunyai koneksi dan keluarga yang memiliki kekuasaan." Gilang memperingatkan."Pasti, Mas Gilang."Tuuttt!Panggilan telepon terputus. Jari jemari Gilang cepat mengetik sesuatu untuk memeriksa laporan yang masuk ke email--dari tangan kanannya.Pria itu tahu, dengan memanfaatkan kepintarannya dan pengetahuannya dalam dunia pasar saham, memastikan bahwa "tangan kanannya" mengambil langkah-langkah yang tepat dengan mengumpulkan tim riset handal dan berpengalaman.Pria itu ju
Di kantor, Ibra duduk di sudut ruangan dengan sebotol minuman di hadapannya. Ekspresinya jahat saat melihat berita di ponselnya yang memberitakan tentang situasi dengan Mario."Jadi, Ryan pikir dia bisa mengalahkan aku begitu saja?" gumamnya dengan nada sinis.Pamannya Ibra, Hendra, duduk di seberangnya, mengangkat alis. Ia bertanya tentang kabar ini pada keponakannya, sudah menjadi "anak asuhnya" sejak lama."Ibra, apa yang sedang kamu pikirkan? Kita semua tahu betapa terobsesinya Ryan dengan bisnis ini. Bagaimana kamu bisa yakin rencanamu akan berhasil?""Paman lupa bahwa aku punya informasi yang bisa mengguncangnya? Dan aku akan menggunakannya dengan bijaksana." Ibra kembali tersenyum sinis di sudut bibir."Ingatlah, Ibra, ini adalah permainan berbahaya. Jika rencana ini terbongkar, kamu bisa berada dalam masalah besar."Sang paman menggelengkan kepala agak khawatir sehingga peringatkan. Tapi sayangnya, keponakannya itu justru tertawa merendahkan."Tidak perlu khawatir, Paman. Aku