“Mas Nadhif bilang, Mas Dewa hanya menunggu satu jam dengan berbincang bersama dengan mas. Tetapi rupanya lebih dari satu jam? Sebenarnya berapa jam dia sudah menunggu Nadina di sana tadi, Mas?” tanya Nadina vegitu mengunci pintu kamarnya rapat. “Saya tidak pasti melihat jam berapa kedatangannya, Nadina. Saya sedang berbicara kepada seorang santriwan di depan dalem saat dia datang. Jadi saya hanya memperkirakan kapan kedatangannya. Memangnya ada apa? Dia mengeluh tidak suka berbicara dengan saya?’ sahut Nadhif kini membuat Nadina mengalihkan wajahnya. Wanita itu mendesah cukup panjang seolah tak puas dengan jawaban yang diberikan suaminya itu. “Mas Dewa kemari untuk mencari Nadina bukan? Lantas, mengapa Mas Nadhif tidak langsung memanggilnya saja? Kasihan jika dia terlalu lama menunggu,” tutur Nadina kemudian. “Dia datang terlalu pagi untuk bertamu terlebih menemui istri seseorang. Lagi pula saya suamimu ‘kan, Nadina? Sebenarnya ia bisa menitipkan pesan itu kepada saya untukmu. Ta
Nadina dan Aminah kini berjalan di antara deretan penjual sayur dan ikan yang bercampur. Seperti pasar tradisional yang masih kental dengan tawar menawar, pasar itu kini penuh kebisingan dialog antara sang penjual dengan sang penawar, belum lagi suara anak kecil yang menangis. Nadina sedikit memicingkan mata saat harus berjalan di antara lumpur. Semalam memang sebentar hujan hingga tanah di sana sedikit becek untuk dipijak. “Biasanya Nadina dengan Ibu pergi ke pasar mana?” tanya Aminah. Nadina sedikit meringis, sudah tergambar jika wanita itu jarang pergi ke pasar untuk menemani sang ibu. “Jujur saja Nadina jarang turut serta dengan Ibu, Umi. Selain setelah SMA Nadina langsung merantau untuk kuliah, Nadina juga langsung menikah setelah lulus,” tutur Nadina. “Ahhh, iya umi lupa! Baiklah, sekarang jadikan pasar ini sahabatmu, yah! Umi akan tunjukkan di mana kios tempat umi berbelanja biasanya!” tutur Aminah membuat Nadina merasa sangsi. “Bersahabat dengan pasar? Kumuh berlumpur be
Hari berganti malam saat seluruh keluarga hadir di meja makan dan menyantap makanan buatan Aminah dan Nadina. Nadhif dan Ali mulai memuji kelezatan makanan itu saat baru pertama mencicipinya. “Umi dan Abi tidak salah memilik istri untukmu ‘kan Nadhif? Nadina juga sangat pandai memasak rupanya! Lidahnya sangat pintar dalam mengecek rasa!” puji Aminah. “Syukurlah kalau begitu, biasanya umimu ini jika memasak kadang kurang garam, kadang kelebihan garam,” kekeh Ali membuat Aminah turut tertawa. “Bagaimana dengan para murid pondok, Nadhif? Apakah mereka sudah siap untuk ujian dan wisuda beberapa bukan lagi?” tanya Ali menoleh kepada Nadhif. “Beberapa santriwan dan santriwati telah siap terutama dengan hafalan mereka, namun ada beberapa santri yang harus lebih giat mengejar ketertinggalan mereka, Abi. Tetapi Nadhif yakin jika mereka akan mampu melaksanakannya dengan baik dan lulus tepat waktu,” sahut Nadhif. Pembicaraan itu dilakukan setelah mereka menyantap makanan di hadapan mereka.
Nadina menggeliatkan tubuhnya tepat pada pukul tiga di saat jam weker itu berdenting. Namun tatkala ia terus menggeliat menyadarkan diri dalam tidurnya, ia menyadari sesuatu yang lain. Matanya terbelalak saat melihat Nadhif mendekap tubuhnya begitu pun dengan dirinya yang sepertinya mendekap tubuh Nadhif sebelum ia tersadar tadi. “Oh, Tuhan!” pekik Nadina lirih. Ia kembali memandang wajah sang suami dan baru menyadari jika beberapa kancing pada piyama sang suami terbuka, sementara ia mengenakan piyama cekak malam ini. “Se– semalam,” ucapnya terbata. “Nggak! Nggak mungkin! Nggak mungkin Mas Nadhif lakuin itu sama aku! Dia udah janji ‘kan?!” sergah Nadina. Saat wanita itu hendak mengeluarkan dirinya dari dekapan sang suami, sebentar ia melihat wajah Nadhif yang tertidur pulas, sangat tenang bahkan sama tenang seperti ia biasanya. Wajahnya yang teduh nan tampan itu seketika membuat Nadina tiba-tiba mengelusnya. “Aissh!! Kenapa lagi ini!” sergah Nadina lalu langsung dengan cepat kelu
Nadina terkejut bukan main saat dirinya harus mendengar perkataan itu keluar dari mulut Nadhif. Seperti yang ia kira, Nadhif tak akan mengetahui soal urusan model itu. Namun ia salah besar. Kini dengan jelas Nadina tampak berbohong. “Ehm, Mas! Mas Nadhif tahu?” lirih Nadina langsung memutar tubuhnya saat mendapat kesempatan. Nadhif mematikan alat pengering rambut itu lalu meletakkannya di atas meja rias. “Kamu pikir untuk apa saya menahan Sadewa nyaris dua jam sebelum akhirnya mengizinkan dia bertemu denganmu, Nadina?” tutur Nadhif. “Ma– maksud Mas Nadhif bagaimana? Nadina tidak paham.” “Ia datang ke dalem sekitar pukul enam pagi, saya tanya apa tujuannya dan ia terus bergulat dengan alasan hanya bertemu kawan lamanya sama seperti yang kamu utarakan. Saya tahu pasti jika itu bukan tujuan utamanya saat itu. Saya tak segera bergegas pergi dari sana untuk memanggilmu, saya biarkan dia tetap duduk di kursi itu dan meneguk teh seolah sedang menunggu kedatanganmu.” “Sampai akhirnya pu
Ali terdengar terkekeh atas pertanyaan yang Nadhif ucapkan. “Tentu istri Nadhif, Abi!” jawab Nadhif akhirnya. “Lantas, mengapa menanyakan ini kepada Abi? Apakah masalah sesederhana ini tidak mampu kamu atasi sendiri, Nadhif?” sindir Ali memandang putra semata wayangnya itu. “Nadhif takut keputusan yang Nadhif ambil nanti tidak selaras dengan visi dan misi pondok, Abi.” “Jangan mengatas namakan pondok atas keraguanmu, Nadhif. Keraguanmu menunjukkan kurang kuatnya ikatan pernikahanmu dengan Nadina, Nadhif. Kamu belum benar-benar mempercayainya.” Ali sebentar diam menunggu reaksi Nadhif. Sementara itu, Nadhif berusaha mencerna perkataan sang abi yang terdengar sederhana namun penuh makna itu. “Apa ini artinya Abi mengizinkannya?” celetuk Nadhif. “Nadhif, Nadina bukan istri abi. Dia istrimu, mengapa kamu meminta orang lain untuk menentukan hal yang akan istrimu lakukan? Coba pikirkan sendiri apa positif dan negatifnya jika Nadina menjadi seorang model.” Nadhif terdiam cukup lama. I
Nadina yang mendengar penuturan Nadhif langsung terdiam dan tak bisa berkata-kata. Selama sekian detik wanita itu hanya menatap Nadhif kosong sementara Nadhif mencoba kembali meyakinkan dirinya sendiri. “M– mas? Mas Nadhif bilang apa?” ulang Nadina sambil memegang punggung tangan Nadhif dengan tangan kanannya. Wajah Nadina yang tampak perlu diyakinkan kembali berada tepat di hadapan Nadhif saat ini. “Saya izinkan kamu untuk menerima tawaran itu, Nadina.” Tak diduga-duga, Nadina langsung menghamburkan tubuhnya ke Nadhif. Wanita itu seolah tersihir oleh izin yang dilayangkan sang suami hingga mendorong dirinya untuk seketika memeluk sang suami. “Mas Nadhif serius?! Terima kasih, Mas!” pekik Nadina bahagia. Nadhif tak langsung membalas pelukan sang istri melainkan sejenak terdiam kemudian kembali berucap. “Tetapi saya memiliki syarat,” tutur Nadhif langsung membuat Nadina merenggangkan pelukannya. “Syarat? Syarat apa?” tanya Nadina. “Saya yang akan mengantar dan menjemputmu ke te
Hari semakin petang, Nadhif telah keluar kamar sedari tadi untuk membantu abinya mempersiapkan materi pertemuan malam ini. Sementara itu, Nadina berjalan perlahan menuju kamar Aminah dan Ali untuk menemui Aminah. “Assalamualaikum, Umi! Ini Nadina!” pekik Nadina sembari sebentar mengetuk pintu kamar sang mertua. Perasaan cemas sedikit menghantuinya. Ia benar-benar takut jika sang ibu mertua tak lagi mau membela atau ramah kepadanya. Tak lama kemudian, pintu kamar di buka. “Eh, Nadina! Apa kamu hendak menjemput umi untuk pergi ke masjid?” sahut Aminah tampak penuh senyuman. Wajah Nadina langsung sedikit lega dan mengangguk cepat. “Iya, Umi. Apa umi sudah siap? Jika belum Nadina bisa menunggunya,” tutur Nadina. “Sudah, Sayang! Sebentar umi ambil mukena dulu, ya!” Aminah masuk kembali ke dalam ruang kamarnya, lalu tak lama kemudian kembali dengan satu tas kecil berisi mukena yang selalu ia kenakan itu. Keduanya berjalan menyusur koridor lalu mulai melewati halaman pondok untuk menc
Melati memegang tangan Nadina dan membuat Nadina segera menoleh. “Benar, Mbak. Semuanya begitu cepat. InsyaAllah Abi Ali yang membantu kami juga, apa Mbak Nadina tidak keberatan?” tanya Melati. Wajah terkejut Nadina seketika berubah menjadi raut bahagia, wanita itu bahkan balas memegang tangan Melati dan menepuknya sebentar. “Untuk apa aku keberatan, Mel? Sudah pasti aku sangat senang!! Akhirnya sahabatku ini akan menikah juga! Aku turut bahagia untuk kalian berdua, ya! Kapan tanggal pernikahannya?” Nadina menoleh bergantian ke arah Melati dan Rayyan. Sepasang calon suami istri itupun tampak tersipu malu dengan ucapan yang Rayyan tuturkan. Sementara itu Nadina bisa melihat dengan jelas kebahahiaan di mata keduanya. Termasuk kebahagiaan lain yang tak Nadina lihat saat Rayyan mengatakan pemuda itu telah jatuh hati padanya. “Syukurlajh jika mereka benar-benar telah menemukan satu sama lain!” batin Nadina masih terus tersenyum tulis. “Insyaallah dalam waktu dekat, Mbak! Kami sekalia
Nadina terbangun di sebuah brankar rumah sakit, ia menoleh ke kiri dan melihat brankar lain yang menaungi putranya yang tak sadarkan diri. Ia kembali meneteskan air matanya. Baru saja ia tersadar, ingatannya kembali memutar apa yang terjadi, ia kembali mengingat kenyataan pahit Azif yang telah meninggalkan dunia ini. “Sayang, tenangkan dirimu. Semua sudah Allah takdirkan. Hidup dan mati hanya ada di tangan Allah. Azfi tidak lagi merasa cemas, tidak lagi takut, tidak lagi sakit dan sedih, dia pasti telah bahagia di sana.” Aminah mengelus pucuk kepala Nadina. “Putramu baik-baik saja, dokter bilang ia akan siuman tak lama lagi. Pertolongan datang tepat waktu sebelum Adnan harus lebih banyak menghirup gas beracun itu, Nadina.” Nadina tak bisa membalas, ia hanya terdiam sementara air matanya terus mengalir. Di satu sisi ia bersyukur karena putranya dapat selamat. Di sisi lain, ia sedih atas kematian Azif. Bahkan keajaiban Allah mengirimkan Azif untuk memberinya petunjuk agar bisa meng
Rayyan berlari ke arah Nadina dan segera mengambil alih Adnan dari pelukan Nadina. “Rayyan?!” pekik Nadina terkejut bercampur bingung. “Jangan banyak bertanya dan bicara dulu, Nadina! Kita harus bawa Adnan ke rumah sakit sekarang!” pekik Rayyan langsung membawa Adnan pergi. Nadina menoleh ke belakang berniat menggendong Azif untuk juga pergi dari sana. Namun anehnya, bocah itu menghilang. Tak ada di sana, Nadina dengan sedikit kebingungan mesti melanjutkan langkahnya menyusul Rayyan. Tempat itu telah digerebek polisi, semua antek Azalea ditangkap, begitu pula dengan Azalea. Namun sudut mata Nadina menangkap bayangan Rukmi tengah menangis mengikuti petugas medis membawa seseorang lain masuk ke dalam ambulans. “Nadina, ayo cepat!!” pekik Rayyan mengingatkan Nadina untuk segera naik ke ambulans lain. Petugas medis segera melakukan pertolongan pertama pada Adnan, Nadina terus memegang tangan Adnan dan mengusapnya berharap sang anak akan sadar dan selamat. Rumah sakit menjadi tempat
“Azalea, berhentilah. Kau terlalu jauh. Adnan hanya anak kecil yang tak tahu apapun!” pekik Nadina. Azalea berjalan berkeliling ruangan menuju kaca tempat mereka bisa memandang Adnan yang mulai kelelahan itu. “Muhammad Adnan Maulana, dia memang masih seorang anak kecil berusia tujuh tahun, tapi ketahuilah Nadina. Anak tujuh tahun itu telah membuatku diadili oleh putraku sendiri!” “Ya, aku memang mengatur Azif untuk menarik perhatian Adnan. Aku membuat mereka berdua sangat dekat hingga Adnanmu itu sangat mempercayai putraku sehingga secara tak langsung mempercayaiku untuk secara cuma-cuma masuk ke dalam mobilku dan menemui kematiannya.” Pengakuan Azalea tiba-tiba mengingatkan Nadina dengan pesan Rukmi untuk terus menjaga diri dan putranya terlebih untuk tak mudah percaya kepada orang baru. “Tapi sayangnya! Anak kecil itu terlalu polos! Azifpun juga begitu! Dia rupanya sangat bahagia memiliki teman seperti Adnan, dia bahkan menyukaimu! Kau tahu? Telingaku panas mendengarnya merenge
Jantung Nadina seakan berhenti berdetak. Foto yang ada benar-benar membuatnya kebingungan. Tampak di foto Azif bersama Adnan tengah bersiap memasuki mobil bersama seorang wanita yang tak lain dam tak bukan memili paras wajah yang sama dengan Putri Azalea. “Ya Allah! Jadi apa yang aku lihat kemarin ini benar? Foto dalam telepon itu benar Putri Azalea? Jadi dia dan putranya, Azif? Masih hidup? Ya Allah, dan Adnan! Bagaimana dengannya sekarang!” Tangisan Nadina tak bisa lagi terbendung ia gemetar bahkan amat lemas dan nyaris tak bisa mengendalikan dirinya. Namun tiba-tiba sebuah telepon video datang. Nadina getar hendak mengangkatnya. Baru saja panggilan itu terhubung, wajah Adnan berada di sana. “Adnan!! Ya Allah! Adnan!!” teriak Nadina histeris. Putranya tampak duduk lemas pada sebuah kursi dengan tangan dan tubuh yang terikat. Bocah itu tampak kelelahan dan menunduk setengah tak sadarkan diri. [“Hai, Nadina! Apa kau terkejut?”] Suara yang tujuh tahun lalu menghilang kini kembali
“Nadina?!” pekik Rayyan yang terkejut atas kehadiran seseorang di kamar penginapannya itu. Pemuda itu segera berjalan memasuki kamar itu, Nadina terus berteriak seolah kembali teringat dengan kejadian kala itu. Rayyan meletakkan tasnya ke ranjang lalu mendekati Nadina dengan berjongkok. “Jangan!! Jangan mendekat!” teriak Nadina terus histeris. “Nadina! Ada apa?! Kau? Nadina! Ini aku Rayan! Apa yang terjadi padamu? Kenapa kau di sini? Bagaimana bisa kau–” cecar Rayyan sembari menyentak pundak Nadina. Sentakan Rayyan seolah memberi membuat Nadina kembali tersadar. Wanita itu yang semula berteriak histeris ketakutan sekarang malah tampak menatap Rayyan tajam. Tangan Nadina dengan cepat mendorong Rayyan hingga pemuda itu tersungkur ke belakang. “Nadina? Apa yang kau la–” lirih Rayyan terputus. “Di mana, Adnan?!! Apa yang kau lakukan padanya, Ray!? Kenapa kau tega menyiksaku seperti ini?!! Kembalikan Adnan sekarang!! Di mana putraku?!” sergah Nadina segera bangkit dari posisinya. “
Nadina menyipitkan matanya, tepatnya ia tak menyangka jika Rayyan akan melakukan sesuatu senekat ini dengan mengambil Adnan dari sisinya dengan menggunakan kepercayaan yang telah diberikan ia dan keluarganya berikan. “Apa-apaan ini, Ray?! Jadi kau membawa Adnan dan mengancamku? Apa yang terjadi sebenarnya!?” sergah Nadina berusaha menelepon namun tetap saja Rayyan tak membalasnya. Tak mau semakin mengulur waktu apalagi Adnan yang menjadi taruhan, Nadina segera memeriksa share location yang Rayyan kirimkan. Tak menunggu kama, Nadina segera melakukan mobilnya dan mengikuti jalur yang ada pada petunjuk arah itu. Segala pujian, doa, serta dzikir terus keluar dari mulut Nadina. Dengan jelas raut kekhawatiran mewarnai wanita itu. Tak ada yang bisa ia lakukan saat ini selain fokus pada jalanan hingga bisa sampai secepat yang ia bisa. “Ya Allah, lindungi putraku. Jangan sampai ada sesuatu hal buruk menimpanya. Kumohin, ya Allah!” pekik Nadina. “Adnan, tunggu ibu ya, Nak! Ya Allah, bagai
Hari berganti hari, usia keputusan itu, Rayyan dan Nadina tak sesering dulu bertemu mungkin memang selayaknya pertemuan antara wali murid dan guru adalah seperti ini. Nadina yang semula ingin memutuskan kerja sama pada Rayyan untuk memberi kelas tambahan pada Adnan akhirnya mengurungkan niatnya. Ia sempat berbicara pada Adnan mengenai kekhawatirannya itu, dan jawaban yang sang putra berikan sangat membuatnya sadar. Ia tak perlu lagi menghindar. Ia tahu, Adnan mungkin sesekali merindukan ayahnya. Namun di dalam hati anak itu telah terpatri satu nama yang hanya akan menjadi aba untuknya. Muhammad Nadhif. Sejak kemarin Nadina, Adnan, dan Nadhin memutuskan untuk tinggal di rumah kedua orang tuanya, Harun dan Khoiri. Memang dalam satu bulan mereka akan ada waktu untuk tinggal bersama. Mengobati rasa rindu kepada anak cucu, serta orang tua dan kakek nenek. “Ibu senang kamu bisa lebih dewasa sekarang, Nadina. Ibu mendengar semuanya dari umi Aminah tentangmu dan pemuda itu. Apapun keputusa
Pertemuan itu diakhiri dengan penerimaan atas jawaban yang diutarakan dan maksud yang disampaikan. Usai meneguk habis teh dan mencicipi roti yang Nadina sajikan, akhirnya Rayyan memutuskan untuk pamit. Aminah maupun Nadina mengantar Rayyan hingga pemuda itu memasuki mobilnya. Sepertinya mobil itu beserta pengemudinya, Aminah menoleh ke pada Nadina. “Umi pasti sudah tahu jawabannya bukan?” celetuk Nadina. Aminah mengangguk paham. Memang benar wanita paruh baya itu paham jika entah bagaimana wanita itu menyampaikan alasannya, ia pasti akan tetap menyimpulkan penolakan atas niat lamaran yang hendak Rayyan berikan padanya. Aminah merangkul Nadina dan keduanya berbalik hendak kembali menuju dalem. “Maafkan Nadina jika keputusan Nadina mengecewakan abi dan umi. Tetapi maafkan Nadina umi, Nadina tidak mau sesuatu yang sama terjadi. Mas Nadhif telah merasakan banyak rasa sakit setelah menikah dengan Nadina hanya untuk meyakinkan Nadina pada cinta semata itu.” “Nadina tak akan bisa menan