Nadina terkejut bukan main saat dirinya harus mendengar perkataan itu keluar dari mulut Nadhif. Seperti yang ia kira, Nadhif tak akan mengetahui soal urusan model itu. Namun ia salah besar. Kini dengan jelas Nadina tampak berbohong. “Ehm, Mas! Mas Nadhif tahu?” lirih Nadina langsung memutar tubuhnya saat mendapat kesempatan. Nadhif mematikan alat pengering rambut itu lalu meletakkannya di atas meja rias. “Kamu pikir untuk apa saya menahan Sadewa nyaris dua jam sebelum akhirnya mengizinkan dia bertemu denganmu, Nadina?” tutur Nadhif. “Ma– maksud Mas Nadhif bagaimana? Nadina tidak paham.” “Ia datang ke dalem sekitar pukul enam pagi, saya tanya apa tujuannya dan ia terus bergulat dengan alasan hanya bertemu kawan lamanya sama seperti yang kamu utarakan. Saya tahu pasti jika itu bukan tujuan utamanya saat itu. Saya tak segera bergegas pergi dari sana untuk memanggilmu, saya biarkan dia tetap duduk di kursi itu dan meneguk teh seolah sedang menunggu kedatanganmu.” “Sampai akhirnya pu
Ali terdengar terkekeh atas pertanyaan yang Nadhif ucapkan. “Tentu istri Nadhif, Abi!” jawab Nadhif akhirnya. “Lantas, mengapa menanyakan ini kepada Abi? Apakah masalah sesederhana ini tidak mampu kamu atasi sendiri, Nadhif?” sindir Ali memandang putra semata wayangnya itu. “Nadhif takut keputusan yang Nadhif ambil nanti tidak selaras dengan visi dan misi pondok, Abi.” “Jangan mengatas namakan pondok atas keraguanmu, Nadhif. Keraguanmu menunjukkan kurang kuatnya ikatan pernikahanmu dengan Nadina, Nadhif. Kamu belum benar-benar mempercayainya.” Ali sebentar diam menunggu reaksi Nadhif. Sementara itu, Nadhif berusaha mencerna perkataan sang abi yang terdengar sederhana namun penuh makna itu. “Apa ini artinya Abi mengizinkannya?” celetuk Nadhif. “Nadhif, Nadina bukan istri abi. Dia istrimu, mengapa kamu meminta orang lain untuk menentukan hal yang akan istrimu lakukan? Coba pikirkan sendiri apa positif dan negatifnya jika Nadina menjadi seorang model.” Nadhif terdiam cukup lama. I
Nadina yang mendengar penuturan Nadhif langsung terdiam dan tak bisa berkata-kata. Selama sekian detik wanita itu hanya menatap Nadhif kosong sementara Nadhif mencoba kembali meyakinkan dirinya sendiri. “M– mas? Mas Nadhif bilang apa?” ulang Nadina sambil memegang punggung tangan Nadhif dengan tangan kanannya. Wajah Nadina yang tampak perlu diyakinkan kembali berada tepat di hadapan Nadhif saat ini. “Saya izinkan kamu untuk menerima tawaran itu, Nadina.” Tak diduga-duga, Nadina langsung menghamburkan tubuhnya ke Nadhif. Wanita itu seolah tersihir oleh izin yang dilayangkan sang suami hingga mendorong dirinya untuk seketika memeluk sang suami. “Mas Nadhif serius?! Terima kasih, Mas!” pekik Nadina bahagia. Nadhif tak langsung membalas pelukan sang istri melainkan sejenak terdiam kemudian kembali berucap. “Tetapi saya memiliki syarat,” tutur Nadhif langsung membuat Nadina merenggangkan pelukannya. “Syarat? Syarat apa?” tanya Nadina. “Saya yang akan mengantar dan menjemputmu ke te
Hari semakin petang, Nadhif telah keluar kamar sedari tadi untuk membantu abinya mempersiapkan materi pertemuan malam ini. Sementara itu, Nadina berjalan perlahan menuju kamar Aminah dan Ali untuk menemui Aminah. “Assalamualaikum, Umi! Ini Nadina!” pekik Nadina sembari sebentar mengetuk pintu kamar sang mertua. Perasaan cemas sedikit menghantuinya. Ia benar-benar takut jika sang ibu mertua tak lagi mau membela atau ramah kepadanya. Tak lama kemudian, pintu kamar di buka. “Eh, Nadina! Apa kamu hendak menjemput umi untuk pergi ke masjid?” sahut Aminah tampak penuh senyuman. Wajah Nadina langsung sedikit lega dan mengangguk cepat. “Iya, Umi. Apa umi sudah siap? Jika belum Nadina bisa menunggunya,” tutur Nadina. “Sudah, Sayang! Sebentar umi ambil mukena dulu, ya!” Aminah masuk kembali ke dalam ruang kamarnya, lalu tak lama kemudian kembali dengan satu tas kecil berisi mukena yang selalu ia kenakan itu. Keduanya berjalan menyusur koridor lalu mulai melewati halaman pondok untuk menc
Nadhif langsung membawa mobilnya ke depan pelataran masjid. Usai memastikan posisi mobilnya pas, Nadhif langsung turun dan menghampiri Nadina yang telah berbaring di pangkuan sang umi. “Ayo Nadhif cepat! Istrimu butuh pertolongan segera!” sergah Aminah. Tanpa tunggu lama lagi, akhirnya Nadhif mengangkat tubuh Nadina ke dekapannya lalu membawa istrinya itu menuruni tangga masjid sebelum akhirnya membawanya masuk ke dalam mobil. Sembari merapikan posisi Nadina di dalam mobil itu, Nadhif terus memandangi wajah Nadina. Ia memikirkan apa yang terjadi semalam hingga Nadina sampai seperti sekarang ini. Perjalanan dimulai, Nadhif sesekali melirik ke arah kaca yang menampilkan Aminah terus menggosok tangan Nadina di kursi belakang. “Bagaimana awalnya, Umi? Sore tadi Nadina tampak baik-baik saja, mengapa tiba-tiba jadi seperti ini?” tanya Nadhif. “Umi pun tidak menduganya Nadhif. Umi hanya tahu Nadina terus meringkuk di tengah kajian tadi, saat umi melihatnya, wajah istrimu sudah pucat da
“Hah?!” teriak Nadina langsung membuat lingkungan sekitar hening dan mengamati Nadhif dan Nadina.Sementara Nadhif akhirnya memejamkan matanya, Nadina malah tampak meringis dengan melirik ke sekitar. Sudut mata wanita itu dengan jelas menangkap seluruh warga pondok mengamatinya atas pekikkan yang baru ia lontarkan itu.“Mas, lakukan sesuatu, mereka semua memandang kita,” bisik Nadina tanpa membuka mulutnya lebar-lebar.Nadhif akhirnya membuka matanya lalu memandang wajah cemas Nadina juga merasakan beberapa tatapan menghunjam punggungnya.“Apa kau lelah, Nadina?” tanya Nadhif sembari mengamati tubuh Nadina. Istrinya itu jelas semakin mengerutkan dahi melihat tingkat Nadhif yang tiba-tiba aneh begitu.“Baiklah, biar saya gendong kamu supaya kamu baik-baik saja, yah!” tutur Nadhif lalu langsung memegang bagian tubuh Nadina untuk membantunya menggendong wanita itu.“Eh, Mas! Mas! Mas ngapain! Turunin, Nadina!” bisik Nadina sambil terus mencubit kecil lengan Nadhif disertai senyuman kepad
Seseorang tampak dengan pelan menutup pintu kamar Nadina dan Nadhif tanpa membuat keduanya mengetahui pergerakan itu. Sementara itu, di kamar lain, Ali yang tengah membaca buku tiba-tiba terkejut saat melihat sang istri masuk ke kamar dan langsung menutup pintunya. “Umi? Kenapa seperti baru bertemu hantu begitu? Ada apa? Kenapa cepat sekali bertemu Nadina dan Nadhif? Minyak angin yang abi titipkan untuk Nadina sudah jadi umi berikan?” tanya Ali tanpa jeda. “Astaga, Abi! Kalau bertanya itu satu-satu! Jangan terus bertanya tanpa jeda seperti itu! Umi jadi bingung harus menjawab mulai dari mana!” tutur sang umi. “Baiklah, katakan apa yang terjadi hingga umi tampak terburu seperti itu?” ulang Ali sembari menutup buku yang baru ia baca itu. “Abi tak akan percaya kepada apa yang umi lihat barusan! Ada sesuatu di kamar Nadhif dan Nadina!” pekik Aminah sembari berjalan ke ranjang dekat meja kerja Ali. “Ada apa? Mereka baik-baik saja bukan?” Ali mengerutkan wajahnya lalu meletakkan buku d
Hari kembali pagi, Nadina telah lebih dulu bangun dan membersihkan dirinya di toilet. Setelahnya, Nadhiflah yang berganti masuk ke toilet. Sembari mengeringkan rambutnya, Nadina melirik ke arah ranjang juga lemari. Biasanya, Nadhif akan mengeluarkan pakaian yang hendak ia pakai dan meletakkannya ke ranjang atau menggantungnya di lemari. Namun sekarang itu semua tidak ada. Nadina bangkit dari kursi riasnya lalu berjalan menuju toilet. Diketuknya pelan pintu itu hingga suara air yang terdengar sebelumnya kini senyap. “Mas Nadhif, ini Nadina. Mas sudah bawa baju ganti? Kenapa di ranjang dan di gantungan tidak ada? Mau Nadina yang ambilkan?” tanya Nadina dengan sedikit berteriak berharap suaminya mendengar semua yang ia katakan. “Sudah Nadina! Terima kasih, tapi saya sudah bawa di sini!” pekik Nadhif membalas. “Ahh, baiklah! Nadina pergi ke dapur, ya!” pekik Nadina lalu kembali ke meja rias dan menuntaskan rambutnya sebentar lalu mengenakan hijab instan sebelum akhirnya keluar kamar.