Nadina dan Aminah kini berjalan di antara deretan penjual sayur dan ikan yang bercampur. Seperti pasar tradisional yang masih kental dengan tawar menawar, pasar itu kini penuh kebisingan dialog antara sang penjual dengan sang penawar, belum lagi suara anak kecil yang menangis. Nadina sedikit memicingkan mata saat harus berjalan di antara lumpur. Semalam memang sebentar hujan hingga tanah di sana sedikit becek untuk dipijak. “Biasanya Nadina dengan Ibu pergi ke pasar mana?” tanya Aminah. Nadina sedikit meringis, sudah tergambar jika wanita itu jarang pergi ke pasar untuk menemani sang ibu. “Jujur saja Nadina jarang turut serta dengan Ibu, Umi. Selain setelah SMA Nadina langsung merantau untuk kuliah, Nadina juga langsung menikah setelah lulus,” tutur Nadina. “Ahhh, iya umi lupa! Baiklah, sekarang jadikan pasar ini sahabatmu, yah! Umi akan tunjukkan di mana kios tempat umi berbelanja biasanya!” tutur Aminah membuat Nadina merasa sangsi. “Bersahabat dengan pasar? Kumuh berlumpur be
Hari berganti malam saat seluruh keluarga hadir di meja makan dan menyantap makanan buatan Aminah dan Nadina. Nadhif dan Ali mulai memuji kelezatan makanan itu saat baru pertama mencicipinya. “Umi dan Abi tidak salah memilik istri untukmu ‘kan Nadhif? Nadina juga sangat pandai memasak rupanya! Lidahnya sangat pintar dalam mengecek rasa!” puji Aminah. “Syukurlah kalau begitu, biasanya umimu ini jika memasak kadang kurang garam, kadang kelebihan garam,” kekeh Ali membuat Aminah turut tertawa. “Bagaimana dengan para murid pondok, Nadhif? Apakah mereka sudah siap untuk ujian dan wisuda beberapa bukan lagi?” tanya Ali menoleh kepada Nadhif. “Beberapa santriwan dan santriwati telah siap terutama dengan hafalan mereka, namun ada beberapa santri yang harus lebih giat mengejar ketertinggalan mereka, Abi. Tetapi Nadhif yakin jika mereka akan mampu melaksanakannya dengan baik dan lulus tepat waktu,” sahut Nadhif. Pembicaraan itu dilakukan setelah mereka menyantap makanan di hadapan mereka.
Nadina menggeliatkan tubuhnya tepat pada pukul tiga di saat jam weker itu berdenting. Namun tatkala ia terus menggeliat menyadarkan diri dalam tidurnya, ia menyadari sesuatu yang lain. Matanya terbelalak saat melihat Nadhif mendekap tubuhnya begitu pun dengan dirinya yang sepertinya mendekap tubuh Nadhif sebelum ia tersadar tadi. “Oh, Tuhan!” pekik Nadina lirih. Ia kembali memandang wajah sang suami dan baru menyadari jika beberapa kancing pada piyama sang suami terbuka, sementara ia mengenakan piyama cekak malam ini. “Se– semalam,” ucapnya terbata. “Nggak! Nggak mungkin! Nggak mungkin Mas Nadhif lakuin itu sama aku! Dia udah janji ‘kan?!” sergah Nadina. Saat wanita itu hendak mengeluarkan dirinya dari dekapan sang suami, sebentar ia melihat wajah Nadhif yang tertidur pulas, sangat tenang bahkan sama tenang seperti ia biasanya. Wajahnya yang teduh nan tampan itu seketika membuat Nadina tiba-tiba mengelusnya. “Aissh!! Kenapa lagi ini!” sergah Nadina lalu langsung dengan cepat kelu
Nadina terkejut bukan main saat dirinya harus mendengar perkataan itu keluar dari mulut Nadhif. Seperti yang ia kira, Nadhif tak akan mengetahui soal urusan model itu. Namun ia salah besar. Kini dengan jelas Nadina tampak berbohong. “Ehm, Mas! Mas Nadhif tahu?” lirih Nadina langsung memutar tubuhnya saat mendapat kesempatan. Nadhif mematikan alat pengering rambut itu lalu meletakkannya di atas meja rias. “Kamu pikir untuk apa saya menahan Sadewa nyaris dua jam sebelum akhirnya mengizinkan dia bertemu denganmu, Nadina?” tutur Nadhif. “Ma– maksud Mas Nadhif bagaimana? Nadina tidak paham.” “Ia datang ke dalem sekitar pukul enam pagi, saya tanya apa tujuannya dan ia terus bergulat dengan alasan hanya bertemu kawan lamanya sama seperti yang kamu utarakan. Saya tahu pasti jika itu bukan tujuan utamanya saat itu. Saya tak segera bergegas pergi dari sana untuk memanggilmu, saya biarkan dia tetap duduk di kursi itu dan meneguk teh seolah sedang menunggu kedatanganmu.” “Sampai akhirnya pu
Ali terdengar terkekeh atas pertanyaan yang Nadhif ucapkan. “Tentu istri Nadhif, Abi!” jawab Nadhif akhirnya. “Lantas, mengapa menanyakan ini kepada Abi? Apakah masalah sesederhana ini tidak mampu kamu atasi sendiri, Nadhif?” sindir Ali memandang putra semata wayangnya itu. “Nadhif takut keputusan yang Nadhif ambil nanti tidak selaras dengan visi dan misi pondok, Abi.” “Jangan mengatas namakan pondok atas keraguanmu, Nadhif. Keraguanmu menunjukkan kurang kuatnya ikatan pernikahanmu dengan Nadina, Nadhif. Kamu belum benar-benar mempercayainya.” Ali sebentar diam menunggu reaksi Nadhif. Sementara itu, Nadhif berusaha mencerna perkataan sang abi yang terdengar sederhana namun penuh makna itu. “Apa ini artinya Abi mengizinkannya?” celetuk Nadhif. “Nadhif, Nadina bukan istri abi. Dia istrimu, mengapa kamu meminta orang lain untuk menentukan hal yang akan istrimu lakukan? Coba pikirkan sendiri apa positif dan negatifnya jika Nadina menjadi seorang model.” Nadhif terdiam cukup lama. I
Nadina yang mendengar penuturan Nadhif langsung terdiam dan tak bisa berkata-kata. Selama sekian detik wanita itu hanya menatap Nadhif kosong sementara Nadhif mencoba kembali meyakinkan dirinya sendiri. “M– mas? Mas Nadhif bilang apa?” ulang Nadina sambil memegang punggung tangan Nadhif dengan tangan kanannya. Wajah Nadina yang tampak perlu diyakinkan kembali berada tepat di hadapan Nadhif saat ini. “Saya izinkan kamu untuk menerima tawaran itu, Nadina.” Tak diduga-duga, Nadina langsung menghamburkan tubuhnya ke Nadhif. Wanita itu seolah tersihir oleh izin yang dilayangkan sang suami hingga mendorong dirinya untuk seketika memeluk sang suami. “Mas Nadhif serius?! Terima kasih, Mas!” pekik Nadina bahagia. Nadhif tak langsung membalas pelukan sang istri melainkan sejenak terdiam kemudian kembali berucap. “Tetapi saya memiliki syarat,” tutur Nadhif langsung membuat Nadina merenggangkan pelukannya. “Syarat? Syarat apa?” tanya Nadina. “Saya yang akan mengantar dan menjemputmu ke te
Hari semakin petang, Nadhif telah keluar kamar sedari tadi untuk membantu abinya mempersiapkan materi pertemuan malam ini. Sementara itu, Nadina berjalan perlahan menuju kamar Aminah dan Ali untuk menemui Aminah. “Assalamualaikum, Umi! Ini Nadina!” pekik Nadina sembari sebentar mengetuk pintu kamar sang mertua. Perasaan cemas sedikit menghantuinya. Ia benar-benar takut jika sang ibu mertua tak lagi mau membela atau ramah kepadanya. Tak lama kemudian, pintu kamar di buka. “Eh, Nadina! Apa kamu hendak menjemput umi untuk pergi ke masjid?” sahut Aminah tampak penuh senyuman. Wajah Nadina langsung sedikit lega dan mengangguk cepat. “Iya, Umi. Apa umi sudah siap? Jika belum Nadina bisa menunggunya,” tutur Nadina. “Sudah, Sayang! Sebentar umi ambil mukena dulu, ya!” Aminah masuk kembali ke dalam ruang kamarnya, lalu tak lama kemudian kembali dengan satu tas kecil berisi mukena yang selalu ia kenakan itu. Keduanya berjalan menyusur koridor lalu mulai melewati halaman pondok untuk menc
Nadhif langsung membawa mobilnya ke depan pelataran masjid. Usai memastikan posisi mobilnya pas, Nadhif langsung turun dan menghampiri Nadina yang telah berbaring di pangkuan sang umi. “Ayo Nadhif cepat! Istrimu butuh pertolongan segera!” sergah Aminah. Tanpa tunggu lama lagi, akhirnya Nadhif mengangkat tubuh Nadina ke dekapannya lalu membawa istrinya itu menuruni tangga masjid sebelum akhirnya membawanya masuk ke dalam mobil. Sembari merapikan posisi Nadina di dalam mobil itu, Nadhif terus memandangi wajah Nadina. Ia memikirkan apa yang terjadi semalam hingga Nadina sampai seperti sekarang ini. Perjalanan dimulai, Nadhif sesekali melirik ke arah kaca yang menampilkan Aminah terus menggosok tangan Nadina di kursi belakang. “Bagaimana awalnya, Umi? Sore tadi Nadina tampak baik-baik saja, mengapa tiba-tiba jadi seperti ini?” tanya Nadhif. “Umi pun tidak menduganya Nadhif. Umi hanya tahu Nadina terus meringkuk di tengah kajian tadi, saat umi melihatnya, wajah istrimu sudah pucat da