Annisa mengejapkan matanya, dia terkejut dan tak menyangka suaminya akan mengatakan semua itu kepada Morgan. Dia tidak tahu apa masalah di antara mereka sehingga tiba-tiba saja mengubah suasana menjadi tegang."Zidane, kenapa kau bicara seperti itu?" ucap Annisa pelan sembari menarik lengan suaminya agar menyudahi perdebatan yang tidak jelas itu.Annisa memalingkan wajah ke arah Morgan, menatap pria itu dengan sorot yang menunjukkan tidak enak hati atas apa yang baru saja dikatakan oleh suaminya."Maafkan suamiku, dia tidak bermaksud bicara seperti itu," ucap Annisa kepada Morgan.Zidane menggertakkan giginya. Emosinya sedang tidak stabil saat ini, sehingga kata maaf yang terlontar dari mulut sang istri kepada Morgan terdengar seperti sebuah pembelaan untuk pria lain dari pada dirinya."Tidak masalah, aku sudah terbiasa dengan sikapnya yang seperti ini. Bukankah begitu, Zidane?" sahut Morgan sembari menatap Zidane dengan sorot yang sulit diartikan.Tidak terlihat tanda-tanda perdamaia
Bibir Annisa sempat menganga sepersekian detik mendengar penuturan sang suami. Bagaimana bisa Zidane berpikiran seburuk itu pada orang asing?"Kamu terlalu suudzon pada orang lain, Zidane.""Aku tidak berbicara karena suudzon, tapi itulah faktanya!" Zidane bersikeras. Keposesifannya yang seperti ini membuat tubuh Annisa yang lelah, menjadi lebih penat karenanya."Mengapa kamu menjadi seperti ini? Siapa yang mau merebut istri orang lain dengan kesadaran penuh?""Kalau ada bagaimana?" Zidane malah membalikkan pertanyaan.Membuat sepasang tangan milik Annisa terdekap di depan perut."Kamu itu ...." Annisa membungkam bibirnya, tak sanggup lagi melanjutkan kalimat melihat tingkah sang suami."Terserahlah!" Akhirnya Annisa menyerah, dia buang pandangan ke arah jendela. Memperhatikan jalanan padat kota dengan cahaya sinar mentari yang menerpa cerah. Hawa yang panas seakan menambah buruk mood wanita berhijab tersebut.Melihat perubahan sikap sang istri, Zildane menepikan mobilnya. Menarik ta
Sepersekian detik Annisa mematung mendengar lontaran permintaan sang mertua. Lantas, sebuah air bergulir menetesi pipinya tanpa suara.Hatinya berdenyut nyeri, permintaan berbagi suami bukankah itu merupakan hal yang keji."Apa Anda salah memakan sesuatu hari ini, Om?" tanya Annisa menahan gemelatuk rahangnya yang mengeras."Kamu berbicara seperti itu pada saya? Dasar tidak sopan!" bentak Alfian meradang."Mana yang lebih tidak sopan? Perkataan Anda barusan atau perkataan saya yang menjawabi Anda?""Kamu—" Alfian mencoba meredam amarahnya."Bagaimana Zidane bisa menikahi gadis angkuh sepertimu? Bahkan kamu tidak tahu bagaimana menghormati orang yang lebih tua.""Saya tidak pernah melucuti rasa hormat saya pada Anda, Om. Tapi, sikap dan ucapan Anda lah yang membuat diri Anda tidak pantas dihormati."Alfian bangkit dan menggebrak meja di depannya. Membuat seluruh pasang mata pengunjung terarah pada meja mereka.Annisa tersenyum pedar, lantas dia meminta Alfian untuk duduk dan kembali te
Zidane merasa aneh dengan perkataan Annisa. Tak biasanya wanita yang merupakan istrinya itu mengatakan hal tersebut. Entah mengapa dia mempunyai firasat jika ada sesuatu hal yang terjadi pada Annisa. "Kamu ini ngomong apa? Kok tiba-tiba takut kehilangan aku? Aku tidak akan ke mana-mana kok." Zidane langsung memegang kedua pundak Annisa dan menghadapkan tubuh istrinya itu ke hadapannya hingga mereka saling bertatap dalam satu garis lurus. "Bukan pergi begitu maksud aku, tapi yang lain," sahut Annisa. "Yang lain gimana?" Lagi-lagi kedua alis Zidane bertaut. "Ya, misalnya kamu tiba-tiba ninggalin aku karena sesuatu hal," lirih Annisa. Wanita yang saat ini masih menggunakan hijab itu menurunkan pandangannya seolah tak mampu menatap netra suaminya yang penuh dengan rasa penasaran. Zidane menghela napas lirih sambil memejamkan matanya sejenak. Dia semakin yakin jika memang ada sesuatu yang terjadi pada Annisa saat mereka berdua sedang tidak bersama. "Kia, coba lihat mata aku. Aku cuma
Saat ini Zidane tengah duduk di kursi ruang kerja kantornya. Sedari tadi dia memegang serta memijit pelipisnya ketika membaca beberapa dokumen mengenai masalah yang ada di perusahaan milik Alfian—ayahnya."Kenapa masalah ini terus-terusan membuatku pusing? Aku harus segera menyelesaikan masalah ini, kalau tidak mereka pasti akan memaksaku menikahi Nayla dengan alasan menyelamatkan perusahaan," gumam Zidane. Helaan napas lirih Zidane terdengar di ruang kerja yang sepi itu. Saat ini pria itu memang sedang sendiri karena Nayla belum datang. Sejujurnya dia sudah muak harus berdampingan dengan wanita itu dan menjadikannya sekretaris, tapi dia saat ini memang tak mempunyai pilihan lain. Tak lama dari itu, Nayla pun menampakkan batang hidungnya. Seperti biasa dia selalu bersikap sok ramah pada Zidane. "Dane, nanti siang ayahku mau mengajak kita untuk makan bersama. Kau tidak keberatan dan berniat menolak 'kan?"Wanita yang saat ini menggunakan rok span pendek berwarna hitam itu langsung t
Satu hari kemudian, suasana perusahaan masih saja terlihat semrawut dan banyak masalah yang belum teratasi. Apalagi, belum ada investor yang menawarkan diri ataupun menerima penawaran proposal yang dikirimkan oleh Zidane. “Apa lagi yang harus dilakukan untuk mempertahankan perusahaan ini?” ucap Zidane bermonolog sambil duduk di tempatnya. Zidane menatap lurus ke arah komputer yang ada di depannya. Benda itu masih menyala dan sudah disiapkan untuk bekerja. Namun, kepala Zidane masih belum bisa tenang dalam mengerjakan pekerjaan. Dia hanya bisa melamun dengan pikiran kosong. Bahkan, dia sudah membuang waktu selama kurang lebih empat jam hanya memikirkan hal yang sama.Tiba-tiba, telinga Zidane mendengar sebuah suara ketukan pintu, tanpa ada salam. Belum dijawab, wanita yang saat ini menggunakan rok span sepanjang lutut itu sudah menyelonong masuk dan berjalan ke arah Zidane. “Ada apa, Nay?” tanya Zidane malas.Nayla duduk di depan meja kerja Zidane. Mereka berhadapan, namun tidak sek
“Nay, Yogi, aku pergi duluan,” ucapnya sambil beranjak dari duduk dan mengusapkan tisu untuk membersihkan sisa minyak di bibirnya. Zidane beranjak pergi meninggalkan warung makan itu, setelah membayarkan semua pesanannya, termasuk pesanan milik Nayla. Yogi dan Nayla masih menetap di warung itu. Mereka saling terdiam, seakan tidak ada topik pembahasan yang lebih serius. Beberapa detik kemudian, Yogi membuka obrolan dengan Nayla yang sudah terlanjur kesal karena ditinggal oleh Zidane. “Nay, kamu nggak capek, ngejar-ngejar Zidane terus?” tanya Yogi sambil mengambil gelas berisi air es milik Nayla yang masih utuh. Nayla mentap tajam ke arah Yogi. “Apa urusannya sama kamu?”Yogi terdiam sesaat. Dia masih bingung harus menjawab apa. Padahal, di dalam hatinya sangat memberontak untuk mengungkapkan sesuatu. “Ah—Kasihan saja, ditolak mulu,” kata pria itu menyeruput sekali tegukan air es itu. “Nggak butuh belas kasihan,” jawab Nayla tegas sambil mengaduk bakso yang belum ditambahkan bumbu
Kedua mata Zidane terpejam sambil memikirkan cara agar perusahaan ayahnya bisa selamat. Memang masalah ini sungguh memusingkan karena dihubungkan dengan kehidupan pribadinya. Andai saja kedua orang tuanya tidak mendesaknya menikahi Nayla, mungkin dia bisa berpikir lebih jernih. "Hahh... mengapa sangat rumit sekali?" keluh Zidane. Tiba-tiba saja pintu ruang kerjanya diketuk oleh seseorang. Ternyata yang datang adalah Nayla. Jelas kehadiran wanita itu membuat mood Zidane makin memburuk. "Mau apa lagi kau?" tanya Zidane dingin. "Kamu nggak pulang, Dane? Apa mau nginep di kantor?" Lagi-lagi Nayla sok perhatian pada Zidane. "Nanti juga aku pulang. Kau pulang duluan saja," usir Zidane. Nayla mendecak sambil geleng-geleng kepala. Dia tahu betul jika pria yang duduk di hadapannya itu pikirannya sedang kusut. "Kamu nggak usah mikirin soal perusahaan terlalu dalam, Dane. Nanti juga ada solusinya," ujar Nayla. Tampaknya Zidane makin kesal karena kehadiran Nayla. Rasanya dia ingin langsun