Zidane merasa aneh dengan perkataan Annisa. Tak biasanya wanita yang merupakan istrinya itu mengatakan hal tersebut. Entah mengapa dia mempunyai firasat jika ada sesuatu hal yang terjadi pada Annisa. "Kamu ini ngomong apa? Kok tiba-tiba takut kehilangan aku? Aku tidak akan ke mana-mana kok." Zidane langsung memegang kedua pundak Annisa dan menghadapkan tubuh istrinya itu ke hadapannya hingga mereka saling bertatap dalam satu garis lurus. "Bukan pergi begitu maksud aku, tapi yang lain," sahut Annisa. "Yang lain gimana?" Lagi-lagi kedua alis Zidane bertaut. "Ya, misalnya kamu tiba-tiba ninggalin aku karena sesuatu hal," lirih Annisa. Wanita yang saat ini masih menggunakan hijab itu menurunkan pandangannya seolah tak mampu menatap netra suaminya yang penuh dengan rasa penasaran. Zidane menghela napas lirih sambil memejamkan matanya sejenak. Dia semakin yakin jika memang ada sesuatu yang terjadi pada Annisa saat mereka berdua sedang tidak bersama. "Kia, coba lihat mata aku. Aku cuma
Saat ini Zidane tengah duduk di kursi ruang kerja kantornya. Sedari tadi dia memegang serta memijit pelipisnya ketika membaca beberapa dokumen mengenai masalah yang ada di perusahaan milik Alfian—ayahnya."Kenapa masalah ini terus-terusan membuatku pusing? Aku harus segera menyelesaikan masalah ini, kalau tidak mereka pasti akan memaksaku menikahi Nayla dengan alasan menyelamatkan perusahaan," gumam Zidane. Helaan napas lirih Zidane terdengar di ruang kerja yang sepi itu. Saat ini pria itu memang sedang sendiri karena Nayla belum datang. Sejujurnya dia sudah muak harus berdampingan dengan wanita itu dan menjadikannya sekretaris, tapi dia saat ini memang tak mempunyai pilihan lain. Tak lama dari itu, Nayla pun menampakkan batang hidungnya. Seperti biasa dia selalu bersikap sok ramah pada Zidane. "Dane, nanti siang ayahku mau mengajak kita untuk makan bersama. Kau tidak keberatan dan berniat menolak 'kan?"Wanita yang saat ini menggunakan rok span pendek berwarna hitam itu langsung t
Satu hari kemudian, suasana perusahaan masih saja terlihat semrawut dan banyak masalah yang belum teratasi. Apalagi, belum ada investor yang menawarkan diri ataupun menerima penawaran proposal yang dikirimkan oleh Zidane. “Apa lagi yang harus dilakukan untuk mempertahankan perusahaan ini?” ucap Zidane bermonolog sambil duduk di tempatnya. Zidane menatap lurus ke arah komputer yang ada di depannya. Benda itu masih menyala dan sudah disiapkan untuk bekerja. Namun, kepala Zidane masih belum bisa tenang dalam mengerjakan pekerjaan. Dia hanya bisa melamun dengan pikiran kosong. Bahkan, dia sudah membuang waktu selama kurang lebih empat jam hanya memikirkan hal yang sama.Tiba-tiba, telinga Zidane mendengar sebuah suara ketukan pintu, tanpa ada salam. Belum dijawab, wanita yang saat ini menggunakan rok span sepanjang lutut itu sudah menyelonong masuk dan berjalan ke arah Zidane. “Ada apa, Nay?” tanya Zidane malas.Nayla duduk di depan meja kerja Zidane. Mereka berhadapan, namun tidak sek
“Nay, Yogi, aku pergi duluan,” ucapnya sambil beranjak dari duduk dan mengusapkan tisu untuk membersihkan sisa minyak di bibirnya. Zidane beranjak pergi meninggalkan warung makan itu, setelah membayarkan semua pesanannya, termasuk pesanan milik Nayla. Yogi dan Nayla masih menetap di warung itu. Mereka saling terdiam, seakan tidak ada topik pembahasan yang lebih serius. Beberapa detik kemudian, Yogi membuka obrolan dengan Nayla yang sudah terlanjur kesal karena ditinggal oleh Zidane. “Nay, kamu nggak capek, ngejar-ngejar Zidane terus?” tanya Yogi sambil mengambil gelas berisi air es milik Nayla yang masih utuh. Nayla mentap tajam ke arah Yogi. “Apa urusannya sama kamu?”Yogi terdiam sesaat. Dia masih bingung harus menjawab apa. Padahal, di dalam hatinya sangat memberontak untuk mengungkapkan sesuatu. “Ah—Kasihan saja, ditolak mulu,” kata pria itu menyeruput sekali tegukan air es itu. “Nggak butuh belas kasihan,” jawab Nayla tegas sambil mengaduk bakso yang belum ditambahkan bumbu
Kedua mata Zidane terpejam sambil memikirkan cara agar perusahaan ayahnya bisa selamat. Memang masalah ini sungguh memusingkan karena dihubungkan dengan kehidupan pribadinya. Andai saja kedua orang tuanya tidak mendesaknya menikahi Nayla, mungkin dia bisa berpikir lebih jernih. "Hahh... mengapa sangat rumit sekali?" keluh Zidane. Tiba-tiba saja pintu ruang kerjanya diketuk oleh seseorang. Ternyata yang datang adalah Nayla. Jelas kehadiran wanita itu membuat mood Zidane makin memburuk. "Mau apa lagi kau?" tanya Zidane dingin. "Kamu nggak pulang, Dane? Apa mau nginep di kantor?" Lagi-lagi Nayla sok perhatian pada Zidane. "Nanti juga aku pulang. Kau pulang duluan saja," usir Zidane. Nayla mendecak sambil geleng-geleng kepala. Dia tahu betul jika pria yang duduk di hadapannya itu pikirannya sedang kusut. "Kamu nggak usah mikirin soal perusahaan terlalu dalam, Dane. Nanti juga ada solusinya," ujar Nayla. Tampaknya Zidane makin kesal karena kehadiran Nayla. Rasanya dia ingin langsun
Pagi ini Annisa terlihat anggun memakai hijab abu-abu. Dia memilih setelan blazer peach serta rok plisket bahan premium yang berwarna sama dengan hijabnya sebagai outfit kerjanya hari ini. Zidane juga tak kalah tampan dengan setelan jas berwarna abu-abu. Pria itu sengaja mengenakan outfit yang terlihat senada dengan sang istri agar dibilang serasi. "Gimana aku tampan 'kan?" tanya Zidane sambil memegang kerah jasnya. Dia bahkan bergaya bak model di hadapan Annisa sehingga istrinya itu terkekeh geli. "Kamu tampan banget, Mas. Pokoknya semua pria lain lewat sama kamu," puji Annisa yang masih memasang senyuman di wajahnya. "Yang benar? Kamu bukannya cuma mau nyenengin aku aja?" Dahi Zidane berkerut samar sambil menatap Annisa lekat. Annisa mengangguk yakin sebab baginya memang hanya Zidane pria yang paling tampan. Meski ada pria lain yang katanya melebihi suaminya, tetap saja dia tak peduli. "Kamu juga yang paling cantik bagi aku. Wanita lain itu di mata aku semuanya kelihatan nge-b
“Terima kasih, Pak, atas kerja samanya,” ucap Zidane sambil mengajak sang klien untuk berjabat tangan. Klien dengan jas hitam dan dasi merah hati itu pun membalas jabatan tangan itu diirngi dengan senyuman. Setelah itu, dia pamit pergi meninggalkan Zidane dan Nayla di salah satu kafe yang tidak jauh dari perusahaan.Nayla yang masih berdiri setelah mengamati langkah kaki klien itu pun mengambil berkas-berkasnya. “Habis ini kamu mau ke mana, Dane?” tanya Nayla. Zidane melihat ke arah jam tangannya. Waktu masih menunjukkan pukul setengah tiga sore. Masih ada waktu setengah jam untuk mencari hadiah spesial. Namun, pada saat Zidane menatap ke arah depan, dia melihat Annisa tengah bersama seorang pria. “Mau menghampiri istriku,” jawab Zidane sambil melangkahkan kakinya ke depan.Nayla buru-buru berdiri dengan tegak. Benar saja, dia sudah kecepatan oleh langkah kaki Zidane yang mulai menjauh. Wanita dengan dua buah map di tangan itu pun mengikuti langkah kaki Zidane. “Dane, tunggu. Aku p
Tiara dan Rizky tengah mencari tahu tentang keburukan yang dilakukan oleh Diki untuk menjatuhkan perusahaan milik Zidane. Mungkin saja, dengan hal itu bisa membuat hubungan Annisa dan Zidane bisa membaik dan mendapatkan restu dari orang tuanya. Namun, Tiara dan Rizky harus menyusun strategi yang matang sebelum terjun lebih dalam. “Kita harus bisa mendapatkan bukti, tanpa ketahuan. Kalau sampai salah satu dari kita ada yang tertangkap, bisa-bisa kita dibunuh secara mendadak oleh Diki.” Rizky memeringati Tiara yang saat ini menjadi kekasihnya. Tiara mengangguk dengan otak yang kosong. Masih memikirkan langkah paling baik untuk menjadi seorang mata-mata. “Kita terpisah?” tanya Tiara dengan suara lirih.“Tentu saja, nggak. Mana mungkin aku melepaskanmu,” jawab Rizky mendadak takut kehilangan sosok Tiara di dalam hidupnya.Tiara menarik napas panjang. “Maksud aku, kita terpisah untuk mencari bukti-bukti itu?” jawabnya sedikit kesal.“Oh, nggak. Berdua saja.”“Terus, kita harus melakukan