"Kau yang benar saja, Sayang. Mana mungkin aku suka dengannya, aku ini sangat normal. Bukankah aku sudah membuktikannya selama ini?" ujar Zidane kepada Annisa sambil mengedipkan sebelah matanya.
"Ch, dasar budak cinta!" cibir Rizky menyindir Zidane.
Annisa yang merasa malu mendengar kalimat terakhir yang diucapkan suaminya itu langsung bersemu merah, lantas memukul bahu Zidane geram.
"Maksudku bukan seperti itu," sahut Annisa ketus kepada Zidane. Dia menoleh ke arah sekretaris suaminya. "Kau cocok dengan Tiara," katanya.
"Aku?" ulang Rizky yang langsung dibalas anggukkan plos oleh Annisa.
"Ya, tentu saja kau. Tidak mungkin aku mengatakannya untuk suamiku," ujar Annisa gemas.
Zidane terkekeh pelan lantas menarik pinggang istrinya itu agar merapat dengannya. "Sudah sana, kejar jodohmu!" titahnya kepada Rizky. "Kami mau pergi makan siang sambil pacaran dulu. Yang lajang dilarang ikut, bahaya!" tegasnya sambil menarik Annisa meninggalkan Rizky y
Zidane mengusap tengkuknya yang tak gatal sambil memikirkan kata-kata yang tepat untuk menjelaskan semua kepada papanya."Kay, apa benar kau bekerja di perusahaan Buana?" ulang Alfianto sambil menatap tajam putranya yang nampak kebingungan."Ya, sekarang aku menjadi bagian dari perusahaan Buana," jawabnya lemah sambil tertunduk. Sedetik kemudian Zidane mendongak, menatap wajah papanya yang sudah memerah menahan amarah."Beraninya kau melakukan semua itu?" geram Alfian kesal. "Apa kau sudah gila? Selama ini papa membiarkanmu bebas melakukan semua hal yang kau inginkan, tapi bukan berarti kau boleh bekerja di sana. Apa kau lupa bahwa selama ini perusahaan kita bersaing ketat dengan Buana Grup?" sambungnya lagi bernada penuh penekanan di setiap kata-katanya.Zidane terdiam tetapi tidak merasa bersalah atas apa yang dia putuskan untuk bergabung dengan Buana Grup. Meskipun Zidane tahu, pekutusannya tersebut akan membuat papanya murka."Apa kau sengaja i
"Apa aku terlihat cantik dengan pakaian ini, Ma?" tanya Nayla kepada mamanya.Gadis itu sedang berdiri di depan cermin, melihat pantulan tubuhnya sendiri yang sedang mencoba gaun yang baru saja dia dan mamanya beli untuk acara makan malam."Anak mama memang cantik," sahut mamanya Nayla sambil tersenyum memuji penampilan putrinya."Aaah, Mama bisa saja," ucapnya. Nayla merasa tersanjung dengan pujian sang mama dan langsung memeluk wanita paruh baya itu, tak lupa meninggalkan kecupan hangat di kedua pipi mamanya."Eh, Ma. Kira-kira dia seperti apa ya, sekarang?" tanya Nayla sambil menatap lurus ke depan, mengingat masa kecilnya bersama seorang pria yang saat ini dijodohkan dengannya."Tentu saja dia sangat tampan. Pokoknya kamu tidak akan merasa menyesal menerima perjodohan ini.""Benarkah?" tanya Nayla yang langsung dibalas anggukkan kepala oleh mamanya."Tapi, kenapa kalian tidak menunjukkan fotonya yang sekarang kepadaku?" Nayla cemb
"Zidane," panggil Annisa.Gadis itu menyembulkan kepalanya untuk melihat wajah Zidane yang sedang mendekapnya. Mereka baru saja selesai melakukan ritual wajib suami istri penuh gairah."Hm," gumam Zidane sambil kembali mengecup kening istrinya."Apa aku boleh menghadiri acara makan malam bersama Nayla? Tadi dia memintaku menemaninya," tanya Annisa. Dia masih menatap wajah suaminya dengan sorot yang berbinar teduh."Boleh," jawab Zidane."Benarkah?" Annisa terdengar bahagia. "Apa kamu juga akan ikut?" tanyanya.Zidane terdiam seperti sedang berpikir. "Kalau aku tidak ikut, apa kau akan marah?""Menangnya kenapa tidak ikut?" tanya Annisa sambil cemberut."Sebenarnya, besok sore aku akan menemui mama. Sudah lama tidak bertemu, jadi mama memintaku pulang," ucap Zidane.Kening Annisa mengerut. Dia segera merenggangkan tubuhnya agak menjauh agar bisa melihat wajah Zidane dengan jelas."Kenapa tidak bilang? Kalau begitu
Keesokan sorenya, Zidane mengantarkan Annisa ke rumah Nayla sebelum dia pulang ke rumahnya. Meski dia merasa tidak enak hati dengan istrinya itu, tetapi tidak ada pilihan lain. Saat ini memang bukan waktu yang tepat memperkenalkan Annisa kepada orang tuanya.Zidane belum melihat bagaimana reaksi mereka saat nanti dia memberi tahu bahwa dirinya sudah menikah. Terlebih, wanita pilihannya itu tak lain ialah putri dari pesaing perusahaan papanya."Aku akan menjemputmu nanti malam. Jangan lupa untuk selalu mengabariku," pesan Zidane sebelum dia pergi.Annisa tersenyum, lalu mengangguk mengiakan."Kamu juga hati-hati di jalan," sahut Annisa.Gadis itu terdiam sesaat dengan pandangan yang sulit diartikan. Ada rona kekhawatiran yang sedang dia coba sembunyikan."Kenapa melamun? Ayo cepat masuk!" Ucapan Zidane menarik Annisa dari lamunannya."Zidane, kau tidak akan meninggalkanku 'kan?" tanya Annisa.Kedua alis pria itu saling bertautan
Annisa berjalan beriringan dengan Nayla mengikuti orang tua Nayla memasuki restoran ternama. Sebelumnya keluarga Nayla sudah menyewa ruangan khusus di restoran tersebut karena acaranya berlangsung secara private."Kau tahu, saat ini aku sangat gugup," bisik Nayla kepada Annisa yang duduk di samping kanannya.Posisi Nayla saat ini duduk di tengah di antara Maya-mamanya- dan Annisa. Sementara papanya duduk di kursi tunggal dekat istrinya.Annisa tersenyum menanggapi sahabatnya yang mengaku sedang merasa gugup menanti kedatangan calon tunangannya."Tenanglah, semua akan baik-baik saja," kata Annisa."Menurutmu, apa aku tidak salah mengambil keputusan seperti ini?" tanya Nayla."Sekarang bukan waktunya untuk menyesal, Nayla," ucap Annisa dengan suara pelan."Aku hanya bercanda," jawab Nayla. "Bagaimana mungkin aku menyesal menikah dengan pria yang kucintai sejak lama," sambungnya lagi dengan suara berbisik."Dasar kau." Annisa menc
"Loh, Zidane?"Nayla terkejut melihat kehadiran Zidane yang ternyata adalah putra dari Vivi dan Alfian, pria yang akan dijodohkan dengannya.Refleks, Nayla menoleh ke arah Annisa yang juga terkejut dengan semua ini. Gadis itu terdiam seribu bahasa dengan sorot mata berkaca-kaca. Tak terbayang sesak dan sakitnya perasaan gadis itu sekarang."Kalian sudah saling mengenal?" tanya Diki.Para orang tua terkejut mengetahui ternyata anak-anak mereka sudah saling mengenal satu sama lain."Kay, kamu kenal sama Nayla dan Annisa?" tanya Vivi lembut.Zidane tak menjawab. Pandangannya terkunci pada gadis berhijab yang ada di hadapannya. Dia tak menduga akan bertemu dengan Annisa dalam situasi yang akan menggiring menuju ke kesalahpahaman."Iya, Bi. Kami sudah saling mengenal," jawab Nayla gugup sambil melirik ke arah Annisa sekilas.Alfian memperhatikan putranya yang tidak mengalihkan pandangan menatap Annisa, bukan Nayla. Kening pria paruh
Ponsel Annisa terus bergetar, tetapi dia tidak ingin menjawab telepon Zidane dan lebih memilih untuk menonaktifkannya. Zidane semakin merasa frustrasi karena teleponnya tak kunjung dijawab oleh Annisa. Dia kembali menjambak rambutnya, lalu mendengkus kasar. Kakinya terpaku menatap bayangan sang istri yang telah menghilang dari pandangan sambil mengepalkan kedua tangannya. Pria itu membalikkan badan, berjalan kembali memasuki restoran dengan perasaan yang tak tenang. Langkah Zidane terhenti tepat di mejanya semula. Tajam netra yang menyerupai elang itu menatap dingin pada semua orang yang ada di sana terutama kepada kedua orang tuanya. Pandangan itu beralih saat suara seorang wanita menanyainya. "Kay, ada apa? Apa yang sebenarnya terjadi di antara kalian? Kenapa Annisa tiba-tiba pergi?" tanya Maya. Pria yang sedang ditanyai itu tak langsung menjawab. Dia terlebih dulu menarik kursi kosong, lalu mendudukinya dengan tenang. Namun, sorot matanya nampak di
"Berhenti di sini saja, Pak!" ucap Annisa kepada sopir taksi yang ditumpanginya.Gadis itu memilih berhenti di dekat halte bus, tidak ingin pulang ke rumah karena di sana dia pasti akan bertemu dengan Zidane. Sebenarnya, bisa saja Annisa pergi ke kafe bukunya untuk menenangkan pikiran, tetapi dia berpikir tempat itu juga pasti akan di datangi suaminya."Baik, Nona." Sopir itu mengangguk patuh.Annisa turun setelah membayar tarip ongkosnya. Dia berjalan gontai tidak memiliki tujan pasti. Suasana di tempat itu sudah agak sepi pejalan kaki, mungkin karena orang-orang sudah beristirahat di rumah masih-masing.Gadis itu mendongak, melihat ke arah langit sambil menengadahkan tangan kanannya. Dia merasakan tetesan air terjatuh dari atas sana mengenai telapak tangannya."Hujan," gumamnya lirih.Kepalanya memutar ke kiri dan kanan, menacari tempat untuk berteduh karena tetesan air langit itu turun semakin deras. Tidak ada pilihan lain, Annisa memutus