"Kalau ada apa-apa itu, coba dibicarain dulu. Bisa?" tanya Zidane.
Netra tajam menyerupai elang itu menatap teduh wajah istrinya yang sedikit sembab, akibat menangis. Dia meraih kedua tangan Annisa dan menggenggamnya lembut, lalu menempelkan punggung telapak tangan itu di bibirnya.
"Aku ini hanya manusia biasa. Tak semua hal dapat kupahami hanya dengan menebak-nebak saja. Jadi, jika kamu tidak setuju dengan apa pun yang kulakukan, tolong katakan saja. Kita bisa membicarakannya dengan baik-baik hingga mendapatkan solusi terbaik," jelas Zidane sambil menatap dalam-dalam manik teduh di hadapannya.
"Maafkan aku karena telah membuatmu menangis. Maaf karena telah membuatmu salah paham," ucap Zidane lagi, tulus.
Pandangan Annisa tertunduk selama beberapa detik, kemudian kembali menatp wajah suaminya dengan sorot yang sulit diartikan.
Dia mendesah kasar. "Aku tidak suka melihatmu dekat dengan wanita lain, apa lagi mantanmu," akunya.
Zidane tersenyum
Zidane mengakhiri pergumulannya dengan kecupan hangat di kening dan bibir istrinya."Terima kasih, Sayang, kau telah menjaganya selama ini," ucap Zidane sambil mengusap anak rambut yang menghalangi wajah istrinya.Tak ada jawaban yang terucap, hanya senyum tipis yang cantik dengan tatapan yang meneduhkan. Zidane ikut tersenyum, lalu menarik tubuh sang istri ke dalam dekapannya penuh kelembutan."Aku mencintaimu, Tazkia. Sangat mencintaimu," gumam Zidane.Annisa tersenyum dalam dekapan suaminya. Kepalanya menyembul agar bisa melihat wajah Zidane."Aku juga mencintaimu, Zidane," akunya.Mendengar pengakuan perasaan yang terucap dari mulut sang istri membuat hati Zidane berkembang penuh bunga-bunga bermekaran. Dia kembali mengecup kening Annisa cukup lama, menghirup aroma wangi tubuh sang istri hingga tembus ke dalam hati.Sejak saat itu, hubungan Zidane dengan Annisa semakin erat, penuh cinta dan kasih. Mereka saling berjanji untuk hidu
"Kau yang benar saja, Sayang. Mana mungkin aku suka dengannya, aku ini sangat normal. Bukankah aku sudah membuktikannya selama ini?" ujar Zidane kepada Annisa sambil mengedipkan sebelah matanya."Ch, dasar budak cinta!" cibir Rizky menyindir Zidane.Annisa yang merasa malu mendengar kalimat terakhir yang diucapkan suaminya itu langsung bersemu merah, lantas memukul bahu Zidane geram."Maksudku bukan seperti itu," sahut Annisa ketus kepada Zidane. Dia menoleh ke arah sekretaris suaminya. "Kau cocok dengan Tiara," katanya."Aku?" ulang Rizky yang langsung dibalas anggukkan plos oleh Annisa."Ya, tentu saja kau. Tidak mungkin aku mengatakannya untuk suamiku," ujar Annisa gemas.Zidane terkekeh pelan lantas menarik pinggang istrinya itu agar merapat dengannya. "Sudah sana, kejar jodohmu!" titahnya kepada Rizky. "Kami mau pergi makan siang sambil pacaran dulu. Yang lajang dilarang ikut, bahaya!" tegasnya sambil menarik Annisa meninggalkan Rizky y
Zidane mengusap tengkuknya yang tak gatal sambil memikirkan kata-kata yang tepat untuk menjelaskan semua kepada papanya."Kay, apa benar kau bekerja di perusahaan Buana?" ulang Alfianto sambil menatap tajam putranya yang nampak kebingungan."Ya, sekarang aku menjadi bagian dari perusahaan Buana," jawabnya lemah sambil tertunduk. Sedetik kemudian Zidane mendongak, menatap wajah papanya yang sudah memerah menahan amarah."Beraninya kau melakukan semua itu?" geram Alfian kesal. "Apa kau sudah gila? Selama ini papa membiarkanmu bebas melakukan semua hal yang kau inginkan, tapi bukan berarti kau boleh bekerja di sana. Apa kau lupa bahwa selama ini perusahaan kita bersaing ketat dengan Buana Grup?" sambungnya lagi bernada penuh penekanan di setiap kata-katanya.Zidane terdiam tetapi tidak merasa bersalah atas apa yang dia putuskan untuk bergabung dengan Buana Grup. Meskipun Zidane tahu, pekutusannya tersebut akan membuat papanya murka."Apa kau sengaja i
"Apa aku terlihat cantik dengan pakaian ini, Ma?" tanya Nayla kepada mamanya.Gadis itu sedang berdiri di depan cermin, melihat pantulan tubuhnya sendiri yang sedang mencoba gaun yang baru saja dia dan mamanya beli untuk acara makan malam."Anak mama memang cantik," sahut mamanya Nayla sambil tersenyum memuji penampilan putrinya."Aaah, Mama bisa saja," ucapnya. Nayla merasa tersanjung dengan pujian sang mama dan langsung memeluk wanita paruh baya itu, tak lupa meninggalkan kecupan hangat di kedua pipi mamanya."Eh, Ma. Kira-kira dia seperti apa ya, sekarang?" tanya Nayla sambil menatap lurus ke depan, mengingat masa kecilnya bersama seorang pria yang saat ini dijodohkan dengannya."Tentu saja dia sangat tampan. Pokoknya kamu tidak akan merasa menyesal menerima perjodohan ini.""Benarkah?" tanya Nayla yang langsung dibalas anggukkan kepala oleh mamanya."Tapi, kenapa kalian tidak menunjukkan fotonya yang sekarang kepadaku?" Nayla cemb
"Zidane," panggil Annisa.Gadis itu menyembulkan kepalanya untuk melihat wajah Zidane yang sedang mendekapnya. Mereka baru saja selesai melakukan ritual wajib suami istri penuh gairah."Hm," gumam Zidane sambil kembali mengecup kening istrinya."Apa aku boleh menghadiri acara makan malam bersama Nayla? Tadi dia memintaku menemaninya," tanya Annisa. Dia masih menatap wajah suaminya dengan sorot yang berbinar teduh."Boleh," jawab Zidane."Benarkah?" Annisa terdengar bahagia. "Apa kamu juga akan ikut?" tanyanya.Zidane terdiam seperti sedang berpikir. "Kalau aku tidak ikut, apa kau akan marah?""Menangnya kenapa tidak ikut?" tanya Annisa sambil cemberut."Sebenarnya, besok sore aku akan menemui mama. Sudah lama tidak bertemu, jadi mama memintaku pulang," ucap Zidane.Kening Annisa mengerut. Dia segera merenggangkan tubuhnya agak menjauh agar bisa melihat wajah Zidane dengan jelas."Kenapa tidak bilang? Kalau begitu
Keesokan sorenya, Zidane mengantarkan Annisa ke rumah Nayla sebelum dia pulang ke rumahnya. Meski dia merasa tidak enak hati dengan istrinya itu, tetapi tidak ada pilihan lain. Saat ini memang bukan waktu yang tepat memperkenalkan Annisa kepada orang tuanya.Zidane belum melihat bagaimana reaksi mereka saat nanti dia memberi tahu bahwa dirinya sudah menikah. Terlebih, wanita pilihannya itu tak lain ialah putri dari pesaing perusahaan papanya."Aku akan menjemputmu nanti malam. Jangan lupa untuk selalu mengabariku," pesan Zidane sebelum dia pergi.Annisa tersenyum, lalu mengangguk mengiakan."Kamu juga hati-hati di jalan," sahut Annisa.Gadis itu terdiam sesaat dengan pandangan yang sulit diartikan. Ada rona kekhawatiran yang sedang dia coba sembunyikan."Kenapa melamun? Ayo cepat masuk!" Ucapan Zidane menarik Annisa dari lamunannya."Zidane, kau tidak akan meninggalkanku 'kan?" tanya Annisa.Kedua alis pria itu saling bertautan
Annisa berjalan beriringan dengan Nayla mengikuti orang tua Nayla memasuki restoran ternama. Sebelumnya keluarga Nayla sudah menyewa ruangan khusus di restoran tersebut karena acaranya berlangsung secara private."Kau tahu, saat ini aku sangat gugup," bisik Nayla kepada Annisa yang duduk di samping kanannya.Posisi Nayla saat ini duduk di tengah di antara Maya-mamanya- dan Annisa. Sementara papanya duduk di kursi tunggal dekat istrinya.Annisa tersenyum menanggapi sahabatnya yang mengaku sedang merasa gugup menanti kedatangan calon tunangannya."Tenanglah, semua akan baik-baik saja," kata Annisa."Menurutmu, apa aku tidak salah mengambil keputusan seperti ini?" tanya Nayla."Sekarang bukan waktunya untuk menyesal, Nayla," ucap Annisa dengan suara pelan."Aku hanya bercanda," jawab Nayla. "Bagaimana mungkin aku menyesal menikah dengan pria yang kucintai sejak lama," sambungnya lagi dengan suara berbisik."Dasar kau." Annisa menc
"Loh, Zidane?"Nayla terkejut melihat kehadiran Zidane yang ternyata adalah putra dari Vivi dan Alfian, pria yang akan dijodohkan dengannya.Refleks, Nayla menoleh ke arah Annisa yang juga terkejut dengan semua ini. Gadis itu terdiam seribu bahasa dengan sorot mata berkaca-kaca. Tak terbayang sesak dan sakitnya perasaan gadis itu sekarang."Kalian sudah saling mengenal?" tanya Diki.Para orang tua terkejut mengetahui ternyata anak-anak mereka sudah saling mengenal satu sama lain."Kay, kamu kenal sama Nayla dan Annisa?" tanya Vivi lembut.Zidane tak menjawab. Pandangannya terkunci pada gadis berhijab yang ada di hadapannya. Dia tak menduga akan bertemu dengan Annisa dalam situasi yang akan menggiring menuju ke kesalahpahaman."Iya, Bi. Kami sudah saling mengenal," jawab Nayla gugup sambil melirik ke arah Annisa sekilas.Alfian memperhatikan putranya yang tidak mengalihkan pandangan menatap Annisa, bukan Nayla. Kening pria paruh
“Kamu pasti bohong, kan?” Zidane berusaha untuk tidak percaya dengan kebenaran itu. Namun, binar mata Rizky yang tidak berkedip sedikit pun itu menghancurkan pengharapannya. “Saya punya buktinya, Pak. Orang suruhan Pak Alfian telah mengaku kepada kita. Bahkan saya sudah memberikan sejumlah uang yang nominalnya lebih besar dari yang ia terima agar pria itu mau membuka mulutnya,” jelas Rizky sambil mengutak atik layar IPADnya kemudian memberikannya kepada Zidane untuk dilihat pria itu. Zidane menggebrak meja lagi. Darahnya berdesir. Dadanya terasa sakit seperti ada pisau yang menusuk di sana. “Apa motifnya?” tanya Zidane lagi. Tangan lebarnya meraup wajah kasarnya. Rambut tipis telah tumbuh di dagu dan kumisnya akibat ia belum punya waktu untuk mencukur. “Perusahaan Alfian ingin menekan perusahaan ini agar anjlok dan tunduk di bawah kekuasaan mereka. rencana mereka ingin membeli separuh saham milik kita. Maka dari itu mereka sengaja menciptakan rumor palsu tentang perusahaan ini.” Z
Setelah mengetahui kebenaran kalau selama ini Annisalah yang membantu perusahaan ayahnya ketika hampir bangkut membuat Zidane semakin bersemangat untuk bekerja dan tidak boleh berleha-leha lagi. Zidane sangat berterimakasih kepada istrinya itu yang masih mau membantu perusahaan milik mertuanya meski Annisa belum mendapatkan restu sama sekali dari mereka. Cara satu-satunya yang bisa Zidane lakukan untuk membalas semua kebaikan istrinya meskipun tidak bisa semua kebaikan istrinya yang bisa ia balas adalah dengan memastikan pekerjaan di kantor bisa beres semua tanpa ada kesalahan sedikit pun. Zidane tidak boleh membebani Annisa lagi, istrinya itu belum cukup pulih benar. Selama kehamilan ini, keadaan Annisa selalu dipantau oleh dokter spesialis kandungannya. Dokter juga menyarankan Zidane untuk bisa menjadi suami siaga. Maka dari itu, sebisa mungkin ia tidak akan membawa pekerjaan ke rumah karena selama di rumah fokusnya harus penuh ke istrinya itu. Tumpukan berkas di meja Zidane dari
Zidane masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya barusan. Ternyata isi amplop cokelat besar itu adalah dokumen penting yang tertera bahwa Annisa telah mengalirkan dana miliaran rupiah ke perusahaan Alfian. Zidane baru menyadari bahwa orang yang telah membeli saham perusahaan Alfian ketika perusahaan itu hampir bangkrut adalah Annisa."Bagaimana bisa aku nggak tahu Kia melakukan ini di belakangku?" gumam Zidane seraya mengembus napas lirih. Ia agak sedikit marah karena waktu itu ia sudah melarang Annisa melakukan itu sebab tak mau dianggap sebagai suami yang memanfaatkan kekayaan sang istri. Kedua mata Zidane masih fokus membaca isi dokumen secara runut. Dari mulai lembaran pertama hingga ke lembaran selanjutnya. Saking fokusnya ia tak menyadari jika sudah menghabiskan waktu hampir lima belas menit. "Astaga! Aku ke kamar 'kan niatnya mau cari obatnya Kia." Zidane menepuk keningnya pelan. Ia pun kembali memasukkan lembaran-lembaran itu ke amplop dan menaruhnya di tempat semula. Ama
Zidane sejenak tertegun sambil memandang ke arah jendela ruang kantornya. Waktu sudah hampir petang sebab eksistensi matahari sebentar lagi akan digantikan oleh bulan. Sesekali ia mengembus napas kasar sebab memikirkan masalah yang tengah melanda perusahaannya. Suasana di ruangan kantor itu juga terasa sangat gelap dan sunyi, hanya terdengar denting jam dinding. Zidane sengaja tak menghidupkan lampu karena ia lebih senang berpikir dalam keadaan minim cahaya. Menurutnya itu bisa lebih membuat pikirannya rileks. Seperti yang diperintahkan oleh Zidane tadi, Rizky sudah menyuruh admin publishing untuk mengunggah sertifikat uji kelayakan produk milik perusahaan. Setelah sertifikat itu di-upload banyak pihak yang berkomentar dan komen negatif mulai sedikit terkikis. Untung saja mereka bertindak cepat, kalau tidak perusahaan akan mengalami kerugian lebih besar. "Saya juga sudah menangani beberapa artikel buruk mengenai produk kita, Pak. Semuanya akan dihapus secara bertahap," terang Rizky
“Annisa!!!” Zidane berteriak seperti orang kesetanan begitu sampai di rumah. Pria itu mencari istrinya ke setiap sudut rumah dengan perasaan campur aduk. Begitu melihat Annisa di dapur, ia langsung berlari dan memeluknya. “Kamu kenapa tumben pulang cepat?” tanya Annisa bingung begitu ia memisahkan diri dari pelukan Zidane. “Tangan kamu kenapa ini?” Zidane manatap tangan Annisa dengan penuh kekhawatiran begitu melihat tangan kanan Annisa yang penuh dengan luka gores. “Oh ini, tadi nggak sengaja kena duri mawar.” Tatapan Zidane kini beralih ke arah Vivi. “Mama nyuruh Annisa untuk melakukan ini semua kan? Iya kan? Jawab pertanyaan aku.” Vivi langsung memasang tampang masam. Kedua tangannya ia lipat di depan dada. “Istrimu yang ngadu ya? Mama cuma mau membantu Annisa semua nggak malas-malasan saja di kamar. Ternyata istri kamu ini adalah wanita yang lemah. Baru segini saja sudah mengeluh,” sindir Vivi. “Mama!!! Sudah berapa kali Zidane bilang kalau Annisa ini tidak boleh terlalu cap
Annisa terpaksa bangun dari istirahat siangnya begitu mendengar suara pintu kamar yang diketuk. Sejak tadi pagi tubuhnya letih sekali sehingga memutuskan untuk tidur setelah mengantarkan Zidane berangkat bekerja. Sudah beberapa hari Annisa dan Zidane memutuskan untuk tinggal di rumah Vivi dan Alfian demi mengupayakan agar Vivi bisa sembuh lebih cepat. Meskipun kurang nyaman, tapi Annisa mencoba untuk bertahan sekuat mungkin di rumah besar dan megah ini. Andaikan hubungan Annisa dengan Mama mertuanya tidak seburuk ini, mungkin ia akan betah untuk tinggal. Selama berada di sini, Annisa merasa waktu berjalan sangat lambat dibandingkan dengan waktu yang ia habiskan di rumahnya sendiri. Pun dengan Zidane yang akhir-akhir ini sering pulang terlambat dari kantor menambah kurangnya semangat Annisa dalam menjalani harinya. Annisa bisa saja meminta Zidane untuk kembali saja ke rumah mereka, tapi itu akan menambah buruk hubungannya dengan Vivi. Ditambah lagi Annisa tidak ingin mertuannya jatu
Keesokan harinya Tiara bisa bermalas-malasan di rumah karena memang sedang weekend. Tadinya ia akan pergi berkencan dengan Rizky, tapi nyatanya kekasihnya itu harus bekerja lembur sehingga rencana mereka gagal. "Ra, kamu sudah bangun belum?" panggil Rubi sambil mengetuk pintu kamar putri sulungnya. Tiara yang sudah bangun sedari tadi dan hanya main smartphone di atas kasur pun menyahuti mamanya dengan malas. "Aku udah bangun kok, Ma. Cuma lagi males aja keluar kamar. Lagian sekarang juga libur."Rubi yang berada di depan pintu kamar Tiara hanya geleng-geleng kepala sambil tersenyum. Ia paham betul putrinya itu memang suka sekali bermalas-malasan saat libur kerja. Namun, mulai saat ini ia harus segera mengubah pola hidup anaknya itu. "Sekarang kamu keluar dulu, Ra. Masa perempuan yang sudah mau dilamar orang kerjanya malas-malasan. Coba belajar untuk tetap mandi pagi dan turun dari kasur setelah bangun walaupun sedang libur," suruh Rubi. Tak berapa lama, Tiara muncul membuka pintu
Setelah berbincang dengan Zidane di kafe tadi, Rizky sedikit mempertimbangkan saran dari atasannya itu. Namun, ia masih merasa jika saat ini belum waktunya untuk menjelaskan semuanya pada Tiara. Hatinya masih meragu karena takut kekasihnya itu akan pergi jika ia menceritakan soal rencana perjodohannya. Waktu sekarang menunjukkan tepat pukul lima sore dan Rizky bersiap-siap untuk pulang. Namun, baru saja ia membuka pintu ruangannya tiba-tiba saja Tiara muncul di hadapannya sambil tersenyum manis. Wajah Rizky terlihat kusut karena sedari tadi memikirkan masalah perjodohannya. Sebagai kekasih dari Rizky, jelas Tiara bisa sangat peka jika pasangannya itu sedang menyembunyikan masalah. "Biasanya kalau aku muncul kamu langsung peluk aku terus nyengir. Nah ini kok kamu diem aja dan mukanya ditekuk gitu. Kamu ada masalah ya?" tebak Tiara sambil mengerutkan dahi dan menatap Rizky tajam. "Nggak ada kok. Aku cuma lagi capek aja soalnya kerjaan lagi numpuk," dalih Rizky. Tiara tak serta mert
Setelah menghabiskan waktu pagi bersama Annisa dengan sarapan dan berjalan-jalan di taman, Zidane pun berangkat ke kantor. Hatinya baru bisa lega saat istrinya itu sudah tidak marah lagi padanya. Sebenarnya Zidane agak khawatir meninggalkan Annisa sendiri di rumah orang tuanya, tapi Annisa meyakinkannya jika tidak akan ada masalah. Istrinya itu mengatakan jika bisa mengatasi semuanya dengan baik. Ia pun percaya karena memang harus segera berangkat ke kantor sebab pekerjaan sudah menunggu. "Aku berangkat dulu ya," pamit Zidane. "Hati-hati ya, Mas," sahut Annisa sambil mencium punggung tangan kanan suaminya. Zidane pun menaiki mobilnya menuju kantor. Ia harus segera sampai karena memang sudah telat. Untung saja tidak ada panggilan mendadak sehingga ia tak perlu terlalu terburu-buru. Lagi pula sebelumnya ia juga sudah menghubungi Rizky perihal kedatangannya yang terlambat. Baru saja sampai di kantor, Zidane langsung bergegas menuju ruangannya. Kedatangannya disambut oleh beberapa pe