“Kita cari rumah makan dulu, sepertinya aku sudah lapar.” Farhan langsung mengangguk dan segera menjalankan mobil.Kini mereka berdua sudah duduk menikmati makan siang di rumah makan sederhana saja.“Mas Farhan. Aku ingin bicara serius padamu.” Gara tiba-tiba bicara.“Iya,” Farhan nampak sedikit khawatir.“Aku ingin merenovasi rumah ibu terlebih dahulu sebelum kalian tempati lagi. Ketika aku tinggal di sana dulu, aku melihat sudah banyak bagian rumah itu yang rusak dan perlu diperbaiki. Menurut Mas Farhan bagaimana?”Farhan tentu tidak bisa menolak kebaikan Gara, “Jika itu tidak merepotkanmu. Aku takut itu akan membuatmu repot, dan Mia juga belum tahu kalau kamu ingin renovasi rumah itu.”“Mia sudah tahu, kami sudah membahas itu sebelumnya. Jika kita bisa mendapatkan sertifikat rumah itu lagi, maka aku ingin merenovasi rumah itu dahulu sebelum kalian pindah ke sana lagi.” Farhan hanya mengangguk. Bagaimana dia bisa menolak?“Oh iya, ada satu lagi. Riko memberitahuku jika ada toko ya
Hari ini, Farhan dan Silvia sudah terlihat sibuk dengan toko baru mereka. Mereka menata apa-apa yang dianggap mereka kurang menarik sambil berkenalan dengan para Karyawan toko. Tampak Silvia terlihat ramah tamah dengan para Karyawannya. Itu membuat para karyawan senang dan semakin bersemangat untuk bekerja. "Bos baru kita ramah ya?" Bisik satu orang. "Iya. Tidak seperti Bos kita yang dulu." Bos mereka yang dulu sebenarnya bukan tidak ramah, hanya saja dia sangatlah sibuk dengan Bisnis lain selain toko ini, jadi tidak sempat untuk sekedar memperhatikan atau berbasa basi dengan para karyawan. "Sudah ya? Makan dulu aja yuk?" Setelah agak siangan Silvia mengajak para karyawan yang terdiri dari Pria dan wanita itu untuk makan dulu sambil menyodorkan nasi kotak. Silvia tadi sengaja bangun lebih awal hanya untuk memasak banyak sengaja untuk membuat beberapa nasi kotak. Niatnya ya untuk sekedar syukuran kecil-kecilan untuk toko baru mereka. Dia sudah minta izin pada Mia untuk men
Hari ini Ibu dan Dinda sudah membawa Nita pulang ke rumah. Keadaan Nita juga sudah membaik, hanya ibu dan Dinda karena sejak kemarin Fiah sudah disuruh pulang ke rumah untuk menemani adik laki-lakinya. Tapi anehnya sampai mereka sudah berada di rumah, bapak juga tidak ada pedulinya. Bahkan hari ini dia tidak ada di rumah.Setelah Bu Marni keluar dari mobil bersama Nita , dan Dinda membayar sewa mobil, dia ikut masuk setelah mengucapkan terima kasih pada tetangga yang mempunyai mobil itu. Nita dibawa kamar dan langsung diurusin oleh Fiah. Bu Marni kemudian pergi ke dapur untuk mencari makanan.“Fiah, kamu belum masak ya?” tanya ibu pada Fiah dan didengar oleh Dinda.“Kemarin, pas Nita sakit, kami tidak punya beras Bu. Fiah pinjem tempat bude, tapi hanya satu kilo. Jadi mungkin sudah habis untuk mereka makan di rumah.” Dinda yang menjawab.Ibu hanya terdengar menarik nafas berat, “Nanti ibu telepon bos, seharusnya hari ini sudah gajian.”Dinda kemudian mengambil dompetnya kemudian me
“Ibu bicara dong sama bapak. Masa, bapak tiap hari malam main gaple di gardu.”Ibu mengernyitkan keningnya tetapi dia menjawab dengan tenang, “Hanya gaple, ya tidak apa-apa, Rehan.”“Kalau hanya gaple iya, Bu. Tapi bapak itu sambil minum arak. Kan aku malu sama teman-temanku. Mereka sering mengatakan kalau bapakku itu gaul, kayak anak muda. bBapak kan sudah tua. Malu, Bu!”Dinda langsung melirik ibu yang langsung menunduk. Suaminya memang seperti itu dari dulu, tapi Bu Marni memang istri yang terbilang sangat sabar. Bukan dia tidak mau menegur, tapi setiap kali menegur, hanya akan berujung bertengkar saja. Jika sudah seperti itu, ancaman bapak akan memulangkannya ke rumah keluarganya.Bu Marni merasa malu jika itu sampai terjadi Dia sudah tua masa iya sampai mau cerai lagi? Bu Marni berpikir seribu kali untuk mengajak ribut suaminya. Pada akhirnya dia hanya mengalah dan membiarkan suaminya sesuka hati.“Memangnya, bapak seperti itu dari dulu ya, Bu?” Tanya Dinda dengan hati-hati.Ib
“Tapi, Pak. Nyawa Dinda dan bayinya terancam. Dinda pendarahan!” Jawab Bu Marni dengan nada cukup kesal juga.“Udah biarin aja! Panggil aja dukun atau bidan lah! Kalau memang tidak bisa ditolong lagi bayinya, ya sudah! Artinya sudah takdir! Pusing amat!” Bu Marni seketika menggerakkan giginya saking marahnya. Bisa-bisanya suaminya itu berkata demikian. Kenapa pria tua ini tidak punya hati? Biar bagaimanapun juga nyawa Dinda dan bayinya sedang dalam bahaya.Jangankan mau berusaha, malah bisa-bisanya dia berkata demikian.“Bapak! Kamu ini keterlaluan! Dinda itu sedang mengandung cucu kamu sendiri! Tega sekali bicara seperti itu!”“Ini bukan masalah tega nggak tega, Bu. Tapi, bagaimana kita mau membiayainya? Ini tidak sedikit biayanya. Lihat dulu keadaan kita!”“Pak Kasno ini bagaimana sih? Malah memikirkan uang daripada nyawa menantu dan calon cucu sendiri!” Salah satu tetangga yang kesal mendengar ucapan pak Kasno langsung menyambar dengan ketus.“Sudah, Bu Marni, cepat masuk! Kasih
“Jual apa hah? Suaminya Dinda itu ninggalin apa memangnya? Ninggalin istri sama aib saja adanya! Aku nggak mau pusing. Lagian mau usaha kemana? Pinjam uang nggak bakal ada yang ngasih kalau sudah berjuta-juta. Kalau enggak, suruh Dinda hubungi keluarganya saja. Katanya keluarganya kan bos. Semua ini gara-gara keluarganya juga! Suami Dinda di penjara, Dinda jadi beban di sini! Semua gara-gara keluarga Dinda!”Ibu hanya bisa beristighfar ketika bapak menutup panggilan tanpa permisi. Dia menoleh pada Fiah.“Bapak nggak bakal mau bantuin ibu, kan?” Tanya Fiah. Ibu hanya mengangguk, sambil mengembalikan ponsel. Fiah bisa melihat air mata ibu yang kembali mengalir.“Mbak Dinda sudah pernah berkorban demi adik kamu. Sekarang saat Mbak Dinda kena musibah, kita tidak bisa berbuat apa-apa. Padahal selama kita belum bisa membayar rumah sakit, maka bayi Mbak Dinda akan ditahan di sini, sampai kita bisa membayarnya.” Fiah terkejut , “Masa iya begitu sih, Bu?”“Biasanya memang begitu. Sudah ban
“Kita bisa meminta tolong Gara untuk mencarinya. Alex pernah bekerja di perusahaannya, pasti ada alamat lengkap tempat tinggalnya.”Silvia mengangguk. Baru saja mereka membahas tentang Dinda, ponsel Mia yang tergeletak di atas meja tiba-tiba berbunyi. Mata Mia terbelalak saat melihat siapa yang memanggil. Begitu juga Silvia yang ikut mengintip. Silvia langsung menoleh pada Mia yang juga menatapnya.“Dinda?” Keduanya berkata bersamaan.Tanpa berkata apapun lagi, Mia langsung menyambar ponselnya dan mengangkat panggilan itu. “Halo.. Dinda ya?” Sedangkan di sana ketika panggilan diangkat, Fiah langsung mendengar suara orang dari sana yang menjawab dengan nada terburu-buru.Fiah terdiam sejenak, dalam pikirannya dia menebak jika ini mungkin orang yang bernama Mia, yang telah menjawab panggilannya.“Assalamualaikum, apa benar ini Mbak Mia?” “Waalaikumsalam.. Lho.. ini siapa? Kok bukan Dinda?” Mia terkejut ketika itu bukan suara Dinda. Dia menatap Silvia yang juga ikut terkejut.“Maaf. M
Mereka semua mengangguk setuju. Sementara Gara menghubungi Riko, mereka berkemas untuk pulang ke rumah Ibu. Mereka harus memberi kabar pada ibu dan ayah mereka. Mereka juga belum tahu bagaimana caranya menyampaikan kabar ini pada ibu agar ibu tidak syok.Saat ini mereka sudah berada di rumah ibu. Melihat mereka datang belum ada setengah hari ini, Rita dan Wibowo sama sekali tidak menaruh curiga sedikitpun. Ibu justru menyambut mereka dengan bahagia dan tertawa ceria. “Ayo masuk, ayo. Aduh, kalian mau makan siang ya? Ya ampu, ibu belum masak apapun, ibu malah enak-enakan baringan tadi. Tunggu sebentar ya, Mia, G. Ibu akan masak dahulu, hanya sebentar kok.” Rita benar-benar gugup bercampur senang.Rita ingin segera pergi ke dapur, tetapi Silvia menahan tangannya. “Bu, sepertinya hari ini Ibu tidak perlu memasak dulu.” Ibu menoleh, sedikit merasa heran. “Silvia, kamu mau belajar boros ya? Mau makan di luar? Kan kemarin kita juga sudah makan di luar. Jangan terlalu boros. Katanya kamu