Hari ini Ibu dan Dinda sudah membawa Nita pulang ke rumah. Keadaan Nita juga sudah membaik, hanya ibu dan Dinda karena sejak kemarin Fiah sudah disuruh pulang ke rumah untuk menemani adik laki-lakinya. Tapi anehnya sampai mereka sudah berada di rumah, bapak juga tidak ada pedulinya. Bahkan hari ini dia tidak ada di rumah.Setelah Bu Marni keluar dari mobil bersama Nita , dan Dinda membayar sewa mobil, dia ikut masuk setelah mengucapkan terima kasih pada tetangga yang mempunyai mobil itu. Nita dibawa kamar dan langsung diurusin oleh Fiah. Bu Marni kemudian pergi ke dapur untuk mencari makanan.“Fiah, kamu belum masak ya?” tanya ibu pada Fiah dan didengar oleh Dinda.“Kemarin, pas Nita sakit, kami tidak punya beras Bu. Fiah pinjem tempat bude, tapi hanya satu kilo. Jadi mungkin sudah habis untuk mereka makan di rumah.” Dinda yang menjawab.Ibu hanya terdengar menarik nafas berat, “Nanti ibu telepon bos, seharusnya hari ini sudah gajian.”Dinda kemudian mengambil dompetnya kemudian me
“Ibu bicara dong sama bapak. Masa, bapak tiap hari malam main gaple di gardu.”Ibu mengernyitkan keningnya tetapi dia menjawab dengan tenang, “Hanya gaple, ya tidak apa-apa, Rehan.”“Kalau hanya gaple iya, Bu. Tapi bapak itu sambil minum arak. Kan aku malu sama teman-temanku. Mereka sering mengatakan kalau bapakku itu gaul, kayak anak muda. bBapak kan sudah tua. Malu, Bu!”Dinda langsung melirik ibu yang langsung menunduk. Suaminya memang seperti itu dari dulu, tapi Bu Marni memang istri yang terbilang sangat sabar. Bukan dia tidak mau menegur, tapi setiap kali menegur, hanya akan berujung bertengkar saja. Jika sudah seperti itu, ancaman bapak akan memulangkannya ke rumah keluarganya.Bu Marni merasa malu jika itu sampai terjadi Dia sudah tua masa iya sampai mau cerai lagi? Bu Marni berpikir seribu kali untuk mengajak ribut suaminya. Pada akhirnya dia hanya mengalah dan membiarkan suaminya sesuka hati.“Memangnya, bapak seperti itu dari dulu ya, Bu?” Tanya Dinda dengan hati-hati.Ib
“Tapi, Pak. Nyawa Dinda dan bayinya terancam. Dinda pendarahan!” Jawab Bu Marni dengan nada cukup kesal juga.“Udah biarin aja! Panggil aja dukun atau bidan lah! Kalau memang tidak bisa ditolong lagi bayinya, ya sudah! Artinya sudah takdir! Pusing amat!” Bu Marni seketika menggerakkan giginya saking marahnya. Bisa-bisanya suaminya itu berkata demikian. Kenapa pria tua ini tidak punya hati? Biar bagaimanapun juga nyawa Dinda dan bayinya sedang dalam bahaya.Jangankan mau berusaha, malah bisa-bisanya dia berkata demikian.“Bapak! Kamu ini keterlaluan! Dinda itu sedang mengandung cucu kamu sendiri! Tega sekali bicara seperti itu!”“Ini bukan masalah tega nggak tega, Bu. Tapi, bagaimana kita mau membiayainya? Ini tidak sedikit biayanya. Lihat dulu keadaan kita!”“Pak Kasno ini bagaimana sih? Malah memikirkan uang daripada nyawa menantu dan calon cucu sendiri!” Salah satu tetangga yang kesal mendengar ucapan pak Kasno langsung menyambar dengan ketus.“Sudah, Bu Marni, cepat masuk! Kasih
“Jual apa hah? Suaminya Dinda itu ninggalin apa memangnya? Ninggalin istri sama aib saja adanya! Aku nggak mau pusing. Lagian mau usaha kemana? Pinjam uang nggak bakal ada yang ngasih kalau sudah berjuta-juta. Kalau enggak, suruh Dinda hubungi keluarganya saja. Katanya keluarganya kan bos. Semua ini gara-gara keluarganya juga! Suami Dinda di penjara, Dinda jadi beban di sini! Semua gara-gara keluarga Dinda!”Ibu hanya bisa beristighfar ketika bapak menutup panggilan tanpa permisi. Dia menoleh pada Fiah.“Bapak nggak bakal mau bantuin ibu, kan?” Tanya Fiah. Ibu hanya mengangguk, sambil mengembalikan ponsel. Fiah bisa melihat air mata ibu yang kembali mengalir.“Mbak Dinda sudah pernah berkorban demi adik kamu. Sekarang saat Mbak Dinda kena musibah, kita tidak bisa berbuat apa-apa. Padahal selama kita belum bisa membayar rumah sakit, maka bayi Mbak Dinda akan ditahan di sini, sampai kita bisa membayarnya.” Fiah terkejut , “Masa iya begitu sih, Bu?”“Biasanya memang begitu. Sudah ban
“Kita bisa meminta tolong Gara untuk mencarinya. Alex pernah bekerja di perusahaannya, pasti ada alamat lengkap tempat tinggalnya.”Silvia mengangguk. Baru saja mereka membahas tentang Dinda, ponsel Mia yang tergeletak di atas meja tiba-tiba berbunyi. Mata Mia terbelalak saat melihat siapa yang memanggil. Begitu juga Silvia yang ikut mengintip. Silvia langsung menoleh pada Mia yang juga menatapnya.“Dinda?” Keduanya berkata bersamaan.Tanpa berkata apapun lagi, Mia langsung menyambar ponselnya dan mengangkat panggilan itu. “Halo.. Dinda ya?” Sedangkan di sana ketika panggilan diangkat, Fiah langsung mendengar suara orang dari sana yang menjawab dengan nada terburu-buru.Fiah terdiam sejenak, dalam pikirannya dia menebak jika ini mungkin orang yang bernama Mia, yang telah menjawab panggilannya.“Assalamualaikum, apa benar ini Mbak Mia?” “Waalaikumsalam.. Lho.. ini siapa? Kok bukan Dinda?” Mia terkejut ketika itu bukan suara Dinda. Dia menatap Silvia yang juga ikut terkejut.“Maaf. M
Mereka semua mengangguk setuju. Sementara Gara menghubungi Riko, mereka berkemas untuk pulang ke rumah Ibu. Mereka harus memberi kabar pada ibu dan ayah mereka. Mereka juga belum tahu bagaimana caranya menyampaikan kabar ini pada ibu agar ibu tidak syok.Saat ini mereka sudah berada di rumah ibu. Melihat mereka datang belum ada setengah hari ini, Rita dan Wibowo sama sekali tidak menaruh curiga sedikitpun. Ibu justru menyambut mereka dengan bahagia dan tertawa ceria. “Ayo masuk, ayo. Aduh, kalian mau makan siang ya? Ya ampu, ibu belum masak apapun, ibu malah enak-enakan baringan tadi. Tunggu sebentar ya, Mia, G. Ibu akan masak dahulu, hanya sebentar kok.” Rita benar-benar gugup bercampur senang.Rita ingin segera pergi ke dapur, tetapi Silvia menahan tangannya. “Bu, sepertinya hari ini Ibu tidak perlu memasak dulu.” Ibu menoleh, sedikit merasa heran. “Silvia, kamu mau belajar boros ya? Mau makan di luar? Kan kemarin kita juga sudah makan di luar. Jangan terlalu boros. Katanya kamu
“Tidak apa-apa. Kakak kamu juga belum sadar.” Jawab suster itu dengan lembut , sembari menepuk pundak Fi'ah, seperti tahu kegelisahan anak ini “Adik bayi kakak kamu juga lahir dengan selamat, dengan jenis kelamin perempuan. Tetapi harus tinggal di ruangan Nicu sampai dokter menyatakan jika adik bayinya sudah bisa dikeluarkan dari sana.”“Ruangan Nicu?” Tentu Fiah tidak paham dengan istilah ruangan itu, dia nampak semakin khawatir. “Apa adik bayi kami baik-baik saja, Mbak suster?” Tanyanya.Suster itu tersenyum, dia paham jika anak ini belum terlalu mengerti. “Adik bayi kalian baik-baik saja. Hanya saja, karena belum cukup umur dan dikeluarkan secara terpaksa, jadi dia harus dirawat dulu di ruangan khusus.” Fiah hanya mengangguk tanpa mengerti. Setelah suster meninggalkan dirinya, Fiah tampak tersenyum senang dan mengucapkan syukur berkali-kali. Dia sudah membayangkan bayi perempuan imut milik Mbak Dinda-nya Ketika Fiah sedang tersenyum bahagia, terlihat Bu Marni berlari kecil dari
Belum sempat Dinda mengucapkan satu patah kata pun dari mulutnya karena masih sedikit linglung, Bu Rita sudah berlari mendekat dan memeluknya sambil menangis."Dinda.. Ya Allah Nak.. Bagaimana keadaanmu?"Dinda tertegun sekarang. Dia tidak bermimpi. Ini kenyataan. Ibunya benar-benar datang menjenguknya. Lalu dia menatap Mia yang juga melangkah mendekat bersama sang ayah. Kedua orang itu juga menangis.Sekarang dia menatap wajah ibunya yang sudah melepaskan pelukannya dan kini menggenggam erat kedua tangannya.Air mata Dinda mulai menetes dan tangisnya pun akhirnya pecah."Ibu.." Dinda membawa tangan itu ke pipinya dan menciumnya."Ibu datang kemari? Ibu menengok Dinda?" Dalam tangisnya Dinda bertanya dengan terbata-bata."Iya Dinda. Iya. Kami mendapatkan kabar jika kamu pendarahan. Gara segera menyewa Jet pribadi untuk kami kesini. Kamu baik-baik saja kan, Nak? Kami semua sangat mengkhawatirkanmu." Rita mengusap air mata Dinda."Ibu. Maafkan Dinda. Dinda banyak salah pada Ibu dan Ayah