“Tidak apa-apa. Kakak kamu juga belum sadar.” Jawab suster itu dengan lembut , sembari menepuk pundak Fi'ah, seperti tahu kegelisahan anak ini “Adik bayi kakak kamu juga lahir dengan selamat, dengan jenis kelamin perempuan. Tetapi harus tinggal di ruangan Nicu sampai dokter menyatakan jika adik bayinya sudah bisa dikeluarkan dari sana.”“Ruangan Nicu?” Tentu Fiah tidak paham dengan istilah ruangan itu, dia nampak semakin khawatir. “Apa adik bayi kami baik-baik saja, Mbak suster?” Tanyanya.Suster itu tersenyum, dia paham jika anak ini belum terlalu mengerti. “Adik bayi kalian baik-baik saja. Hanya saja, karena belum cukup umur dan dikeluarkan secara terpaksa, jadi dia harus dirawat dulu di ruangan khusus.” Fiah hanya mengangguk tanpa mengerti. Setelah suster meninggalkan dirinya, Fiah tampak tersenyum senang dan mengucapkan syukur berkali-kali. Dia sudah membayangkan bayi perempuan imut milik Mbak Dinda-nya Ketika Fiah sedang tersenyum bahagia, terlihat Bu Marni berlari kecil dari
Belum sempat Dinda mengucapkan satu patah kata pun dari mulutnya karena masih sedikit linglung, Bu Rita sudah berlari mendekat dan memeluknya sambil menangis."Dinda.. Ya Allah Nak.. Bagaimana keadaanmu?"Dinda tertegun sekarang. Dia tidak bermimpi. Ini kenyataan. Ibunya benar-benar datang menjenguknya. Lalu dia menatap Mia yang juga melangkah mendekat bersama sang ayah. Kedua orang itu juga menangis.Sekarang dia menatap wajah ibunya yang sudah melepaskan pelukannya dan kini menggenggam erat kedua tangannya.Air mata Dinda mulai menetes dan tangisnya pun akhirnya pecah."Ibu.." Dinda membawa tangan itu ke pipinya dan menciumnya."Ibu datang kemari? Ibu menengok Dinda?" Dalam tangisnya Dinda bertanya dengan terbata-bata."Iya Dinda. Iya. Kami mendapatkan kabar jika kamu pendarahan. Gara segera menyewa Jet pribadi untuk kami kesini. Kamu baik-baik saja kan, Nak? Kami semua sangat mengkhawatirkanmu." Rita mengusap air mata Dinda."Ibu. Maafkan Dinda. Dinda banyak salah pada Ibu dan Ayah
Malam sudah larut.Mia meminta Gara untuk mengantar ibu dan ayah mereka ke penginapan yang sudah mereka pesan tadi. Sementara dirinya sendiri ingin menemani Dinda di rumah sakit.Awalnya ibunya menolak. "Ibu ingin menemani Dinda juga, Mia.""Ibu itu capek. Hampir seharian di jalan tadi. Ayolah, Bu. Besok pagi bisa ke sini lagi dan gantian Mia yang ke penginapan." Bujuk Mia.Dinda juga setuju dengan ucapan Mia.Setelah dibujuk, akhirnya ibu melangkah juga."Bu Marni dan Fiah, bawa ke penginapan saja ya." Pinta Mia pada suaminya.Gara mengangguk.Tetapi Bu Marni menolak dan meminta Fiah saja yang ikut mereka. Malam ini, Mia dan Bu Marni menemani Dinda.Gara? Tentu dia tidak akan bisa tidur tanpa istrinya. Setelah mengantar Kedua mertuanya dan Fiah ke penginapan yang tak jauh dari rumah sakit itu, dia kembali ke rumah sakit.Waktu berjalan. Tidak terasa satu minggu sudah mereka berada di rumah sakit menemani Dinda. Sementara Bu Marni sudah pulang sejak satu hari ketika Mia dan lainnya da
Duka memang terasa di keluarga ini, baik Bu Marni dan tiga anaknya. Tetapi Nia dan Bu Rita tetap harus mengurus Dinda dan bayinya.Begitu juga dengan Bu Marni, seperti apapun kalutnya pikirannya saat ini, dia masih bisa fokus dengan Dinda dan bayinya."Ayo Dinda, ajari anakmu menyusu. Dirumah sakit kan, air susumu hanya diambil untuk diberikan pada bayimu. Sekarang, ajari dia menyusu langsung."Dinda mengangguk.Bu Rita membenarkan ucapan besannya itu. Dia kemudian mengambil cucunya dari ranjang bayi dan memberikan pada Dinda, tidak lupa mengajari cara memangku bayi yang baik dan benar.Sementara Bu Marni berpamitan untuk pergi ke dapur. Dia harus menyiapkan bahan-bahan masakan untuk membuat syukuran kecil-kecilan atas kelahiran bayi Dinda. Itu sudah menjadi kebiasaan warga kampung disini. Kelahiran bayi akan disambut dengan brokohan atau setidaknya mengantar makanan ke tetangga kanan kiri.Nanti akan ada acara sedikit lebih besar atau saat pemberian nama. Tapi itu, mereka perlu menu
Lalu dengan ragu-ragu, Dinda menceritakan musibah yang menimpa bapak. Alex tentu terkejut mendengar itu."Innalillahi.. Terus Bagaimana?""Nggak tahu, Mas. Tim SAR sedang mencoba terus mencari keberadaan para korban.""Semoga bapak ditemukan dalam keadaan sehat wal'afiat Dinda. Sampaikan salamku pada ibunya Nita ya? Yang tabah."Percakapan mereka diakhiri dengan isak tangis yang menyedihkan. Hingga tak sadar, Mia dan Bu Rita ikut menangis karena mendengar tangisan Alex maupun Dinda.Mia sekali lagi menatap bayi mungil dalam gendongannya ini. Bayi mungil ini, haruskah besar tanpa seorang Ayah?Sempat terbesit di pikiran Mia, untuk meminta pada Gara agar mengakhiri masa hukuman Alex.Tapi ketika Mia mengatakan ini pada ibu dan Dinda untuk meminta pendapat mereka, tidak menyangka jika Dinda malah melarangnya."Jangan, Mbak. Kamu tidak boleh egois. Kita tidak enak pada Mas Gara. Dia sudah banyak berkorban untuk keluarga kita. Sudah banyak sekali membantu kita, bahkan tidak menaruh dendam
Dia bukan menyesal atas kematian suaminya karena sekali lagi ini adalah takdir, tetapi Bu Marni lebih menyesali karena suaminya berpulang tanpa sempat bertaubat terlebih dahulu. Bahkan bisik-bisik tetangga terdengar, jika pak Kasno pergi ke ti dalam keadaan setengah mabuk.Dan sore ini juga jenazah pak Kasno segera dimakamkan setelah dimandikan dan disholatkan secara hukum ajaran agama mereka.Dua hari setelah hari pemakaman almarhum Pak Kasno, Gara dan Mia memutuskan untuk kembali ke kota besok pagi. Begitu juga dengan Bu Rita dan pak Wibowo.Mereka sudah berunding, tidak mungkin mereka akan lebih lama lagi tinggal di sini. Ini saja mereka sudah hampir dua mingguan berada di kampung Alex ini. Bu Marni tidak bisa untuk melarang keputusan mereka meskipun dia terlihat sedih ketika akan ditinggal mereka pulang. Begitu juga dengan Fi'ah, anak ini terlihat paling sedih. Bu Rita mendekati Dinda. “Dinda, kamu ikut pulang ya, Nak? Tinggal kembali di rumah ibu lagi. Kita bisa menjaga anak ka
Hari ini keluarga Gara akan pulang ke kota.Bu Rita memeluk Dinda dengan cukup lama sambil menangis sedih karena harus berpisah dengan anak sekaligus cucu pertamanya, sementara Mia tak berhenti mencium bayi Dinda yang diberi nama Calia Putri itu.Perpisahan ini cukup menguras air mata. Para tetangga juga tidak menyangka jika Dinda akan tetap tinggal di desa ini, tadinya mereka mengira jika Dinda akan ikut serta keluarganya pulang ke kota.“Ya ampun.. padahal keluarga mbak Dinda itu orang kaya ya, tapi mbak Dinda lebih memilih tinggal bersama keluarga mertuanya yang sederhana. Apalagi Bu Marni itu kan hanya mertua tiri loh..” Seorang ibu-ibu berbicara pada ibu lain yang ikut melongok ke pelataran rumah Bu Marni.“Iya, mana sekarang dua-duanya nggak punya suami. Satunya meninggal, yang satunya masuk penjara. Bagaimana mereka mau menghidupi anak-anaknya?” Sahut yang lain berbisik.“Keluarganya orang kaya, tapi pelit ya? Nggak mau gitu, kasih modal buat mbak Dinda. Kan kasihan mbak Dinda.
Sore hari, ketika keluarga Mia sudah sampai di rumah Gara.Silvia dan Farhan, rupanya sudah di sini sejak tadi untuk menyambut kepulangan mereka. Setelah mandi dan beristirahat sejenak, mereka kini berkumpul di ruangan keluarga untuk mengobrol.“Aku juga mau ketemu Dinda.” Ucap Silvia di tengah-tengah obrolan santai mereka, yang memang sedang membahas Dinda.“Kapan-kapan, kita akan kesana juga.” Jawab Farhan.“Iya, kalian harus menjenguk Dinda juga. Kasihan Dinda, dia sama sekali tidak mau ikut pulang. Dia memilih tinggal di sana bersama keluarga mertuanya.” ucap Mia. “Kamu tadi tidak meninggalkan uang untuk Dinda, sayang..” Tanya Gara.“Tidak, aku juga tidak punya uang. Uangku sudah habis.” Gara tertawa mendengarnya, “Ya ampun, istriku bisa kehabisan uang ya?”Silvia juga tertawa mendengar itu, “Habis uang cash, tapi di ATM masih banyak, kok repot? Bu Mia ini bagaimana sih? Kan tinggal ceklis beres.”Mia ikut tertawa, “Iya, makanya Gara bilang, katanya mau transfer saja ke Dinda.