Hari ini keluarga Gara akan pulang ke kota.Bu Rita memeluk Dinda dengan cukup lama sambil menangis sedih karena harus berpisah dengan anak sekaligus cucu pertamanya, sementara Mia tak berhenti mencium bayi Dinda yang diberi nama Calia Putri itu.Perpisahan ini cukup menguras air mata. Para tetangga juga tidak menyangka jika Dinda akan tetap tinggal di desa ini, tadinya mereka mengira jika Dinda akan ikut serta keluarganya pulang ke kota.“Ya ampun.. padahal keluarga mbak Dinda itu orang kaya ya, tapi mbak Dinda lebih memilih tinggal bersama keluarga mertuanya yang sederhana. Apalagi Bu Marni itu kan hanya mertua tiri loh..” Seorang ibu-ibu berbicara pada ibu lain yang ikut melongok ke pelataran rumah Bu Marni.“Iya, mana sekarang dua-duanya nggak punya suami. Satunya meninggal, yang satunya masuk penjara. Bagaimana mereka mau menghidupi anak-anaknya?” Sahut yang lain berbisik.“Keluarganya orang kaya, tapi pelit ya? Nggak mau gitu, kasih modal buat mbak Dinda. Kan kasihan mbak Dinda.
Sore hari, ketika keluarga Mia sudah sampai di rumah Gara.Silvia dan Farhan, rupanya sudah di sini sejak tadi untuk menyambut kepulangan mereka. Setelah mandi dan beristirahat sejenak, mereka kini berkumpul di ruangan keluarga untuk mengobrol.“Aku juga mau ketemu Dinda.” Ucap Silvia di tengah-tengah obrolan santai mereka, yang memang sedang membahas Dinda.“Kapan-kapan, kita akan kesana juga.” Jawab Farhan.“Iya, kalian harus menjenguk Dinda juga. Kasihan Dinda, dia sama sekali tidak mau ikut pulang. Dia memilih tinggal di sana bersama keluarga mertuanya.” ucap Mia. “Kamu tadi tidak meninggalkan uang untuk Dinda, sayang..” Tanya Gara.“Tidak, aku juga tidak punya uang. Uangku sudah habis.” Gara tertawa mendengarnya, “Ya ampun, istriku bisa kehabisan uang ya?”Silvia juga tertawa mendengar itu, “Habis uang cash, tapi di ATM masih banyak, kok repot? Bu Mia ini bagaimana sih? Kan tinggal ceklis beres.”Mia ikut tertawa, “Iya, makanya Gara bilang, katanya mau transfer saja ke Dinda.
“Ya Allah, mudah-mudahan benar.” Dengan secepat kilat Gara menyiram tubuhnya, pikirannya sudah melayang kemana-mana. Selesai mandi , dia segera berganti. Dia melihat Mia tengah duduk sambil meminum teh hangat dari Pak Gan.Dia bertanya lagi, “Apa masih mual?”“Iya, masih. Badanku rasanya tidak enak sekali. Kepalanya pusing, rasanya ngantuk terus.” Jawab Mia. “Tunggu sebentar ya?” Gara mempercepat gerakannya untuk merapikan badan, kemudian mengambil sisir. Mia tadi terlihat belum sempat menyisir, bahkan rambutnya masih menyisakan air. Tanpa persetujuan dari Mia, Gara mengeringkan rambutnya terlebih dahulu dan segera menyisirnya. Baru setelah itu dia mengajak Mia untuk berangkat ke rumah sakit. Mereka diantar seorang sopir .Gara duduk di kursi belakang bersama Mia yang menaruh kepalanya di pangkuannya Gara. Rasanya Mia tidak sanggup sekedar mengangkat kepala saja. Dia pernah sakit, tapi tidak pernah merasa selemas ini. Tulang-belulangnya terasa ngilu atau karena dia menahannya be
Momen kelahiran anak ke dunia memang menjadi hal yang paling membahagiakan bagi setiap pasangan. Bagaimana tidak, mereka telah berhasil menyatukan cinta mereka dan mewujudkan impian setiap pasangan di seluruh dunia, yaitu memiliki keturunan. Namun, sebelum prosesi persalinan, ada momen yang tak kalah menarik dan membahagiakan, yaitu saat sang istri atau dokter mengabarkan pada suami bahwa istrinya telah positif hamil. Inilah yang terjadi pada Gara Mahendra saat ini. Perasaan bahagia, sedih, dan bangga bercampur aduk menjadi satu dalam diri Gara. Dia sangat bahagia karena sebentar lagi akan memiliki generasi penerus dari dua DNA yang berbeda, dua karakter yang menjadi satu. Namun, dia juga merasa sedih karena istrinya harus mengalami mual-mual sampai wajahnya terlihat pucat akibat mengandung bayi mereka.Dia juga merasa bangga karena akhirnya dia dan istrinya akan memiliki anak yang telah lama dinantikan. Perjuangan mereka ternyata tidak sia-sia. Gara berulang kali mengucapkan rasa sy
Susana hati Gara masih dalam keadaan sangat baik. Kehamilan Mia bukan hanya membuatnya bahagia dengan teramat sangat tetapi menjadi sebuah penyemangat baru baginya.Memikirkan sebentar lagi dia akan menjadi seorang ayah, menimang seorang putra atau putri. Dia tidak akan merasa sebatang kara lagi, selain istrinya yang ia punya dia juga akan memiliki anak. Darah dagingnya sendiri. Memikirkan itu dia sungguh merasa bahagia tak terkira.Kembali Gara bersyukur dan bersyukur lagi.Pria itu merasa semangatnya menjadi berlipat-lipat ganda. Dia bahkan berpikir ingin memberi bonus lebih pada Dinda. Bukan semata-mata untuk membantu Dinda saja, tetapi lebih untuk bersedekah kepada keluarga mertua Dinda yang masih sedang dalam masa berkabung pasca meninggalnya ayah Alex."Mana nomor rekening Dinda?" Tanya Gara pada istrinya."Aku tidak ada." Jawab Mia. Dia memang tidak menyimpan rekening milik adiknya itu."Telepon Dinda ya buat tanya?" Gara meminta pendapat."Kalau bisa, jangan. Dinda pasti nggak
"Astagfirullah…! Yang benar, Fiah?" Dinda terkejut dan langsung masuk kedalam kamarnya.Dia begitu terkejut ketika mengingat uangnya."Uang mbak Dinda, Fiah! Ya Allah…!" Dinda berteriak ketika mengingat uangnya.Dia menaruh bayinya ke atas kasur dan segera memeriksa."Ya Allah…!" Dinda memekik ketika melihat dompetnya telah kosong. Uang satu juta sisa dari ibunya raib."Hilang, mbak?" Tanya Fiah dengan wajah gelisah."Hilang Fiah.. Hilang! Ya Allah… Siapa yang tega mengambilnya?" Dinda menangis sedih."Ya Allah, mbak Dinda. Padahal uang itu mau untuk modal kita." Fiah pun tak kalah sedihnya.Mereka kebingungan siapa yang sudah masuk mengacak-acak kamar Dinda dan membawa uang satu juta milik Dinda.Ibu yang baru saja datang pun terkejut melihat dua anaknya menangis."Kenapa ini?"Fiah langsung histeris dan mengadu pada ibunya."Uang mbak Dinda yang mau untuk modal itu hilang, Bu.. Di gondol maling!""Ya Allah.. kok bisa?" Ibu juga sangat terkejut.Mereka kemudian menceritakan keadaan r
Tapi ketika Fiah hendak bersuara ibu mengedipkan matanya, memberi kode agar Fiah tidak usah bercerita apa-apa."Sepertinya tidak jadi, Bu Yani. Cucuku masih terlalu bayi kalau untuk disambi jualan." Begitu saja jawab Bu Marni. Tidak mau ribet."Ee… orang sudah nungguin. Ya sudah kalau begitu. Bener tuh, bayinya mbak Dinda lagi kecil. Kasihan kalau diajak jualan gorengan. Kecuali buka toko sembako baru nggak masalah. Hehe.. tapi nggak ada modalnya ya... Butuh seratus juta paling tidak." Kata-kata Bu Yani seperti sedikit mengejek mereka.Tetapi mereka tidak tersinggung, benar saja, mana mereka punya modal kalau untuk membuka toko sembako. Padahal posisi rumah ini bagus kalau untuk buka toko sembako.Toko lumayan sangat jauh tempatnya. Lebih mudahnya lagi, kalau di daerah sini, penjual itu tidak perlu susah payah berbelanja ke pasar untuk kebutuhan dagangannya. Tinggal langganan ke mobil khusus. Ada mobil khusus yang masuk mengantar barang-barang dagangan ke toko-toko."Ya sudah, Bu Marn
Baik itu Dinda, Ibu dan Fiah sama-sama masih terbengong-bengong menatap Notif BRI itu. Beberapa kali Dinda memeriksa dan mengucek matanya untuk meyakinkan penglihatannya. Tetapi tetap saja, angka nol dalam bilangan di dalam pesan itu tidak berubah. Berapa kali Dinda mengulang untuk membaca, hasilnya tetap Dua ratus lima puluh Juta yang tertera.Bayangkan saja, kehidupan di kampung seperti daerah disini mempunyai uang sebanyak itu adalah seperti mimpi di siang bolong. Apa yang akan mereka melakukan dengan uang sebanyak itu?Bukannya senang Dinda malah terlihat panik."Mas Gara pasti salah! Jangan-jangan dia salah menekan angka? Atau salah memasukkan nomor rekening? Mungkin saja dia mau mentransfer rekan bisnisnya tapi salah ke nomor rekening aku." Sejenak Dinda linglung ketika mengingat jika Mia dan Gara tidak memiliki nomor rekeningnya."Yang punya hanya ibu. Andai Mas Gara yang sengaja meminta nomor rekeningku pada ibu dan memang berniat mengirim uang padaku, tidak mungkin sebanyak i