Tapi ketika Fiah hendak bersuara ibu mengedipkan matanya, memberi kode agar Fiah tidak usah bercerita apa-apa."Sepertinya tidak jadi, Bu Yani. Cucuku masih terlalu bayi kalau untuk disambi jualan." Begitu saja jawab Bu Marni. Tidak mau ribet."Ee… orang sudah nungguin. Ya sudah kalau begitu. Bener tuh, bayinya mbak Dinda lagi kecil. Kasihan kalau diajak jualan gorengan. Kecuali buka toko sembako baru nggak masalah. Hehe.. tapi nggak ada modalnya ya... Butuh seratus juta paling tidak." Kata-kata Bu Yani seperti sedikit mengejek mereka.Tetapi mereka tidak tersinggung, benar saja, mana mereka punya modal kalau untuk membuka toko sembako. Padahal posisi rumah ini bagus kalau untuk buka toko sembako.Toko lumayan sangat jauh tempatnya. Lebih mudahnya lagi, kalau di daerah sini, penjual itu tidak perlu susah payah berbelanja ke pasar untuk kebutuhan dagangannya. Tinggal langganan ke mobil khusus. Ada mobil khusus yang masuk mengantar barang-barang dagangan ke toko-toko."Ya sudah, Bu Marn
Baik itu Dinda, Ibu dan Fiah sama-sama masih terbengong-bengong menatap Notif BRI itu. Beberapa kali Dinda memeriksa dan mengucek matanya untuk meyakinkan penglihatannya. Tetapi tetap saja, angka nol dalam bilangan di dalam pesan itu tidak berubah. Berapa kali Dinda mengulang untuk membaca, hasilnya tetap Dua ratus lima puluh Juta yang tertera.Bayangkan saja, kehidupan di kampung seperti daerah disini mempunyai uang sebanyak itu adalah seperti mimpi di siang bolong. Apa yang akan mereka melakukan dengan uang sebanyak itu?Bukannya senang Dinda malah terlihat panik."Mas Gara pasti salah! Jangan-jangan dia salah menekan angka? Atau salah memasukkan nomor rekening? Mungkin saja dia mau mentransfer rekan bisnisnya tapi salah ke nomor rekening aku." Sejenak Dinda linglung ketika mengingat jika Mia dan Gara tidak memiliki nomor rekeningnya."Yang punya hanya ibu. Andai Mas Gara yang sengaja meminta nomor rekeningku pada ibu dan memang berniat mengirim uang padaku, tidak mungkin sebanyak i
"Dinda. Dengarkan aku, kita ini keluarga. Kamu adikku, adik kak Silvia juga. Kita semua disini bahagia dan menjalani kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Kami tidak mungkin melupakan kamu, kami terus memikirkan kamu. Kami juga ingin kamu ikut merasakan kebahagiaan kami. Berjanjilah Dinda, mari kita bahagia bersama, lebih baik lagi untuk kedepannya agar hidup kita tenang dan lancar. Bisa selamat dunia akhiratnya. Jaga dirimu baik-baik dan anakmu. Kelak, kalau sudah ada kesempatan, berkunjunglah kemari. Pintu rumah kami terbuka lebar untuk kamu dan keluargamu disana. Assalamualaikum!"Dinda membalas salam, begitu pelan sampai hampir tidak terdengar. Disana Mia meneteskan air mata. Air mata kebahagiaan. Hatinya begitu lega bisa membantu adiknya. Dia berharap setelah ini, tidak akan ada kesalahan lagi, tidak akan ada penderitaan lagi.Mia terlihat mengusap perutnya."Banggalah Nak, kamu memiliki ayah sehebat ayahmu. Bangga lah Nak, kamu memiliki keluarga utuh. Ibu tidak akan membiar
"Ya Ampun.. istriku yang cantik baik dan pengertian, sayangnya tetep aja bawel! Kita ini nggak punya sekretaris! Jadi harus kita yang menghandle semua pekerjaan. Pasokan barang, uang keluar dan masuk. Dibelain malem-malem begini aja kadang masih keteteran kok. Kamu juga! Biasanya bantuin, beberapa hari malah nggak bantuin coba! "Silvia menghentakkan pantatnya ke sofa dekat suaminya."Kan sibuk di rumah Mia!""Oh. Iya, yah. Aku lupa!" Farhan menepuk jidatnya. Istri dan mertuanya beberapa hari ini memang sibuk di rumah Mia. Selesai sedekahan mereka masih tinggal disana.Biasalah! Lagi senang-senangnya dengan kehamilan Mia. Jadi semua orang ikut berdebar-debar hatinya."Ya sudah, nggak papa. Ini tapi kok, cemberut? Ada apa?""Aku juga mau hamil."Pef…!! Farhan tertawa sambil Menoleh pada istrinya."Mau hamil juga? Kenapa protesnya sama aku? Kamu tuh yang nyumpel! Gimana kecebong babang ganteng mau tumbuh coba? Kamu sumpelin!"Silvia cengar-cengir sambil menggulung-gulung rambutnya denga
Hari-hari telah berlalu. Bahkan bulan-bulan pun tak terasa terus berganti. Sekarang keadaan perekonomian keluarga Dinda di kampung telah membaik. Untuk makan sehari-hari, mereka tidak lagi kekurangan.Hasil toko mereka sudah lebih dikatakan dari cukup,bahkan Dinda masing bisa menabung sisa uang hasil dari jualan tokonya.Ibu tidak pernah lagi buruh di kebun orang. Sekarang fokus untuk memasak dan membantu Dinda mengurus bayinya yang sudah mulai bisa tengkurap.Fiah mulai pintar berjualan pulsa dengan menggunakan Hpnya sendiri. Sedangkan Dinda terlihat sibuk melayani pembeli dibantu Fiah.Toko mereka sangat ramai pengunjung. Bahkan dari kampung sebelah banyak warga yang berbelanja di toko Calia Serba Ada."Sesuai dengan namanya ya, Mbak Dinda. Disini tersedia apa saja kebutuhan sehari-hari. Jadi kami tidak perlu jauh-jauh ke pasar." Ucap Seorang Ibu-ibu yang sedang berbelanja."Iya, Bu. Memang sengaja toko ini dibuat lengkap. Agar warga tidak perlu jauh-jauh jika harus berbelanja kebut
Dinda kemudian menghubungi Nomor komandan Petugas Lapas. Komandan Petugas lapas sudah mengenal baik Dinda. Bukan dari pertemuan, tetapi karena beberapa kali Gara dan Riko sempat membesuk Alex. Keluarga Dinda juga sering membesuk Alex. Hanya Dinda lah dan keluarga Alex yang belum pernah bertemu Alex selama Alex di penjara dan dipindahkan ke Lapas ini.Secara umum, penghuni lapas bahkan komandan dan petugas telah tau jika Alex masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan Gara Mahendra.Jadi Alex diperlakukan baik di dalam sana. Bahkan karena sikap dan perilaku Alex disana sangat baik dan patuh, Alex di hormati oleh semua penghuni.Setelah berbasa basi sejenak dan meminta izin dengan Komandan Lapas, Dinda diizinkan untuk melakukan Video Call dengan suaminya.Betapa bahagianya sepasang suami istri ini bisa memandang satu sama lain setelah sekian lama tak bertemu.Saling bertanya kabar dan mengucapkan kata rindu.Senyum berkembang di bibir Alex, namun air mata mengikuti senyuman lebarnya k
Bu Yani yang tidak menyangka akan kepergok begini, karena tadi sudah memastikan jika mereka sedang makan makan di dalam toko juga sangat terkejut.Dompet Dinda yang sudah di tangannya terjatuh."Astagfirullah.. Bu Yani! Apa yang Bu Yani lakukan?" Tidak bisa untuk tidak berburuk sangka lagi, Ibu sudah langsung bisa menebak jika Bu Yani ingin mencuri sesuatu dari kamar Menantunya. Apalagi ketika dia melihat Dompet Dinda yang sedang di genggam Bu Yani dan sekarang terjatuh di lantai.Wajah Bu Yani langsung pucat pasi. Antara ketakutan dan malu setengah mati.Tubuhnya langsung merosot, duduk berlutut di hadapan Bu Marni."Maafkan aku Bu Marni. Maafkan aku.." Bu Yani menangis sambil merangkak dengan lututnya dan memeluk betis Bu Marni."Ya Allah.. Bu Yani mau mencuri di rumah kami?" Ibu rasanya tidak percaya dengan apa yang dihadapannya ini.Bu Yani adalah seorang yang aktif di kegiatan pengajian. Tidak peduli ada pengajian jauh, tidak peduli hujan petir sekalipun, dia selalu hadir tanpa a
Bulan demi bulan berlalu, dan kehamilan Mia kini memasuki bulan ke-9. Semua orang menunggu hari persalinannya dengan cemas dan hati berdebar. Pasangan suami istri ini sudah sepakat untuk menjalani proses persalinan dengan metode operasi caesar. Awalnya, Mia menolak karena ingin melahirkan secara normal, tetapi dokter menyarankan metode ini mengingat dia mengandung bayi kembar. Gara pun mendukung saran dari dokter karena khawatir dengan kemungkinan-kemungkinan yang tidak diinginkan. Ibu dan Silvia bergantian menginap di rumah besar mereka untuk menemani Mia jika sewaktu-waktu hari yang menegangkan itu tiba. Namun, sebenarnya tanggal kelahiran si kembar telah ditentukan dan masih sekitar 7 hari lagi dari sekarang. Beberapa hari ini, Gara terlihat sangat tegang seiring waktu mendekati tanggal yang ditentukan. Dia bahkan meninggalkan semua pekerjaan dan hanya fokus pada Mia, berusaha menjadi suami yang siaga. "Sayang, makan dulu ya," ujar Gara sambil membawakan makanan untuk Mia ke kama