Bulan demi bulan berlalu, dan kehamilan Mia kini memasuki bulan ke-9. Semua orang menunggu hari persalinannya dengan cemas dan hati berdebar. Pasangan suami istri ini sudah sepakat untuk menjalani proses persalinan dengan metode operasi caesar. Awalnya, Mia menolak karena ingin melahirkan secara normal, tetapi dokter menyarankan metode ini mengingat dia mengandung bayi kembar. Gara pun mendukung saran dari dokter karena khawatir dengan kemungkinan-kemungkinan yang tidak diinginkan. Ibu dan Silvia bergantian menginap di rumah besar mereka untuk menemani Mia jika sewaktu-waktu hari yang menegangkan itu tiba. Namun, sebenarnya tanggal kelahiran si kembar telah ditentukan dan masih sekitar 7 hari lagi dari sekarang. Beberapa hari ini, Gara terlihat sangat tegang seiring waktu mendekati tanggal yang ditentukan. Dia bahkan meninggalkan semua pekerjaan dan hanya fokus pada Mia, berusaha menjadi suami yang siaga. "Sayang, makan dulu ya," ujar Gara sambil membawakan makanan untuk Mia ke kama
Meskipun demikian, pada beberapa kasus darurat, operasi caesar dengan anestesi umum juga mungkin diberikan oleh dokter. Sambil menunggu obat bius bekerja, tim medis memasang kain yang menghalangi penglihatan Mia ke area perut. Ini bertujuan untuk menjaga lokasi bedah tetap steril dan Mia tidak perlu menyaksikan bagaimana dokter membedah perutnya. Mia saat ini hanya bisa pasrah dan berdoa di dalam hati, memohon agar proses operasinya berjalan lancar, tanpa tahu apa yang sedang dilakukan para dokter pada perutnya. Bayi kembar yang ditunggu-tunggu akhirnya terlahir ke dunia, namun dokter belum memberi kabar kepada keluarga Mia, masih sibuk mengurus Mia dan bayi-bayinya. Sementara itu, di luar ruangan, Riko telah tiba beberapa menit yang lalu setelah dihubungi oleh Gara. Ayah, Farhan dan Silvia juga sudah berada di sana sejak tadi, wajah mereka terlihat tegang dan tidak ada yang tenang sedikitpun. Semua orang berdoa masing-masing untuk keselamatan Mia dan kedua bayi kembarnya. Di ten
Gara langsung mendekati istrinya yang terbaring lemah dan pucat. "Sayang, kita dikaruniai anak laki-laki dan perempuan. Ya Tuhan, aku bahagia sekali. Terima kasih, Mia. Terima kasih sudah melahirkan mereka untukku," ucap Gara sambil mencium seluruh wajah istrinya, tak peduli dengan beberapa suster yang masih berada di dalam ruangan itu.Mia meneteskan air mata. "Alhamdulillah, aku juga sangat bahagia.”“Maafkan aku, tadi tidak boleh ikut menyertaimu," kata Gara. "Tidak apa-apa, aku baik-baik saja," jawab Mia dengan lemah.Ternyata, meskipun Mia sudah mengalami pecah ketuban, dia belum merasakan kontraksi sehingga tak sempat merasakan sakitnya menjelang kelahiran. Ibu mendekat, sesekali mengusap air mata bahagia. "Selamat ya, Nak. Akhirnya kamu menjadi seorang ibu sekarang," ucapnya sambil mencium kening Mia. "Terima kasih, Bu, atas doa dan dukungan ibu selama ini," balas Mia. Mia menoleh ke sekeliling, hanya Farhan yang ada di sana. "Ke mana ayah dan Kak Silvia?" tanya Mia karena
Silvia merasa ragu untuk menelpon Dinda, ada rasa sedih yang tiba-tiba memenuhi hatinya. Jika Alex bisa diselamatkan, bagaimana jika tidak? Ini pasti akan sangat membuat Dinda sedih, baru saja menikah dan sudah harus ditinggal suaminya ke penjara. Dinda harus hidup tanpa suami saat hamil dan sampai dia melahirkan. Sekarang mereka akan bertemu, namun dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. Apakah Dinda akan sanggup menerima kenyataan pahit ini lagi?Kanker hati sudah stadium akhir, ini sangat mustahil untuk disembuhkan. Astaghfirullahaladzim. Silvia mengusap air matanya, dia harus kuat. Apapun yang terjadi, dia harus tetap menghubungi adiknya. "Halo, Tante! Apa kabar? Kangen ya sama Calia? Calia baru mandi nih, Tante," begitu panggilan terhubung, suara Dinda langsung menyambut dengan begitu ceria dari sana.Silvia memang sering menelpon atau melakukan panggilan video dengan Dinda, terutama setelah Calia mulai pintar mengoceh. Hampir setiap hari, Silvia dan ibu ingin melihat serta m
Dinda sudah cukup lama berada di Bandara Depati Amir, menunggu pesawat yang akan membawanya menuju kota tujuannya. Tepat pukul 11.00 siang, pesawat akhirnya lepas landas. Selama menunggu di bandara, Dinda sempat merasa waktu berjalan lambat. Namun, begitu pesawat terbang, hanya butuh waktu sekitar 30 menit untuk mendarat. Di rumah sakit, hanya ada ayah dan Silvia, sehingga tidak mungkin mereka yang menjemput Dinda di bandara. Pada akhirnya, Riko yang rela menjemput Dinda, setelah diberitahu oleh Silvia bahwa pak Riko akan menjemputnya, Dinda merasa sedikit sungkan.Dia hanya pernah bertemu Riko sekali saat pernikahannya dulu. Saat itu, mereka hanya saling melihat tanpa sempat bertegur sapa. Riko juga pernah menatap Dinda sekilas saat ia bersanding dengan Alex di pelaminan, namun tidak terlalu jelas wajah Dinda karena Riko tidak memperhatikannya dengan baik. Meski begitu, mereka tidak kesulitan bertemu di bandara karena masing-masing sudah saling menyimpan nomor WA."Dinda, kan?" teg
Riko tertawa kecil, “Dia menyebut papa bukan ayah.” katanya. Dinda juga tertawa kecil, ini pertama kalinya Calia bisa menyebut papa. Usianya sudah lebih dari 10 bulan tetapi selama ini Calia baru bisa mengatakan Mama, meskipun Dinda mengajarkan untuk memanggil ibu tapi Calia tetap memanggilnya dengan sebutan mama. Mungkin mama lebih mudah untuk seorang bayi yang baru belajar bicara. “Tapi itu bukan papa Calia, itu om yang baik hati.” Ucap Dinda.Riko hanya tersenyum. Setelah memastikan Calia tidak menangis lagi, Riko kembali menjalankan mobilnya. Setelah beberapa saat lamanya, mereka sampai juga di rumah sakit.Riko turun terlebih dahulu untuk membukakan pintu dan membawa barang-barang Dinda.Mereka masuk ke dalam rumah sakit dan Riko langsung membawa Dinda ke ruangan dimana Alex dirawat. Begitu Dinda masuk langsung disambut oleh Silvia dan sang ayah.Silvia segera memeluk Dindam “Mbak..” Namun mata Dinda langsung tertuju pada seorang pria yang sedang duduk bersandar di ranjang sak
Sementara di dalam ruangan Dokter yang menangani Alex,Nampak Riko, Wibowo dan Silvia sedang terlibat obrolan yang cukup serius.Riko meminta pihak rumah sakit untuk mencarikan donor hati untuk Alex. Riko berharap agar Alex masih bisa terselamatkan.Dokter mengangguk. "Akan kami usahakan. Jika sudah ada donor hati yang cocok, Kita bisa melakukan Transplantasi hati pada saudara Alex. Tetapi perlu diketahui, jika Kanker hati saudara Alex ini sudah mencapai stadium akhir. Kanker ini telah menyebar dan merusak organ tubuh lainnya bahkan sudah sampai ke jantung pasien. Resiko kegagalan dalam operasi juga akan semakin besar. Kami tidak bisa menjanjikan apa-apa."Mereka tidak bisa mengatakan apapun lagi kecuali hanya bisa pasrah.Silvia menoleh pada sang Ayah. "Apa yang harus kita lakukan, Ayah? Aku tidak tega memberitahu Dinda.""Apalagi ayah." Sahut Wibowo."Sebaiknya kita harus memberitahu saudari Dinda. Agar dia bersiap dengan kemungkinan yang bisa saja terjadi kapanpun." Dokter menyara
"Maaf, Mbak Dinda. Suami anda sudah tidak ada. Maafkan kami." Sekali lagi ucapan Dokter membuat Dinda histeris bukan main. "Tidak mungkin! Mas Alex…!!" Tubuh Dinda oleng dan hampir rubuh. Beruntung Riko dengan cepat menopangnya, jika tidak, Dinda bisa terjatuh bersama putrinya. Silvia langsung mengambil Calia dari gendongan Dinda. Sementara Dinda langsung berlari memeluk tubuh Alex yang sudah terpejam untuk selamanya. "Mas.. bangun, Mas! Kamu tidak mungkin meninggalkan aku secepat ini kan? Mas Alex. Ku mohon bangunlah! Kita akan bersama-sama pulang ke kampungmu! Aku akan menunggumu dengan sabar, Mas…! Ayo bangun!" Dinda mengguncang-guncang tubuh Alex. "Mas Alex… Ya Allah… Aku mohon jangan pergi…! Enggak Mas.. Jangan tinggalin kami seperti ini…! Mas Alex… Bangun!" Dinda masih mengguncang guncang tubuh suaminya dengan tangisan pilu yang menyayat hati semua orang yang mendengarnya. "Mas.. kita sudah lama berpisah. Kita baru bertemu.. Aku bahkan masih sangat merindukanmu.. kena
Tidak ada tetangga yang datang karena mereka sengaja, lamaran malam ini dengan sederhana saja. Tidak ada yang dibawa oleh Dodi karena memang mereka sudah berunding untuk tidak memaksakan diri dan tidak membawa apapun. Ini adalah pesan Gita, jadi Dodi datang hanya membawa ucapan niat dan cincin seberat 2 gram saja sebagai tanda pengikat antara mereka. Acara lamaran berlangsung sederhana namun penuh keseriusan dari kedua belah pihak. Pakde Gita tak banyak bicara, sebab di sini ia hanya menjadi saksi, bukan untuk dimintai pendapat. Sebelumnya, Bu Mila sudah berpesan demikian. Sebelum lamaran ini, Pakde sempat menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pernikahan Gita dengan Dodi. Alasannya, masa depan Dodi kurang cerah dan hanya akan membebani Gita, terlebih Gita kini sudah sukses. Pakde khawatir banyak orang berbiat buruk, lalu menjadikan alasan ingin menikahi Gita. Bu Mila menegaskan untuk tidak perlu ikut campur urusan mereka . Dodi memandang Heru dengan mata terbelalak, seperti kura
Sebagai orang tua, mereka hanya perlu menyetujui, memberi restu, dan dukungan. Meski tak suka, Pakde tak bisa berbuat apa-apa selain mengiyakan.Mungkin ia sadar bahwa selama ini ia tak pernah membantu atau ikut memberi makan Gita dan Anisa sejak mereka lahir, lalu mereka ditinggal orang tua mereka, dan kini telah tumbuh dewasa.Acara lamaran selesai, disambung dengan obrolan ringan, basa-basi sebelum waktunya pulang.Tidak ada yang istimewa di acara malam ini, tetapi bagi Gita dan Dodi, acara ini sangat spesial dan membekas di hati. Karena malam ini, mereka resmi menjadi sepasang tunangan dan berencana menikah bulan depan. Awalnya, ketika ditanya oleh Pak De kapan mereka akan menikah, Dodi masih ragu untuk menjawab. Bukan karena ragu, tetapi dia ingin benar-benar siap. Namun, Gita yang langsung menjawab, "Rencana kami adalah bulan depan, Pak De. Setelah bulan ini habis, kami akan berunding lagi untuk menentukan hari yang tepat."Dodi tidak bisa berkomentar karena takut Gita tersinggu
Dodi menarik nafas resah. Tadinya, dia sudah cukup senang, khayalannya melambung tinggi, menikahi Gita dan hidup bahagia penuh cinta. Namun, setelah obrolan dengan ibunya, perasaannya berubah menjadi kacau.Jika nanti dia menikah, bagaimana mungkin dia bisa tinggal bersama Gita? Bagaimana dengan ibu dan dik-adiknya? Tapi jika dia mengajak Gita untuk tinggal bersamanya, tentu saja itu juga tidak mungkin. Dia tidak bisa membawa Gita untuk tinggal di pondok mereka dan mengurus keluarganya.Tiba-tiba, sebuah pesan singkat dari Gita masuk. "Dodi, sedang apa? Apa kamu sudah pulang kerja?""Iya, Gita. Aku sudah pulang dari tadi." Mulai hari ini dan seterusnya, Dodi memang sudah mau belajar untuk memanggil Gita dengan nama saja. Mereka sudah sepakat."Bisa gak nanti malam ke rumah? Ada hal yang ingin aku bicarakan."Karena Dodi juga ingin membicarakan suatu hal dengan Gita, dia pun setuju. "Iya, aku akan ke sana nanti malam."Gita tersenyum, selain memang ada sesuatu yang ingin dibicarakan se
Yang di sana menutup mulutnya dengan satu tangan menahan agar tidak tertawa keras karena saking senangnya.Ya ampun… Ternyata Dodi romantis juga ya?Akhirnya sepanjang malam ini mereka sama-sama begadang, melanjutkan chat mesra dan rencana untuk kedepannya nanti. Sampai terlupa, ketiduran tanpa sengaja. Ponsel masing-masing terjatuh dari tangan dan paginya ponsel mereka sama-sama ngedrop!Dodi merasa sangat kesal karena tidak bisa mengirimi pesan atau melihat pesan chat dari Gita. Akhirnya berangkat kerja tanpa membawa ponsel.Gita juga demikian, terpaksa pergi mengajar meninggalkan ponselnya di rumah untuk dicas.Di tempat kerja, mereka tidak konsen.Saling memikirkan satu sama lain. Andai saja tadi ponsel bisa dibawa, setidaknya bisa berkirim chat, menanyakan kabar. Lagi ngapain? Udah makan belum?Duh, kasmaran!Sayangnya semalam lupa , seharusnya sambil di cas saja. Kan tidak sampai ngedrop?Saat Dodi pulang dari kerja, di jalan melihat kecelakaan. Sebuah mobil sedan menabrak seora
Anisa mengusir mereka dengan bercanda, "Sudah, jalan sana, nanti keburu magrib."Gita dan Dodi akhirnya berangkat menggunakan motor Anisa. Mereka berboncengan, menarik perhatian orang-orang di jalan karena penampilan mereka yang berbeda dari biasanya. Beberapa mencibir, tapi banyak juga yang memuji kecocokan mereka.Sesampainya di acara, suara musik orgen tunggal menyambut. Mereka disambut oleh tim penyambut tamu, dan beberapa orang langsung mengenali mereka, "Mbak Gita sama Mas Dodi? Wah, cocok banget!”Gita dan Dodi hanya tersenyum malu mendengar godaan-godaan itu. Setelah mengambil makanan, mereka duduk bersama dan menikmati hidangan. Sesekali mereka melirik satu sama lain dan tersenyum, tapi tidak bisa fokus karena hati mereka sama-sama berdebar.Setelah makan, Dodi mengajak Gita untuk memberikan amplop kepada pasangan pengantin. "Cepat menyusul kami ya!" ucap mempelai wanita, membuat Gita semakin tersipu."Kenapa semua orang berpikir kita pacaran?" tanya Gita saat mereka kembali
Penjelasan Gita diterima, dan beberapa siswa bahkan membuka platform novel online untuk memeriksa kebenarannya. Mereka akhirnya paham bahwa kehidupan Gita dan Anisa telah berubah berkat kerja keras Gita.Sejak saat itu, tak ada lagi yang menuduh atau membicarakan Anisa dan keluarganya. Kabar tentang Gita yang menjadi penulis menyebar, dan kehidupan mereka menjadi lebih damai. Tidak ada lagi tuduhan atau hinaan dari Cindy dan teman-temannya.Hari itu, Gita merasa sangat lelah setelah seharian membersihkan rumah bersama Anisa. Malam harinya, ia mengalami sakit kepala yang parah. Anisa khawatir melihat suhu tubuh kakaknya yang sangat panas."Mbak Gita sakit, ya? Badannya panas sekali!" seru Anisa.Gita mengeluh, "Kepala Mbak sakit, tubuh juga rasanya ngilu-ngilu."Anisa segera memberi tahu Bu Mila, yang panik. "Tunggu sebentar, Anisa. Biar nenek menemui Mbak Nita.""Biar Anisa saja, Nek. Nenek tungguin Mbak Gita," ujar Anisa, langsung berlari ke rumah Nita. Mendengar kabar itu, Nita dan
"Udah, jangan dilihat terus. Besok langsung dicoba aja," goda Nita, sambil tersenyum melihat Anisa yang terus memandangi motor barunya.Anisa tertawa kecil, benar-benar tidak menyangka dirinya bisa mendapatkan motor sebagus itu. Dia menoleh pada Gita, "Mbak Gita, terima kasih ya. Pasti mahal banget."Gita tersenyum dan menepuk tangan Anisa lembut, "Yang penting kamu senang, Anisa. Harga motor ini nggak ada apa-apanya dibanding kebahagiaan kamu.""Ya ampun, Mbak Gita! I love you deh!" Anisa memeluk kakaknya dengan rasa terima kasih."Makanya, jangan bandel. Kamu nggak kerja tapi dibeliin motor sama HP baru. Semangat belajar dan bantu-bantu di rumah, ya," Bu Mila mengingatkan."Siap, Nek! Anisa makin semangat," jawab Anisa riang, disambut tawa seluruh keluarga.Heru lalu berdiri, "Maaf, aku harus pulang. Toko nggak ada yang jaga lama-lama.""Aku juga pulang, nih," kata Nita sambil mengeluarkan kado kecil dari sakunya.Heru melihat kado itu dan tertawa, "Ya ampun, kado kamu kecil banget,
Karena Anisa memang adik yang pengertian, meskipun hatinya sedikit terluka oleh ucapan kakaknya, dia tidak berani menjawab. Anisa mencoba mengerti, mungkin kakaknya sedang banyak pikiran atau lelah, jadi dia memilih untuk diam saja.Kemudian, Anisa beranjak dari kamar Gita untuk mencari neneknya, tetapi tidak menemukannya. Dia lalu pergi ke dapur dan membuka tudung saji. Ternyata tidak ada makanan apapun di meja. Bahkan di magic com pun tidak ada nasi. Anisa mendengus kesal, lalu kembali ke kamar Gita."Mbak, nenek nggak masak ya? Nenek pergi kemana?" tanya Anisa lagi.Kakaknya terlihat kesal, lalu melemparkan guling ke arah Anisa."Kamu itu manja banget sih! Kamu kan bisa masak sendiri, masak mie, ceplok telor, atau apa gitu. Nggak usah terus ngandelin nenek. Nenek lagi pergi ke rumah Bude dari tadi pagi, jadi nggak sempat masak. Kamu aja yang masak nasi, sana!” ujar kakaknya.Anisa merasa sedih melihat perubahan kakaknya yang tiba-tiba menjadi pemarah. Namun, dia tidak berani memban
“Ya Allah, ternyata ini pekerjaan Mbak Gita yang jarang diketahui orang. Pantas saja Mbak bisa membeli ini itu dan mengubah ekonomi keluarga. Aku benar-benar tidak menyangka kalau Mbak bisa sehebat ini.”Gita mengangguk kemudian tersenyum kecil sambil melanjutkan untuk memberitahu Dodi tentang aplikasi-aplikasi novel miliknya.“Mungkin beberapa orang di kampung banyak yang membicarakan aku, tapi aku tidak mau peduli. Karena mereka juga tidak tahu apa yang aku lakukan sebenarnya. Yang terpenting bagiku adalah aku mencari pekerjaan secara halal dan ini merupakan anugerah serta rezeki dari Allah yang diberikan padaku. Aku telah diberi jalan untuk bisa mengubah ekonomi keluargaku.”Dodi mendongak, "Mungkin sebagian orang membicarakan keluarga Mbak karena mereka tidak tahu yang sebenarnya. Tapi benar kata Mbak, tidak usah dipedulikan. Bukankah Mbak tidak merugikan siapa-siapa? Mbak menulis dengan ide sendiri tanpa mengganggu orang lain.""Itulah yang sering dikatakan oleh Mbak Nita. Makany