Sementara di dalam ruangan Dokter yang menangani Alex,Nampak Riko, Wibowo dan Silvia sedang terlibat obrolan yang cukup serius.Riko meminta pihak rumah sakit untuk mencarikan donor hati untuk Alex. Riko berharap agar Alex masih bisa terselamatkan.Dokter mengangguk. "Akan kami usahakan. Jika sudah ada donor hati yang cocok, Kita bisa melakukan Transplantasi hati pada saudara Alex. Tetapi perlu diketahui, jika Kanker hati saudara Alex ini sudah mencapai stadium akhir. Kanker ini telah menyebar dan merusak organ tubuh lainnya bahkan sudah sampai ke jantung pasien. Resiko kegagalan dalam operasi juga akan semakin besar. Kami tidak bisa menjanjikan apa-apa."Mereka tidak bisa mengatakan apapun lagi kecuali hanya bisa pasrah.Silvia menoleh pada sang Ayah. "Apa yang harus kita lakukan, Ayah? Aku tidak tega memberitahu Dinda.""Apalagi ayah." Sahut Wibowo."Sebaiknya kita harus memberitahu saudari Dinda. Agar dia bersiap dengan kemungkinan yang bisa saja terjadi kapanpun." Dokter menyara
"Maaf, Mbak Dinda. Suami anda sudah tidak ada. Maafkan kami." Sekali lagi ucapan Dokter membuat Dinda histeris bukan main. "Tidak mungkin! Mas Alex…!!" Tubuh Dinda oleng dan hampir rubuh. Beruntung Riko dengan cepat menopangnya, jika tidak, Dinda bisa terjatuh bersama putrinya. Silvia langsung mengambil Calia dari gendongan Dinda. Sementara Dinda langsung berlari memeluk tubuh Alex yang sudah terpejam untuk selamanya. "Mas.. bangun, Mas! Kamu tidak mungkin meninggalkan aku secepat ini kan? Mas Alex. Ku mohon bangunlah! Kita akan bersama-sama pulang ke kampungmu! Aku akan menunggumu dengan sabar, Mas…! Ayo bangun!" Dinda mengguncang-guncang tubuh Alex. "Mas Alex… Ya Allah… Aku mohon jangan pergi…! Enggak Mas.. Jangan tinggalin kami seperti ini…! Mas Alex… Bangun!" Dinda masih mengguncang guncang tubuh suaminya dengan tangisan pilu yang menyayat hati semua orang yang mendengarnya. "Mas.. kita sudah lama berpisah. Kita baru bertemu.. Aku bahkan masih sangat merindukanmu.. kena
Mereka telah tiba di kediaman ibu. Jenazah Alex diturunkan, dan rencananya akan dikebumikan besok pagi.Malam hampir habis. Dinda sama sekali tidak ingin tidur, meskipun beberapa kali Silvia telah membujuknya untuk beristirahat sejenak saja, Dinda tetap menolak. Dinda masih berada di sisi jenazah Alex yang sudah ditutupi kain kafan. Dia masih saja sesenggukan dan terus sesenggukan. Entah sudah berapa jam dia berada disitu untuk menghabiskan air matanya.Riko jelas tidak dapat tidur, dia hanya bisa menemani Wibowo dan beberapa tetangga yang sedang melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an untuk menjaga jenazah yang yang belum dikebumikan.Wibowo bergerak untuk mendekati Dinda."Nak. Semua yang hidup pasti akan mengalami mati. Tidak peduli siapapun itu, ayah, kamu dan semua. Hanya Waktu saja yang membedakan. Jadi, jangan terlalu diratapi. Itu akan mempersulit jalan bagi yang sudah meninggal dunia. Kamu harus paham itu Dinda.""Pergilah ke kamar dulu, tenangkan pikiranmu sejenak. Setidaknya,
Pagi buta, Riko tersentak dari tidur sejenaknya. Ada mimpi yang kurang dia mengerti menyelinap dalam tidurnya yang hanya sebentar itu. Dia mengusap wajahnya kemudian menoleh saat mendengar langkah kaki. “Mas Riko, anda bisa mandi di sini. Ada kamar mandi di kamar tamu.” Pak Wibowo menunjuk sebuah kamar yang tidak jauh dari sofa tempat Riko menyandarkan kepalanya tadi. “Iya, Pak. Terima kasih.” Da berdiri kemudian melirik jam terlebih dahulu. Ini masih sangat pagi masih jam 06.00 kurang. Untuk menghubungi Gara setidaknya 1 jam lagi Dia kemudian melangkah ke kamar mandi setelah menerima handuk dari pak Wibowo. Riko menutup pintu setelah berada dalam, dia belum pergi ke kamar mandi tapi malah duduk di tepi tempat tidur tamu. Pikirannya menerawang, mengingat-ingat mimpi yang ia alami barusan. Dia tersenyum getir sambil memukul kepalanya sendiri. “Mimpi yang seperti tidak berakhlak!” Bisa-bisanya dia bermimpi mengenakan pakaian serba putih, celana, kemeja dan jas putih. Tapi y
“Jangan seperti itu, Nak? Tidak baik berprasangka buruk. Cukup, Nak ya. Cukup. Kamu tidak sendiri, masih ada kami yang menyayangi kamu dan putrimu. Kamu harus kuat, demi Calia.”Dinda perlahan mengangguk dan melepaskan pelukannya. Bu Rita langsung menoleh pada Calia yang di gendongan Silvia. “Ya Allah, cucu nenek.” Dia langsung mengambil Calia dari gendongan Silvia dan memeluknya begitu erat. Bu Rita kembali menangis. “Jangan sedih ya, Calia. Ada nenek dan bibi juga. Calia tidak boleh bersedih.”Gara menghampiri pak Wibowo dan Riko, sedangkan Farhan menghampiri istrinya yang langsung memeluknya sambil kembali menangis.Pagi ini di kediaman Bu Rita ini penuh dengan duka yang mendalam. Semua yang hadir mengucapkan bela sungkawa dan tidak pernah menyangka jika suami Dinda telah meninggal dunia.Sebelum proses pemakaman dimulai, ada baiknya pak Wibowo menghubungi pihak keluarga almarhum di kampung. Tentu saja kabar dari pak Wibowo disambut jeritan histeris dari Bu Marni dan anak-anakny
Riko tersenyum, “Oh boleh-boleh, misal sebagai papa angkatnya, tidak masalah. Aku suka sama anak kecil. Apalagi Calia sangat imut, pasti sangat menyenangkan bisa memiliki putri seperti dia.”“Tuh, kan, apa kataku? Kamu pasti sedang jatuh cinta.” Riko melotot, sebelum dia membuka suara Gara sudah berkata lagi, “Maksudnya jatuh cinta pada Calia, Riko. Bukan pada mamanya.”Mereka tertawa, “Tapi tidak masalah juga kalau sama mamanya,malah bagus. Kita bisa iparan.” “Tuan, ngomong apa sih?” “Ah, aku hanya bercanda. Jangan dimasukin hati. Bagaimanapun juga adik iparku itu janda anak satu, tidak mungkin juga kamu akan suka.” Riko meringis dalam hati. Untuk memikirkan menikah saja Riko belum ada niat sama sekali. Ini bukan masalah Dinda janda atau apa, tanah kuburan suaminya saja masih merah. Tega sekali jika Riko memikirkan sampai ke sana.Rasa bersalahnya saja masih menggantung kuat di hatinya.Mobil mereka berhenti di rumah sakit, Gara turun untuk kembali ke ruangan dimana Mia berada
Sore ini rumah Gara terlihat ramai, ada acara syukuran sederhana yang diadakan dalam rangka memberi nama pada putri dan putra Gara Mahendra. Mereka memang sepakat untuk tidak ada pesta. Bukannya tidak ingin meramaikan pesta pemberian nama anak-anak mereka, tetapi tidak mungkin mereka berpesta sementara keluarga mereka masih ada yang tengah bergabung. Itu sebabnya mereka hanya mengundang ustadz untuk mendoakan pemberian nama bayi kembar mereka.Gara lebih memilih untuk membagikan sedekah bagi panti asuhan dan beberapa pedagang kaki lima bentuk ucapan syukur atas anugerah yang telah diberikan Allah pada mereka.Acara berjalan dengan sedikit meriah saja Bu Rita, pak Wibowo, Silvia dan Farhan sudah datang dari tadi, tetapi Dinda tidak ada di antara mereka.Karena tidak melihat Dinda, akhirnya Mia pun bertanya. “Bu, apa Dinda tidak ikut?”“Tidak, Mia. Calia sedang demam . Jadi Ibu melarang, tadi waktu dia mau ikut. Kasihan Calia , semalaman menangis terus. Ibu bilang, nanti saja dia bisa
Riko tersenyum tipis, “Kamu bilang Calia tidak rewel kan? Tapi aku dengar, ibu kamu bilang kalau semalaman Calia menangis terus. Apa kamu tidak kasihan padanya? Dia sampai demam begini karena kebanyakan menangis.”Dinda kembali menunduk, “Maaf, aku hanya tidak ingin merepotkan Mas Riko saja.”Riko bergerak untuk duduk di sofa, “Lain kali jangan seperti itu. Tidak ada yang direpotkan, kecuali kalau aku sudah beristri dan memiliki anak, mungkin itu bisa merepotkan. Kalau begini, tidak ada yang ku urus selain pekerjaan dan Tuan Gara, jadi waktuku banyak. Jika kalian tidak keberatan aku dekat dengan Calia, aku akan sangat senang.”Keberatan? Mana mungkin mereka akan keberatan, justru akan sangat senang dan berterima kasih sekali karena sudah bisa dilihat jika Calia memang ingin terus dekat dengan Riko. Dinda tidak berani menjawab lagi, dia hanya mengangguk. Riko duduk sambil mendekat Calia yang sudah tidak menangis lagi. Anak itu malah mengoceh sambil menundukkan kepalanya di dada Riko.
Tidak ada tetangga yang datang karena mereka sengaja, lamaran malam ini dengan sederhana saja. Tidak ada yang dibawa oleh Dodi karena memang mereka sudah berunding untuk tidak memaksakan diri dan tidak membawa apapun. Ini adalah pesan Gita, jadi Dodi datang hanya membawa ucapan niat dan cincin seberat 2 gram saja sebagai tanda pengikat antara mereka. Acara lamaran berlangsung sederhana namun penuh keseriusan dari kedua belah pihak. Pakde Gita tak banyak bicara, sebab di sini ia hanya menjadi saksi, bukan untuk dimintai pendapat. Sebelumnya, Bu Mila sudah berpesan demikian. Sebelum lamaran ini, Pakde sempat menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pernikahan Gita dengan Dodi. Alasannya, masa depan Dodi kurang cerah dan hanya akan membebani Gita, terlebih Gita kini sudah sukses. Pakde khawatir banyak orang berbiat buruk, lalu menjadikan alasan ingin menikahi Gita. Bu Mila menegaskan untuk tidak perlu ikut campur urusan mereka . Dodi memandang Heru dengan mata terbelalak, seperti kura
Sebagai orang tua, mereka hanya perlu menyetujui, memberi restu, dan dukungan. Meski tak suka, Pakde tak bisa berbuat apa-apa selain mengiyakan.Mungkin ia sadar bahwa selama ini ia tak pernah membantu atau ikut memberi makan Gita dan Anisa sejak mereka lahir, lalu mereka ditinggal orang tua mereka, dan kini telah tumbuh dewasa.Acara lamaran selesai, disambung dengan obrolan ringan, basa-basi sebelum waktunya pulang.Tidak ada yang istimewa di acara malam ini, tetapi bagi Gita dan Dodi, acara ini sangat spesial dan membekas di hati. Karena malam ini, mereka resmi menjadi sepasang tunangan dan berencana menikah bulan depan. Awalnya, ketika ditanya oleh Pak De kapan mereka akan menikah, Dodi masih ragu untuk menjawab. Bukan karena ragu, tetapi dia ingin benar-benar siap. Namun, Gita yang langsung menjawab, "Rencana kami adalah bulan depan, Pak De. Setelah bulan ini habis, kami akan berunding lagi untuk menentukan hari yang tepat."Dodi tidak bisa berkomentar karena takut Gita tersinggu
Dodi menarik nafas resah. Tadinya, dia sudah cukup senang, khayalannya melambung tinggi, menikahi Gita dan hidup bahagia penuh cinta. Namun, setelah obrolan dengan ibunya, perasaannya berubah menjadi kacau.Jika nanti dia menikah, bagaimana mungkin dia bisa tinggal bersama Gita? Bagaimana dengan ibu dan dik-adiknya? Tapi jika dia mengajak Gita untuk tinggal bersamanya, tentu saja itu juga tidak mungkin. Dia tidak bisa membawa Gita untuk tinggal di pondok mereka dan mengurus keluarganya.Tiba-tiba, sebuah pesan singkat dari Gita masuk. "Dodi, sedang apa? Apa kamu sudah pulang kerja?""Iya, Gita. Aku sudah pulang dari tadi." Mulai hari ini dan seterusnya, Dodi memang sudah mau belajar untuk memanggil Gita dengan nama saja. Mereka sudah sepakat."Bisa gak nanti malam ke rumah? Ada hal yang ingin aku bicarakan."Karena Dodi juga ingin membicarakan suatu hal dengan Gita, dia pun setuju. "Iya, aku akan ke sana nanti malam."Gita tersenyum, selain memang ada sesuatu yang ingin dibicarakan se
Yang di sana menutup mulutnya dengan satu tangan menahan agar tidak tertawa keras karena saking senangnya.Ya ampun… Ternyata Dodi romantis juga ya?Akhirnya sepanjang malam ini mereka sama-sama begadang, melanjutkan chat mesra dan rencana untuk kedepannya nanti. Sampai terlupa, ketiduran tanpa sengaja. Ponsel masing-masing terjatuh dari tangan dan paginya ponsel mereka sama-sama ngedrop!Dodi merasa sangat kesal karena tidak bisa mengirimi pesan atau melihat pesan chat dari Gita. Akhirnya berangkat kerja tanpa membawa ponsel.Gita juga demikian, terpaksa pergi mengajar meninggalkan ponselnya di rumah untuk dicas.Di tempat kerja, mereka tidak konsen.Saling memikirkan satu sama lain. Andai saja tadi ponsel bisa dibawa, setidaknya bisa berkirim chat, menanyakan kabar. Lagi ngapain? Udah makan belum?Duh, kasmaran!Sayangnya semalam lupa , seharusnya sambil di cas saja. Kan tidak sampai ngedrop?Saat Dodi pulang dari kerja, di jalan melihat kecelakaan. Sebuah mobil sedan menabrak seora
Anisa mengusir mereka dengan bercanda, "Sudah, jalan sana, nanti keburu magrib."Gita dan Dodi akhirnya berangkat menggunakan motor Anisa. Mereka berboncengan, menarik perhatian orang-orang di jalan karena penampilan mereka yang berbeda dari biasanya. Beberapa mencibir, tapi banyak juga yang memuji kecocokan mereka.Sesampainya di acara, suara musik orgen tunggal menyambut. Mereka disambut oleh tim penyambut tamu, dan beberapa orang langsung mengenali mereka, "Mbak Gita sama Mas Dodi? Wah, cocok banget!”Gita dan Dodi hanya tersenyum malu mendengar godaan-godaan itu. Setelah mengambil makanan, mereka duduk bersama dan menikmati hidangan. Sesekali mereka melirik satu sama lain dan tersenyum, tapi tidak bisa fokus karena hati mereka sama-sama berdebar.Setelah makan, Dodi mengajak Gita untuk memberikan amplop kepada pasangan pengantin. "Cepat menyusul kami ya!" ucap mempelai wanita, membuat Gita semakin tersipu."Kenapa semua orang berpikir kita pacaran?" tanya Gita saat mereka kembali
Penjelasan Gita diterima, dan beberapa siswa bahkan membuka platform novel online untuk memeriksa kebenarannya. Mereka akhirnya paham bahwa kehidupan Gita dan Anisa telah berubah berkat kerja keras Gita.Sejak saat itu, tak ada lagi yang menuduh atau membicarakan Anisa dan keluarganya. Kabar tentang Gita yang menjadi penulis menyebar, dan kehidupan mereka menjadi lebih damai. Tidak ada lagi tuduhan atau hinaan dari Cindy dan teman-temannya.Hari itu, Gita merasa sangat lelah setelah seharian membersihkan rumah bersama Anisa. Malam harinya, ia mengalami sakit kepala yang parah. Anisa khawatir melihat suhu tubuh kakaknya yang sangat panas."Mbak Gita sakit, ya? Badannya panas sekali!" seru Anisa.Gita mengeluh, "Kepala Mbak sakit, tubuh juga rasanya ngilu-ngilu."Anisa segera memberi tahu Bu Mila, yang panik. "Tunggu sebentar, Anisa. Biar nenek menemui Mbak Nita.""Biar Anisa saja, Nek. Nenek tungguin Mbak Gita," ujar Anisa, langsung berlari ke rumah Nita. Mendengar kabar itu, Nita dan
"Udah, jangan dilihat terus. Besok langsung dicoba aja," goda Nita, sambil tersenyum melihat Anisa yang terus memandangi motor barunya.Anisa tertawa kecil, benar-benar tidak menyangka dirinya bisa mendapatkan motor sebagus itu. Dia menoleh pada Gita, "Mbak Gita, terima kasih ya. Pasti mahal banget."Gita tersenyum dan menepuk tangan Anisa lembut, "Yang penting kamu senang, Anisa. Harga motor ini nggak ada apa-apanya dibanding kebahagiaan kamu.""Ya ampun, Mbak Gita! I love you deh!" Anisa memeluk kakaknya dengan rasa terima kasih."Makanya, jangan bandel. Kamu nggak kerja tapi dibeliin motor sama HP baru. Semangat belajar dan bantu-bantu di rumah, ya," Bu Mila mengingatkan."Siap, Nek! Anisa makin semangat," jawab Anisa riang, disambut tawa seluruh keluarga.Heru lalu berdiri, "Maaf, aku harus pulang. Toko nggak ada yang jaga lama-lama.""Aku juga pulang, nih," kata Nita sambil mengeluarkan kado kecil dari sakunya.Heru melihat kado itu dan tertawa, "Ya ampun, kado kamu kecil banget,
Karena Anisa memang adik yang pengertian, meskipun hatinya sedikit terluka oleh ucapan kakaknya, dia tidak berani menjawab. Anisa mencoba mengerti, mungkin kakaknya sedang banyak pikiran atau lelah, jadi dia memilih untuk diam saja.Kemudian, Anisa beranjak dari kamar Gita untuk mencari neneknya, tetapi tidak menemukannya. Dia lalu pergi ke dapur dan membuka tudung saji. Ternyata tidak ada makanan apapun di meja. Bahkan di magic com pun tidak ada nasi. Anisa mendengus kesal, lalu kembali ke kamar Gita."Mbak, nenek nggak masak ya? Nenek pergi kemana?" tanya Anisa lagi.Kakaknya terlihat kesal, lalu melemparkan guling ke arah Anisa."Kamu itu manja banget sih! Kamu kan bisa masak sendiri, masak mie, ceplok telor, atau apa gitu. Nggak usah terus ngandelin nenek. Nenek lagi pergi ke rumah Bude dari tadi pagi, jadi nggak sempat masak. Kamu aja yang masak nasi, sana!” ujar kakaknya.Anisa merasa sedih melihat perubahan kakaknya yang tiba-tiba menjadi pemarah. Namun, dia tidak berani memban
“Ya Allah, ternyata ini pekerjaan Mbak Gita yang jarang diketahui orang. Pantas saja Mbak bisa membeli ini itu dan mengubah ekonomi keluarga. Aku benar-benar tidak menyangka kalau Mbak bisa sehebat ini.”Gita mengangguk kemudian tersenyum kecil sambil melanjutkan untuk memberitahu Dodi tentang aplikasi-aplikasi novel miliknya.“Mungkin beberapa orang di kampung banyak yang membicarakan aku, tapi aku tidak mau peduli. Karena mereka juga tidak tahu apa yang aku lakukan sebenarnya. Yang terpenting bagiku adalah aku mencari pekerjaan secara halal dan ini merupakan anugerah serta rezeki dari Allah yang diberikan padaku. Aku telah diberi jalan untuk bisa mengubah ekonomi keluargaku.”Dodi mendongak, "Mungkin sebagian orang membicarakan keluarga Mbak karena mereka tidak tahu yang sebenarnya. Tapi benar kata Mbak, tidak usah dipedulikan. Bukankah Mbak tidak merugikan siapa-siapa? Mbak menulis dengan ide sendiri tanpa mengganggu orang lain.""Itulah yang sering dikatakan oleh Mbak Nita. Makany