"Laura, maafkan ibu jika waktu kalian menikah tidak dapat hadir."Laura tertawa kecil. "Laura ngerti kok,Bu. Ibu mabuk kendaraan berat, kan? Lagian gak papa kok, kan yang penting doa ibu dan kami sah saja."Bu Marni yang sekarang tertawa. "Dulu pas mau pesta mbak Fiah, Kan ibu dijemput, ibu teler. Jadi ibu kapok."Dua orang itu tertawa hangat. "Tapi Alhamdulillah.. Ibu sangat bahagia mendengar kabar kalian sudah sah. Dan lebih bahagia lagi, kalian mau tinggal disini." Mata Bu Marni berkaca-kaca lalu menetes air mata.Laura bergerak, dia memeluk lututnya di hadapan Bu Marni yang duduk diatas sofa. Dia meraih kedua tangan wanita yang sudah mulai keriput itu. Laura menciumnya beberapa kali lalu menggenggamnya dengan erat."Ibu, Laura Sekarang sudah menjadi menantu ibu. Ajari Laura menjadi seorang istri dan anak yang baik. Laura mungkin belum terbiasa dengan suasana atau adat budaya disini. Tolong bimbing Laura agar Laura tidak mengecewakan Ibu dan Mas Rehan. Sungguh, Laura hanya ingin me
"Laura, kamu mau kemana, Nak?" Bu Marni melihat Laura sudah menjinjing sebuah keranjang kecil dan berjalan ke arah belakang."Eh, ibu. Aku ingin mengambil daun singkong dibelakang kandang. Aku mau makan daun singkong rebus cocol sambal tomat seperti kemarin. Boleh kan?"Bu Marni segera mengambil keranjang dari tangan Laura. "Tentu boleh. Tapi biar ibu saja yang mengambil. Banyak nyamuk disana.""Tidak apa-apa, Bu.""Aduh, jangan Laura. Kulit kamu nanti bentol semua. Sudah sana, kamu rebus air saja. Ibu yang cari." Bu Marni segera berangkat. Mana dia bisa melihat kulit menantunya yang mulus itu digigit nyamuk. Apalagi kalau pagi-pagi, di kebun kan banyak nyamuk.Laura hanya menghela nafas, lalu menyiapkan air guna merebus daun singkong.Saat sarapan pagi sudah selesai pun ada lagi yang membuat ibu mertuanya itu kembali melarangnya.Laura melihat halaman, banyak daun kering yang jatuh berterbangan karena halaman luas itu memang ditanam beberapa pohon buah buahan. Dia mengambil sapu lid
Besoknya, Bu Marni mendatangi satu persatu tetangga dan meminta mereka datang ke rumah, untuk membantu segala sesuatunya."Ya ampun, aku gak dengar lho kalau Rehan sudah menikah saja. Pergi ke kota, pulang pulang bawa istri." Celetuk seorang ibu-ibu."Iya Bu, Alhamdulillah.. Sebenarnya tadinya tidak ada rencana untuk berpesta.""Ya gak papa Bu Marni, kan Rehan juga yang terakhir. Lagian kan, belum pernah ada yang dirayain kan? Dari almarhum Alex dulu sampai Nita."Bu Marni hanya mengangguk. "Datang ya? Gak usah repot bawa apa-apa. Pokoknya datang saja. Kami butuh tenaga kalian, bukan bawaan kalian." Ucap Bu Marni sebelum pergi."Iya Bu Marni, pasti datang. Memang tidak bisa bawa apa-apa ini. Masih paceklik. Tapi kalau urusan tenaga, jangan khawatir. Yang penting dikasih makan saja."Mereka tertawa.Kabar berita tentang akan adanya' pesta resepsi pernikahan di rumah Bu Marni telah didengar sampai ke ujung desa. Mereka terkejut sekaligus kagum. Rehan yang dicap sebagai perjaka tua dan t
Satu orang merengut. Tapi bagaimana dengan menantu barunya yang sekarang, coba? Sepertinya Bu Marni bakal bernasib tak mujur kali ini. Dapat menantu perempuan anak orang kaya, dan sepertinya sangat manja! Tidak tahu pekerjaan. Pemalas!""Eh, iya. Aku sering melihat istrinya Rehan itu, gak punya perasaan tau. Mertuanya sibuk nyapu, dia cuma duduk manis di bawah pohon jadi mandor. Mertuanya sibuk di dapur, dia mah manja manjaan sama suaminya di toko. Kan gak punya perasaan namanya.""Eh, masa sih?”"Namanya juga anak orang kaya, ya gitu lah. Cantik mah iya, tapi hatinya itu, hih.. kalau aku males punya menantu orang kota. Nanti ujung-ujungnya kayak Widya, menantunya Bu Leha. Keluarga suami jadi budak!"Bisik bisik negatif pun bersaing dengan prasangka Positif. Banyak yang menyayangkan pilihan Rehan. Banyak yang mengira jika Laura bukan wanita yang baik. Judes dan memperbudak Rehan dan Bu Marni.Pernah dulu ketika pagi, Bu Marni sibuk memilih sayur."Bu Marni mau masak apa?" Satu ibu-ibu
Laura mendongak, menatap ibu tua yang baru saja menegurnya itu. Dia tidak tahu harus menjawab apa, tapi beruntung satu orang langsung menyahut, "Bude, ini bukan calon pengantin lagi. Mereka kan sudah nikah, sudah sah!" "Ealah.. hehe, lupa bude. Iya ya? Jadi sudah bukan calon pengantin lagi, ya?" Bude itu tertawa. "Kalau begitu ndak papa. Tadi bude lupa kalau kalian sudah menikah duluan. Ayo, ayo teruskan." Bude itu beringsut mundur untuk mengerjakan lainnya. Bu Marni tersenyum, menatap bangga pada menantunya itu. Sesekali dia menyeka keringat yang mengalir di kening Laura dengan tisu kering. "Ya ampun, Nak. Kamu kegerahan ini? Sudah sana cuci tangan dan masuk kamar. Istirahat saja." Pinta Bu Marni. Laura mencondongkan kepalanya dengan manja di bahu Bu Marni. "Nanti Bu, Laura masih betah disini." "Ee, tapi kan kamu butuh istirahat yang cukup, Laura. Besok kamu itu harus berdiri seharian di pelaminan lho.." "Nggak papa Bu, Laura pasti kuat. Ibu tuh yang harus istirahat, kan
Calia punya dua nenek dari Ibunya? Tante Rita? Mamanya mbak Dinda dan mbak Mia kan? Dan Ibu? Ibu nenek Calia juga? Lalu Ibunya siapa? Kan ibunya mas Riko ada di kota lain? Tiba-tiba Laura seperti orang yang bodoh. Ketika ingat saat Calia selalu mengatakan jika punya dua nenek dari ibunya. Nenek disana yaitu Bu Rita, dan nenek yang ada di kampung. "Kok aku bisa nggak ngeh sih?" Pada saat sedang merenung, Rehan masuk untuk mengambil sesuatu. "Laura? Kamu kenapa?" Rehan agak khawatir melihat Laura termenung dengan tatapan aneh padanya. Dia langsung mendekat dan mengusap kening istrinya. "Mas, aku mau tanya sesuatu boleh?" Rehan duduk disampingnya dan mengangguk. "Tapi jangan marah ya?" Laura seperti ragu-ragu. "Iya. Nggak akan marah. Apa? Ada apa?" "Calia itu, keponakan Mas Rehan kan?" "Iya. Kenapa? Dia anak mbak Dinda dan mas Riko." "Eh iya. Tapi, yang kakak Mas Rehan itu siapa? Eh, maksudnya, yang anak ibu siapa? Mbak Dinda atau Mas Riko? Karena setahuku, mbak Dinda
"Mbak Dinda sama mbak Fiah pulang juga kan ya?" Nita bertanya, sambil bangun dari baringan dan duduk juga di tepi tempat tidur. "Pulang kok. Mereka masih di perjalanan. Mas Riko dan nas Rendi, Calia juga. Katanya mas Azam dan istrinya menyusul besok. Mas Farhan dan mbak Silvia katanya juga mau ikut besok. Mbak Silvia pingin banget tau kampung kita." Sahut Rehan menjawab pertanyaan Nita. "Wah! Rame dong nanti. Ya ampun! Kangen banget sama Calia. Dulu aku sama Mas Rehan yang suka ngasuh dia. Kalau mbak Dinda sama mbak Fiah sibuk di toko. Ingat nggak mas Rehan?" Ujar Nita. "Ingatlah. Mana kamu rusuh lagi. Suka gangguin Calia sampai nangis. Nanti mbak Dinda marah, kita kena cubit." Mereka tertawa, bercengkrama hangat dalam satu ruangan itu. Mengingat masa masa dulu yang penuh derita, tapi juga banyak kenangan manis yang tak akan terlupakan. Hingga petang telah berganti gelap. Orang-orang sudah banyak yang bergantian pulang, dan datang lagi setelah mandi dan berganti untuk menerus
Laura pun memikirkan hal yang sama. Tapi dia merasa senang saja dan tidak merasa keberatan sama sekali.Pernikahan adat Jawa dari tradisi Keraton Surakarta dan Yogyakarta mengandung banyak nilai filosofis yang tujuannya membangun keluarga Sakinah.Seperti proses resepsi pernikahan mereka ini, ada sekitar kurang lebih 12 acara ritual yang harus mereka jalani.Seperti Pasang Tarub, ini salah satu dari adat juga.Pasang tarub yakni pihak keluarga pria atau wanita yang akan melangsungkan pernikahan biasanya memasang tarub (tratag) sebagai tanda resmi akan mengadakan hajatan.Kata tarub sering disebut kependekan dari ditata ben ketok murub (ditata agar kelihatan bersinar dan mewah). Tujuannya menunjukkan kepada masyarakat bahwa sebuah keluarga sedang memiliki hajat manten.Yang kedua adalah Srah-srahan.Srah-srahan yakni keluarga pihak pengantin pria memberikan barang kepada keluarga pihak pengantin perempuan. Umumnya srah-srahan berisi seperangkat pakaian lengkap, perhiasan, beras, kelap
Tidak ada tetangga yang datang karena mereka sengaja, lamaran malam ini dengan sederhana saja. Tidak ada yang dibawa oleh Dodi karena memang mereka sudah berunding untuk tidak memaksakan diri dan tidak membawa apapun. Ini adalah pesan Gita, jadi Dodi datang hanya membawa ucapan niat dan cincin seberat 2 gram saja sebagai tanda pengikat antara mereka. Acara lamaran berlangsung sederhana namun penuh keseriusan dari kedua belah pihak. Pakde Gita tak banyak bicara, sebab di sini ia hanya menjadi saksi, bukan untuk dimintai pendapat. Sebelumnya, Bu Mila sudah berpesan demikian. Sebelum lamaran ini, Pakde sempat menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pernikahan Gita dengan Dodi. Alasannya, masa depan Dodi kurang cerah dan hanya akan membebani Gita, terlebih Gita kini sudah sukses. Pakde khawatir banyak orang berbiat buruk, lalu menjadikan alasan ingin menikahi Gita. Bu Mila menegaskan untuk tidak perlu ikut campur urusan mereka . Dodi memandang Heru dengan mata terbelalak, seperti kura
Sebagai orang tua, mereka hanya perlu menyetujui, memberi restu, dan dukungan. Meski tak suka, Pakde tak bisa berbuat apa-apa selain mengiyakan.Mungkin ia sadar bahwa selama ini ia tak pernah membantu atau ikut memberi makan Gita dan Anisa sejak mereka lahir, lalu mereka ditinggal orang tua mereka, dan kini telah tumbuh dewasa.Acara lamaran selesai, disambung dengan obrolan ringan, basa-basi sebelum waktunya pulang.Tidak ada yang istimewa di acara malam ini, tetapi bagi Gita dan Dodi, acara ini sangat spesial dan membekas di hati. Karena malam ini, mereka resmi menjadi sepasang tunangan dan berencana menikah bulan depan. Awalnya, ketika ditanya oleh Pak De kapan mereka akan menikah, Dodi masih ragu untuk menjawab. Bukan karena ragu, tetapi dia ingin benar-benar siap. Namun, Gita yang langsung menjawab, "Rencana kami adalah bulan depan, Pak De. Setelah bulan ini habis, kami akan berunding lagi untuk menentukan hari yang tepat."Dodi tidak bisa berkomentar karena takut Gita tersinggu
Dodi menarik nafas resah. Tadinya, dia sudah cukup senang, khayalannya melambung tinggi, menikahi Gita dan hidup bahagia penuh cinta. Namun, setelah obrolan dengan ibunya, perasaannya berubah menjadi kacau.Jika nanti dia menikah, bagaimana mungkin dia bisa tinggal bersama Gita? Bagaimana dengan ibu dan dik-adiknya? Tapi jika dia mengajak Gita untuk tinggal bersamanya, tentu saja itu juga tidak mungkin. Dia tidak bisa membawa Gita untuk tinggal di pondok mereka dan mengurus keluarganya.Tiba-tiba, sebuah pesan singkat dari Gita masuk. "Dodi, sedang apa? Apa kamu sudah pulang kerja?""Iya, Gita. Aku sudah pulang dari tadi." Mulai hari ini dan seterusnya, Dodi memang sudah mau belajar untuk memanggil Gita dengan nama saja. Mereka sudah sepakat."Bisa gak nanti malam ke rumah? Ada hal yang ingin aku bicarakan."Karena Dodi juga ingin membicarakan suatu hal dengan Gita, dia pun setuju. "Iya, aku akan ke sana nanti malam."Gita tersenyum, selain memang ada sesuatu yang ingin dibicarakan se
Yang di sana menutup mulutnya dengan satu tangan menahan agar tidak tertawa keras karena saking senangnya.Ya ampun… Ternyata Dodi romantis juga ya?Akhirnya sepanjang malam ini mereka sama-sama begadang, melanjutkan chat mesra dan rencana untuk kedepannya nanti. Sampai terlupa, ketiduran tanpa sengaja. Ponsel masing-masing terjatuh dari tangan dan paginya ponsel mereka sama-sama ngedrop!Dodi merasa sangat kesal karena tidak bisa mengirimi pesan atau melihat pesan chat dari Gita. Akhirnya berangkat kerja tanpa membawa ponsel.Gita juga demikian, terpaksa pergi mengajar meninggalkan ponselnya di rumah untuk dicas.Di tempat kerja, mereka tidak konsen.Saling memikirkan satu sama lain. Andai saja tadi ponsel bisa dibawa, setidaknya bisa berkirim chat, menanyakan kabar. Lagi ngapain? Udah makan belum?Duh, kasmaran!Sayangnya semalam lupa , seharusnya sambil di cas saja. Kan tidak sampai ngedrop?Saat Dodi pulang dari kerja, di jalan melihat kecelakaan. Sebuah mobil sedan menabrak seora
Anisa mengusir mereka dengan bercanda, "Sudah, jalan sana, nanti keburu magrib."Gita dan Dodi akhirnya berangkat menggunakan motor Anisa. Mereka berboncengan, menarik perhatian orang-orang di jalan karena penampilan mereka yang berbeda dari biasanya. Beberapa mencibir, tapi banyak juga yang memuji kecocokan mereka.Sesampainya di acara, suara musik orgen tunggal menyambut. Mereka disambut oleh tim penyambut tamu, dan beberapa orang langsung mengenali mereka, "Mbak Gita sama Mas Dodi? Wah, cocok banget!”Gita dan Dodi hanya tersenyum malu mendengar godaan-godaan itu. Setelah mengambil makanan, mereka duduk bersama dan menikmati hidangan. Sesekali mereka melirik satu sama lain dan tersenyum, tapi tidak bisa fokus karena hati mereka sama-sama berdebar.Setelah makan, Dodi mengajak Gita untuk memberikan amplop kepada pasangan pengantin. "Cepat menyusul kami ya!" ucap mempelai wanita, membuat Gita semakin tersipu."Kenapa semua orang berpikir kita pacaran?" tanya Gita saat mereka kembali
Penjelasan Gita diterima, dan beberapa siswa bahkan membuka platform novel online untuk memeriksa kebenarannya. Mereka akhirnya paham bahwa kehidupan Gita dan Anisa telah berubah berkat kerja keras Gita.Sejak saat itu, tak ada lagi yang menuduh atau membicarakan Anisa dan keluarganya. Kabar tentang Gita yang menjadi penulis menyebar, dan kehidupan mereka menjadi lebih damai. Tidak ada lagi tuduhan atau hinaan dari Cindy dan teman-temannya.Hari itu, Gita merasa sangat lelah setelah seharian membersihkan rumah bersama Anisa. Malam harinya, ia mengalami sakit kepala yang parah. Anisa khawatir melihat suhu tubuh kakaknya yang sangat panas."Mbak Gita sakit, ya? Badannya panas sekali!" seru Anisa.Gita mengeluh, "Kepala Mbak sakit, tubuh juga rasanya ngilu-ngilu."Anisa segera memberi tahu Bu Mila, yang panik. "Tunggu sebentar, Anisa. Biar nenek menemui Mbak Nita.""Biar Anisa saja, Nek. Nenek tungguin Mbak Gita," ujar Anisa, langsung berlari ke rumah Nita. Mendengar kabar itu, Nita dan
"Udah, jangan dilihat terus. Besok langsung dicoba aja," goda Nita, sambil tersenyum melihat Anisa yang terus memandangi motor barunya.Anisa tertawa kecil, benar-benar tidak menyangka dirinya bisa mendapatkan motor sebagus itu. Dia menoleh pada Gita, "Mbak Gita, terima kasih ya. Pasti mahal banget."Gita tersenyum dan menepuk tangan Anisa lembut, "Yang penting kamu senang, Anisa. Harga motor ini nggak ada apa-apanya dibanding kebahagiaan kamu.""Ya ampun, Mbak Gita! I love you deh!" Anisa memeluk kakaknya dengan rasa terima kasih."Makanya, jangan bandel. Kamu nggak kerja tapi dibeliin motor sama HP baru. Semangat belajar dan bantu-bantu di rumah, ya," Bu Mila mengingatkan."Siap, Nek! Anisa makin semangat," jawab Anisa riang, disambut tawa seluruh keluarga.Heru lalu berdiri, "Maaf, aku harus pulang. Toko nggak ada yang jaga lama-lama.""Aku juga pulang, nih," kata Nita sambil mengeluarkan kado kecil dari sakunya.Heru melihat kado itu dan tertawa, "Ya ampun, kado kamu kecil banget,
Karena Anisa memang adik yang pengertian, meskipun hatinya sedikit terluka oleh ucapan kakaknya, dia tidak berani menjawab. Anisa mencoba mengerti, mungkin kakaknya sedang banyak pikiran atau lelah, jadi dia memilih untuk diam saja.Kemudian, Anisa beranjak dari kamar Gita untuk mencari neneknya, tetapi tidak menemukannya. Dia lalu pergi ke dapur dan membuka tudung saji. Ternyata tidak ada makanan apapun di meja. Bahkan di magic com pun tidak ada nasi. Anisa mendengus kesal, lalu kembali ke kamar Gita."Mbak, nenek nggak masak ya? Nenek pergi kemana?" tanya Anisa lagi.Kakaknya terlihat kesal, lalu melemparkan guling ke arah Anisa."Kamu itu manja banget sih! Kamu kan bisa masak sendiri, masak mie, ceplok telor, atau apa gitu. Nggak usah terus ngandelin nenek. Nenek lagi pergi ke rumah Bude dari tadi pagi, jadi nggak sempat masak. Kamu aja yang masak nasi, sana!” ujar kakaknya.Anisa merasa sedih melihat perubahan kakaknya yang tiba-tiba menjadi pemarah. Namun, dia tidak berani memban
“Ya Allah, ternyata ini pekerjaan Mbak Gita yang jarang diketahui orang. Pantas saja Mbak bisa membeli ini itu dan mengubah ekonomi keluarga. Aku benar-benar tidak menyangka kalau Mbak bisa sehebat ini.”Gita mengangguk kemudian tersenyum kecil sambil melanjutkan untuk memberitahu Dodi tentang aplikasi-aplikasi novel miliknya.“Mungkin beberapa orang di kampung banyak yang membicarakan aku, tapi aku tidak mau peduli. Karena mereka juga tidak tahu apa yang aku lakukan sebenarnya. Yang terpenting bagiku adalah aku mencari pekerjaan secara halal dan ini merupakan anugerah serta rezeki dari Allah yang diberikan padaku. Aku telah diberi jalan untuk bisa mengubah ekonomi keluargaku.”Dodi mendongak, "Mungkin sebagian orang membicarakan keluarga Mbak karena mereka tidak tahu yang sebenarnya. Tapi benar kata Mbak, tidak usah dipedulikan. Bukankah Mbak tidak merugikan siapa-siapa? Mbak menulis dengan ide sendiri tanpa mengganggu orang lain.""Itulah yang sering dikatakan oleh Mbak Nita. Makany