“Aku … aku baik-baik saja ….” Dessy langsung menatap Brandon yang berlari masuk ke ruangan. Saat ini, dapat terlihat ekspresi gembira dan juga kaget dari wajah indahnya. Hanya saja, mata Dessy mulai memerah. “Aku nggak apa-apa, tapi Kakek, dia … dia ….”Brandon segera berlari ke sisi Lucas, lalu mengulurkan jari tangannya ke ujung hidung Lucas. Seketika raut wajah Brandon langsung berubah. “Cepat antar dia ke rumah sakit. Dia harus segera ditangani ….”Selesai berbicara, Brandon menggendong Lucas yang sudah tidak menyadarkan diri keluar ruangan. Dessy juga merasa panik lekas mengikuti langkah Brandon.“Robert, aku harap tidak ada lagi orang yang bernama Brian di dunia gangster Kota Manthana. Jangan kecewakan aku ….”Sebelum pergi, Brandon pun berpesan.Sekujur tubuh Robert merinding ketakutan. Dari ucapan Brandon tadi, sepertinya malam ini akan ada perombakan besar-besaran di Kota Manthana. Kelak tidak ada lagi gangster yang bernama Brian Sumandi ….Saat ini, Robert sudah berjalan mem
Ini adalah pertama kalinya mereka melihat anggota keluarga pasien ribut dengan suster sebelum pasien ditangani. Saat ini, semua orang spontan menatap Brandon bagai sedang menatap orang bodoh saja.“Kamu ngapain? Satpam! Panggil satpam ke sini! Ada yang membuat keonaran! Usir dia keluar!” Suster itu mulai ketakutan. Hanya saja, setelah dilihat dengan saksama, Brandon hanya seorang lelaki miskin. Apa juga yang bisa dilakukan oleh seorang lelaki miskin? “Iya! Kenapa kamu malah teriak-teriak di rumah sakit?”“Aku tahu kamu buru-buru. Kalau kamu buru-buru, cepat ambil nomor antrean. Di mana anggota keluargamu yang lain? Kenapa cuma kamu yang ke sini? Apa kamu sanggup tanggung jawab kalau terjadi apa-apa?”“Rumah sakit kami memang bertanggung jawab untuk menyelamatkan pasien. Hanya saja, siapa coba yang tidak ingin segera diobati? Semuanya harus berdasarkan nomor antrean dan kamu juga harus melunasi biaya pengobatannya dulu. Bagaimana kalau kalian melarikan diri setelah pihak rumah sakit me
“Plak ….”Brandon juga tidak memberi kesempatan Edric untuk omong kosong. Dia langsung menendang Edric hingga bergelinding di atas lantai. Kemudian, dia membalikkan badannya untuk menatap suster. “Jadi, kamu mau tangani atau tidak?”“Kamu … kamu malah main kasar?” Suster terlihat kaget. Apa dia tidak kenal dengan Brian? Dia malah berani memukul adiknya Brian? Kurasa sudah bosan hidup!“Apa yang terjadi?” Saat ini, terdengar suara wanita yang sangat lembut.Brandon refleks memalingkan kepalanya. Kemudian, tampak seorang dokter cantik dengan mengenakan jubah putih. Si wanita terlihat sangat menawan. Dia memang sedang mengenakan jubah dokter, tapi tetap terlihat postur tubuh yang indah itu.Jelas sekali dokter ini tidak pernah melihat kejadian seperti ini. Dia pun terlihat kaget saat ini.“Dok Enrica, kebetulan Dok ke sini. Ada yang cari masalah di sini. Dia malah memukul satpam rumah sakit. Cepat usir dia dari sini!” Suster duluan mengadu.Enrica mengangguk, lalu mengalihkan pandangannya
“Kalau nggak ada obat untuk berobat, jangan celakai karier orang lain!”“Iya, kalian semua sama saja! Semuanya ingin membohongi Dok Enrica!”“Kalian tahu Dok Enrica itu baik hati dan gampang luluh. Dia pasti akan menyelamatkan semua pasien yang datang ke rumah sakit!”“Haish, dengar-dengar Dok Enrica sudah setengah tahun nggak gajian. Semuanya gara-gara orang seperti mereka. Kalau nggak punya uang, jangan keluar untuk celakai orang lain?!”Mendengar caci makian orang-orang di sekitar, Enrica yang hampir berjalan memasuki ruang operasi spontan memalingkan kepalanya, dan berkata dengan tersenyum, “Semuanya jangan asal menuduh. Hal ini bersangkutan dengan masalah nyawa. Tugas seorang dokter memang adalah menyelamatkan pasien yang mengalami cedera. Lagi pula, aku juga percaya dengan Tuan.”Enrica memang polos dan baik hati. Hanya saja, dia merasa Brandon adalah orang yang bisa dipercaya. Rasa percaya ini mirip seperti perasaan jatuh cinta pada pandangan pertama, memang rada-rada tidak masu
Ketika melihat si miskin ini mengeluarkan kartu ATM, raut wajah wakil direktur dari Rumah Sakit Manthana spontan terbengong. Para staf medis juga ikut terbengong. Apa yang terjadi?Ekspresi Jivan berubah drastis, dan sekujur tubuhnya berkeringat dingin. Beberapa saat kemudian, tatapannya kembali tertuju pada diri Brandon. Jivan juga tahu pemilik kartu hitam di Kota Manthana hanya lima orang saja. Orang yang memiliki kartu hitam tentu memiliki status kedudukan yang sangat tinggi. Biasanya mereka akan menaiki mobil mewah, dan bahkan dikawal ke mana-mana.Jadi, bagaimana ceritanya lelaki miskin di hadapannya bisa memiliki kartu hitam? Apa dia sedang berbohong?“Kamu kira aku akan tertipu dengan kartu hitam palsu ini? Kamu mau bohongi aku?” Jivan tersenyum sinis.Kemudian, dia berkata pada suster di sampingnya, “Bawa kartu ini ke kasir. Coba lihat kartu ini bisa digesek atau tidak?”Setelah suster pergi dengan kartu itu, Jivan pun memanggil Edric bersama anggotanya datang untuk mengepung
Akhirnya Brandon bisa menghela napas lega. Mengenai asal-usul cedera yang diderita Lucas, Brandon juga tidak bisa menjelaskannya.“Oh ya, bagusan kamu urus prosedurnya dulu. Nanti pihak rumah sakit baru bisa mencari riwayat kesehatan pasien dari rumah sakit lain. Kami ingin tahu apa pasien memiliki alergi atau penyakit bawaan lainnya. Nanti setelah kamu mengurus prosedurnya, kami baru bisa membuka obat,” pesan Enrica.“Oke, aku akan segera urus.” Brandon terus mengangguk. Kemudian, dia mendampingi Lucas masuk ke dalam kamar VIP.Setelah tiba di kamar VIP, Brandon baru menepuk kepalanya. Tadi Brandon terlalu buru-buru, dia bahkan lupa meminta nomor kontak Enrica. Melihat Lucas masih belum menyadarkan diri, Brandon pun pergi mencari suster untuk menanyakan kantor Enrica. Kemudian, Brandon berjalan sesuai arah yang ditunjuk suster.…Di kantor pribadi Enrica.Saat ini Enrica mengangkat kepalanya menatap Jivan yang sedang duduk di sofa. Dia mengerutkan keningnya, lalu berkata, “Pak Jivan,
“Pak, Pak Jivan! Jangan, jangan seperti ini ….” Kehidupan Enrica sangatlah sederhana. Dia pun tidak pernah bertemu dengan lelaki mesum seperti ini. Saat ini, Enrica spontan meronta, tapi dia tidak sanggup untuk menyingkirkan tangan besar Jivan.Jivan sudah menunjukkan wajah aslinya. Dia menindih Enrica dan tidak menghiraukan suara jeritannya.“Jangan! Pak Jivan! Aku mohon sama kamu. Lepaskan aku! Aku tidak berani lagi!” Enrica tak berhenti meronta, dan air mata juga sudah membasahi wajahnya.Sayangnya, sejak awal Jivan sengaja memilih kantor di area terpencil untuk Enrica. Jadi, meskipun Enrica berteriak minta tolong, tidak mungkin ada yang kedengaran.Senyum mesum di wajah Jivan semakin mengental. Salah satu tangannya menahan kaki Enrica, dan satu tangannya lagi sedang mengeluarkan pil obat dari botol berwarna biru.“Prang ….”Saat Jivan menelan obat itu, pintu ruangan Enrica tiba-tiba didobrak. Kemudian, tampak Brandon berjalan memasuki ruangan dengan tersenyum.Tadi Brandon berencan
Seketika, Enrica juga bingung harus menyalahkan atau berterima kasih terhadap Brandon. Saat ini, tatapannya ketika memandang Brandon juga terlihat kalut. Seumur hidupnya, ini adalah pertama kalinya Enrica kebingungan bagaimana menghadapi seorang lelaki. Hanya saja, Enrica yang seperti ini terlihat semakin memesona dan menawan.“Kamu berani pukul aku? Apa kamu tidak tahu ini area kekuasaanku?” Saat ini amarah Jivan langsung meluap. Dia pun sudah kehilangan akal sehatnya. “Aku nggak peduli kamu itu siapa. Aku berharap kamu bisa segera pergi dari sini. Kalau tidak, aku akan bikin kamu mati mengenaskan!”Brandon tersenyum, lalu berjalan pergi untuk mencekik leher Jivan, lalu mengangkatnya dengan perlahan.“Kamu … kamu mau ngapain? Lepaskan aku! Lepaskan!” Mungkin karena Jivan dicekik, akal sehatnya pun sudah kembali. Saat ini, dia spontan menjerit.Enrica yang berada di samping berkata, “Jangan … jangan gegabah ….”Brandon memalingkan kepalanya untuk melirik Enrica sekilas, lalu berkata de