“Kalau nggak ada obat untuk berobat, jangan celakai karier orang lain!”“Iya, kalian semua sama saja! Semuanya ingin membohongi Dok Enrica!”“Kalian tahu Dok Enrica itu baik hati dan gampang luluh. Dia pasti akan menyelamatkan semua pasien yang datang ke rumah sakit!”“Haish, dengar-dengar Dok Enrica sudah setengah tahun nggak gajian. Semuanya gara-gara orang seperti mereka. Kalau nggak punya uang, jangan keluar untuk celakai orang lain?!”Mendengar caci makian orang-orang di sekitar, Enrica yang hampir berjalan memasuki ruang operasi spontan memalingkan kepalanya, dan berkata dengan tersenyum, “Semuanya jangan asal menuduh. Hal ini bersangkutan dengan masalah nyawa. Tugas seorang dokter memang adalah menyelamatkan pasien yang mengalami cedera. Lagi pula, aku juga percaya dengan Tuan.”Enrica memang polos dan baik hati. Hanya saja, dia merasa Brandon adalah orang yang bisa dipercaya. Rasa percaya ini mirip seperti perasaan jatuh cinta pada pandangan pertama, memang rada-rada tidak masu
Ketika melihat si miskin ini mengeluarkan kartu ATM, raut wajah wakil direktur dari Rumah Sakit Manthana spontan terbengong. Para staf medis juga ikut terbengong. Apa yang terjadi?Ekspresi Jivan berubah drastis, dan sekujur tubuhnya berkeringat dingin. Beberapa saat kemudian, tatapannya kembali tertuju pada diri Brandon. Jivan juga tahu pemilik kartu hitam di Kota Manthana hanya lima orang saja. Orang yang memiliki kartu hitam tentu memiliki status kedudukan yang sangat tinggi. Biasanya mereka akan menaiki mobil mewah, dan bahkan dikawal ke mana-mana.Jadi, bagaimana ceritanya lelaki miskin di hadapannya bisa memiliki kartu hitam? Apa dia sedang berbohong?“Kamu kira aku akan tertipu dengan kartu hitam palsu ini? Kamu mau bohongi aku?” Jivan tersenyum sinis.Kemudian, dia berkata pada suster di sampingnya, “Bawa kartu ini ke kasir. Coba lihat kartu ini bisa digesek atau tidak?”Setelah suster pergi dengan kartu itu, Jivan pun memanggil Edric bersama anggotanya datang untuk mengepung
Akhirnya Brandon bisa menghela napas lega. Mengenai asal-usul cedera yang diderita Lucas, Brandon juga tidak bisa menjelaskannya.“Oh ya, bagusan kamu urus prosedurnya dulu. Nanti pihak rumah sakit baru bisa mencari riwayat kesehatan pasien dari rumah sakit lain. Kami ingin tahu apa pasien memiliki alergi atau penyakit bawaan lainnya. Nanti setelah kamu mengurus prosedurnya, kami baru bisa membuka obat,” pesan Enrica.“Oke, aku akan segera urus.” Brandon terus mengangguk. Kemudian, dia mendampingi Lucas masuk ke dalam kamar VIP.Setelah tiba di kamar VIP, Brandon baru menepuk kepalanya. Tadi Brandon terlalu buru-buru, dia bahkan lupa meminta nomor kontak Enrica. Melihat Lucas masih belum menyadarkan diri, Brandon pun pergi mencari suster untuk menanyakan kantor Enrica. Kemudian, Brandon berjalan sesuai arah yang ditunjuk suster.…Di kantor pribadi Enrica.Saat ini Enrica mengangkat kepalanya menatap Jivan yang sedang duduk di sofa. Dia mengerutkan keningnya, lalu berkata, “Pak Jivan,
“Pak, Pak Jivan! Jangan, jangan seperti ini ….” Kehidupan Enrica sangatlah sederhana. Dia pun tidak pernah bertemu dengan lelaki mesum seperti ini. Saat ini, Enrica spontan meronta, tapi dia tidak sanggup untuk menyingkirkan tangan besar Jivan.Jivan sudah menunjukkan wajah aslinya. Dia menindih Enrica dan tidak menghiraukan suara jeritannya.“Jangan! Pak Jivan! Aku mohon sama kamu. Lepaskan aku! Aku tidak berani lagi!” Enrica tak berhenti meronta, dan air mata juga sudah membasahi wajahnya.Sayangnya, sejak awal Jivan sengaja memilih kantor di area terpencil untuk Enrica. Jadi, meskipun Enrica berteriak minta tolong, tidak mungkin ada yang kedengaran.Senyum mesum di wajah Jivan semakin mengental. Salah satu tangannya menahan kaki Enrica, dan satu tangannya lagi sedang mengeluarkan pil obat dari botol berwarna biru.“Prang ….”Saat Jivan menelan obat itu, pintu ruangan Enrica tiba-tiba didobrak. Kemudian, tampak Brandon berjalan memasuki ruangan dengan tersenyum.Tadi Brandon berencan
Seketika, Enrica juga bingung harus menyalahkan atau berterima kasih terhadap Brandon. Saat ini, tatapannya ketika memandang Brandon juga terlihat kalut. Seumur hidupnya, ini adalah pertama kalinya Enrica kebingungan bagaimana menghadapi seorang lelaki. Hanya saja, Enrica yang seperti ini terlihat semakin memesona dan menawan.“Kamu berani pukul aku? Apa kamu tidak tahu ini area kekuasaanku?” Saat ini amarah Jivan langsung meluap. Dia pun sudah kehilangan akal sehatnya. “Aku nggak peduli kamu itu siapa. Aku berharap kamu bisa segera pergi dari sini. Kalau tidak, aku akan bikin kamu mati mengenaskan!”Brandon tersenyum, lalu berjalan pergi untuk mencekik leher Jivan, lalu mengangkatnya dengan perlahan.“Kamu … kamu mau ngapain? Lepaskan aku! Lepaskan!” Mungkin karena Jivan dicekik, akal sehatnya pun sudah kembali. Saat ini, dia spontan menjerit.Enrica yang berada di samping berkata, “Jangan … jangan gegabah ….”Brandon memalingkan kepalanya untuk melirik Enrica sekilas, lalu berkata de
Pada saat ini, terdengar suara ricuh dari depan pintu ruangan. Setelah mendengar suara ricuh dari dalam ruangan, para staf medis pun sudah pergi memanggil petugas keamanan.“Apa yang terjadi? Apa yang sedang kamu lakukan? Cepat lepaskan Pak Jivan!” Kepala Petugas Keamanan, Edric Sumandi, segera mendekat.Begitu melihat kedatangan Edric, Jivan yang berwajah bengkak itu pun tersenyum. Dia meronta sambil menjerit pada Brandon, “Tamatlah riwayatmu!”Kemudian, Jivan menjerit pada Edric, “Cepat! Cepat tangkap dia! Bawa dia ke kantor polisi!”“Kamu lagi, kamu lagi!” Saat Edric menyadari orang di hadapannya adalah orang yang menendangnya tadi, dia pun langsung maju hendak turun tangan.“Dasar bajingan! Kamu tidak kenal sama aku? Aku adiknya Brian! Jadi, jangan sok hebat! Hari ini aku akan habisi kamu!” Selesai berbicara, Edric langsung menutup pintu dengan kuat, lalu mengeluarkan pisau buah dari saku celakanya.Brandon bahkan malas untuk memalingkan kepalanya. Dia berkata dengan datar, “Brian
Kepikiran hal ini, Edric langsung membungkuk memberi hormat kepada Brandon. “Tuan, silakan lanjutkan.”“Masih tidak mau pergi?” tanya Brandon dengan datar.“Plak ….”Edric langsung keluar ruangan. Tak lupa juga dia menutup pintu.Kali ini Jivan langsung berteriak, “Edric, apa kamu sudah buta? Apa kamu tidak lihat aku lagi dipukul? Kalian tidak mau kerja lagi, ya?”Edric juga tidak berminat untuk meladeninya lagi. Sekarang Kak Brian sudah dihabisi. Jadi, Edric harus segera melarikan diri. Jika dia tidak pergi lagi, sepertinya dia akan menjadi sasaran selanjutnya.Pada saat ini, tiba-tiba ponsel Brandon berdering. Dia membuang Jivan ke lantai, lalu mengangkat panggilan.“Bran … Brandon … tadi aku terkena macet. Kamu lagi di mana? Bagaimana kondisi kakekku?” Orang yang menelepon adalah Dessy. Akhirnya dia tiba juga.Brandon melirik Jivan yang berbaring di atas lantai. Suasana hatinya sangat buruk saat ini. Nada bicaranya pun terdengar agak ketus. “Aku lagi di ruangan Dokter Enrica. Operas
“Namaku Brandon.” Brandon tersenyum, lalu memperkenalkan dirinya.Enrica juga tidak berpikir kebanyakan. Dia berbisik, “Tuan Brandon, kamu cepat pergi dari sini. Jivan itu wakil direktur rumah sakit. Dia bahkan bisa mengontrol direktur rumah sakit! Dia disokong oleh orang hebat, dan juga kenal dengan banyak orang kaya. Meskipun kamu kaya, kamu juga tidak bisa menandinginya!”Ketika membahas masalah ini, Enrica sungguh merasa gugup. Gara-gara dirinya, Brandon sudah menghadapi banyak masalah hari ini. Sekarang seniornya masih dirawat di rumah sakit. Sepertinya masalah ini juga tidak bisa diselesaikan dengan damai.Selain itu, kelak Enrica juga tidak bisa bekerja di rumah sakit lagi. Enrica bukan mengkhawatirkan masalah pekerjaannya, dia lebih mengkhawatirkan nasib pasien yang sedang ditanganinya.“Tenang saja, bukan masalah serius. Aku bisa menyelesaikannya.” Brandon menghibur Enrica sambil tersenyum.Enrica terbengong sejenak, dia bahkan tidak tahu harus berkata apa lagi. Entah kenapa u