Share

Sayur Dari Mertua

Penulis: Jasmina
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“Sayur dari ibu ya, Mas?” tanyaku pada suami sambil menunjuk semangkuk sayur sop di atas meja makan kecil kami.

“Iya, Dek. Tadi ibu yang ngantar sendiri,” jawab suamiku sambil mengangguk.

“Coba kasih tau ibumu itu Mas, jangan sering-sering antar sayur sop. Cukup bikin untuk beliau berdua sama bapak aja, Mas,” ujarku.

Mas Handi menghela napas, “ya kamu tau sendirilah gimana ibu, Dek. Enggak enak mas mau larang-larang,” jawab Mas Handi pelan.

Kuikuti suamiku menghela napas, memang susah memberitahu orangtua.

“Pasti ibu mengantar sayur ini ke rumah Mba Hasna juga, ‘kan?” tanyaku lagi.

“He em, sepertinya,” jawab suamiku.

Aku hanya bisa menggeleng pelan setelah mendengar jawabannya. Sedangkan Mas Handi kembali menatap ponselnya.

“Gimana ya reaksi Mba Hasna waktu dianterin sayur sama ibuk, apa masih kaya biasanya?” gumamku sekaligus bertanya pada suami.

“Entahlah, tidak usah ikut campur, Ras. Nanti salah-salah kamu bertengkar lagi sama Mbaku itu,” tegur mas Handi sambil menatapku tajam.

Aku membalas tatapannya, “kamu enggak kasihan sama Ibu?”

“Kasihan, tapi mau gimana lagi. Aku bisa apa? Udah ditegur juga dan tetap begitu, ‘kan?” sahut suamiku sambil mengusap wajahnya.

Aku terdiam, tidak meneruskan pembicaraan kami. Karena percuma saja, suamiku tercinta tidak akan memberikan jawaban seperti yang aku inginkan.

Kualihkan pandangan menatap ke luar jendela. Angin sepoi-sepoi menerobos menerpa wajahku.

Pikiranku melayang membayangkan wajah teduh bu Sari, ibu mertuaku.

Aku tidak suka dengan ibu mertua. Ah jangan berprasangka buruk dulu, aku bukan tidak suka pada orangnya.

Bukan juga pada pribadinya. Aku hanya tidak suka pada kebaikannya.

Beliau terlalu baik. Itulah yang tidak aku suka. Di tengah kesulitan yang beliau hadapai, masih sempat mengantarkan sayur sop yang menjadi andalannya ke rumah anak-anak dan menantu.

Bukan, bukan tidak enak. Sayur sop yang sering menjadi pemicu pertengkaran antara dia dan anaknya bukan berangkat dari rasa.

***

“Ibuk! Kalau cuma sayur sop, jangan antar ke rumahku,” keluh mba Hasna. Kakak iparku, dan anak sulung mertua.

Ibu mertua yang sedang mencuci baju di kamar mandi segera berlari ke ruang tamu kala mendengar suara lantang anaknya.

“Bikinnya dikit aja sih Buk. Cukup buat ibu sama bapak aja, biar pengeluaran tidak banyak. Uangnya ‘kan bisa dipakai untuk berobat bapak, jadi aku sama Risma tidak pusing bayar obat-obatan bapak itu!” Mba Hasna yang menjadi kebanggaan ibu mertua karena menjadi seorang ASN itu berdiri berkacak pinggang di hadapan ibu.

Nafasku tercekat. Berani sekali dia bersikap tidak sopan pada ibu. Masih untung punya ibu, aku yang ditinggal sosok itu sejak kecil malah mengharapkan ibu seperti mertuaku ini. 

Aku segera beranjak dari tempat yang semula sedang asyik membersihkan kacang tanah.

“Mba, yang sopan dong bicara sama ibu. Lagian apa salahnya ibu kasih sayur untuk mba, tinggal bilang terimakasih,” ujarku mencoba menegur kakak ipar yang memasang wajah tidak bersahabat, maksudku wajah tidak bersaudara.

“Diam kamu, Laras! Cuma anak mantu saja, tidak usah mengajariku!" hardik mba Hasna semakin menegakkan tubuhnya.

Aku sedikit tersentak, “mbak, lagian emang salah ibu memberi sayur? Malah bagus ‘kan tidak repot masak lagi,” balasku dengan suara sedikit direndahkan. Sebab ibu mertua mencengkram lenganku.

“Tapi boros kalau masaknya banyak, lagian aku tidak suka sop sayur. Jadi lebih baik ibu bikinnya sedikit, supaya hemat dan ada sisa uang belanja untuk berobat bapak. Jadi tidak membebaniku!” ujarnya lagi dengan lantang.

"Banyak juga sebera sih Mba? Cuman 1 panci ukuran sedang. Tidak menghabiskan banyak uang."

Sungguh tidak sampai hati diriku melihat ibu mertua diperlakukan sedemikian rupa oleh anaknya sendiri.

Tangan keriput milik bidadari dunia itu masih berada di lenganku. Kuraih tangan kurus itu lalu memeluknya.

Aku tau ia mencegahku untuk terus melawan anaknya. Tidak bermaksud membela anak atau mantu, ia hanya tidak mau ada perselisihan.

“Kalau kamu sebegitu sayangnya sama ibu mertuamu ini, gantian kamu sama Handi dong yang menanggung kebutuhan sehari-hari ibu dan bapak,” ucap mba Hasna sambil menatapku sinis.

Tiba-tiba saja ludahku susah tertelan.

Bagaimana bisa kami membiayai kebutuhan ibu dan bapak mertua?

Sedangkan untuk mencukupi keluarga kecil kami saja masih ngos-ngosan.

Astagfirullah, aku tidak bisa membohongi diri sendiri. Bahwa masih terdapat keraguan untuk bersedekah sepenuhnya.

Mulutku tidak bisa berkata-kata, bahkan bahu yang semula tegak sudah kembali ke posisi semula.

Mertuaku seperti paham apa yang sedang aku pikirkan, beliau yg berhati baik ganti mengelus punggung tanganku.

Mata kami bertemu. Sungguh aku sekuat tenaga menahan air mata agar tidak luruh, agar tidak nampak kelemahan dan kekuranganku.

Meski begitu, mertuaku sangat pandai membaca raut wajah.

“Kamu tidak mampu ‘kan, Ras? Makanya jangan banyak omong deh,” decih mba Hasna sambil mengibaskan tangan yang dipenuhi emas pada jari-jarinya.

Mba Hasna beralih kepada ibu, “Ibu inget ya, jangan masak sayur banyak-banyak. Dihemat uangnya buk, cari uang susah!” 

Setelah mengucapkan kata-kata yang pasti membuat ibu manapun terluka, mba Hasna berlalu dari hadapan kami berdua tanpa berpamitan.

Ibu mertua kembali melanjutkan acara mencucinya, setelah memastikan putri kesayangannya pergi. Tanpa sepatah kata pun beliau melewatiku.

Sedang aku, lanjut membersihkan kacang tanah. Kami berdua bergelut dengan pikiran masing-masing dalam kesunyian.

Setelah hari itu, aku selalu takut jika ibu mengantar sayur ke rumah kami. Aku yakin beliau juga memberikan mba Hasna sayur yang sama.

Meski sudah diperlakukan begitu, ibu kadang mengulanginya lagi. Kejadian ini tidak hanya sekali dua kali.

Hatiku sangat sakit membayangkan ibu mertua yang kuanggap seperti ibu kandungku diperlakukan dengan tidak baik.

Karena sebab itu aku tidak suka ibu membuat sayur terlalu banyak yang nantinya akan mendarat ke rumah anak-anaknya. Lalu berujung mendapat caci maki dari mba Hasna dan terkadang juga mba Risma.

Tapi aku tidak sampai hati menegur beliau. Selalu mulutku terkunci rapat ketika semangkok sayur sop berpindah ke tanganku.

Wajah ibu mertua selalu berbinar ketika masakannya kuterima. Binar itulah yang membuatku tidak sampai hati menyakitinya.

***

“Ras, kamu beli daging!” Aku terkejut mendengar seruan dari balik punggung.

Hampir saja pisau yang sedang kugunakan untuk mengiris bawang malah mengiris jariku.

“Astagfirullah, mba Husna. Masuk rumah orang ketuk pintu dulu,” tegurku ketika mendapati iparku yang membuatku hampir celaka tadi.

Manusia satu ini memang ajaib, tidak pernah kudengar mengucapkan salam ketika masuk ke dalam rumahku.

“Halah, rumah kumuh gini aja tidak pantas diucapin salam,” cibir mba Husna sambil menatap jijik kesemua bagian rumah.

Meski tersinggung dengan omongannya, aku pura-pura cuek dan kembali mengiris bawang. Tidak ada gunanya memperpanjang masalah, karena aku pasti akan kalah.

Wanita dewasa yang sering tidak berpikir dewasa itu mendekatiku.

“Tadi kamu beli daging, Ras?” tanyanya sambil tetap berdiri. Ia tidak sudi katanya duduk di atas lantai rumahku yang keramiknya sudah banyak yang pecah.

Keningku mengernyit, dari mana dia tahu? Jangan-jangan iparku mulai memiliki kesaktian. 

“Iya, tadi pagi,” jawabku tanpa menoleh.

Meski aku penasaran dari siapa dia mendapatkan kabar tersebut. Padahal baru saja tadi aku membeli. Sudah sampai saja ke telinganya.

“Bawa sini, biar aku masak di rumah,” ujarnya sambil melemparkan sebuah tas belanja berlogo alfamaruk.

Bab terkait

  • Menantu Cerdik untuk Ipar-Ipar Licik   Mba Hasna Berulah

    Mataku melotot memandang tas belanja yang kini mendarat di pahaku. Tidak sopannya orang tua ini. Susah payah aku mengontrol emosi, dan sepertinya saat ini aku harus lebih bersusah payah lagi. Ya Allah, berilah hamba Mu ini kesabaran seluas samudera. Jangan setipis tisu. Dengan terpaksa pisau di tangan kuletakkan dengan kasar. “Aku bisa masak daging kok, Mba,” ujarku sambil meletakkan tas belanjanya di atas lantai. “Aku aja, masakanmu tidak cocok di lidahku,” balasnya sambil menjulurkan lidah. “Tidak cocok apanya? Kemarin aku masak telur balado di rumah ibu aja, hampir mba angkut semua,” ucapku sambil tersenyum miring mengingat kerakusan iparku ini. Hampir saja mertuaku tidak kebagian. Iparku yang sukses menjadi ASN ini mengibaskan tangannya, “a-ah itu karena di rumahku lagi tidak ada lauk saja. Aslinya aku sih ogah,” bantahnya. Aku tau ia berbohong dan hanya gengsi saja. Memang tidak mudah merendah untuk orang setinggi kakak iparku itu. “Aku bawa dagingnya,” ucap mba Hasna s

  • Menantu Cerdik untuk Ipar-Ipar Licik   Pertengkaran di Pagi Hari

    Beberapa hari berikutnya, kujalani dengan hati senang dan riang gembira. Belum lagi uang belanja untuk 3 hari yang kugunakan membeli perdagingan sekaligus drama kemarin ternyata diganti oleh mas Handi. Meski tidak biasanya ia mau mengeluarkan uang lebih. Terlebih lagi beberapa hari ini ipar-iparku tidak memunculkan batang hidungnya di rumahku atau rumah ibu. Tapi aku lupa, kebahagiaan tidak ada yang abadi. Pasti ada saja duri-duri menanti. Seperti pada pagi hari yang cerah ini. Sehabis aku mengantar putra putriku sekolah, kubelokkan motor menuju rumah mertua. “Assala ... “ ucapan salamku terpotong ketika melihat sandal yang sangat amat familiar di mataku. Itu adalah sandal milik kaka iparku, Risma. Tanpa mengetuk pintu, aku masuk ke dalam rumah mertua dengan cara mengendap-ngendap. Sudah menjadi kebiasaanku jika dua orang iparku itu berkunjung ke rumah orangtuanya, aku pasti masuk rumah mereka dengan cara seperti ini. Untuk apa? Tentu saja untuk mencuri dengar apa yang merek

  • Menantu Cerdik untuk Ipar-Ipar Licik   Tidak Setebal Kesabaran Ibu

    “Udah ah Mba. Bikin nambah banyak dosaku aja kalau ngomong sama Mba. Bukan ngomong ini sih, jatohnya malah adu mulut,” ujarku hendak berlalu meninggalkan perdebatan yang temanya tidak pernah berubah. Lelah jiwa ragaku kalau begini terus. “Eh enggak sopan kamu ya! Main tinggal-tinggal aja,” pekik mba Risma di belakangku. Kuhiraukan saja dia dan kembali masuk ke dalam rumah. Terserah iparku kalau mau mengumpat sepuas hati, aku tidak peduli. Lagi pula tidak terdengar sampai ke dalam rumah. “Assalamualaikum, Ibu,” ucapku sambil melangkah ke dapur. “Waalaikumussalam, ibu di dapur, Laras!” balas ibu setengah berteriak. Aku melangkah perlahan mendekati beliau yang terduduk lesu. Ia mengusap air matanya secara sembunyi-sembunyi. Aku pun sengaja pura-pura tidak memerhatikan beliau dan memilih untuk membuka wajan. Biasanya aku memang seperti ini, memeriksa apakah ibu masak atau tidak. Jika tidak ada makanan, aku akan mengambil dari rumah lalu mengajak ibu makan bersama. “Wah, ibu masa

  • Menantu Cerdik untuk Ipar-Ipar Licik   Tidak diajak Makan Bersama

    "Tumben pulang malam, Mas. Biasanya sebelum magrib sudah di rumah," ujarku sambil menyiapkan makan malam. Mas Handi terlihat baru saja keluar dari kamar mandi. Iya nampak terkejut dengan pertanyaanku. Aku memperhatikannya dari sudut mataku. Tangannya yang sedari tadi sibuk mengeringkan rambut dengan anduk tiba-tiba terhenti.Mas Handi menghela napas. Lalu ia mendekatiku perlahan.Hatiku mulai tidak karuan membayangkan hal yang bukan-bukan. Awalnya aku bertanya iseng saja, tapi melihat reaksi mas Handi yang aneh membuatku takut. "Kalau aku beritahu kamu pasti marah," ucapnya sambil memasang wajah bersalah. Keningku mengkerut. Kenapa mas Handi terlihat aneh? "Kenapa harus marah? Memangnya apa yang kamu lakukan?" tanyaku sembari menatapnya tajam. Mas Handi tertunduk lesu. "Apa!" seruku mendesak agar ia menjawab perkataanku. "Tadi siang, mba Hasna dan mba Risma mengajakku makan bersama di restoran yang ada di samping kantor polisi itu. Mba Hasna hanya mengajakku saja, makanya aku

  • Menantu Cerdik untuk Ipar-Ipar Licik   Uangku ya Uangku

    {Jadi kapan kakak bisa bertemu calon pembeli?}Aku menimbang-nimbang sejenak kapan waktu yang tepat aku bisa pergi bertemu dengan calon pembeli itu. Mengingat tanah warisan tersebut berada di kampungku yang jaraknya harus ditempuh dalam waktu 3 jam.Selain jauh, aku juga harus meminta izin kepada mas Handi untuk pergi ke kampungku.{Kakak mau secepatnya, tapi bagaimana caranya minta izin sama mas Handi?} balasku{Tinggal izin aja apa susahnya? Mas Handi tidak pernah melarang, ‘kan?}{Mas Handi memang tidak melarang. Tapi kaka tidak memberitahunya kalau dapat warisan}Pesanku langsung dibaca Angga. Ia terlihat lama mengetik pesan balasan{Kenapa tidak diberi tahu? Mau kakak makan itu semua duitnya?}Dasar Angga, tidak tau duduk perkara main tuduh aja.{Hush, sembarangan. Kakak tidak akan memberitahu mas Handi. Entah kenapa hati kaka menginginkan untuk menyimpan ini semua darinya. Jaga-jaga aja, biar

  • Menantu Cerdik untuk Ipar-Ipar Licik   Perbincangan di Teras Rumah

    Sesampainya di kampungku yang bernama Bangun Rejo. Aku segera mencari-cari adikku yang katanya sudah sampai di terminal.Ketika hendak menghubunginya, tiba- tiba punggungku ditepuk oleh seseorang.Aku segera berbalik dan mendapati wajah Angga sedang tersenyum kepadaku.“Apa kabar kak?” ucap Angga hendak meraih tanganku.Segera kuulurkan tangan dan menerima salam Angga.“Alhamdulillah, seperti yang kamu lihat,” jawabku pelan. Kepalaku terasa pusing. Perutku seperti di obok-obok.“Om, motor om Angga mana? Ayo kita pulang. Hanum mau berbaring. Selama di bis tadi Hanum tidak sempat senderan, soalnya ibu muntah sepanjang jalan. Hanum jadi sibuk mijitin punggung ibu,” ujar anakku.Angga menatapku lalu tersenyum mengejek.“Gimana mau jadi orang kaya kalau kakak masih mabuk kendaraan,” cibirnya lalu menarik kedua ponakannya untuk melangkah menuju parkiran motor.“Kalau kakak

  • Menantu Cerdik untuk Ipar-Ipar Licik   Menjual Tanah

    “Setelah ini, uangnya mau dibuat apa kak?” Kami sedang duduk di ruang tamu bibik. Baru saja terjadi transaksi jual beli tanah warisan ayahku. Mas Damar, nama pembeli tanah tersebut juga telah mentransfer mahar tanah secara penuh. 90 juta rupiah telah aman berada di dalam rekeningku yang lagi-lagi mas Handi tidak tahu akan hal ini. Rekening ini kubuat untuk menabung agar tidak diketahui mas Handi jika aku memiliki tabungan. Bila mas Handi tahu, maka aku tidak bisa lagi meminta uang padanya dengan bebas untuk kebutuhan sehari-hari dan anak-anak. Bahkan bisa-bisa uang belanja dikurangi karena dianggap nominal yang biasanya terlalu banyak hingga aku masih sempat menabung. Padahal uang tabungan itu lebih banyak dihasilkan dari komisiku menjadi dropshipper di toko online. Dunia per-dropshiper-an ini telah kutekuni selama 2 tahun lebih. Hasilnya cukup lumayan. Setiap bulan aku bisa menghasilkan 3-5 juta rupiah bahkan lebih, hanya dengan rajin memposting produk milik pabrik tertentu. S

  • Menantu Cerdik untuk Ipar-Ipar Licik   Bisik-Bisik Tetangga

    “Belanja apa tadi bu Sari, Mang?” tanya seorang wanita bertubuh tambun yang tinggal tepat di depan rumah ibu mertuaku. Aku yang hendak menghampiri gerobak mang Dadang mengurungkan niat dan memilih bersembunyi. “Oh, biasa. Sayur kol sama buncis bu Mita,” jawab mang Dadang, satu-satunya penjual sayur keliling di kampungku. Bu Mita kulihat memiringkan bibirnya, “itu aja? Apa enggak bosen dia makan sayur itu mulu,” “Bosenlah pasti, tapi gimana ya, enggak ada duit kali,” sambung ibu-ibu berlipstik merah di samping bu Mita. Lipstiknya bahkan lebih merah dari tomat yang sedang dia timang. Aku mendengarkan saja gibahan mereka pada ibu mertuaku dari balik mobil yang terparkir, entah mobil siapa. Beruntung mang Dadang berhenti tepat di samping mobil ini. “Haha, dunia memang cepat sekali berputarnya ya jeng Nanik. Dulu keluarga bu Sari itu termasuk berada, sekarang udah ngalahin pak Sapto yang buruh tani aja miskinnya,” cibir bu Mita seenak jidatnya. Mereka pun terdengar cekikikan. “Eman

Bab terbaru

  • Menantu Cerdik untuk Ipar-Ipar Licik   Menjual Tanah

    “Setelah ini, uangnya mau dibuat apa kak?” Kami sedang duduk di ruang tamu bibik. Baru saja terjadi transaksi jual beli tanah warisan ayahku. Mas Damar, nama pembeli tanah tersebut juga telah mentransfer mahar tanah secara penuh. 90 juta rupiah telah aman berada di dalam rekeningku yang lagi-lagi mas Handi tidak tahu akan hal ini. Rekening ini kubuat untuk menabung agar tidak diketahui mas Handi jika aku memiliki tabungan. Bila mas Handi tahu, maka aku tidak bisa lagi meminta uang padanya dengan bebas untuk kebutuhan sehari-hari dan anak-anak. Bahkan bisa-bisa uang belanja dikurangi karena dianggap nominal yang biasanya terlalu banyak hingga aku masih sempat menabung. Padahal uang tabungan itu lebih banyak dihasilkan dari komisiku menjadi dropshipper di toko online. Dunia per-dropshiper-an ini telah kutekuni selama 2 tahun lebih. Hasilnya cukup lumayan. Setiap bulan aku bisa menghasilkan 3-5 juta rupiah bahkan lebih, hanya dengan rajin memposting produk milik pabrik tertentu. S

  • Menantu Cerdik untuk Ipar-Ipar Licik   Perbincangan di Teras Rumah

    Sesampainya di kampungku yang bernama Bangun Rejo. Aku segera mencari-cari adikku yang katanya sudah sampai di terminal.Ketika hendak menghubunginya, tiba- tiba punggungku ditepuk oleh seseorang.Aku segera berbalik dan mendapati wajah Angga sedang tersenyum kepadaku.“Apa kabar kak?” ucap Angga hendak meraih tanganku.Segera kuulurkan tangan dan menerima salam Angga.“Alhamdulillah, seperti yang kamu lihat,” jawabku pelan. Kepalaku terasa pusing. Perutku seperti di obok-obok.“Om, motor om Angga mana? Ayo kita pulang. Hanum mau berbaring. Selama di bis tadi Hanum tidak sempat senderan, soalnya ibu muntah sepanjang jalan. Hanum jadi sibuk mijitin punggung ibu,” ujar anakku.Angga menatapku lalu tersenyum mengejek.“Gimana mau jadi orang kaya kalau kakak masih mabuk kendaraan,” cibirnya lalu menarik kedua ponakannya untuk melangkah menuju parkiran motor.“Kalau kakak

  • Menantu Cerdik untuk Ipar-Ipar Licik   Uangku ya Uangku

    {Jadi kapan kakak bisa bertemu calon pembeli?}Aku menimbang-nimbang sejenak kapan waktu yang tepat aku bisa pergi bertemu dengan calon pembeli itu. Mengingat tanah warisan tersebut berada di kampungku yang jaraknya harus ditempuh dalam waktu 3 jam.Selain jauh, aku juga harus meminta izin kepada mas Handi untuk pergi ke kampungku.{Kakak mau secepatnya, tapi bagaimana caranya minta izin sama mas Handi?} balasku{Tinggal izin aja apa susahnya? Mas Handi tidak pernah melarang, ‘kan?}{Mas Handi memang tidak melarang. Tapi kaka tidak memberitahunya kalau dapat warisan}Pesanku langsung dibaca Angga. Ia terlihat lama mengetik pesan balasan{Kenapa tidak diberi tahu? Mau kakak makan itu semua duitnya?}Dasar Angga, tidak tau duduk perkara main tuduh aja.{Hush, sembarangan. Kakak tidak akan memberitahu mas Handi. Entah kenapa hati kaka menginginkan untuk menyimpan ini semua darinya. Jaga-jaga aja, biar

  • Menantu Cerdik untuk Ipar-Ipar Licik   Tidak diajak Makan Bersama

    "Tumben pulang malam, Mas. Biasanya sebelum magrib sudah di rumah," ujarku sambil menyiapkan makan malam. Mas Handi terlihat baru saja keluar dari kamar mandi. Iya nampak terkejut dengan pertanyaanku. Aku memperhatikannya dari sudut mataku. Tangannya yang sedari tadi sibuk mengeringkan rambut dengan anduk tiba-tiba terhenti.Mas Handi menghela napas. Lalu ia mendekatiku perlahan.Hatiku mulai tidak karuan membayangkan hal yang bukan-bukan. Awalnya aku bertanya iseng saja, tapi melihat reaksi mas Handi yang aneh membuatku takut. "Kalau aku beritahu kamu pasti marah," ucapnya sambil memasang wajah bersalah. Keningku mengkerut. Kenapa mas Handi terlihat aneh? "Kenapa harus marah? Memangnya apa yang kamu lakukan?" tanyaku sembari menatapnya tajam. Mas Handi tertunduk lesu. "Apa!" seruku mendesak agar ia menjawab perkataanku. "Tadi siang, mba Hasna dan mba Risma mengajakku makan bersama di restoran yang ada di samping kantor polisi itu. Mba Hasna hanya mengajakku saja, makanya aku

  • Menantu Cerdik untuk Ipar-Ipar Licik   Tidak Setebal Kesabaran Ibu

    “Udah ah Mba. Bikin nambah banyak dosaku aja kalau ngomong sama Mba. Bukan ngomong ini sih, jatohnya malah adu mulut,” ujarku hendak berlalu meninggalkan perdebatan yang temanya tidak pernah berubah. Lelah jiwa ragaku kalau begini terus. “Eh enggak sopan kamu ya! Main tinggal-tinggal aja,” pekik mba Risma di belakangku. Kuhiraukan saja dia dan kembali masuk ke dalam rumah. Terserah iparku kalau mau mengumpat sepuas hati, aku tidak peduli. Lagi pula tidak terdengar sampai ke dalam rumah. “Assalamualaikum, Ibu,” ucapku sambil melangkah ke dapur. “Waalaikumussalam, ibu di dapur, Laras!” balas ibu setengah berteriak. Aku melangkah perlahan mendekati beliau yang terduduk lesu. Ia mengusap air matanya secara sembunyi-sembunyi. Aku pun sengaja pura-pura tidak memerhatikan beliau dan memilih untuk membuka wajan. Biasanya aku memang seperti ini, memeriksa apakah ibu masak atau tidak. Jika tidak ada makanan, aku akan mengambil dari rumah lalu mengajak ibu makan bersama. “Wah, ibu masa

  • Menantu Cerdik untuk Ipar-Ipar Licik   Pertengkaran di Pagi Hari

    Beberapa hari berikutnya, kujalani dengan hati senang dan riang gembira. Belum lagi uang belanja untuk 3 hari yang kugunakan membeli perdagingan sekaligus drama kemarin ternyata diganti oleh mas Handi. Meski tidak biasanya ia mau mengeluarkan uang lebih. Terlebih lagi beberapa hari ini ipar-iparku tidak memunculkan batang hidungnya di rumahku atau rumah ibu. Tapi aku lupa, kebahagiaan tidak ada yang abadi. Pasti ada saja duri-duri menanti. Seperti pada pagi hari yang cerah ini. Sehabis aku mengantar putra putriku sekolah, kubelokkan motor menuju rumah mertua. “Assala ... “ ucapan salamku terpotong ketika melihat sandal yang sangat amat familiar di mataku. Itu adalah sandal milik kaka iparku, Risma. Tanpa mengetuk pintu, aku masuk ke dalam rumah mertua dengan cara mengendap-ngendap. Sudah menjadi kebiasaanku jika dua orang iparku itu berkunjung ke rumah orangtuanya, aku pasti masuk rumah mereka dengan cara seperti ini. Untuk apa? Tentu saja untuk mencuri dengar apa yang merek

  • Menantu Cerdik untuk Ipar-Ipar Licik   Mba Hasna Berulah

    Mataku melotot memandang tas belanja yang kini mendarat di pahaku. Tidak sopannya orang tua ini. Susah payah aku mengontrol emosi, dan sepertinya saat ini aku harus lebih bersusah payah lagi. Ya Allah, berilah hamba Mu ini kesabaran seluas samudera. Jangan setipis tisu. Dengan terpaksa pisau di tangan kuletakkan dengan kasar. “Aku bisa masak daging kok, Mba,” ujarku sambil meletakkan tas belanjanya di atas lantai. “Aku aja, masakanmu tidak cocok di lidahku,” balasnya sambil menjulurkan lidah. “Tidak cocok apanya? Kemarin aku masak telur balado di rumah ibu aja, hampir mba angkut semua,” ucapku sambil tersenyum miring mengingat kerakusan iparku ini. Hampir saja mertuaku tidak kebagian. Iparku yang sukses menjadi ASN ini mengibaskan tangannya, “a-ah itu karena di rumahku lagi tidak ada lauk saja. Aslinya aku sih ogah,” bantahnya. Aku tau ia berbohong dan hanya gengsi saja. Memang tidak mudah merendah untuk orang setinggi kakak iparku itu. “Aku bawa dagingnya,” ucap mba Hasna s

  • Menantu Cerdik untuk Ipar-Ipar Licik   Sayur Dari Mertua

    “Sayur dari ibu ya, Mas?” tanyaku pada suami sambil menunjuk semangkuk sayur sop di atas meja makan kecil kami. “Iya, Dek. Tadi ibu yang ngantar sendiri,” jawab suamiku sambil mengangguk. “Coba kasih tau ibumu itu Mas, jangan sering-sering antar sayur sop. Cukup bikin untuk beliau berdua sama bapak aja, Mas,” ujarku. Mas Handi menghela napas, “ya kamu tau sendirilah gimana ibu, Dek. Enggak enak mas mau larang-larang,” jawab Mas Handi pelan. Kuikuti suamiku menghela napas, memang susah memberitahu orangtua. “Pasti ibu mengantar sayur ini ke rumah Mba Hasna juga, ‘kan?” tanyaku lagi. “He em, sepertinya,” jawab suamiku. Aku hanya bisa menggeleng pelan setelah mendengar jawabannya. Sedangkan Mas Handi kembali menatap ponselnya. “Gimana ya reaksi Mba Hasna waktu dianterin sayur sama ibuk, apa masih kaya biasanya?” gumamku sekaligus bertanya pada suami. “Entahlah, tidak usah ikut campur, Ras. Nanti salah-salah kamu bertengkar lagi sama Mbaku itu,” tegur mas Handi sambil menatapku t

  • Menantu Cerdik untuk Ipar-Ipar Licik   Bisik-Bisik Tetangga

    “Belanja apa tadi bu Sari, Mang?” tanya seorang wanita bertubuh tambun yang tinggal tepat di depan rumah ibu mertuaku. Aku yang hendak menghampiri gerobak mang Dadang mengurungkan niat dan memilih bersembunyi. “Oh, biasa. Sayur kol sama buncis bu Mita,” jawab mang Dadang, satu-satunya penjual sayur keliling di kampungku. Bu Mita kulihat memiringkan bibirnya, “itu aja? Apa enggak bosen dia makan sayur itu mulu,” “Bosenlah pasti, tapi gimana ya, enggak ada duit kali,” sambung ibu-ibu berlipstik merah di samping bu Mita. Lipstiknya bahkan lebih merah dari tomat yang sedang dia timang. Aku mendengarkan saja gibahan mereka pada ibu mertuaku dari balik mobil yang terparkir, entah mobil siapa. Beruntung mang Dadang berhenti tepat di samping mobil ini. “Haha, dunia memang cepat sekali berputarnya ya jeng Nanik. Dulu keluarga bu Sari itu termasuk berada, sekarang udah ngalahin pak Sapto yang buruh tani aja miskinnya,” cibir bu Mita seenak jidatnya. Mereka pun terdengar cekikikan. “Eman

DMCA.com Protection Status