“Belanja apa tadi bu Sari, Mang?” tanya seorang wanita bertubuh tambun yang tinggal tepat di depan rumah ibu mertuaku.
Aku yang hendak menghampiri gerobak mang Dadang mengurungkan niat dan memilih bersembunyi.
“Oh, biasa. Sayur kol sama buncis bu Mita,” jawab mang Dadang, satu-satunya penjual sayur keliling di kampungku.
Bu Mita kulihat memiringkan bibirnya, “itu aja? Apa enggak bosen dia makan sayur itu mulu,”
“Bosenlah pasti, tapi gimana ya, enggak ada duit kali,” sambung ibu-ibu berlipstik merah di samping bu Mita. Lipstiknya bahkan lebih merah dari tomat yang sedang dia timang.
Aku mendengarkan saja gibahan mereka pada ibu mertuaku dari balik mobil yang terparkir, entah mobil siapa. Beruntung mang Dadang berhenti tepat di samping mobil ini.
“Haha, dunia memang cepat sekali berputarnya ya jeng Nanik. Dulu keluarga bu Sari itu termasuk berada, sekarang udah ngalahin pak Sapto yang buruh tani aja miskinnya,” cibir bu Mita seenak jidatnya.
Mereka pun terdengar cekikikan.
“Emang keadaan memprihatinkan mertuaku sekarang karena keinginan beliau sendiri? Ringan banget mulut ibu-ibu ini kalau gosip,” gerutuku dengan suara lirih sambil meremas kantong belanja yang kubawa dari rumah.
“Bener Bumit, dulu aja sombongnya selangit. Beli sayur di tempat mang Dadang aja enggak pernah ya, Mang?” timpal jeng Nanik sambil bibirnya dimiring-miringkan.
Tak hanya mendengarkan, aku juga sesekali mengintip ekspresi mereka ketika melontarkan kalimat-kalimat yang memekakkan telinga itu.
“Ah, beliau itu beli sayur di pasar buk ibuk. Belinya sekalian banyak buat seminggu. Lagian bu Sari itu ‘kan ngasih makan orang yang kerja di sawahnya, jadi harus masak subuh-subuh. Kalau nunggu saya lewat nanti keburu kelaperan yang kerja,” sahut mang Dadang.
Aku tersenyum mendengar mang Dadang membela mertuaku.
“Halah, mang Dadang ini terlalu baik. Bilang aja apa yang sebenarnya ada di hati mang Dadang,” ujar Bu Mita seraya menyenggol lengan mang Dadang.
Mata yang dihiasi bulu mata palsu itu berkedip-kedip seolah memancing mang Dadang untuk turut serta menceritakan mertuaku.
“Lah, emang dari hati saya kok jawaban tadi,” protes mang Dadang.
“Lagian buk ibuk, apa untungnya sih ngomongi bu Sari? Mending ibu-ibu ngomongi dagangan saya aja ni, apa yang kurang biar besok saya bawain,” ujar mang Dadang. Pria baik hati itu memukul-mukulkan handuk yang tadi berada di lehernya itu ke arah dagangannya.
“Byuh, mang Dadang ini enggak asyik,” balas jeng Nanik sambil bersungut-sungut.
“Iya nih, mang Dadang enggak bisa diajak bertukar informasi,” timpal bu Mita.
Dua wanita tersebut kembali memilih belanjaan dan aku masih betah bersembunyi.
“Kalau dipikir-pikir, kayaknya keadaan bu Sari sekarang ini balasan dari Tuhan deh,” ujar bu Nanik kembali melanjutkan topik yang sama, mertuaku.
“Emang kenapa, Jeng?” Tanpa menoleh, bu Mita bertanya sambil memilih sayuran yang enggak selesai-selesai dari awal mereka mencegat mang Dadang.
“Kok pake tanya sih Bumit? Ya jelaslah karena bu Sari itu dulunya sombong! Ngumpul sama kita sore-sore aja segen, betahnya di dalam rumah mulu. Kalau lagi arisan datangnya paling akhir, pulangnya paling awal,” jelas bu Nanik panjang lebar.
Aku mengelus dada dan beristigfar banyak-banyak mendengar ucapan mereka.
“Iya juga ya Jeng, karma sih menurut aku.” Bu Mita yang masih asyik memilih sayur menanggapi dengan antusias.
“Nikahan anaknya aja enggak mau tuh pesen kue-kuenya sama aku, malah mesen di tempat lain. Padahal ‘kan tetangga harusnya ngerti-ngerti dikitlah,” tambah bu Nanik.
Oh, nampaknya dendam masa lalu. Ya wajar mertuaku pesan kue di tempat lain, kue buatan bu Nanik saja susah payah lewat di tenggorokanku. Tapi entah kenapa ada saja yang membeli dagangannya. Dan ajaibnya tidak ada yang berani memberikan masukan terhadap rasa kue bu Nanik yang terlampau enak.
“Harusnya bantu-bantu tetangga ya, Jeng. Memang itu bu Sari enggak beres,” ucap bu Mita menimpali.
“Ya itu, sekarang kena karmanya dia. Hidupnya susah, gara-gara jahat sama tetangga. Beli lauk aja enggak bisa, sayur mulu makanannya. Makanya makin kurus saja dia,” ujar bu Nanik lagi sambil tertawa yang diamini oleh bu Mira.
Mang Dadang tidak bisa berkomentar dengan perkataan kedua pelanggannya itu. Ia hanya bisa menggelengkan kepala sambil mengelus dada.
Bruummm
“Astagfirullah!” pekikku kaget ketika mobil yang menjadi tempatku berlindung tiba-tiba saja menyala.
Haduh bagaimana ini, bisa ketahuan kalau lagi nguping.
“Siapa itu?” tanya bu Nanik yang kuyakini mendengar pekikanku tadi.
Tanpa menunggu lama aku segera menampakkan diri.
Bu Nanik dan Bu Mita terkejut melihat keberadaanku.
“La .... Laras, ngapain kamu di situ?” tanya bu Nanik sambil menatapku dengan wajah kagetnya.
“Enggak ngapa-ngapain, kebetulan lewat aja pas mau belanja ke tempat mang Dadang,” jawabku disertai langkah kaki mantap menghampiri gerobak sayur mang Dadang.
“Kamu nguping, Ras?” tanya bu Mita menyelidik. Wajah sinisnya itu selalu hadir jika berhadapan denganku, suami, dan mertua. Entah ada dendam apa dia sama keluarga mertuaku.
“Ngapain nguping? Emang ibuk-ibuk sekalian ini lagi membicarakan sesuatu yang penting?” tanyaku sambil menatap kedua wanita rumpi itu.
Mereka saling tatap, seolah sedang menyampaikan sesuatu lewat siratan mata itu.
“Atau ibu-ibu ini lagi ngomongin sesuatu yang sifatnya rahasia?”
“Oh atau bisa juga ibu-ibu lagi ngomongi saya, ‘kan? Makanya takut saya nguping,” sindirku sembari memilih sayuran segar.
“Dih siapa yang takut, sama bocah kemaren sore model begini saja masa takut,” sahut bu Mita. Dagunya menantang ke arahku.
Senyumku mengembang, “berarti bener ya lagi ngomongin aku?” tanyaku memancing ibu-ibu yang mulai gelisah itu.
Karena tidak mau menghabiskan tenaga untuk adu mulut dengan bu Nanik, dan bu Mira yang menjengkelkan itu, aku segera memalingkan wajah ke tumpukan sayur di atas gerobak mang Dadang lagi.
“Ada ayam kampung, Mang?”
“Ada neng Laras, tapi cuma ada sekilo. Eneng mau?” Mang Dadang menyodorkan bungkusan berisi ayam kampung.
“Mau Mang, sama ayam potong sekilo juga kalau gitu. Terus beli daging ada Mang?” tanyaku lagi.
“Oh ada Neng. Mau berapa kilo?”
“Setengah kilo aja, buat makan malam. Ini mertua saya nyuruh beli ayam sama daging, bosen katanya makan sayur sop mulu. Maklum mang, mertua saya sibuk nabung buat umroh,” ujarku sambil melirik ke arah bu Nanik dan Mita.
Padahal tidak ada yang bertanya, hehe. Tapi aku jelaskan saja, biar mereka itu tidak memandang rendah ibuku lagi. Ibu mertuaku yang baik hati itu supaya tidak jadi bulan-bulanan gosip tetangga lagi.
“Masya Allah, rupanya bu Sari nabung buat umroh toh. Pantesan hemat banget. Saya doain semoga tabungannya cepat kekumpul ya Neng,”
“Iya Mang, udah ditegur jangan hemat-hemat. Makan yang enak juga sesekali, biar tubuh tua beliau bisa lebih sehat. Tapi tidak mau beliau, maunya nabung buat umroh. Ya sudah kita sebagai anak cuma bisa dukung saja,”
“Iya Neng, yang penting orangtua seneng aja,”
Aku mengangguk sambil tersenyum, “insya Allah ibu bapak seneng Mang. Berapa semuanya?”
Mang Dadang seperti biasa memejamkan mata saat menghitung jumlah harga belanjaan.
“RP. 185.000, Neng. Cash apa pakai kartu nih,”
“Cash Mang, gaya bener Mamang ini pake kartu segala,”
“Ya biar enggak kalah keren sama alfamaruk, hehe.” Mang Dadang menerima uangku kemudian memberi kembalian. “Tadi kenapa bu Sari enggak sekalian aja belanja ini?”
“Ibu lupa bawa uang, pas udah di rumah baru inget. Jadi saya yang disuruh, Mang,”
“Oh gitu, ini belanjaanya,” ucap mang Dadang sembari menyodorkan plastik kepadaku. “Makasih Neng, besok belanja di sini lagi, ya?”
“Insya Allah, Mang,”
Aku bergegas meninggalkan gerobak mang Dadang setelah dengan terpaksa berpamitan kepada dua wanita yang menatapku dengan sinis. Mereka tidak dapat berkata-kata setelah ditampar oleh fakta bahwa kami tidak “semiskin” itu.
“Sayur dari ibu ya, Mas?” tanyaku pada suami sambil menunjuk semangkuk sayur sop di atas meja makan kecil kami. “Iya, Dek. Tadi ibu yang ngantar sendiri,” jawab suamiku sambil mengangguk. “Coba kasih tau ibumu itu Mas, jangan sering-sering antar sayur sop. Cukup bikin untuk beliau berdua sama bapak aja, Mas,” ujarku. Mas Handi menghela napas, “ya kamu tau sendirilah gimana ibu, Dek. Enggak enak mas mau larang-larang,” jawab Mas Handi pelan. Kuikuti suamiku menghela napas, memang susah memberitahu orangtua. “Pasti ibu mengantar sayur ini ke rumah Mba Hasna juga, ‘kan?” tanyaku lagi. “He em, sepertinya,” jawab suamiku. Aku hanya bisa menggeleng pelan setelah mendengar jawabannya. Sedangkan Mas Handi kembali menatap ponselnya. “Gimana ya reaksi Mba Hasna waktu dianterin sayur sama ibuk, apa masih kaya biasanya?” gumamku sekaligus bertanya pada suami. “Entahlah, tidak usah ikut campur, Ras. Nanti salah-salah kamu bertengkar lagi sama Mbaku itu,” tegur mas Handi sambil menatapku t
Mataku melotot memandang tas belanja yang kini mendarat di pahaku. Tidak sopannya orang tua ini. Susah payah aku mengontrol emosi, dan sepertinya saat ini aku harus lebih bersusah payah lagi. Ya Allah, berilah hamba Mu ini kesabaran seluas samudera. Jangan setipis tisu. Dengan terpaksa pisau di tangan kuletakkan dengan kasar. “Aku bisa masak daging kok, Mba,” ujarku sambil meletakkan tas belanjanya di atas lantai. “Aku aja, masakanmu tidak cocok di lidahku,” balasnya sambil menjulurkan lidah. “Tidak cocok apanya? Kemarin aku masak telur balado di rumah ibu aja, hampir mba angkut semua,” ucapku sambil tersenyum miring mengingat kerakusan iparku ini. Hampir saja mertuaku tidak kebagian. Iparku yang sukses menjadi ASN ini mengibaskan tangannya, “a-ah itu karena di rumahku lagi tidak ada lauk saja. Aslinya aku sih ogah,” bantahnya. Aku tau ia berbohong dan hanya gengsi saja. Memang tidak mudah merendah untuk orang setinggi kakak iparku itu. “Aku bawa dagingnya,” ucap mba Hasna s
Beberapa hari berikutnya, kujalani dengan hati senang dan riang gembira. Belum lagi uang belanja untuk 3 hari yang kugunakan membeli perdagingan sekaligus drama kemarin ternyata diganti oleh mas Handi. Meski tidak biasanya ia mau mengeluarkan uang lebih. Terlebih lagi beberapa hari ini ipar-iparku tidak memunculkan batang hidungnya di rumahku atau rumah ibu. Tapi aku lupa, kebahagiaan tidak ada yang abadi. Pasti ada saja duri-duri menanti. Seperti pada pagi hari yang cerah ini. Sehabis aku mengantar putra putriku sekolah, kubelokkan motor menuju rumah mertua. “Assala ... “ ucapan salamku terpotong ketika melihat sandal yang sangat amat familiar di mataku. Itu adalah sandal milik kaka iparku, Risma. Tanpa mengetuk pintu, aku masuk ke dalam rumah mertua dengan cara mengendap-ngendap. Sudah menjadi kebiasaanku jika dua orang iparku itu berkunjung ke rumah orangtuanya, aku pasti masuk rumah mereka dengan cara seperti ini. Untuk apa? Tentu saja untuk mencuri dengar apa yang merek
“Udah ah Mba. Bikin nambah banyak dosaku aja kalau ngomong sama Mba. Bukan ngomong ini sih, jatohnya malah adu mulut,” ujarku hendak berlalu meninggalkan perdebatan yang temanya tidak pernah berubah. Lelah jiwa ragaku kalau begini terus. “Eh enggak sopan kamu ya! Main tinggal-tinggal aja,” pekik mba Risma di belakangku. Kuhiraukan saja dia dan kembali masuk ke dalam rumah. Terserah iparku kalau mau mengumpat sepuas hati, aku tidak peduli. Lagi pula tidak terdengar sampai ke dalam rumah. “Assalamualaikum, Ibu,” ucapku sambil melangkah ke dapur. “Waalaikumussalam, ibu di dapur, Laras!” balas ibu setengah berteriak. Aku melangkah perlahan mendekati beliau yang terduduk lesu. Ia mengusap air matanya secara sembunyi-sembunyi. Aku pun sengaja pura-pura tidak memerhatikan beliau dan memilih untuk membuka wajan. Biasanya aku memang seperti ini, memeriksa apakah ibu masak atau tidak. Jika tidak ada makanan, aku akan mengambil dari rumah lalu mengajak ibu makan bersama. “Wah, ibu masa
"Tumben pulang malam, Mas. Biasanya sebelum magrib sudah di rumah," ujarku sambil menyiapkan makan malam. Mas Handi terlihat baru saja keluar dari kamar mandi. Iya nampak terkejut dengan pertanyaanku. Aku memperhatikannya dari sudut mataku. Tangannya yang sedari tadi sibuk mengeringkan rambut dengan anduk tiba-tiba terhenti.Mas Handi menghela napas. Lalu ia mendekatiku perlahan.Hatiku mulai tidak karuan membayangkan hal yang bukan-bukan. Awalnya aku bertanya iseng saja, tapi melihat reaksi mas Handi yang aneh membuatku takut. "Kalau aku beritahu kamu pasti marah," ucapnya sambil memasang wajah bersalah. Keningku mengkerut. Kenapa mas Handi terlihat aneh? "Kenapa harus marah? Memangnya apa yang kamu lakukan?" tanyaku sembari menatapnya tajam. Mas Handi tertunduk lesu. "Apa!" seruku mendesak agar ia menjawab perkataanku. "Tadi siang, mba Hasna dan mba Risma mengajakku makan bersama di restoran yang ada di samping kantor polisi itu. Mba Hasna hanya mengajakku saja, makanya aku
{Jadi kapan kakak bisa bertemu calon pembeli?}Aku menimbang-nimbang sejenak kapan waktu yang tepat aku bisa pergi bertemu dengan calon pembeli itu. Mengingat tanah warisan tersebut berada di kampungku yang jaraknya harus ditempuh dalam waktu 3 jam.Selain jauh, aku juga harus meminta izin kepada mas Handi untuk pergi ke kampungku.{Kakak mau secepatnya, tapi bagaimana caranya minta izin sama mas Handi?} balasku{Tinggal izin aja apa susahnya? Mas Handi tidak pernah melarang, ‘kan?}{Mas Handi memang tidak melarang. Tapi kaka tidak memberitahunya kalau dapat warisan}Pesanku langsung dibaca Angga. Ia terlihat lama mengetik pesan balasan{Kenapa tidak diberi tahu? Mau kakak makan itu semua duitnya?}Dasar Angga, tidak tau duduk perkara main tuduh aja.{Hush, sembarangan. Kakak tidak akan memberitahu mas Handi. Entah kenapa hati kaka menginginkan untuk menyimpan ini semua darinya. Jaga-jaga aja, biar
Sesampainya di kampungku yang bernama Bangun Rejo. Aku segera mencari-cari adikku yang katanya sudah sampai di terminal.Ketika hendak menghubunginya, tiba- tiba punggungku ditepuk oleh seseorang.Aku segera berbalik dan mendapati wajah Angga sedang tersenyum kepadaku.“Apa kabar kak?” ucap Angga hendak meraih tanganku.Segera kuulurkan tangan dan menerima salam Angga.“Alhamdulillah, seperti yang kamu lihat,” jawabku pelan. Kepalaku terasa pusing. Perutku seperti di obok-obok.“Om, motor om Angga mana? Ayo kita pulang. Hanum mau berbaring. Selama di bis tadi Hanum tidak sempat senderan, soalnya ibu muntah sepanjang jalan. Hanum jadi sibuk mijitin punggung ibu,” ujar anakku.Angga menatapku lalu tersenyum mengejek.“Gimana mau jadi orang kaya kalau kakak masih mabuk kendaraan,” cibirnya lalu menarik kedua ponakannya untuk melangkah menuju parkiran motor.“Kalau kakak
“Setelah ini, uangnya mau dibuat apa kak?” Kami sedang duduk di ruang tamu bibik. Baru saja terjadi transaksi jual beli tanah warisan ayahku. Mas Damar, nama pembeli tanah tersebut juga telah mentransfer mahar tanah secara penuh. 90 juta rupiah telah aman berada di dalam rekeningku yang lagi-lagi mas Handi tidak tahu akan hal ini. Rekening ini kubuat untuk menabung agar tidak diketahui mas Handi jika aku memiliki tabungan. Bila mas Handi tahu, maka aku tidak bisa lagi meminta uang padanya dengan bebas untuk kebutuhan sehari-hari dan anak-anak. Bahkan bisa-bisa uang belanja dikurangi karena dianggap nominal yang biasanya terlalu banyak hingga aku masih sempat menabung. Padahal uang tabungan itu lebih banyak dihasilkan dari komisiku menjadi dropshipper di toko online. Dunia per-dropshiper-an ini telah kutekuni selama 2 tahun lebih. Hasilnya cukup lumayan. Setiap bulan aku bisa menghasilkan 3-5 juta rupiah bahkan lebih, hanya dengan rajin memposting produk milik pabrik tertentu. S
“Setelah ini, uangnya mau dibuat apa kak?” Kami sedang duduk di ruang tamu bibik. Baru saja terjadi transaksi jual beli tanah warisan ayahku. Mas Damar, nama pembeli tanah tersebut juga telah mentransfer mahar tanah secara penuh. 90 juta rupiah telah aman berada di dalam rekeningku yang lagi-lagi mas Handi tidak tahu akan hal ini. Rekening ini kubuat untuk menabung agar tidak diketahui mas Handi jika aku memiliki tabungan. Bila mas Handi tahu, maka aku tidak bisa lagi meminta uang padanya dengan bebas untuk kebutuhan sehari-hari dan anak-anak. Bahkan bisa-bisa uang belanja dikurangi karena dianggap nominal yang biasanya terlalu banyak hingga aku masih sempat menabung. Padahal uang tabungan itu lebih banyak dihasilkan dari komisiku menjadi dropshipper di toko online. Dunia per-dropshiper-an ini telah kutekuni selama 2 tahun lebih. Hasilnya cukup lumayan. Setiap bulan aku bisa menghasilkan 3-5 juta rupiah bahkan lebih, hanya dengan rajin memposting produk milik pabrik tertentu. S
Sesampainya di kampungku yang bernama Bangun Rejo. Aku segera mencari-cari adikku yang katanya sudah sampai di terminal.Ketika hendak menghubunginya, tiba- tiba punggungku ditepuk oleh seseorang.Aku segera berbalik dan mendapati wajah Angga sedang tersenyum kepadaku.“Apa kabar kak?” ucap Angga hendak meraih tanganku.Segera kuulurkan tangan dan menerima salam Angga.“Alhamdulillah, seperti yang kamu lihat,” jawabku pelan. Kepalaku terasa pusing. Perutku seperti di obok-obok.“Om, motor om Angga mana? Ayo kita pulang. Hanum mau berbaring. Selama di bis tadi Hanum tidak sempat senderan, soalnya ibu muntah sepanjang jalan. Hanum jadi sibuk mijitin punggung ibu,” ujar anakku.Angga menatapku lalu tersenyum mengejek.“Gimana mau jadi orang kaya kalau kakak masih mabuk kendaraan,” cibirnya lalu menarik kedua ponakannya untuk melangkah menuju parkiran motor.“Kalau kakak
{Jadi kapan kakak bisa bertemu calon pembeli?}Aku menimbang-nimbang sejenak kapan waktu yang tepat aku bisa pergi bertemu dengan calon pembeli itu. Mengingat tanah warisan tersebut berada di kampungku yang jaraknya harus ditempuh dalam waktu 3 jam.Selain jauh, aku juga harus meminta izin kepada mas Handi untuk pergi ke kampungku.{Kakak mau secepatnya, tapi bagaimana caranya minta izin sama mas Handi?} balasku{Tinggal izin aja apa susahnya? Mas Handi tidak pernah melarang, ‘kan?}{Mas Handi memang tidak melarang. Tapi kaka tidak memberitahunya kalau dapat warisan}Pesanku langsung dibaca Angga. Ia terlihat lama mengetik pesan balasan{Kenapa tidak diberi tahu? Mau kakak makan itu semua duitnya?}Dasar Angga, tidak tau duduk perkara main tuduh aja.{Hush, sembarangan. Kakak tidak akan memberitahu mas Handi. Entah kenapa hati kaka menginginkan untuk menyimpan ini semua darinya. Jaga-jaga aja, biar
"Tumben pulang malam, Mas. Biasanya sebelum magrib sudah di rumah," ujarku sambil menyiapkan makan malam. Mas Handi terlihat baru saja keluar dari kamar mandi. Iya nampak terkejut dengan pertanyaanku. Aku memperhatikannya dari sudut mataku. Tangannya yang sedari tadi sibuk mengeringkan rambut dengan anduk tiba-tiba terhenti.Mas Handi menghela napas. Lalu ia mendekatiku perlahan.Hatiku mulai tidak karuan membayangkan hal yang bukan-bukan. Awalnya aku bertanya iseng saja, tapi melihat reaksi mas Handi yang aneh membuatku takut. "Kalau aku beritahu kamu pasti marah," ucapnya sambil memasang wajah bersalah. Keningku mengkerut. Kenapa mas Handi terlihat aneh? "Kenapa harus marah? Memangnya apa yang kamu lakukan?" tanyaku sembari menatapnya tajam. Mas Handi tertunduk lesu. "Apa!" seruku mendesak agar ia menjawab perkataanku. "Tadi siang, mba Hasna dan mba Risma mengajakku makan bersama di restoran yang ada di samping kantor polisi itu. Mba Hasna hanya mengajakku saja, makanya aku
“Udah ah Mba. Bikin nambah banyak dosaku aja kalau ngomong sama Mba. Bukan ngomong ini sih, jatohnya malah adu mulut,” ujarku hendak berlalu meninggalkan perdebatan yang temanya tidak pernah berubah. Lelah jiwa ragaku kalau begini terus. “Eh enggak sopan kamu ya! Main tinggal-tinggal aja,” pekik mba Risma di belakangku. Kuhiraukan saja dia dan kembali masuk ke dalam rumah. Terserah iparku kalau mau mengumpat sepuas hati, aku tidak peduli. Lagi pula tidak terdengar sampai ke dalam rumah. “Assalamualaikum, Ibu,” ucapku sambil melangkah ke dapur. “Waalaikumussalam, ibu di dapur, Laras!” balas ibu setengah berteriak. Aku melangkah perlahan mendekati beliau yang terduduk lesu. Ia mengusap air matanya secara sembunyi-sembunyi. Aku pun sengaja pura-pura tidak memerhatikan beliau dan memilih untuk membuka wajan. Biasanya aku memang seperti ini, memeriksa apakah ibu masak atau tidak. Jika tidak ada makanan, aku akan mengambil dari rumah lalu mengajak ibu makan bersama. “Wah, ibu masa
Beberapa hari berikutnya, kujalani dengan hati senang dan riang gembira. Belum lagi uang belanja untuk 3 hari yang kugunakan membeli perdagingan sekaligus drama kemarin ternyata diganti oleh mas Handi. Meski tidak biasanya ia mau mengeluarkan uang lebih. Terlebih lagi beberapa hari ini ipar-iparku tidak memunculkan batang hidungnya di rumahku atau rumah ibu. Tapi aku lupa, kebahagiaan tidak ada yang abadi. Pasti ada saja duri-duri menanti. Seperti pada pagi hari yang cerah ini. Sehabis aku mengantar putra putriku sekolah, kubelokkan motor menuju rumah mertua. “Assala ... “ ucapan salamku terpotong ketika melihat sandal yang sangat amat familiar di mataku. Itu adalah sandal milik kaka iparku, Risma. Tanpa mengetuk pintu, aku masuk ke dalam rumah mertua dengan cara mengendap-ngendap. Sudah menjadi kebiasaanku jika dua orang iparku itu berkunjung ke rumah orangtuanya, aku pasti masuk rumah mereka dengan cara seperti ini. Untuk apa? Tentu saja untuk mencuri dengar apa yang merek
Mataku melotot memandang tas belanja yang kini mendarat di pahaku. Tidak sopannya orang tua ini. Susah payah aku mengontrol emosi, dan sepertinya saat ini aku harus lebih bersusah payah lagi. Ya Allah, berilah hamba Mu ini kesabaran seluas samudera. Jangan setipis tisu. Dengan terpaksa pisau di tangan kuletakkan dengan kasar. “Aku bisa masak daging kok, Mba,” ujarku sambil meletakkan tas belanjanya di atas lantai. “Aku aja, masakanmu tidak cocok di lidahku,” balasnya sambil menjulurkan lidah. “Tidak cocok apanya? Kemarin aku masak telur balado di rumah ibu aja, hampir mba angkut semua,” ucapku sambil tersenyum miring mengingat kerakusan iparku ini. Hampir saja mertuaku tidak kebagian. Iparku yang sukses menjadi ASN ini mengibaskan tangannya, “a-ah itu karena di rumahku lagi tidak ada lauk saja. Aslinya aku sih ogah,” bantahnya. Aku tau ia berbohong dan hanya gengsi saja. Memang tidak mudah merendah untuk orang setinggi kakak iparku itu. “Aku bawa dagingnya,” ucap mba Hasna s
“Sayur dari ibu ya, Mas?” tanyaku pada suami sambil menunjuk semangkuk sayur sop di atas meja makan kecil kami. “Iya, Dek. Tadi ibu yang ngantar sendiri,” jawab suamiku sambil mengangguk. “Coba kasih tau ibumu itu Mas, jangan sering-sering antar sayur sop. Cukup bikin untuk beliau berdua sama bapak aja, Mas,” ujarku. Mas Handi menghela napas, “ya kamu tau sendirilah gimana ibu, Dek. Enggak enak mas mau larang-larang,” jawab Mas Handi pelan. Kuikuti suamiku menghela napas, memang susah memberitahu orangtua. “Pasti ibu mengantar sayur ini ke rumah Mba Hasna juga, ‘kan?” tanyaku lagi. “He em, sepertinya,” jawab suamiku. Aku hanya bisa menggeleng pelan setelah mendengar jawabannya. Sedangkan Mas Handi kembali menatap ponselnya. “Gimana ya reaksi Mba Hasna waktu dianterin sayur sama ibuk, apa masih kaya biasanya?” gumamku sekaligus bertanya pada suami. “Entahlah, tidak usah ikut campur, Ras. Nanti salah-salah kamu bertengkar lagi sama Mbaku itu,” tegur mas Handi sambil menatapku t
“Belanja apa tadi bu Sari, Mang?” tanya seorang wanita bertubuh tambun yang tinggal tepat di depan rumah ibu mertuaku. Aku yang hendak menghampiri gerobak mang Dadang mengurungkan niat dan memilih bersembunyi. “Oh, biasa. Sayur kol sama buncis bu Mita,” jawab mang Dadang, satu-satunya penjual sayur keliling di kampungku. Bu Mita kulihat memiringkan bibirnya, “itu aja? Apa enggak bosen dia makan sayur itu mulu,” “Bosenlah pasti, tapi gimana ya, enggak ada duit kali,” sambung ibu-ibu berlipstik merah di samping bu Mita. Lipstiknya bahkan lebih merah dari tomat yang sedang dia timang. Aku mendengarkan saja gibahan mereka pada ibu mertuaku dari balik mobil yang terparkir, entah mobil siapa. Beruntung mang Dadang berhenti tepat di samping mobil ini. “Haha, dunia memang cepat sekali berputarnya ya jeng Nanik. Dulu keluarga bu Sari itu termasuk berada, sekarang udah ngalahin pak Sapto yang buruh tani aja miskinnya,” cibir bu Mita seenak jidatnya. Mereka pun terdengar cekikikan. “Eman