Mataku melotot memandang tas belanja yang kini mendarat di pahaku. Tidak sopannya orang tua ini.
Susah payah aku mengontrol emosi, dan sepertinya saat ini aku harus lebih bersusah payah lagi.
Ya Allah, berilah hamba Mu ini kesabaran seluas samudera. Jangan setipis tisu.
Dengan terpaksa pisau di tangan kuletakkan dengan kasar.
“Aku bisa masak daging kok, Mba,” ujarku sambil meletakkan tas belanjanya di atas lantai.
“Aku aja, masakanmu tidak cocok di lidahku,” balasnya sambil menjulurkan lidah.
“Tidak cocok apanya? Kemarin aku masak telur balado di rumah ibu aja, hampir mba angkut semua,” ucapku sambil tersenyum miring mengingat kerakusan iparku ini. Hampir saja mertuaku tidak kebagian.
Iparku yang sukses menjadi ASN ini mengibaskan tangannya, “a-ah itu karena di rumahku lagi tidak ada lauk saja. Aslinya aku sih ogah,” bantahnya.
Aku tau ia berbohong dan hanya gengsi saja. Memang tidak mudah merendah untuk orang setinggi kakak iparku itu.
“Aku bawa dagingnya,” ucap mba Hasna sambil berlari hendak ke luar pintu.
Belum sempat aku menyadari bahwa mba Hasna sudah mengambil daging yang tersimpan di dalam kulkas imutku, ia telah lebih dulu melesat pergi.
“Loh, mba, itu dagingku!” seruku sambil mengejar wanita bongsor yang hampir mencapai sepeda motornya.
Mba Hasna menghentikan langkah lalu berbalik, “ribut amat kamu, Laras. Biar aku aja yang masak kenapa sih! Ni daging juga punya ibuk!” sentak mba Hasna sambil mendorong tubuhku pelan.
“Tapi, tapi itu bukan... “ Ucapanku terhenti kala menyadari bahwa ibu-ibu rempong mulai mendekati halaman kontrakanku.
“Apa? Enak saja kamu yang masak, bisa habis tidak tersisa buat yang lainnya. Kamu sama anak-anakmu ‘kan rakus,” ucapnya lagi yang sudah duduk di atas motor.
Para tetangga berbisik-bisik, entah apa yang ada di mulut dan otak mereka.
Ingin sekali aku berteriak bahwa daging tersebut milikku.
Tapi aku tidak mau bu Mita dan bu Nanik mengetahui bahwa apa yang aku ucapkan pagi tadi, hanyalah bualan.
Ya, daging sapi dan ayam yang kubeli atas nama ibu tadi pagi, dibeli menggunakan uangku sendiri. Uang sebesar 185.000 rupiah yang biasanya kuhabiskan untuk makan keluargaku selama 3 hari.
Dan ibu sama sekali tidak menyuruhku untuk membelinya.
Tentang umroh juga, ibu tidak mempunya tabungan untuk umroh. Semuanya aku karang, hanya untuk menutup mulut mereka berdua.
Saat ini, dua wanita itu pun tengah berada di halaman rumahku menyaksikan keributan yang memalukan ini.
“Minggir, Laras!” pekik mba Hasna sambil menyalakan motor.
Aku menyingkir untuk memberikan jalan kepada mba Hasna yang sedang bahagia karena hari ini akan melakukan perbaikan gizi.
Setelah mba Hasna pergi dengan motornya, aku buru-buru masuk ke dalam rumah sebelum tetangga yang haus akan informasi menanyaiku macam-macam.
Di balik pintu aku memejamkan mata dan mengatur nafas, sekaligus meredakan emosi.
Meski mulutku berucap istigfar berjuta kali, berusaha ikhlas ratusan kali. Tapi tetap saja hatiku sakit.
Kenapa hatiku sakit?
Mungkin karena hakku diambil orang.
Atau karena cara mengambilnya yang salah.
Mungkin aku akan memberikannya secara sukarela jika mba Hasna berbicara baik-baik.
Apa mba Hasna tadi jangan-jangan sudah bicara baik-baik? Hanya aku saja yang pada dasarnya tidak mau menyerahkan daging itu.
Ah kepalaku pusing, dadaku seperti mau meledak.
Kulirik jam dinding yang sudah berkali-kali diganti baterainya. Barang antik itu telah menunjukkan pukul sebelas, waktunya aku menjemput anak-anak sekolah.
***
“Enak rendangnya, Dek,” ujar suamiku sambil menepuk perutnya yang sedikit membuncit.
Aku tersentak mendengarnya dan segera berlari ke dapur.
Tudung saji yang terletak di atas meja makan kecil kami segera kubuka.
Mataku melotot melihat tidak ada lagi daging rendang yang tersisa, padahal tadi masih ada lima potong.
“Kenapa buru-buru gitu sih? Mau nangkep tikus di dapur?” tanya suamiku dengan wajah penasaran ikut menyusul ke dapur.
“Ini, kok habis?” tanyaku balik sambil menunjuk piring kosong dengan sedikit bumbu rendang di atasnya.
“’Kan aku makan,” jawab suamiku santai.
Ia terlihat mengambil tusuk gigi dan memainkannya di dalam mulut.
“Aku belum makan, Mas. Hanum dan Haidar juga!” seruku yang kemudian terduduk lemas di lantai.
Meja makan kami tidak dilengkapi dengan kursi, hanya meja bundar pendek saja. Jadi jika sedang makan kami tetap duduk di lantai.
“Ya aku mana tau. Lagian tinggal sedikit, kupikir kalian sudah makan,” balasnya santai. “Emang dari siapa itu daging? Tumben-tumbenan ada daging,”
“Dari mba Hasna,” ujarku sambil membersihkan piring kotor bekas makan suamiku.
“Wah, ada angin apa dia mau berbagi?” tanya mas Handi heran.
Ia membuang tusuk gigi yang ujungnya sudah tidak lancip lagi ke tong sampah.
Sebelum menjawab, kuhela napas kasar.
“Dagingnya dari aku,”
“Hah? Terus kenapa bisa mba Hasna yang masak? Kamu ‘kan bisa masak sendiri?”
“Mbamu itu yang mengambil secara paksa dagingnya dari dalam kulkas. Untung saja dia tidak mengambil ayam yang akan kujadikan opor besok,” jawabku lesu.
Kemudian kuceritakanlah awal mulai terbelinya bahan makanan mahal itu.
Setelah mendengar cerita secara keseluruhan, samiku terdiam. Ia memandangku dengan kasihan.
Aku pura-pura tidak tau dan tetap melap meja makan.
Tanpa bersuara, suamiku tiba-tiba menyambar kunci motornya dan langsung pergi entah kemana.
Belum sempat aku mengejar ia telah hilang dari pandanganku.
Masa mas Handi hendak melabrak kakaknya karena sudah mengambil dagingku?
Sepertinya tidak mungkin. Dia tidak berani dengan wanita-wanita itu.
Sambil menunggu Hanum dan Haidar belajar, aku menyelesaikan rekapan barang pesanan hari ini. Setelah anak-anak belajar, aku akan mengajak mereka mencari makan di luar.
Kira-kira lima belas menit setelah kepergiannya, suara mesin motor mas Handi terdengar memasuki halaman kontrakan.
Aku segera mematikan ponsel dan menyambut kedatangan mas Handi, sekaligus menanyakan dari mana ia pergi.
Kala mas Handi memasuki rumah, kulihat di tangannya tergantung sebuah bungkusan bening.
Dari luar aku bisa melihat dengan jelas bahwa isinya adalah sate.
“Sate?” Entah pertanyaan atau seruan, aku segera berlari mendekati suamiku.
Mas Handi tersenyum lalu menyodorkan kepadaku.
Dengan mata berbinar aku menerimanya.
“Kenapa beli sate, Mas? ‘Kan Mas sudah makan,” tanyaku sambil menyiapkan sate di atas piring.
“Buat kamu sama anak-anak,” jawabnya sambil memiringkan ponsel. Pasti dia akan bermain game. “Kalau nunggu ayam beku itu mencair, bakal lama,”
“Alhamdulillah, terimakasih, Mas,” ujarku.
Mas Handi mengangguk, “terimakasih juga sudah mau membela ibuku, dan maafkan mba Hasna karena lancang mengambil dagingmu. Maafkan aku juga yang tidak menyisakan makanan untukmu,” ujarnya sambil menatapku sebentar lalu kembali lagi menatap ponsel.
Aku sempat ragu dengan pendengaranku barusan. Tapi aku yakin telingaku sedang baik-baik saja.
Oh suamiku, rupanya ia bisa romantis juga. Walau kutahu berat sekali kalimat itu ia ucapkan. Tapi aku bahagia.
Entahlah ia kesambet setan apa. Kalau begini sering-sering kesambet sepertinya boleh juga, hehe.
Langsung kupeluk ia. Seandainya hari ini tidak bertepatan dengan masa periodku, tentulah akan kuberi ia malam yang panjang dan berkeringat.
Beberapa hari berikutnya, kujalani dengan hati senang dan riang gembira. Belum lagi uang belanja untuk 3 hari yang kugunakan membeli perdagingan sekaligus drama kemarin ternyata diganti oleh mas Handi. Meski tidak biasanya ia mau mengeluarkan uang lebih. Terlebih lagi beberapa hari ini ipar-iparku tidak memunculkan batang hidungnya di rumahku atau rumah ibu. Tapi aku lupa, kebahagiaan tidak ada yang abadi. Pasti ada saja duri-duri menanti. Seperti pada pagi hari yang cerah ini. Sehabis aku mengantar putra putriku sekolah, kubelokkan motor menuju rumah mertua. “Assala ... “ ucapan salamku terpotong ketika melihat sandal yang sangat amat familiar di mataku. Itu adalah sandal milik kaka iparku, Risma. Tanpa mengetuk pintu, aku masuk ke dalam rumah mertua dengan cara mengendap-ngendap. Sudah menjadi kebiasaanku jika dua orang iparku itu berkunjung ke rumah orangtuanya, aku pasti masuk rumah mereka dengan cara seperti ini. Untuk apa? Tentu saja untuk mencuri dengar apa yang merek
“Udah ah Mba. Bikin nambah banyak dosaku aja kalau ngomong sama Mba. Bukan ngomong ini sih, jatohnya malah adu mulut,” ujarku hendak berlalu meninggalkan perdebatan yang temanya tidak pernah berubah. Lelah jiwa ragaku kalau begini terus. “Eh enggak sopan kamu ya! Main tinggal-tinggal aja,” pekik mba Risma di belakangku. Kuhiraukan saja dia dan kembali masuk ke dalam rumah. Terserah iparku kalau mau mengumpat sepuas hati, aku tidak peduli. Lagi pula tidak terdengar sampai ke dalam rumah. “Assalamualaikum, Ibu,” ucapku sambil melangkah ke dapur. “Waalaikumussalam, ibu di dapur, Laras!” balas ibu setengah berteriak. Aku melangkah perlahan mendekati beliau yang terduduk lesu. Ia mengusap air matanya secara sembunyi-sembunyi. Aku pun sengaja pura-pura tidak memerhatikan beliau dan memilih untuk membuka wajan. Biasanya aku memang seperti ini, memeriksa apakah ibu masak atau tidak. Jika tidak ada makanan, aku akan mengambil dari rumah lalu mengajak ibu makan bersama. “Wah, ibu masa
"Tumben pulang malam, Mas. Biasanya sebelum magrib sudah di rumah," ujarku sambil menyiapkan makan malam. Mas Handi terlihat baru saja keluar dari kamar mandi. Iya nampak terkejut dengan pertanyaanku. Aku memperhatikannya dari sudut mataku. Tangannya yang sedari tadi sibuk mengeringkan rambut dengan anduk tiba-tiba terhenti.Mas Handi menghela napas. Lalu ia mendekatiku perlahan.Hatiku mulai tidak karuan membayangkan hal yang bukan-bukan. Awalnya aku bertanya iseng saja, tapi melihat reaksi mas Handi yang aneh membuatku takut. "Kalau aku beritahu kamu pasti marah," ucapnya sambil memasang wajah bersalah. Keningku mengkerut. Kenapa mas Handi terlihat aneh? "Kenapa harus marah? Memangnya apa yang kamu lakukan?" tanyaku sembari menatapnya tajam. Mas Handi tertunduk lesu. "Apa!" seruku mendesak agar ia menjawab perkataanku. "Tadi siang, mba Hasna dan mba Risma mengajakku makan bersama di restoran yang ada di samping kantor polisi itu. Mba Hasna hanya mengajakku saja, makanya aku
{Jadi kapan kakak bisa bertemu calon pembeli?}Aku menimbang-nimbang sejenak kapan waktu yang tepat aku bisa pergi bertemu dengan calon pembeli itu. Mengingat tanah warisan tersebut berada di kampungku yang jaraknya harus ditempuh dalam waktu 3 jam.Selain jauh, aku juga harus meminta izin kepada mas Handi untuk pergi ke kampungku.{Kakak mau secepatnya, tapi bagaimana caranya minta izin sama mas Handi?} balasku{Tinggal izin aja apa susahnya? Mas Handi tidak pernah melarang, ‘kan?}{Mas Handi memang tidak melarang. Tapi kaka tidak memberitahunya kalau dapat warisan}Pesanku langsung dibaca Angga. Ia terlihat lama mengetik pesan balasan{Kenapa tidak diberi tahu? Mau kakak makan itu semua duitnya?}Dasar Angga, tidak tau duduk perkara main tuduh aja.{Hush, sembarangan. Kakak tidak akan memberitahu mas Handi. Entah kenapa hati kaka menginginkan untuk menyimpan ini semua darinya. Jaga-jaga aja, biar
Sesampainya di kampungku yang bernama Bangun Rejo. Aku segera mencari-cari adikku yang katanya sudah sampai di terminal.Ketika hendak menghubunginya, tiba- tiba punggungku ditepuk oleh seseorang.Aku segera berbalik dan mendapati wajah Angga sedang tersenyum kepadaku.“Apa kabar kak?” ucap Angga hendak meraih tanganku.Segera kuulurkan tangan dan menerima salam Angga.“Alhamdulillah, seperti yang kamu lihat,” jawabku pelan. Kepalaku terasa pusing. Perutku seperti di obok-obok.“Om, motor om Angga mana? Ayo kita pulang. Hanum mau berbaring. Selama di bis tadi Hanum tidak sempat senderan, soalnya ibu muntah sepanjang jalan. Hanum jadi sibuk mijitin punggung ibu,” ujar anakku.Angga menatapku lalu tersenyum mengejek.“Gimana mau jadi orang kaya kalau kakak masih mabuk kendaraan,” cibirnya lalu menarik kedua ponakannya untuk melangkah menuju parkiran motor.“Kalau kakak
“Setelah ini, uangnya mau dibuat apa kak?” Kami sedang duduk di ruang tamu bibik. Baru saja terjadi transaksi jual beli tanah warisan ayahku. Mas Damar, nama pembeli tanah tersebut juga telah mentransfer mahar tanah secara penuh. 90 juta rupiah telah aman berada di dalam rekeningku yang lagi-lagi mas Handi tidak tahu akan hal ini. Rekening ini kubuat untuk menabung agar tidak diketahui mas Handi jika aku memiliki tabungan. Bila mas Handi tahu, maka aku tidak bisa lagi meminta uang padanya dengan bebas untuk kebutuhan sehari-hari dan anak-anak. Bahkan bisa-bisa uang belanja dikurangi karena dianggap nominal yang biasanya terlalu banyak hingga aku masih sempat menabung. Padahal uang tabungan itu lebih banyak dihasilkan dari komisiku menjadi dropshipper di toko online. Dunia per-dropshiper-an ini telah kutekuni selama 2 tahun lebih. Hasilnya cukup lumayan. Setiap bulan aku bisa menghasilkan 3-5 juta rupiah bahkan lebih, hanya dengan rajin memposting produk milik pabrik tertentu. S
“Belanja apa tadi bu Sari, Mang?” tanya seorang wanita bertubuh tambun yang tinggal tepat di depan rumah ibu mertuaku. Aku yang hendak menghampiri gerobak mang Dadang mengurungkan niat dan memilih bersembunyi. “Oh, biasa. Sayur kol sama buncis bu Mita,” jawab mang Dadang, satu-satunya penjual sayur keliling di kampungku. Bu Mita kulihat memiringkan bibirnya, “itu aja? Apa enggak bosen dia makan sayur itu mulu,” “Bosenlah pasti, tapi gimana ya, enggak ada duit kali,” sambung ibu-ibu berlipstik merah di samping bu Mita. Lipstiknya bahkan lebih merah dari tomat yang sedang dia timang. Aku mendengarkan saja gibahan mereka pada ibu mertuaku dari balik mobil yang terparkir, entah mobil siapa. Beruntung mang Dadang berhenti tepat di samping mobil ini. “Haha, dunia memang cepat sekali berputarnya ya jeng Nanik. Dulu keluarga bu Sari itu termasuk berada, sekarang udah ngalahin pak Sapto yang buruh tani aja miskinnya,” cibir bu Mita seenak jidatnya. Mereka pun terdengar cekikikan. “Eman
“Sayur dari ibu ya, Mas?” tanyaku pada suami sambil menunjuk semangkuk sayur sop di atas meja makan kecil kami. “Iya, Dek. Tadi ibu yang ngantar sendiri,” jawab suamiku sambil mengangguk. “Coba kasih tau ibumu itu Mas, jangan sering-sering antar sayur sop. Cukup bikin untuk beliau berdua sama bapak aja, Mas,” ujarku. Mas Handi menghela napas, “ya kamu tau sendirilah gimana ibu, Dek. Enggak enak mas mau larang-larang,” jawab Mas Handi pelan. Kuikuti suamiku menghela napas, memang susah memberitahu orangtua. “Pasti ibu mengantar sayur ini ke rumah Mba Hasna juga, ‘kan?” tanyaku lagi. “He em, sepertinya,” jawab suamiku. Aku hanya bisa menggeleng pelan setelah mendengar jawabannya. Sedangkan Mas Handi kembali menatap ponselnya. “Gimana ya reaksi Mba Hasna waktu dianterin sayur sama ibuk, apa masih kaya biasanya?” gumamku sekaligus bertanya pada suami. “Entahlah, tidak usah ikut campur, Ras. Nanti salah-salah kamu bertengkar lagi sama Mbaku itu,” tegur mas Handi sambil menatapku t
“Setelah ini, uangnya mau dibuat apa kak?” Kami sedang duduk di ruang tamu bibik. Baru saja terjadi transaksi jual beli tanah warisan ayahku. Mas Damar, nama pembeli tanah tersebut juga telah mentransfer mahar tanah secara penuh. 90 juta rupiah telah aman berada di dalam rekeningku yang lagi-lagi mas Handi tidak tahu akan hal ini. Rekening ini kubuat untuk menabung agar tidak diketahui mas Handi jika aku memiliki tabungan. Bila mas Handi tahu, maka aku tidak bisa lagi meminta uang padanya dengan bebas untuk kebutuhan sehari-hari dan anak-anak. Bahkan bisa-bisa uang belanja dikurangi karena dianggap nominal yang biasanya terlalu banyak hingga aku masih sempat menabung. Padahal uang tabungan itu lebih banyak dihasilkan dari komisiku menjadi dropshipper di toko online. Dunia per-dropshiper-an ini telah kutekuni selama 2 tahun lebih. Hasilnya cukup lumayan. Setiap bulan aku bisa menghasilkan 3-5 juta rupiah bahkan lebih, hanya dengan rajin memposting produk milik pabrik tertentu. S
Sesampainya di kampungku yang bernama Bangun Rejo. Aku segera mencari-cari adikku yang katanya sudah sampai di terminal.Ketika hendak menghubunginya, tiba- tiba punggungku ditepuk oleh seseorang.Aku segera berbalik dan mendapati wajah Angga sedang tersenyum kepadaku.“Apa kabar kak?” ucap Angga hendak meraih tanganku.Segera kuulurkan tangan dan menerima salam Angga.“Alhamdulillah, seperti yang kamu lihat,” jawabku pelan. Kepalaku terasa pusing. Perutku seperti di obok-obok.“Om, motor om Angga mana? Ayo kita pulang. Hanum mau berbaring. Selama di bis tadi Hanum tidak sempat senderan, soalnya ibu muntah sepanjang jalan. Hanum jadi sibuk mijitin punggung ibu,” ujar anakku.Angga menatapku lalu tersenyum mengejek.“Gimana mau jadi orang kaya kalau kakak masih mabuk kendaraan,” cibirnya lalu menarik kedua ponakannya untuk melangkah menuju parkiran motor.“Kalau kakak
{Jadi kapan kakak bisa bertemu calon pembeli?}Aku menimbang-nimbang sejenak kapan waktu yang tepat aku bisa pergi bertemu dengan calon pembeli itu. Mengingat tanah warisan tersebut berada di kampungku yang jaraknya harus ditempuh dalam waktu 3 jam.Selain jauh, aku juga harus meminta izin kepada mas Handi untuk pergi ke kampungku.{Kakak mau secepatnya, tapi bagaimana caranya minta izin sama mas Handi?} balasku{Tinggal izin aja apa susahnya? Mas Handi tidak pernah melarang, ‘kan?}{Mas Handi memang tidak melarang. Tapi kaka tidak memberitahunya kalau dapat warisan}Pesanku langsung dibaca Angga. Ia terlihat lama mengetik pesan balasan{Kenapa tidak diberi tahu? Mau kakak makan itu semua duitnya?}Dasar Angga, tidak tau duduk perkara main tuduh aja.{Hush, sembarangan. Kakak tidak akan memberitahu mas Handi. Entah kenapa hati kaka menginginkan untuk menyimpan ini semua darinya. Jaga-jaga aja, biar
"Tumben pulang malam, Mas. Biasanya sebelum magrib sudah di rumah," ujarku sambil menyiapkan makan malam. Mas Handi terlihat baru saja keluar dari kamar mandi. Iya nampak terkejut dengan pertanyaanku. Aku memperhatikannya dari sudut mataku. Tangannya yang sedari tadi sibuk mengeringkan rambut dengan anduk tiba-tiba terhenti.Mas Handi menghela napas. Lalu ia mendekatiku perlahan.Hatiku mulai tidak karuan membayangkan hal yang bukan-bukan. Awalnya aku bertanya iseng saja, tapi melihat reaksi mas Handi yang aneh membuatku takut. "Kalau aku beritahu kamu pasti marah," ucapnya sambil memasang wajah bersalah. Keningku mengkerut. Kenapa mas Handi terlihat aneh? "Kenapa harus marah? Memangnya apa yang kamu lakukan?" tanyaku sembari menatapnya tajam. Mas Handi tertunduk lesu. "Apa!" seruku mendesak agar ia menjawab perkataanku. "Tadi siang, mba Hasna dan mba Risma mengajakku makan bersama di restoran yang ada di samping kantor polisi itu. Mba Hasna hanya mengajakku saja, makanya aku
“Udah ah Mba. Bikin nambah banyak dosaku aja kalau ngomong sama Mba. Bukan ngomong ini sih, jatohnya malah adu mulut,” ujarku hendak berlalu meninggalkan perdebatan yang temanya tidak pernah berubah. Lelah jiwa ragaku kalau begini terus. “Eh enggak sopan kamu ya! Main tinggal-tinggal aja,” pekik mba Risma di belakangku. Kuhiraukan saja dia dan kembali masuk ke dalam rumah. Terserah iparku kalau mau mengumpat sepuas hati, aku tidak peduli. Lagi pula tidak terdengar sampai ke dalam rumah. “Assalamualaikum, Ibu,” ucapku sambil melangkah ke dapur. “Waalaikumussalam, ibu di dapur, Laras!” balas ibu setengah berteriak. Aku melangkah perlahan mendekati beliau yang terduduk lesu. Ia mengusap air matanya secara sembunyi-sembunyi. Aku pun sengaja pura-pura tidak memerhatikan beliau dan memilih untuk membuka wajan. Biasanya aku memang seperti ini, memeriksa apakah ibu masak atau tidak. Jika tidak ada makanan, aku akan mengambil dari rumah lalu mengajak ibu makan bersama. “Wah, ibu masa
Beberapa hari berikutnya, kujalani dengan hati senang dan riang gembira. Belum lagi uang belanja untuk 3 hari yang kugunakan membeli perdagingan sekaligus drama kemarin ternyata diganti oleh mas Handi. Meski tidak biasanya ia mau mengeluarkan uang lebih. Terlebih lagi beberapa hari ini ipar-iparku tidak memunculkan batang hidungnya di rumahku atau rumah ibu. Tapi aku lupa, kebahagiaan tidak ada yang abadi. Pasti ada saja duri-duri menanti. Seperti pada pagi hari yang cerah ini. Sehabis aku mengantar putra putriku sekolah, kubelokkan motor menuju rumah mertua. “Assala ... “ ucapan salamku terpotong ketika melihat sandal yang sangat amat familiar di mataku. Itu adalah sandal milik kaka iparku, Risma. Tanpa mengetuk pintu, aku masuk ke dalam rumah mertua dengan cara mengendap-ngendap. Sudah menjadi kebiasaanku jika dua orang iparku itu berkunjung ke rumah orangtuanya, aku pasti masuk rumah mereka dengan cara seperti ini. Untuk apa? Tentu saja untuk mencuri dengar apa yang merek
Mataku melotot memandang tas belanja yang kini mendarat di pahaku. Tidak sopannya orang tua ini. Susah payah aku mengontrol emosi, dan sepertinya saat ini aku harus lebih bersusah payah lagi. Ya Allah, berilah hamba Mu ini kesabaran seluas samudera. Jangan setipis tisu. Dengan terpaksa pisau di tangan kuletakkan dengan kasar. “Aku bisa masak daging kok, Mba,” ujarku sambil meletakkan tas belanjanya di atas lantai. “Aku aja, masakanmu tidak cocok di lidahku,” balasnya sambil menjulurkan lidah. “Tidak cocok apanya? Kemarin aku masak telur balado di rumah ibu aja, hampir mba angkut semua,” ucapku sambil tersenyum miring mengingat kerakusan iparku ini. Hampir saja mertuaku tidak kebagian. Iparku yang sukses menjadi ASN ini mengibaskan tangannya, “a-ah itu karena di rumahku lagi tidak ada lauk saja. Aslinya aku sih ogah,” bantahnya. Aku tau ia berbohong dan hanya gengsi saja. Memang tidak mudah merendah untuk orang setinggi kakak iparku itu. “Aku bawa dagingnya,” ucap mba Hasna s
“Sayur dari ibu ya, Mas?” tanyaku pada suami sambil menunjuk semangkuk sayur sop di atas meja makan kecil kami. “Iya, Dek. Tadi ibu yang ngantar sendiri,” jawab suamiku sambil mengangguk. “Coba kasih tau ibumu itu Mas, jangan sering-sering antar sayur sop. Cukup bikin untuk beliau berdua sama bapak aja, Mas,” ujarku. Mas Handi menghela napas, “ya kamu tau sendirilah gimana ibu, Dek. Enggak enak mas mau larang-larang,” jawab Mas Handi pelan. Kuikuti suamiku menghela napas, memang susah memberitahu orangtua. “Pasti ibu mengantar sayur ini ke rumah Mba Hasna juga, ‘kan?” tanyaku lagi. “He em, sepertinya,” jawab suamiku. Aku hanya bisa menggeleng pelan setelah mendengar jawabannya. Sedangkan Mas Handi kembali menatap ponselnya. “Gimana ya reaksi Mba Hasna waktu dianterin sayur sama ibuk, apa masih kaya biasanya?” gumamku sekaligus bertanya pada suami. “Entahlah, tidak usah ikut campur, Ras. Nanti salah-salah kamu bertengkar lagi sama Mbaku itu,” tegur mas Handi sambil menatapku t
“Belanja apa tadi bu Sari, Mang?” tanya seorang wanita bertubuh tambun yang tinggal tepat di depan rumah ibu mertuaku. Aku yang hendak menghampiri gerobak mang Dadang mengurungkan niat dan memilih bersembunyi. “Oh, biasa. Sayur kol sama buncis bu Mita,” jawab mang Dadang, satu-satunya penjual sayur keliling di kampungku. Bu Mita kulihat memiringkan bibirnya, “itu aja? Apa enggak bosen dia makan sayur itu mulu,” “Bosenlah pasti, tapi gimana ya, enggak ada duit kali,” sambung ibu-ibu berlipstik merah di samping bu Mita. Lipstiknya bahkan lebih merah dari tomat yang sedang dia timang. Aku mendengarkan saja gibahan mereka pada ibu mertuaku dari balik mobil yang terparkir, entah mobil siapa. Beruntung mang Dadang berhenti tepat di samping mobil ini. “Haha, dunia memang cepat sekali berputarnya ya jeng Nanik. Dulu keluarga bu Sari itu termasuk berada, sekarang udah ngalahin pak Sapto yang buruh tani aja miskinnya,” cibir bu Mita seenak jidatnya. Mereka pun terdengar cekikikan. “Eman