Share

Tidak diajak Makan Bersama

Penulis: Jasmina
last update Terakhir Diperbarui: 2023-07-13 17:51:51

"Tumben pulang malam, Mas. Biasanya sebelum magrib sudah di rumah," ujarku sambil menyiapkan makan malam. 

Mas Handi terlihat baru saja keluar dari kamar mandi. Iya nampak terkejut dengan pertanyaanku. 

Aku memperhatikannya dari sudut mataku. Tangannya yang sedari tadi sibuk mengeringkan rambut dengan anduk tiba-tiba terhenti.

Mas Handi menghela napas. Lalu ia mendekatiku perlahan.

Hatiku mulai tidak karuan membayangkan hal yang bukan-bukan. Awalnya aku bertanya iseng saja, tapi melihat reaksi mas Handi yang aneh membuatku takut. 

"Kalau aku beritahu kamu pasti marah," ucapnya sambil memasang wajah bersalah. 

Keningku mengkerut. 

Kenapa mas Handi terlihat aneh? 

"Kenapa harus marah? Memangnya apa yang kamu lakukan?" tanyaku sembari menatapnya tajam. 

Mas Handi tertunduk lesu. 

"Apa!" seruku mendesak agar ia menjawab perkataanku. 

"Tadi siang, mba Hasna dan mba Risma mengajakku makan bersama di restoran yang ada di samping kantor polisi itu. Mba Hasna hanya mengajakku saja, makanya aku takut kamu marah karena tidak diajak," tuturnya menjelaskan.

Aku tersenyum kecut, "sejak kapan aku marah dengan hal itu? Bukannya sudah sering kalian begitu," balasku. 

Sejenak aku terdiam untuk mengambil napas agar suasana hatiku menjadi tenang. 

"Mas, setidaknya kalau tidak mengajakku, ajaklah anak-anakmu! Mereka 'kan juga keponakan mba Hasna, seperti halnya Adit dan Agnes," lanjutku. 

Aku cukup kesal dengan mas Handi. Bisa-bisanya ia tidak mengingat kedua anaknya. 

"Ya, Mas mana berani bilang ke mba Hasna untuk mengajak anak-anaknya. Yang ada malah tidak jadi nanti mas diajak," ujar mas Handi berasalan. 

Aku mendesah kesal, "terserah kamu deh Mas!" Aku beranjak dari sisi mas Handi dan berlalu.

"Loh, mau ke mana, Dek!" seru mas Handi ketika aku meninggalkannya. 

"Manggil anak-anak makan!" balasku tanpa menoleh kebelakang.

Suamiku ini tidak cukup pengertian.

***

Selesai makan malam, mas Handi menonton televisi sambil tangannya menggenggam erat ponsel kesayangannya.

Memang ia selalu begitu, tidak pernah berpisah dengan benda pipih itu. Sampai ke kamar mandi pun ia bawa. 

Aku tidak merasa aneh? 

Tentu saja aku merasa aneh, awalnya. Namun akhirnya tidak lagi setelah mengetahui alasannya.

Sebagai driver ojek online, tentunya suamiku akan akrab dengan ponsel dan internet. Terlebih keadaan ekonomi kami yang mengharuskan mas Handi bekerja keras. Membuatnya kadang-kadang akan menerima orderan dengan tujuan yang jaraknya tidak terlalu jauh, walaupun ketiak ia berada di rumah sekali pun.

Kadang-kadang setelah makan malam mas Handi berangkat ngojek lagi hingga hampir larut malam.

Aku tidak terlalu memusingkannya, yang terpenting suamiku itu pulang dengan selamat dan tidak lupa membawa uang, hehe.

“Lagi baca pesan dari siapa, Mas? Dari tadi cengar-cengir terus,” tanyaku kala mendapati mas Handi terkikik sambil menatap layar ponsel.

Aku menggeleng, “tidak usah Mas. Pusing aku membaca pesan grup kalian,” balasku sambil berlalu memasuki kamar anak-anak.

Waktu telah menunjukkan pukul 09:00 malam. Kedua anakku sudah pulas di kamarnya.

Aku memperbaiki selimut mereka yang tersingkap.

Setelah memeriksa anak-anak, aku pun pergi ke kamar.

Mas Handi masih cekikikan di depan televisi. Aku tidak mau mengganggunya. Biarkan saja dia menghibur diri setelah penat seharian bekerja.

Ting

Notifikasi aplikasi hijauku berbunyi. Segera kubuka dan kubaca isi pesannya.

“Alhamdulillah,” gumamku sambil meletakkan ponsel di dada.

Adikku satu-satunya memberi kabar bahwa tanah warisan yang diberikan ayah padaku telah ditawar oleh seseorang.

Bab terkait

  • Menantu Cerdik untuk Ipar-Ipar Licik   Uangku ya Uangku

    {Jadi kapan kakak bisa bertemu calon pembeli?}Aku menimbang-nimbang sejenak kapan waktu yang tepat aku bisa pergi bertemu dengan calon pembeli itu. Mengingat tanah warisan tersebut berada di kampungku yang jaraknya harus ditempuh dalam waktu 3 jam.Selain jauh, aku juga harus meminta izin kepada mas Handi untuk pergi ke kampungku.{Kakak mau secepatnya, tapi bagaimana caranya minta izin sama mas Handi?} balasku{Tinggal izin aja apa susahnya? Mas Handi tidak pernah melarang, ‘kan?}{Mas Handi memang tidak melarang. Tapi kaka tidak memberitahunya kalau dapat warisan}Pesanku langsung dibaca Angga. Ia terlihat lama mengetik pesan balasan{Kenapa tidak diberi tahu? Mau kakak makan itu semua duitnya?}Dasar Angga, tidak tau duduk perkara main tuduh aja.{Hush, sembarangan. Kakak tidak akan memberitahu mas Handi. Entah kenapa hati kaka menginginkan untuk menyimpan ini semua darinya. Jaga-jaga aja, biar

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-14
  • Menantu Cerdik untuk Ipar-Ipar Licik   Perbincangan di Teras Rumah

    Sesampainya di kampungku yang bernama Bangun Rejo. Aku segera mencari-cari adikku yang katanya sudah sampai di terminal.Ketika hendak menghubunginya, tiba- tiba punggungku ditepuk oleh seseorang.Aku segera berbalik dan mendapati wajah Angga sedang tersenyum kepadaku.“Apa kabar kak?” ucap Angga hendak meraih tanganku.Segera kuulurkan tangan dan menerima salam Angga.“Alhamdulillah, seperti yang kamu lihat,” jawabku pelan. Kepalaku terasa pusing. Perutku seperti di obok-obok.“Om, motor om Angga mana? Ayo kita pulang. Hanum mau berbaring. Selama di bis tadi Hanum tidak sempat senderan, soalnya ibu muntah sepanjang jalan. Hanum jadi sibuk mijitin punggung ibu,” ujar anakku.Angga menatapku lalu tersenyum mengejek.“Gimana mau jadi orang kaya kalau kakak masih mabuk kendaraan,” cibirnya lalu menarik kedua ponakannya untuk melangkah menuju parkiran motor.“Kalau kakak

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-14
  • Menantu Cerdik untuk Ipar-Ipar Licik   Menjual Tanah

    “Setelah ini, uangnya mau dibuat apa kak?” Kami sedang duduk di ruang tamu bibik. Baru saja terjadi transaksi jual beli tanah warisan ayahku. Mas Damar, nama pembeli tanah tersebut juga telah mentransfer mahar tanah secara penuh. 90 juta rupiah telah aman berada di dalam rekeningku yang lagi-lagi mas Handi tidak tahu akan hal ini. Rekening ini kubuat untuk menabung agar tidak diketahui mas Handi jika aku memiliki tabungan. Bila mas Handi tahu, maka aku tidak bisa lagi meminta uang padanya dengan bebas untuk kebutuhan sehari-hari dan anak-anak. Bahkan bisa-bisa uang belanja dikurangi karena dianggap nominal yang biasanya terlalu banyak hingga aku masih sempat menabung. Padahal uang tabungan itu lebih banyak dihasilkan dari komisiku menjadi dropshipper di toko online. Dunia per-dropshiper-an ini telah kutekuni selama 2 tahun lebih. Hasilnya cukup lumayan. Setiap bulan aku bisa menghasilkan 3-5 juta rupiah bahkan lebih, hanya dengan rajin memposting produk milik pabrik tertentu. S

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-18
  • Menantu Cerdik untuk Ipar-Ipar Licik   Bisik-Bisik Tetangga

    “Belanja apa tadi bu Sari, Mang?” tanya seorang wanita bertubuh tambun yang tinggal tepat di depan rumah ibu mertuaku. Aku yang hendak menghampiri gerobak mang Dadang mengurungkan niat dan memilih bersembunyi. “Oh, biasa. Sayur kol sama buncis bu Mita,” jawab mang Dadang, satu-satunya penjual sayur keliling di kampungku. Bu Mita kulihat memiringkan bibirnya, “itu aja? Apa enggak bosen dia makan sayur itu mulu,” “Bosenlah pasti, tapi gimana ya, enggak ada duit kali,” sambung ibu-ibu berlipstik merah di samping bu Mita. Lipstiknya bahkan lebih merah dari tomat yang sedang dia timang. Aku mendengarkan saja gibahan mereka pada ibu mertuaku dari balik mobil yang terparkir, entah mobil siapa. Beruntung mang Dadang berhenti tepat di samping mobil ini. “Haha, dunia memang cepat sekali berputarnya ya jeng Nanik. Dulu keluarga bu Sari itu termasuk berada, sekarang udah ngalahin pak Sapto yang buruh tani aja miskinnya,” cibir bu Mita seenak jidatnya. Mereka pun terdengar cekikikan. “Eman

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-23
  • Menantu Cerdik untuk Ipar-Ipar Licik   Sayur Dari Mertua

    “Sayur dari ibu ya, Mas?” tanyaku pada suami sambil menunjuk semangkuk sayur sop di atas meja makan kecil kami. “Iya, Dek. Tadi ibu yang ngantar sendiri,” jawab suamiku sambil mengangguk. “Coba kasih tau ibumu itu Mas, jangan sering-sering antar sayur sop. Cukup bikin untuk beliau berdua sama bapak aja, Mas,” ujarku. Mas Handi menghela napas, “ya kamu tau sendirilah gimana ibu, Dek. Enggak enak mas mau larang-larang,” jawab Mas Handi pelan. Kuikuti suamiku menghela napas, memang susah memberitahu orangtua. “Pasti ibu mengantar sayur ini ke rumah Mba Hasna juga, ‘kan?” tanyaku lagi. “He em, sepertinya,” jawab suamiku. Aku hanya bisa menggeleng pelan setelah mendengar jawabannya. Sedangkan Mas Handi kembali menatap ponselnya. “Gimana ya reaksi Mba Hasna waktu dianterin sayur sama ibuk, apa masih kaya biasanya?” gumamku sekaligus bertanya pada suami. “Entahlah, tidak usah ikut campur, Ras. Nanti salah-salah kamu bertengkar lagi sama Mbaku itu,” tegur mas Handi sambil menatapku t

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-24
  • Menantu Cerdik untuk Ipar-Ipar Licik   Mba Hasna Berulah

    Mataku melotot memandang tas belanja yang kini mendarat di pahaku. Tidak sopannya orang tua ini. Susah payah aku mengontrol emosi, dan sepertinya saat ini aku harus lebih bersusah payah lagi. Ya Allah, berilah hamba Mu ini kesabaran seluas samudera. Jangan setipis tisu. Dengan terpaksa pisau di tangan kuletakkan dengan kasar. “Aku bisa masak daging kok, Mba,” ujarku sambil meletakkan tas belanjanya di atas lantai. “Aku aja, masakanmu tidak cocok di lidahku,” balasnya sambil menjulurkan lidah. “Tidak cocok apanya? Kemarin aku masak telur balado di rumah ibu aja, hampir mba angkut semua,” ucapku sambil tersenyum miring mengingat kerakusan iparku ini. Hampir saja mertuaku tidak kebagian. Iparku yang sukses menjadi ASN ini mengibaskan tangannya, “a-ah itu karena di rumahku lagi tidak ada lauk saja. Aslinya aku sih ogah,” bantahnya. Aku tau ia berbohong dan hanya gengsi saja. Memang tidak mudah merendah untuk orang setinggi kakak iparku itu. “Aku bawa dagingnya,” ucap mba Hasna s

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-24
  • Menantu Cerdik untuk Ipar-Ipar Licik   Pertengkaran di Pagi Hari

    Beberapa hari berikutnya, kujalani dengan hati senang dan riang gembira. Belum lagi uang belanja untuk 3 hari yang kugunakan membeli perdagingan sekaligus drama kemarin ternyata diganti oleh mas Handi. Meski tidak biasanya ia mau mengeluarkan uang lebih. Terlebih lagi beberapa hari ini ipar-iparku tidak memunculkan batang hidungnya di rumahku atau rumah ibu. Tapi aku lupa, kebahagiaan tidak ada yang abadi. Pasti ada saja duri-duri menanti. Seperti pada pagi hari yang cerah ini. Sehabis aku mengantar putra putriku sekolah, kubelokkan motor menuju rumah mertua. “Assala ... “ ucapan salamku terpotong ketika melihat sandal yang sangat amat familiar di mataku. Itu adalah sandal milik kaka iparku, Risma. Tanpa mengetuk pintu, aku masuk ke dalam rumah mertua dengan cara mengendap-ngendap. Sudah menjadi kebiasaanku jika dua orang iparku itu berkunjung ke rumah orangtuanya, aku pasti masuk rumah mereka dengan cara seperti ini. Untuk apa? Tentu saja untuk mencuri dengar apa yang merek

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-24
  • Menantu Cerdik untuk Ipar-Ipar Licik   Tidak Setebal Kesabaran Ibu

    “Udah ah Mba. Bikin nambah banyak dosaku aja kalau ngomong sama Mba. Bukan ngomong ini sih, jatohnya malah adu mulut,” ujarku hendak berlalu meninggalkan perdebatan yang temanya tidak pernah berubah. Lelah jiwa ragaku kalau begini terus. “Eh enggak sopan kamu ya! Main tinggal-tinggal aja,” pekik mba Risma di belakangku. Kuhiraukan saja dia dan kembali masuk ke dalam rumah. Terserah iparku kalau mau mengumpat sepuas hati, aku tidak peduli. Lagi pula tidak terdengar sampai ke dalam rumah. “Assalamualaikum, Ibu,” ucapku sambil melangkah ke dapur. “Waalaikumussalam, ibu di dapur, Laras!” balas ibu setengah berteriak. Aku melangkah perlahan mendekati beliau yang terduduk lesu. Ia mengusap air matanya secara sembunyi-sembunyi. Aku pun sengaja pura-pura tidak memerhatikan beliau dan memilih untuk membuka wajan. Biasanya aku memang seperti ini, memeriksa apakah ibu masak atau tidak. Jika tidak ada makanan, aku akan mengambil dari rumah lalu mengajak ibu makan bersama. “Wah, ibu masa

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-24

Bab terbaru

  • Menantu Cerdik untuk Ipar-Ipar Licik   Menjual Tanah

    “Setelah ini, uangnya mau dibuat apa kak?” Kami sedang duduk di ruang tamu bibik. Baru saja terjadi transaksi jual beli tanah warisan ayahku. Mas Damar, nama pembeli tanah tersebut juga telah mentransfer mahar tanah secara penuh. 90 juta rupiah telah aman berada di dalam rekeningku yang lagi-lagi mas Handi tidak tahu akan hal ini. Rekening ini kubuat untuk menabung agar tidak diketahui mas Handi jika aku memiliki tabungan. Bila mas Handi tahu, maka aku tidak bisa lagi meminta uang padanya dengan bebas untuk kebutuhan sehari-hari dan anak-anak. Bahkan bisa-bisa uang belanja dikurangi karena dianggap nominal yang biasanya terlalu banyak hingga aku masih sempat menabung. Padahal uang tabungan itu lebih banyak dihasilkan dari komisiku menjadi dropshipper di toko online. Dunia per-dropshiper-an ini telah kutekuni selama 2 tahun lebih. Hasilnya cukup lumayan. Setiap bulan aku bisa menghasilkan 3-5 juta rupiah bahkan lebih, hanya dengan rajin memposting produk milik pabrik tertentu. S

  • Menantu Cerdik untuk Ipar-Ipar Licik   Perbincangan di Teras Rumah

    Sesampainya di kampungku yang bernama Bangun Rejo. Aku segera mencari-cari adikku yang katanya sudah sampai di terminal.Ketika hendak menghubunginya, tiba- tiba punggungku ditepuk oleh seseorang.Aku segera berbalik dan mendapati wajah Angga sedang tersenyum kepadaku.“Apa kabar kak?” ucap Angga hendak meraih tanganku.Segera kuulurkan tangan dan menerima salam Angga.“Alhamdulillah, seperti yang kamu lihat,” jawabku pelan. Kepalaku terasa pusing. Perutku seperti di obok-obok.“Om, motor om Angga mana? Ayo kita pulang. Hanum mau berbaring. Selama di bis tadi Hanum tidak sempat senderan, soalnya ibu muntah sepanjang jalan. Hanum jadi sibuk mijitin punggung ibu,” ujar anakku.Angga menatapku lalu tersenyum mengejek.“Gimana mau jadi orang kaya kalau kakak masih mabuk kendaraan,” cibirnya lalu menarik kedua ponakannya untuk melangkah menuju parkiran motor.“Kalau kakak

  • Menantu Cerdik untuk Ipar-Ipar Licik   Uangku ya Uangku

    {Jadi kapan kakak bisa bertemu calon pembeli?}Aku menimbang-nimbang sejenak kapan waktu yang tepat aku bisa pergi bertemu dengan calon pembeli itu. Mengingat tanah warisan tersebut berada di kampungku yang jaraknya harus ditempuh dalam waktu 3 jam.Selain jauh, aku juga harus meminta izin kepada mas Handi untuk pergi ke kampungku.{Kakak mau secepatnya, tapi bagaimana caranya minta izin sama mas Handi?} balasku{Tinggal izin aja apa susahnya? Mas Handi tidak pernah melarang, ‘kan?}{Mas Handi memang tidak melarang. Tapi kaka tidak memberitahunya kalau dapat warisan}Pesanku langsung dibaca Angga. Ia terlihat lama mengetik pesan balasan{Kenapa tidak diberi tahu? Mau kakak makan itu semua duitnya?}Dasar Angga, tidak tau duduk perkara main tuduh aja.{Hush, sembarangan. Kakak tidak akan memberitahu mas Handi. Entah kenapa hati kaka menginginkan untuk menyimpan ini semua darinya. Jaga-jaga aja, biar

  • Menantu Cerdik untuk Ipar-Ipar Licik   Tidak diajak Makan Bersama

    "Tumben pulang malam, Mas. Biasanya sebelum magrib sudah di rumah," ujarku sambil menyiapkan makan malam. Mas Handi terlihat baru saja keluar dari kamar mandi. Iya nampak terkejut dengan pertanyaanku. Aku memperhatikannya dari sudut mataku. Tangannya yang sedari tadi sibuk mengeringkan rambut dengan anduk tiba-tiba terhenti.Mas Handi menghela napas. Lalu ia mendekatiku perlahan.Hatiku mulai tidak karuan membayangkan hal yang bukan-bukan. Awalnya aku bertanya iseng saja, tapi melihat reaksi mas Handi yang aneh membuatku takut. "Kalau aku beritahu kamu pasti marah," ucapnya sambil memasang wajah bersalah. Keningku mengkerut. Kenapa mas Handi terlihat aneh? "Kenapa harus marah? Memangnya apa yang kamu lakukan?" tanyaku sembari menatapnya tajam. Mas Handi tertunduk lesu. "Apa!" seruku mendesak agar ia menjawab perkataanku. "Tadi siang, mba Hasna dan mba Risma mengajakku makan bersama di restoran yang ada di samping kantor polisi itu. Mba Hasna hanya mengajakku saja, makanya aku

  • Menantu Cerdik untuk Ipar-Ipar Licik   Tidak Setebal Kesabaran Ibu

    “Udah ah Mba. Bikin nambah banyak dosaku aja kalau ngomong sama Mba. Bukan ngomong ini sih, jatohnya malah adu mulut,” ujarku hendak berlalu meninggalkan perdebatan yang temanya tidak pernah berubah. Lelah jiwa ragaku kalau begini terus. “Eh enggak sopan kamu ya! Main tinggal-tinggal aja,” pekik mba Risma di belakangku. Kuhiraukan saja dia dan kembali masuk ke dalam rumah. Terserah iparku kalau mau mengumpat sepuas hati, aku tidak peduli. Lagi pula tidak terdengar sampai ke dalam rumah. “Assalamualaikum, Ibu,” ucapku sambil melangkah ke dapur. “Waalaikumussalam, ibu di dapur, Laras!” balas ibu setengah berteriak. Aku melangkah perlahan mendekati beliau yang terduduk lesu. Ia mengusap air matanya secara sembunyi-sembunyi. Aku pun sengaja pura-pura tidak memerhatikan beliau dan memilih untuk membuka wajan. Biasanya aku memang seperti ini, memeriksa apakah ibu masak atau tidak. Jika tidak ada makanan, aku akan mengambil dari rumah lalu mengajak ibu makan bersama. “Wah, ibu masa

  • Menantu Cerdik untuk Ipar-Ipar Licik   Pertengkaran di Pagi Hari

    Beberapa hari berikutnya, kujalani dengan hati senang dan riang gembira. Belum lagi uang belanja untuk 3 hari yang kugunakan membeli perdagingan sekaligus drama kemarin ternyata diganti oleh mas Handi. Meski tidak biasanya ia mau mengeluarkan uang lebih. Terlebih lagi beberapa hari ini ipar-iparku tidak memunculkan batang hidungnya di rumahku atau rumah ibu. Tapi aku lupa, kebahagiaan tidak ada yang abadi. Pasti ada saja duri-duri menanti. Seperti pada pagi hari yang cerah ini. Sehabis aku mengantar putra putriku sekolah, kubelokkan motor menuju rumah mertua. “Assala ... “ ucapan salamku terpotong ketika melihat sandal yang sangat amat familiar di mataku. Itu adalah sandal milik kaka iparku, Risma. Tanpa mengetuk pintu, aku masuk ke dalam rumah mertua dengan cara mengendap-ngendap. Sudah menjadi kebiasaanku jika dua orang iparku itu berkunjung ke rumah orangtuanya, aku pasti masuk rumah mereka dengan cara seperti ini. Untuk apa? Tentu saja untuk mencuri dengar apa yang merek

  • Menantu Cerdik untuk Ipar-Ipar Licik   Mba Hasna Berulah

    Mataku melotot memandang tas belanja yang kini mendarat di pahaku. Tidak sopannya orang tua ini. Susah payah aku mengontrol emosi, dan sepertinya saat ini aku harus lebih bersusah payah lagi. Ya Allah, berilah hamba Mu ini kesabaran seluas samudera. Jangan setipis tisu. Dengan terpaksa pisau di tangan kuletakkan dengan kasar. “Aku bisa masak daging kok, Mba,” ujarku sambil meletakkan tas belanjanya di atas lantai. “Aku aja, masakanmu tidak cocok di lidahku,” balasnya sambil menjulurkan lidah. “Tidak cocok apanya? Kemarin aku masak telur balado di rumah ibu aja, hampir mba angkut semua,” ucapku sambil tersenyum miring mengingat kerakusan iparku ini. Hampir saja mertuaku tidak kebagian. Iparku yang sukses menjadi ASN ini mengibaskan tangannya, “a-ah itu karena di rumahku lagi tidak ada lauk saja. Aslinya aku sih ogah,” bantahnya. Aku tau ia berbohong dan hanya gengsi saja. Memang tidak mudah merendah untuk orang setinggi kakak iparku itu. “Aku bawa dagingnya,” ucap mba Hasna s

  • Menantu Cerdik untuk Ipar-Ipar Licik   Sayur Dari Mertua

    “Sayur dari ibu ya, Mas?” tanyaku pada suami sambil menunjuk semangkuk sayur sop di atas meja makan kecil kami. “Iya, Dek. Tadi ibu yang ngantar sendiri,” jawab suamiku sambil mengangguk. “Coba kasih tau ibumu itu Mas, jangan sering-sering antar sayur sop. Cukup bikin untuk beliau berdua sama bapak aja, Mas,” ujarku. Mas Handi menghela napas, “ya kamu tau sendirilah gimana ibu, Dek. Enggak enak mas mau larang-larang,” jawab Mas Handi pelan. Kuikuti suamiku menghela napas, memang susah memberitahu orangtua. “Pasti ibu mengantar sayur ini ke rumah Mba Hasna juga, ‘kan?” tanyaku lagi. “He em, sepertinya,” jawab suamiku. Aku hanya bisa menggeleng pelan setelah mendengar jawabannya. Sedangkan Mas Handi kembali menatap ponselnya. “Gimana ya reaksi Mba Hasna waktu dianterin sayur sama ibuk, apa masih kaya biasanya?” gumamku sekaligus bertanya pada suami. “Entahlah, tidak usah ikut campur, Ras. Nanti salah-salah kamu bertengkar lagi sama Mbaku itu,” tegur mas Handi sambil menatapku t

  • Menantu Cerdik untuk Ipar-Ipar Licik   Bisik-Bisik Tetangga

    “Belanja apa tadi bu Sari, Mang?” tanya seorang wanita bertubuh tambun yang tinggal tepat di depan rumah ibu mertuaku. Aku yang hendak menghampiri gerobak mang Dadang mengurungkan niat dan memilih bersembunyi. “Oh, biasa. Sayur kol sama buncis bu Mita,” jawab mang Dadang, satu-satunya penjual sayur keliling di kampungku. Bu Mita kulihat memiringkan bibirnya, “itu aja? Apa enggak bosen dia makan sayur itu mulu,” “Bosenlah pasti, tapi gimana ya, enggak ada duit kali,” sambung ibu-ibu berlipstik merah di samping bu Mita. Lipstiknya bahkan lebih merah dari tomat yang sedang dia timang. Aku mendengarkan saja gibahan mereka pada ibu mertuaku dari balik mobil yang terparkir, entah mobil siapa. Beruntung mang Dadang berhenti tepat di samping mobil ini. “Haha, dunia memang cepat sekali berputarnya ya jeng Nanik. Dulu keluarga bu Sari itu termasuk berada, sekarang udah ngalahin pak Sapto yang buruh tani aja miskinnya,” cibir bu Mita seenak jidatnya. Mereka pun terdengar cekikikan. “Eman

DMCA.com Protection Status