Beberapa hari berikutnya, kujalani dengan hati senang dan riang gembira. Belum lagi uang belanja untuk 3 hari yang kugunakan membeli perdagingan sekaligus drama kemarin ternyata diganti oleh mas Handi.
Meski tidak biasanya ia mau mengeluarkan uang lebih.
Terlebih lagi beberapa hari ini ipar-iparku tidak memunculkan batang hidungnya di rumahku atau rumah ibu.
Tapi aku lupa, kebahagiaan tidak ada yang abadi. Pasti ada saja duri-duri menanti.
Seperti pada pagi hari yang cerah ini. Sehabis aku mengantar putra putriku sekolah, kubelokkan motor menuju rumah mertua.
“Assala ... “ ucapan salamku terpotong ketika melihat sandal yang sangat amat familiar di mataku.
Itu adalah sandal milik kaka iparku, Risma. Tanpa mengetuk pintu, aku masuk ke dalam rumah mertua dengan cara mengendap-ngendap.
Sudah menjadi kebiasaanku jika dua orang iparku itu berkunjung ke rumah orangtuanya, aku pasti masuk rumah mereka dengan cara seperti ini.
Untuk apa?
Tentu saja untuk mencuri dengar apa yang mereka bicarakan, hehe. Kekepoanku terlalu besar.
Ketika memasuki rumah mertua, aku langsung berada di ruang tamu yang sempit.
Rumah mertua memang minimalis. Saking minimalisnya, hanya lega jika dihuni oleh dua orang saja.
Sambil berjinjit-jinjit, aku menuju dapur yang menggemakan suara mba Risma. Suaranya cukup besar sesuai dengan postur tubuhnya yang gemoy itu.
“Tidak mungkin uang ibu habis, jangan bohong, Bu!” bentak mba Risma sambil menghentakkan kakinya di lantai keramik yang mulai pecah. Bukan pecah karena hentakan kaki mba Risma, tapi karena sudah waktunya saja.
“Ibu tidak bohong, Risma. Uang ibu sudah habis. Lagi pula, dari mana ibu mendapatkan uang sebanyak itu? Kamu tahu ‘kan sawah ibu sudah tidak luas lagi? Hasil panennya hanya bisa mencukupi makan ibu dan bapak,” jawab ibuku dengan tatapan sedih kepada sang putri.
Tanganku mengepal melihat ketidak berdayaan ibu mertua.
Aneh, padahal mas Handi sangat baik pada ibu. Kenapa dua anaknya yang lain mempunyai sifat yang jauh berbeda?
Bukankah mereka diberi makan dengan nafkah yang sama? Tidak mungkin dua puterinya yang lain diberikan makan dengan hasil yang tidak halal bukan?
“Dari mba Hasna? Pasti mba Hasna banyak memberi ibu uang.” Mba Risma menarik kursi dengan kuat dan duduk di atasnya. Ia menatap ibu dengan malas.
“Hasna tidak pernah memberi ibu uang, Risma. Kamu tau sendiri kalau mbamu itu sangat membenci ibu.” Ibu mertua menunduk sambil mengusap air matanya yang tadi berusaha ia tahan.
“Halah, ibu enggak usah lebai deh pakai acara nangis. Bukan cuma mba Hasna yang benci sama ibu, aku juga benci sebenarnya. Gara-gara ibu ketipu sama makelar tanah, jadi miskin gini deh,” ucap mba Risma tanpa rasa bersalah.
“Ibu sih, kenapa enggak nikahkan Handi sama anaknya pak camat saja. Pasti aku dan bisa jadi PNS seperti mba Hasna,” ucapnya lagi.
Dengan wajah kesal iya menatap ibuku, ibu mertuaku.
Wanita tua itu hanya bisa menutup mulutnya rapat-rapat tanpa daya. Sesekali tangan keriputnya mengusap aliran bulir hangat yang membasahi pipi beliau.
Bagaimana dengan aku?
Tentu aku tidak berani ikut campur urusan antara ibu dan anak tersebut.
Bukan takut, tapi aku berusaha menjaga perasaan ibu.
Hatinya sudah begitu pilu mendengar ucapan tidak mengenakkan dari bibir sang anak. Apabila ditambah lagi dengan melihat kami beradu mulut, sudah barang tentu akan menambah daftar sakit hatinya.
“Maafkan ibu, Risma,” lirih ibuku.
Air matanya belum usai juga berjatuhan.
Mba Risma mendengus, “aku tidak butuh maaf. Aku butuh duit! Adit mau study tour ke Surabaya!” kesalnya sambil bangkit dari duduk.
“Kalau ibu punya uang, pasti ibu kasih. Sayangnya ibu tidak ada uang simpanan, Risma,” ucapan wanita tua itu terdengar lemah.
Sungguh aku tidak tega. Namun jika aku muncul di saat seperti ini, bukan memperbaiki malah akan memperkeruh suasana.
“Gadaikan saja sawah, ibu!” sahut mba Risma.
Usulan gilanya seketika memancing kepala ibuku untuk memutar ke arahnya.
Dengan bibir gemetar ibuku berucap, “itu satu-satunya harta ibu yang bisa digunakan untuk mencari nafkah, Risma. Tidak mungkin digadaikan. Lagi pula ibu tidak yakin bisa membayar bulanannya.” Di hadapan anaknya, ibu yang harusnya dihormati seperti tidak berdaya.
“Itu gampang, bulanannya biar aku yang membayarnya. Tanah ibu Cuma sebagai jaminan doang kok,” ucap mba Risma meyakinkan ibunya.
Bukannya mau mendahului Tuhan. Tapi jujurly, aku tidak percaya bahwa iparku bisa membayar iuran yang berbunga-bunga.
Beras saja tiap bulan ngambil dari rumah ibunya.
“Apa kamu sanggup membayar cicilan yang tidak sedikit nantinya. Kamu ‘kan ... “
“Apa? Aku miskin? Ibu meragukan anak sendiri, sama aja mendoakan supaya anaknya tidak mampu!” serunya memotong perkataan ibu yang telah bertaruh nyawa melahirkannya.
Kakiku gemetar, antar sedih dan marah. Banyak-banyak aku berdoa dalam hati agar Allah mampukan aku untuk merawat ibu dan ayah mertua di masa depan. Semoga perekonomian kami melesat naik dan bisa membawa kedua surga kami itu pergi ke tempat yang lebih layak.
“Bukan begitu maksud ibu. Hanya saja, ibu pikir kebutuhanmu banyak, Ris. Ibu takut kamu terbebani,”
“Kalau begitu, ibu saja yang bayar cicilannya.” Mba Risma tersenyum sinis sambil memandang ibu.
“I itu tidak mung... “
“Makanya tidak usah cerewet sih, Bu. Tinggal ibu berikan surat tanahnya saja, beres deh,” ujar mba Risma dengan santai setelah ia lagi-lagi memotong ucapan ibu.
Ibu tidak menjawab lagi. Ia hanya bisa menangis tanpa suara.
Pasti dasa beliau sesak sekali.
“Besok aku ke sini lagi. Kalau sampai ibu tidak mau membantuku, membantu cucu ibu. Awas aja, jangan anggap aku anak lagi!” ancam mba Risma dengan nada tinggi.
Aku cepat-cepat berlari ke luar rumah dan naik ke atas motor.
Bertingkah seolah baru sampai di sana dan tidak mengetahui apapun.
Mba Risma terlihat ke luar rumah tepat setelah aku menjatuhkan bokong di atas jok motor.
Iparku itu terlihat kaget melihat keberadaanku.
Untuk menghindari kecurigaan, kulemparkan senyum ke arahnya. Jangan sampai aku menjambak wanita itu karena sudah keterlaluan.
Mba Risma mendekatiku, “ngapain kamu ke sini? Mau minta beras?” cibir mba Risma.
“Huh, manusia purba ini. Dia sendiri yang tiap bulan minta beras, malah ngatain orang. Kurang gede kacanya di rumah apa gimana?” gumamku dalam hati dengan jengkelnya.
“Sori-sori maaf ya, Mba. Miskin-miskin gini aku enggak pernah nyusahin ibu,” sahutku sembari melempar senyum yang manis.
Wanita bertubuh tambun dengan daster motif polkadot itu merapatkan tubuhnya padaku. Aku yang masih duduk di motor tidak bisa bergerak ke mana-mana.
“Jadi kamu pikir aku nyusahin ibu?” tanyanya sengit. Matanya yang tidak luput dari goresan eyeliner itu menatapku tajam. Seram sekali.
“Emang ada aku nyebut nama Mba? ‘Kan cuma bilang aku enggak pernah nyusahin ibu. Mba tersinggung?”
“Banyak omong kamu, Laras. Udah hilang ingatan kali kamu. Tahun pertama pernikahan kalian, bukannya numpang di rumah ibu? Numpang makan dan segala-galanya,” sindirnya.
Aku menelan ludah. Memang benar kami numpang, tapi listrik, air dan lauk pauk kami yang memenuhi. Ibu dan bapak hanya menyediakan beras juga sayur-sayuran yang memang semua itu tersedia di kebun beliau.
Dengan cepat segera kuturunkan standar motor.
Sekarang kami sudah berhadap-hadapan. Sebenarnya agak takut ribut dengan kaka iparku yg satu ini.
Benar-benar takut digamparnya, bisa hilang nyawaku.
“Kami memang numpang dulu, tapi yang bayar listrik, air, sama makan sehari-hari itu kami!” seruku.
Mba Risma terkejut dengan pembelaanku. Mungkin dia heran tidak seperti biasanya aku seberani ini.
“Ya kalau begitu kenapa pindah? Urus saja tuh ibu mertuamu!” balasnya seraya mengarahkan telunjuknya ke wajahku.
“Udah ah Mba. Bikin nambah banyak dosaku aja kalau ngomong sama Mba. Bukan ngomong ini sih, jatohnya malah adu mulut,” ujarku hendak berlalu meninggalkan perdebatan yang temanya tidak pernah berubah. Lelah jiwa ragaku kalau begini terus. “Eh enggak sopan kamu ya! Main tinggal-tinggal aja,” pekik mba Risma di belakangku. Kuhiraukan saja dia dan kembali masuk ke dalam rumah. Terserah iparku kalau mau mengumpat sepuas hati, aku tidak peduli. Lagi pula tidak terdengar sampai ke dalam rumah. “Assalamualaikum, Ibu,” ucapku sambil melangkah ke dapur. “Waalaikumussalam, ibu di dapur, Laras!” balas ibu setengah berteriak. Aku melangkah perlahan mendekati beliau yang terduduk lesu. Ia mengusap air matanya secara sembunyi-sembunyi. Aku pun sengaja pura-pura tidak memerhatikan beliau dan memilih untuk membuka wajan. Biasanya aku memang seperti ini, memeriksa apakah ibu masak atau tidak. Jika tidak ada makanan, aku akan mengambil dari rumah lalu mengajak ibu makan bersama. “Wah, ibu masa
"Tumben pulang malam, Mas. Biasanya sebelum magrib sudah di rumah," ujarku sambil menyiapkan makan malam. Mas Handi terlihat baru saja keluar dari kamar mandi. Iya nampak terkejut dengan pertanyaanku. Aku memperhatikannya dari sudut mataku. Tangannya yang sedari tadi sibuk mengeringkan rambut dengan anduk tiba-tiba terhenti.Mas Handi menghela napas. Lalu ia mendekatiku perlahan.Hatiku mulai tidak karuan membayangkan hal yang bukan-bukan. Awalnya aku bertanya iseng saja, tapi melihat reaksi mas Handi yang aneh membuatku takut. "Kalau aku beritahu kamu pasti marah," ucapnya sambil memasang wajah bersalah. Keningku mengkerut. Kenapa mas Handi terlihat aneh? "Kenapa harus marah? Memangnya apa yang kamu lakukan?" tanyaku sembari menatapnya tajam. Mas Handi tertunduk lesu. "Apa!" seruku mendesak agar ia menjawab perkataanku. "Tadi siang, mba Hasna dan mba Risma mengajakku makan bersama di restoran yang ada di samping kantor polisi itu. Mba Hasna hanya mengajakku saja, makanya aku
{Jadi kapan kakak bisa bertemu calon pembeli?}Aku menimbang-nimbang sejenak kapan waktu yang tepat aku bisa pergi bertemu dengan calon pembeli itu. Mengingat tanah warisan tersebut berada di kampungku yang jaraknya harus ditempuh dalam waktu 3 jam.Selain jauh, aku juga harus meminta izin kepada mas Handi untuk pergi ke kampungku.{Kakak mau secepatnya, tapi bagaimana caranya minta izin sama mas Handi?} balasku{Tinggal izin aja apa susahnya? Mas Handi tidak pernah melarang, ‘kan?}{Mas Handi memang tidak melarang. Tapi kaka tidak memberitahunya kalau dapat warisan}Pesanku langsung dibaca Angga. Ia terlihat lama mengetik pesan balasan{Kenapa tidak diberi tahu? Mau kakak makan itu semua duitnya?}Dasar Angga, tidak tau duduk perkara main tuduh aja.{Hush, sembarangan. Kakak tidak akan memberitahu mas Handi. Entah kenapa hati kaka menginginkan untuk menyimpan ini semua darinya. Jaga-jaga aja, biar
Sesampainya di kampungku yang bernama Bangun Rejo. Aku segera mencari-cari adikku yang katanya sudah sampai di terminal.Ketika hendak menghubunginya, tiba- tiba punggungku ditepuk oleh seseorang.Aku segera berbalik dan mendapati wajah Angga sedang tersenyum kepadaku.“Apa kabar kak?” ucap Angga hendak meraih tanganku.Segera kuulurkan tangan dan menerima salam Angga.“Alhamdulillah, seperti yang kamu lihat,” jawabku pelan. Kepalaku terasa pusing. Perutku seperti di obok-obok.“Om, motor om Angga mana? Ayo kita pulang. Hanum mau berbaring. Selama di bis tadi Hanum tidak sempat senderan, soalnya ibu muntah sepanjang jalan. Hanum jadi sibuk mijitin punggung ibu,” ujar anakku.Angga menatapku lalu tersenyum mengejek.“Gimana mau jadi orang kaya kalau kakak masih mabuk kendaraan,” cibirnya lalu menarik kedua ponakannya untuk melangkah menuju parkiran motor.“Kalau kakak
“Setelah ini, uangnya mau dibuat apa kak?” Kami sedang duduk di ruang tamu bibik. Baru saja terjadi transaksi jual beli tanah warisan ayahku. Mas Damar, nama pembeli tanah tersebut juga telah mentransfer mahar tanah secara penuh. 90 juta rupiah telah aman berada di dalam rekeningku yang lagi-lagi mas Handi tidak tahu akan hal ini. Rekening ini kubuat untuk menabung agar tidak diketahui mas Handi jika aku memiliki tabungan. Bila mas Handi tahu, maka aku tidak bisa lagi meminta uang padanya dengan bebas untuk kebutuhan sehari-hari dan anak-anak. Bahkan bisa-bisa uang belanja dikurangi karena dianggap nominal yang biasanya terlalu banyak hingga aku masih sempat menabung. Padahal uang tabungan itu lebih banyak dihasilkan dari komisiku menjadi dropshipper di toko online. Dunia per-dropshiper-an ini telah kutekuni selama 2 tahun lebih. Hasilnya cukup lumayan. Setiap bulan aku bisa menghasilkan 3-5 juta rupiah bahkan lebih, hanya dengan rajin memposting produk milik pabrik tertentu. S
“Belanja apa tadi bu Sari, Mang?” tanya seorang wanita bertubuh tambun yang tinggal tepat di depan rumah ibu mertuaku. Aku yang hendak menghampiri gerobak mang Dadang mengurungkan niat dan memilih bersembunyi. “Oh, biasa. Sayur kol sama buncis bu Mita,” jawab mang Dadang, satu-satunya penjual sayur keliling di kampungku. Bu Mita kulihat memiringkan bibirnya, “itu aja? Apa enggak bosen dia makan sayur itu mulu,” “Bosenlah pasti, tapi gimana ya, enggak ada duit kali,” sambung ibu-ibu berlipstik merah di samping bu Mita. Lipstiknya bahkan lebih merah dari tomat yang sedang dia timang. Aku mendengarkan saja gibahan mereka pada ibu mertuaku dari balik mobil yang terparkir, entah mobil siapa. Beruntung mang Dadang berhenti tepat di samping mobil ini. “Haha, dunia memang cepat sekali berputarnya ya jeng Nanik. Dulu keluarga bu Sari itu termasuk berada, sekarang udah ngalahin pak Sapto yang buruh tani aja miskinnya,” cibir bu Mita seenak jidatnya. Mereka pun terdengar cekikikan. “Eman
“Sayur dari ibu ya, Mas?” tanyaku pada suami sambil menunjuk semangkuk sayur sop di atas meja makan kecil kami. “Iya, Dek. Tadi ibu yang ngantar sendiri,” jawab suamiku sambil mengangguk. “Coba kasih tau ibumu itu Mas, jangan sering-sering antar sayur sop. Cukup bikin untuk beliau berdua sama bapak aja, Mas,” ujarku. Mas Handi menghela napas, “ya kamu tau sendirilah gimana ibu, Dek. Enggak enak mas mau larang-larang,” jawab Mas Handi pelan. Kuikuti suamiku menghela napas, memang susah memberitahu orangtua. “Pasti ibu mengantar sayur ini ke rumah Mba Hasna juga, ‘kan?” tanyaku lagi. “He em, sepertinya,” jawab suamiku. Aku hanya bisa menggeleng pelan setelah mendengar jawabannya. Sedangkan Mas Handi kembali menatap ponselnya. “Gimana ya reaksi Mba Hasna waktu dianterin sayur sama ibuk, apa masih kaya biasanya?” gumamku sekaligus bertanya pada suami. “Entahlah, tidak usah ikut campur, Ras. Nanti salah-salah kamu bertengkar lagi sama Mbaku itu,” tegur mas Handi sambil menatapku t
Mataku melotot memandang tas belanja yang kini mendarat di pahaku. Tidak sopannya orang tua ini. Susah payah aku mengontrol emosi, dan sepertinya saat ini aku harus lebih bersusah payah lagi. Ya Allah, berilah hamba Mu ini kesabaran seluas samudera. Jangan setipis tisu. Dengan terpaksa pisau di tangan kuletakkan dengan kasar. “Aku bisa masak daging kok, Mba,” ujarku sambil meletakkan tas belanjanya di atas lantai. “Aku aja, masakanmu tidak cocok di lidahku,” balasnya sambil menjulurkan lidah. “Tidak cocok apanya? Kemarin aku masak telur balado di rumah ibu aja, hampir mba angkut semua,” ucapku sambil tersenyum miring mengingat kerakusan iparku ini. Hampir saja mertuaku tidak kebagian. Iparku yang sukses menjadi ASN ini mengibaskan tangannya, “a-ah itu karena di rumahku lagi tidak ada lauk saja. Aslinya aku sih ogah,” bantahnya. Aku tau ia berbohong dan hanya gengsi saja. Memang tidak mudah merendah untuk orang setinggi kakak iparku itu. “Aku bawa dagingnya,” ucap mba Hasna s
“Setelah ini, uangnya mau dibuat apa kak?” Kami sedang duduk di ruang tamu bibik. Baru saja terjadi transaksi jual beli tanah warisan ayahku. Mas Damar, nama pembeli tanah tersebut juga telah mentransfer mahar tanah secara penuh. 90 juta rupiah telah aman berada di dalam rekeningku yang lagi-lagi mas Handi tidak tahu akan hal ini. Rekening ini kubuat untuk menabung agar tidak diketahui mas Handi jika aku memiliki tabungan. Bila mas Handi tahu, maka aku tidak bisa lagi meminta uang padanya dengan bebas untuk kebutuhan sehari-hari dan anak-anak. Bahkan bisa-bisa uang belanja dikurangi karena dianggap nominal yang biasanya terlalu banyak hingga aku masih sempat menabung. Padahal uang tabungan itu lebih banyak dihasilkan dari komisiku menjadi dropshipper di toko online. Dunia per-dropshiper-an ini telah kutekuni selama 2 tahun lebih. Hasilnya cukup lumayan. Setiap bulan aku bisa menghasilkan 3-5 juta rupiah bahkan lebih, hanya dengan rajin memposting produk milik pabrik tertentu. S
Sesampainya di kampungku yang bernama Bangun Rejo. Aku segera mencari-cari adikku yang katanya sudah sampai di terminal.Ketika hendak menghubunginya, tiba- tiba punggungku ditepuk oleh seseorang.Aku segera berbalik dan mendapati wajah Angga sedang tersenyum kepadaku.“Apa kabar kak?” ucap Angga hendak meraih tanganku.Segera kuulurkan tangan dan menerima salam Angga.“Alhamdulillah, seperti yang kamu lihat,” jawabku pelan. Kepalaku terasa pusing. Perutku seperti di obok-obok.“Om, motor om Angga mana? Ayo kita pulang. Hanum mau berbaring. Selama di bis tadi Hanum tidak sempat senderan, soalnya ibu muntah sepanjang jalan. Hanum jadi sibuk mijitin punggung ibu,” ujar anakku.Angga menatapku lalu tersenyum mengejek.“Gimana mau jadi orang kaya kalau kakak masih mabuk kendaraan,” cibirnya lalu menarik kedua ponakannya untuk melangkah menuju parkiran motor.“Kalau kakak
{Jadi kapan kakak bisa bertemu calon pembeli?}Aku menimbang-nimbang sejenak kapan waktu yang tepat aku bisa pergi bertemu dengan calon pembeli itu. Mengingat tanah warisan tersebut berada di kampungku yang jaraknya harus ditempuh dalam waktu 3 jam.Selain jauh, aku juga harus meminta izin kepada mas Handi untuk pergi ke kampungku.{Kakak mau secepatnya, tapi bagaimana caranya minta izin sama mas Handi?} balasku{Tinggal izin aja apa susahnya? Mas Handi tidak pernah melarang, ‘kan?}{Mas Handi memang tidak melarang. Tapi kaka tidak memberitahunya kalau dapat warisan}Pesanku langsung dibaca Angga. Ia terlihat lama mengetik pesan balasan{Kenapa tidak diberi tahu? Mau kakak makan itu semua duitnya?}Dasar Angga, tidak tau duduk perkara main tuduh aja.{Hush, sembarangan. Kakak tidak akan memberitahu mas Handi. Entah kenapa hati kaka menginginkan untuk menyimpan ini semua darinya. Jaga-jaga aja, biar
"Tumben pulang malam, Mas. Biasanya sebelum magrib sudah di rumah," ujarku sambil menyiapkan makan malam. Mas Handi terlihat baru saja keluar dari kamar mandi. Iya nampak terkejut dengan pertanyaanku. Aku memperhatikannya dari sudut mataku. Tangannya yang sedari tadi sibuk mengeringkan rambut dengan anduk tiba-tiba terhenti.Mas Handi menghela napas. Lalu ia mendekatiku perlahan.Hatiku mulai tidak karuan membayangkan hal yang bukan-bukan. Awalnya aku bertanya iseng saja, tapi melihat reaksi mas Handi yang aneh membuatku takut. "Kalau aku beritahu kamu pasti marah," ucapnya sambil memasang wajah bersalah. Keningku mengkerut. Kenapa mas Handi terlihat aneh? "Kenapa harus marah? Memangnya apa yang kamu lakukan?" tanyaku sembari menatapnya tajam. Mas Handi tertunduk lesu. "Apa!" seruku mendesak agar ia menjawab perkataanku. "Tadi siang, mba Hasna dan mba Risma mengajakku makan bersama di restoran yang ada di samping kantor polisi itu. Mba Hasna hanya mengajakku saja, makanya aku
“Udah ah Mba. Bikin nambah banyak dosaku aja kalau ngomong sama Mba. Bukan ngomong ini sih, jatohnya malah adu mulut,” ujarku hendak berlalu meninggalkan perdebatan yang temanya tidak pernah berubah. Lelah jiwa ragaku kalau begini terus. “Eh enggak sopan kamu ya! Main tinggal-tinggal aja,” pekik mba Risma di belakangku. Kuhiraukan saja dia dan kembali masuk ke dalam rumah. Terserah iparku kalau mau mengumpat sepuas hati, aku tidak peduli. Lagi pula tidak terdengar sampai ke dalam rumah. “Assalamualaikum, Ibu,” ucapku sambil melangkah ke dapur. “Waalaikumussalam, ibu di dapur, Laras!” balas ibu setengah berteriak. Aku melangkah perlahan mendekati beliau yang terduduk lesu. Ia mengusap air matanya secara sembunyi-sembunyi. Aku pun sengaja pura-pura tidak memerhatikan beliau dan memilih untuk membuka wajan. Biasanya aku memang seperti ini, memeriksa apakah ibu masak atau tidak. Jika tidak ada makanan, aku akan mengambil dari rumah lalu mengajak ibu makan bersama. “Wah, ibu masa
Beberapa hari berikutnya, kujalani dengan hati senang dan riang gembira. Belum lagi uang belanja untuk 3 hari yang kugunakan membeli perdagingan sekaligus drama kemarin ternyata diganti oleh mas Handi. Meski tidak biasanya ia mau mengeluarkan uang lebih. Terlebih lagi beberapa hari ini ipar-iparku tidak memunculkan batang hidungnya di rumahku atau rumah ibu. Tapi aku lupa, kebahagiaan tidak ada yang abadi. Pasti ada saja duri-duri menanti. Seperti pada pagi hari yang cerah ini. Sehabis aku mengantar putra putriku sekolah, kubelokkan motor menuju rumah mertua. “Assala ... “ ucapan salamku terpotong ketika melihat sandal yang sangat amat familiar di mataku. Itu adalah sandal milik kaka iparku, Risma. Tanpa mengetuk pintu, aku masuk ke dalam rumah mertua dengan cara mengendap-ngendap. Sudah menjadi kebiasaanku jika dua orang iparku itu berkunjung ke rumah orangtuanya, aku pasti masuk rumah mereka dengan cara seperti ini. Untuk apa? Tentu saja untuk mencuri dengar apa yang merek
Mataku melotot memandang tas belanja yang kini mendarat di pahaku. Tidak sopannya orang tua ini. Susah payah aku mengontrol emosi, dan sepertinya saat ini aku harus lebih bersusah payah lagi. Ya Allah, berilah hamba Mu ini kesabaran seluas samudera. Jangan setipis tisu. Dengan terpaksa pisau di tangan kuletakkan dengan kasar. “Aku bisa masak daging kok, Mba,” ujarku sambil meletakkan tas belanjanya di atas lantai. “Aku aja, masakanmu tidak cocok di lidahku,” balasnya sambil menjulurkan lidah. “Tidak cocok apanya? Kemarin aku masak telur balado di rumah ibu aja, hampir mba angkut semua,” ucapku sambil tersenyum miring mengingat kerakusan iparku ini. Hampir saja mertuaku tidak kebagian. Iparku yang sukses menjadi ASN ini mengibaskan tangannya, “a-ah itu karena di rumahku lagi tidak ada lauk saja. Aslinya aku sih ogah,” bantahnya. Aku tau ia berbohong dan hanya gengsi saja. Memang tidak mudah merendah untuk orang setinggi kakak iparku itu. “Aku bawa dagingnya,” ucap mba Hasna s
“Sayur dari ibu ya, Mas?” tanyaku pada suami sambil menunjuk semangkuk sayur sop di atas meja makan kecil kami. “Iya, Dek. Tadi ibu yang ngantar sendiri,” jawab suamiku sambil mengangguk. “Coba kasih tau ibumu itu Mas, jangan sering-sering antar sayur sop. Cukup bikin untuk beliau berdua sama bapak aja, Mas,” ujarku. Mas Handi menghela napas, “ya kamu tau sendirilah gimana ibu, Dek. Enggak enak mas mau larang-larang,” jawab Mas Handi pelan. Kuikuti suamiku menghela napas, memang susah memberitahu orangtua. “Pasti ibu mengantar sayur ini ke rumah Mba Hasna juga, ‘kan?” tanyaku lagi. “He em, sepertinya,” jawab suamiku. Aku hanya bisa menggeleng pelan setelah mendengar jawabannya. Sedangkan Mas Handi kembali menatap ponselnya. “Gimana ya reaksi Mba Hasna waktu dianterin sayur sama ibuk, apa masih kaya biasanya?” gumamku sekaligus bertanya pada suami. “Entahlah, tidak usah ikut campur, Ras. Nanti salah-salah kamu bertengkar lagi sama Mbaku itu,” tegur mas Handi sambil menatapku t
“Belanja apa tadi bu Sari, Mang?” tanya seorang wanita bertubuh tambun yang tinggal tepat di depan rumah ibu mertuaku. Aku yang hendak menghampiri gerobak mang Dadang mengurungkan niat dan memilih bersembunyi. “Oh, biasa. Sayur kol sama buncis bu Mita,” jawab mang Dadang, satu-satunya penjual sayur keliling di kampungku. Bu Mita kulihat memiringkan bibirnya, “itu aja? Apa enggak bosen dia makan sayur itu mulu,” “Bosenlah pasti, tapi gimana ya, enggak ada duit kali,” sambung ibu-ibu berlipstik merah di samping bu Mita. Lipstiknya bahkan lebih merah dari tomat yang sedang dia timang. Aku mendengarkan saja gibahan mereka pada ibu mertuaku dari balik mobil yang terparkir, entah mobil siapa. Beruntung mang Dadang berhenti tepat di samping mobil ini. “Haha, dunia memang cepat sekali berputarnya ya jeng Nanik. Dulu keluarga bu Sari itu termasuk berada, sekarang udah ngalahin pak Sapto yang buruh tani aja miskinnya,” cibir bu Mita seenak jidatnya. Mereka pun terdengar cekikikan. “Eman