"Amber, tolong keluar sebentar! Kita harus bicara." Mendengar seruan dari luar pintu itu, Amber pun terbelalak. Dengan penuh tanya, ia mengamati mata suaminya. "Ruby mencariku? Bukan mencarimu? Apa yang dia inginkan?" Alis Adam mulai berkerut tak senang. Kekhawatiran telah menambah gerah tubuhnya. Ia yakin, mantan kekasihnya itu masih mengenakan pakaian tipis tadi. Pertengkaran pasti akan terjadi jika sampai Amber melihatnya. "Abaikan saja. Dia pasti sengaja ingin mengganggu kita," gumam Adam sebelum menyunggingkan senyum dan membelai lembut wajah istrinya. Namun, tepat ketika ia hendak merapat, suara ketukan kembali mencuri perhatian. "Amber, apa kau tidak dengar? Kita harus bicara. Ada yang perlu kau ketahui tentang Adam." Keresahan sang pria tidak bisa lagi diredam. Sembari menggertakkan geraham, ia meraih ponsel dan memasang lagu dengan volume maksimal. "Kau sungguh tidak ingin diganggu, rupanya," ujar Amber yang terbaca lewat gerak mulut. "Ya, aku ingin melahapmu sekar
Melihat air mata kemarahan menebal di pelupuk Amber, Ruby mendengus remeh. Sembari melipat tangan di depan dada dan memiringkan kepala, ia menambah bara dalam hati lawannya. “Aku heran kenapa kau begitu mudah percaya pada suamimu. Tadi pagi saja, kau seharusnya sudah curiga melihat kami berbisik-bisik mesra. Kau tahu apa yang sesungguhnya dikatakan Adam kepadaku?” Ruby menempatkan sebelah tangan di samping mulut lalu berbisik, “Dia bingung harus mulai dari mana untuk menyingkirkanmu.” Tanpa terduga, tangan Amber melayang menuju kepala Ruby. Dengan sekuat tenaga, ia mencengkeram rambut yang mengganggu matanya itu. “Hei!” Ruby spontan meringis dan membungkuk. Kulit kepalanya bisa ikut tercabut jika ia tidak mengikuti arah gerak Amber. “Aku sudah tidak bisa bersabar lagi menghadapimu. Pelakor murahan sepertimu tidak pantas dibantu. Kau seharusnya membeku saja di kolam itu!” Tanpa sedikit pun iba, si wanita hamil mulai menyeret Rambut Merah itu keluar. Ia tidak peduli jika perempu
“Hentikan, Adam! Tolong beri aku waktu. Untuk saat ini, aku tidak ingin mendengar apa-apa darimu,” tutur Amber seraya memejamkan mata. Rasa pusing mulai mengguncang kepalanya. “Tapi Precious—” “Kubilang hentikan!” hardiknya dengan suara mendidih. Kedua tangannya kini terangkat menutupi telinga. “Jangan jelaskan apa pun lagi! Aku tidak ingin tahu.” Adam semakin sesak melihat penderitaan Amber. Ia tidak berani lagi bersuara, khawatir jika kata-katanya menambah duri dalam jantung istrinya itu. Sambil menelan ludah pahit, ia bergeser mendekat. Tangannya terulur menuju pundak yang terbebani kesedihan itu. Malangnya, ketika ia hampir menyentuh, Amber sudah lebih dulu berlari masuk ke rumah. “Precious ....” Adam hanya bisa menatap punggung sang istri dengan mata berkaca-kaca. Ia ingin sekali merengkuhnya, mengucap kata maaf dan segala penyesalan. Namun, ia juga mengerti bahwa bukan itu yang dapat memulihkan kepercayaan, melainkan pembuktian. “Kau!” hardiknya sembari berbalik mengh
“Mama?” desah Adam tak percaya. Kakinya tanpa sadar bergerak mundur, terdorong oleh keterkejutan. “Tega-teganya kau menyakiti putriku! Aku sudah menaruh harapan dan kepercayaan yang teramat besar padamu. Tapi ternyata, kau berani menyia-nyiakan itu?” hardik Nyonya Lim seraya menusuk pundak menantunya dengan telunjuk. Adam yang belum mendapatkan akal sehat kembali, hanya terdiam mengamati keadaan. Ia sadar bahwa perempuan di hadapannya sedang terbakar oleh emosi. Ia tahu bahwa istrinya yang masih duduk di atas kasur juga terbelalak menatap kehadiran sang ibu. Akan tetapi, otaknya terus gagal menelurkan solusi. Ketika pandangannya jatuh pada perempuan berambut merah yang tersenyum di balik punggung Nyonya Lim, barulah lidahnya mampu mengalahkan kekakuan. “Apa yang kau katakan kepada ibu mertuaku sampai dia semarah ini?” desahnya tipis. “Kau sungguh keterlaluan, Adam!” sela Nyonya Lim seraya menegakkan telunjuk di depan muka sang menantu. “Aku sedang bicara denganmu tapi kau malah
Ruby tersenyum saat melihat Adam keluar dari kolam es. Ia kagum melihat keindahan yang terpahat itu dan salut pada ketahanan sang pria terhadap dingin. “Moonstone, bagaimana kalau kau mengajariku cara mandimu itu? Jadi, kalau aku tercemplung lagi ke kolam es, kita tidak perlu panik,” ujar Ruby sembari menyodorkan mantel. Namun, alih-alih mengambil pakaian di tangannya, sang pria malah memungut kaus kaki dan mulai mengenakannya. “Tidak perlu sekarang,” lanjut Ruby, mengabaikan penolakan dari Adam. Ia tidak boleh terlihat menyedihkan. “Besok juga tidak apa-apa. Aku akan menyiapkan bikini spesial untuk sesi latihan itu.” Beberapa detik berlalu, sang pria tidak juga merespon. Ia terus fokus memakai sarung tangan lalu menyentak mantelnya dari genggaman Ruby. Sikapnya itu membuat sang wanita jenuh. “Hei, mau sampai kapan kau mendiamkanku?” tanya si Rambut Merah ketus. Ia bosan merayu tanpa timbal balik. “Dengarkan aku baik-baik! Perempuan itu sudah pergi. Dia tidak ingin bersamamu la
“Gagal bagaimana?” balas seorang pria dari seberang ponsel. Suaranya terdengar agak panik dan kesal. “Aku sudah berhasil membuat istrinya pergi. Tapi sekarang, Adam juga pergi. Aku seorang diri di hutan ini. Sekarang juga, cepat kirimkan jemputan untukku!” terang Ruby sembari menyeret koper dan mantelnya kembali ke pondok. Alih-alih marah, Edward malah tertawa. Kegeliannya membuat darah Ruby semakin mendidih. “Jangan menertawakanku! Sudah kukatakan kalau rencana ini tidak akan berhasil. Adam sudah tidak mencintaiku lagi. Sia-sia aku merendahkan diriku sendiri kalau hasilnya seperti ini.” “Jangan merasa rendah! Bukankah dulu kau sudah sering memperlihatkan tubuhmu kepadanya? Interaksi kalian dulu justru jauh lebih intim daripada rayuanmu semalam,” celetuk Edward, sukses membuat Ruby membekukan langkah dan mendesah tak percaya. “Suami macam apa kau ini? Istrimu hampir melayani laki-laki lain, tapi kau malah santai saja? Kau seh
“Sayang, kenapa kau belum tidur? Ingat kata dokter, kau harus banyak istirahat.” Mendengar suara lembut itu, Amber pun menoleh ke arah pintu. Sang ibu ternyata sedang berjalan menghampirinya. “Ini masih terlalu cepat untuk tidur, Ma,” balas perempuan pucat itu dengan tampang datar. Ia tidak bisa memalsukan senyum. Hatinya sudah terlalu kacau. “Kalau begitu, kau pasti senang mendapat panggilan ini. Lihatlah, teman-temanmu ingin menyapa.” Nyonya Lim menunjukkan layar ponselnya ke hadapan sang putri. Sedetik kemudian, tiga orang wanita kompak melambaikan tangan. Semuanya tersenyum walau mata mereka memancarkan iba. “Hai, Amber ....” Bukannya menjawab, Amber malah tertegun. Wajah-wajah itu telah membangkitkan kenangan. Terakhir mereka bertemu adalah di hari pernikahannya, hari di mana Adam masih bersamanya, hari ketika kebahagiaan mereka masih sempurna. Perlahan-lahan, air mata mulai tergenang di batas pelupuknya.
Mendengar suara serak itu, mata Sebastian pun melebar. Sembari menegakkan punggung dari sandaran kursi, ia mendesah tak percaya, “Amber?” Sang wanita tidak menjawab. Ia terlalu sibuk mengendalikan jeda napasnya yang terlalu rapat. Sebastian menjadi semakin yakin bahwa itu memang dirinya. “Hei, bagaimana keadaanmu? Apakah sudah merasa lebih baik?” tanya sang pria tanpa basa-basi. Ia sudah menahan kekhawatiran selama berjam-jam. Alih-alih menjawab, Amber malah membunyikan tangis. Tangannya kini mencengkeram dadanya yang sesak. “Tidak, Bas. Perasaanku malah semakin buruk.” “Kenapa?” selidik Sebastian lirih. “Haruskah aku terbang ke sana sekarang? Mungkin saja, aku bisa membuat perasaanmu menjadi lebih baik.” Amber menggeleng walau gerakannya tidak terlihat. “Jangan. Kau baru saja pulang. Aku tidak mau kau menyia-nyiakan waktu untuk kembali ke sini.” “Lalu bagaimana? Apa yang bisa kulakukan untuk mengurangi kesedihanmu?” tanya Sebast