“Sayang, kenapa kau belum tidur? Ingat kata dokter, kau harus banyak istirahat.”
Mendengar suara lembut itu, Amber pun menoleh ke arah pintu. Sang ibu ternyata sedang berjalan menghampirinya.
“Ini masih terlalu cepat untuk tidur, Ma,” balas perempuan pucat itu dengan tampang datar. Ia tidak bisa memalsukan senyum. Hatinya sudah terlalu kacau.
“Kalau begitu, kau pasti senang mendapat panggilan ini. Lihatlah, teman-temanmu ingin menyapa.”
Nyonya Lim menunjukkan layar ponselnya ke hadapan sang putri. Sedetik kemudian, tiga orang wanita kompak melambaikan tangan. Semuanya tersenyum walau mata mereka memancarkan iba.
“Hai, Amber ....”
Bukannya menjawab, Amber malah tertegun. Wajah-wajah itu telah membangkitkan kenangan. Terakhir mereka bertemu adalah di hari pernikahannya, hari di mana Adam masih bersamanya, hari ketika kebahagiaan mereka masih sempurna. Perlahan-lahan, air mata mulai tergenang di batas pelupuknya.
<Mendengar suara serak itu, mata Sebastian pun melebar. Sembari menegakkan punggung dari sandaran kursi, ia mendesah tak percaya, “Amber?” Sang wanita tidak menjawab. Ia terlalu sibuk mengendalikan jeda napasnya yang terlalu rapat. Sebastian menjadi semakin yakin bahwa itu memang dirinya. “Hei, bagaimana keadaanmu? Apakah sudah merasa lebih baik?” tanya sang pria tanpa basa-basi. Ia sudah menahan kekhawatiran selama berjam-jam. Alih-alih menjawab, Amber malah membunyikan tangis. Tangannya kini mencengkeram dadanya yang sesak. “Tidak, Bas. Perasaanku malah semakin buruk.” “Kenapa?” selidik Sebastian lirih. “Haruskah aku terbang ke sana sekarang? Mungkin saja, aku bisa membuat perasaanmu menjadi lebih baik.” Amber menggeleng walau gerakannya tidak terlihat. “Jangan. Kau baru saja pulang. Aku tidak mau kau menyia-nyiakan waktu untuk kembali ke sini.” “Lalu bagaimana? Apa yang bisa kulakukan untuk mengurangi kesedihanmu?” tanya Sebast
“A-apa maksudmu, Moonstone? Aku tidak mengerti,” Ruby berpura-pura bodoh. Hanya itu cara untuk menyelamatkan diri yang terpikirkan olehnya. “Kau masih berani bersandiwara?” Selang satu dengus cepat, Adam meruncingkan telunjuk ke depan wajah sang wanita. “Jangan kira aku tidak tahu! Sejak awal, aku memang sudah mencurigai kedatanganmu.” Ruby pun terperangah. Sambil berusaha mengendalikan ketegangan, ia menggeleng lambat. “Curiga apa? Tentang niatku untuk merebutmu? Bukankah itu hal yang sangat jelas? Aku memang masih mencintai dan menginginkanmu, Adam.” “Kau sudah menghancurkan hidupku demi mendapat perhatian dari Ed, dan sekarang kau masih mau menyangkal?” hardik Adam dengan mata yang nyaris melompat keluar. Tanpa memedulikan tatapan dari orang-orang di sekitar mereka, ia mencengkeram kerah mantel Ruby. Sang wanita hanya sanggup membelalakkan mata dan menahan napas. “Kau sudah merusak keharmonisan keluargaku, membuat Amber marah dan pergi dari sisiku. Sekarang, kau masih berpura
Adam duduk di dekat jendela. Tatapan sendunya mengarah ke luar. Salju telah turun lebih lebat. Jika saja ia dan Amber masih di rumah, mereka pasti sedang duduk berdua, berbagi selimut sembari menikmati secangkir teh hangat. Namun kenyataannya, tidak ada kursi lain di sampingnya. Tidak ada cerita ataupun tawa yang memanjakan telinganya. Tanpa sadar, air mata mulai menghalangi pandangan Adam. Sebelum kesedihannya keluar dari batas, suara Nick membuyarkan lamunan. “Bos, kau menangis?” Adam spontan berkedip dan menegakkan punggung. Sembari menyentak alis, ia menggeleng samar. “Tidak.” “Ya, kau menangis,” tegas pria yang membungkuk memperhatikan mata bosnya. Setelah meletakkan dua cangkir kopi di ambang jendela, ia menarik kursi dan duduk di samping Adam. “Sebenarnya, ke mana istrimu pergi, Bos? Kau pasti sedang memikirkannya.” Adam menelan ludah pahit. Ia tidak terbiasa mengutarakan perasaan kepada orang lain. Namun, ia tidak memiliki pilihan lain.
"Untuk apa kau datang kemari? Bukankah kau sudah bahagia bersama perempuan itu? Tidak ada siapa pun yang mengganggu kalian lagi," bentak Amber ketika keluar dari pintu. Mata merahnya tampak begitu layu dan sendu. Sekalipun ia memaksakan pelupuk untuk terangkat lebih tinggi, kemarahannya tidak terlihat nyata bagi Adam. "Aku merindukanmu, Precious, sangat-sangat merindukanmu." Tanpa berpikir panjang, sang pria mengulurkan tangan. Ia sudah tidak sabar ingin merengkuh istrinya itu. Namun, sebelum jemari Adam tiba di lengan kurusnya, Amber melangkah mundur. "Jangan sentuh aku! Aku tidak mau dikotori oleh tanganmu yang hina itu." Seketika, sorot mata Adam kembali meredup. Senyumnya pecah bersamaan dengan desah kecewa. "Kenapa kau berkata begitu? Kau masih tidak percaya kalau aku tidak menyentuh perempuan licik itu?" "Tidak akan ada yang percaya, apalagi aku yang telah melihat tanda bukti di lehermu." Sembari menggerta
"Hei, sudah merasa lebih baik?" tanya Sebastian ketika Amber beranjak dari kasur. Setelah mengangguk lesu, wanita itu memegangi lehernya yang terasa gersang, "Aku mau minum." Dengan sigap, Sebastian mengambilkan segelas air. Selagi wanita hamil itu membasahi kerongkongan, ia mengusap kepalanya lembut. “Tubuhmu sudah tidak terlalu panas,” gumamnya lega. Sambil mengelap mulut, Amber menurunkan pandangan. Ia tidak ingin kesedihannya terlihat. “Terima kasih, Bas. Aku bisa melewati masalah ini berkat bantuanmu.” “Aku tidak melakukan apa-apa, Amber,” desah Sebastian seraya mengembalikan gelas ke atas meja. Kemudian, dengan alis berkerut samar, ia menatap temannya lekat-lekat. “Tapi, apa kau yakin masalah ini sudah berlalu?” Sang wanita terdiam sejenak. Keraguan telah membebani pikirannya. “Adam pasti menganggap aku sudah berpaling kepadamu. Dia tidak akan berani memintaku kembali padanya lagi,” jawabnya ragu. “Apakah dengan beg
Begitu membuka pintu, Amber terbelalak menatap kehampaan. Tidak ada seorang pun berlutut di sana. Yang ada hanya udara dingin dan hamparan salju di sekitar vila. “Adam?” panggilnya dengan suara bergetar. Pikiran buruk telah memenuhi kepalanya. Bagaimana kalau suaminya itu tidak sanggup mengatasi patah hati? Bagaimana kalau serangan paniknya datang? Atau yang lebih buruk, bagaimana kalau laki-laki itu nekat lagi? “Tidak! Adam tidak mungkin menyakiti diri sendiri,” desah Amber seraya mengusir ketakutan lewat gelengan kepala. Setelah menelan kepahitan, ia melangkah mengikuti intuisi. “Adam? Adam!” Malangnya, tidak ada seorang pun yang menyahut. Sembari terengah-engah, Amber terus memperhatikan sekeliling. Namun, sang suami tidak kunjung terlihat. Ia tidak tahu harus cemas atau lega karena suaminya tidak tergeletak di pekarangan hingga tiba-tiba, matanya mengenali mobil yang terparkir di samping mobil ibunya. “Jewel?” Mendapat secercah harapan, sudut bibir Amber pun menanggalkan be
“Maafkan aku, Jewel. Aku juga tidak mengerti kenapa aku bisa sekasar itu kepadamu. Kalau saja aku mendengarkannya sejak awal, kau tidak mungkin mengalami hipotermia ringan seperti tadi dan kita masih menggenggam barang bukti,” tutur Amber sebelum menggigit bibir menahan tangis. Sekali lagi, Adam tertawa ringan. Walau tanpa suara, ia mampu membendung tangis istrinya. “Kenapa kau malah tertawa? Apa yang lucu? Ini masalah serius, Jewel. Sekarang kita tidak punya bukti untuk melawan kakakmu,” tutur Amber serius. “Kau tidak perlu cemas, Precious. Semua telah kupertimbangkan dengan matang. Sekarang, mari bersantai sejenak. Sudah lama aku tidak memelukmu seperti ini,” ujar sang pria sembari merapatkan kepala sang istri ke pundaknya. Namun, belum lewat dua detik, Amber kembali mendongak. “Kau bisa bersantai di saat orang lain menikmati hasil kerja kerasmu?” Memahami keresahan sang istri, Adam pun terpaksa bangkit dari tempat ti
“Harus berapa kali kukatakan? Kau tidak perlu merasa bersalah, Amber. Kondisiku saat ini hanyalah bagian dalam siklus hidup.” Sedetik kemudian, Sebastian meruncingkan telunjuk ke arah jendela. Lengkung bibirnya terbentang lebih lebar. “Bukankah saat matahari bersinar, dunia akan kembali terang? Dan pada suatu titik, salju akan mencair lalu bunga-bunga bermekaran.” Selang satu helaan napas panjang, pria itu mengangguk-angguk samar. Pandangannya menerawang semakin jauh. “Aku yakin, suatu saat nanti, hatiku juga akan kembali indah. Aku hanya perlu menunggu waktu dan orang yang tepat.” Melihat sikap optimis sahabatnya itu, Amber tidak lagi menundukkan kepala. Senyum kecil kini terpasang di wajahnya. “Kuharap kau segera menemukan mataharimu, Bas.” “Aku juga berharap begitu,” balas Sebastian sebelum memberikan senyum terbaiknya. Mungkin, itulah saat terakhirnya menatap Amber dengan ketulusan penuh. Setelah merasa cuku