“Maafkan aku, Jewel. Aku juga tidak mengerti kenapa aku bisa sekasar itu kepadamu. Kalau saja aku mendengarkannya sejak awal, kau tidak mungkin mengalami hipotermia ringan seperti tadi dan kita masih menggenggam barang bukti,” tutur Amber sebelum menggigit bibir menahan tangis.
Sekali lagi, Adam tertawa ringan. Walau tanpa suara, ia mampu membendung tangis istrinya.
“Kenapa kau malah tertawa? Apa yang lucu? Ini masalah serius, Jewel. Sekarang kita tidak punya bukti untuk melawan kakakmu,” tutur Amber serius.
“Kau tidak perlu cemas, Precious. Semua telah kupertimbangkan dengan matang. Sekarang, mari bersantai sejenak. Sudah lama aku tidak memelukmu seperti ini,” ujar sang pria sembari merapatkan kepala sang istri ke pundaknya. Namun, belum lewat dua detik, Amber kembali mendongak.
“Kau bisa bersantai di saat orang lain menikmati hasil kerja kerasmu?”
Memahami keresahan sang istri, Adam pun terpaksa bangkit dari tempat ti
“Harus berapa kali kukatakan? Kau tidak perlu merasa bersalah, Amber. Kondisiku saat ini hanyalah bagian dalam siklus hidup.” Sedetik kemudian, Sebastian meruncingkan telunjuk ke arah jendela. Lengkung bibirnya terbentang lebih lebar. “Bukankah saat matahari bersinar, dunia akan kembali terang? Dan pada suatu titik, salju akan mencair lalu bunga-bunga bermekaran.” Selang satu helaan napas panjang, pria itu mengangguk-angguk samar. Pandangannya menerawang semakin jauh. “Aku yakin, suatu saat nanti, hatiku juga akan kembali indah. Aku hanya perlu menunggu waktu dan orang yang tepat.” Melihat sikap optimis sahabatnya itu, Amber tidak lagi menundukkan kepala. Senyum kecil kini terpasang di wajahnya. “Kuharap kau segera menemukan mataharimu, Bas.” “Aku juga berharap begitu,” balas Sebastian sebelum memberikan senyum terbaiknya. Mungkin, itulah saat terakhirnya menatap Amber dengan ketulusan penuh. Setelah merasa cuku
Adam tertawa tipis saat melihat ponsel di hadapannya. Setelah tiga hari berlalu, apa yang ia prediksikan akhirnya menjadi kenyataan. Hampir semua portal berita bisnis membahas tentang Smith Company yang semakin dekat dengan kehancuran. “Lihatlah, Precious! Kita menang telak. Ed tidak berani lagi menampakkan diri di depan kamera. Dia pasti sedang kebingungan menghadapi konsekuensi dari perbuatan buruknya,” gumam Adam seraya menggosok-gosok lengan wanita yang bersandar pada pundaknya. Alih-alih ikut tertawa, Amber malah menghela napas samar. Alisnya berkerut dan tangannya terus mengelus perut. Menyadari keheningan itu, Adam pun melirik. Ketika mendapati kegelisahan sang istri, ia langsung menurunkan ponsel dan memutar posisi duduk. “Ada apa, Precious? Kenapa kau murung? Apakah kau kecewa karena kita tidak jadi berbulan madu?” tanyanya seraya mengelus pipi yang tampak pucat itu. “Tidak, Jewel, bukan itu,” sahut Amber lirih. Sede
“Apa yang akan kau lakukan sekarang, hah?” hardik sang ibu di sela napasnya yang menderu. “Kau ingin diam saja? Menyaksikan penderitaan keluargamu sambil tertawa gembira? Kau ini tidak punya hati atau apa?” Adam terpejam meredam kemarahan. Masih tersisa sedikit kesabaran dalam dirinya. Ia sadar bahwa akal sehat tetap harus dipertahankan walaupun hatinya berserakan. “Kenapa kau diam saja? Jawab ibumu! Kau kira aku akan membiarkanmu lolos hanya dengan berpura-pura lugu? Semua ini kesalahanmu, Adam, kesalahanmu!” “Kenapa Ibu selalu menyalahkanku?” balas pria yang akhirnya menegakkan kepala. Mata merahnya tidak lagi menyembunyikan kesedihan. “Sudah jelas bahwa Ed-lah yang bersalah. Dia mencuri konsepku dan mengaku-ngaku bahwa hubungan kami telah membaik. Padahal, Ibu tahu sendiri bagaimana kelakuannya terhadapku.” “Ed tidak mungkin melakukan semua ini kalau kau kembali sejak dulu! Apa kau belum sadar juga? Sejak kau kabur, perusahaan menjadi goyah.
Amber pergi ke dapur dengan langkah tergesa-gesa. Tangannya menggenggam ponsel dengan erat, sementara matanya terbelalak mencari Adam. Mulutnya yang sedikit terbuka sudah siap untuk memanggil sang suami. Namun, begitu menemukan pria itu bergeming menghadap wastafel, kepanikannya teredam. Pundaknya tidak lagi tinggi dan tarikan napasnya pun berubah menjadi embusan samar. “Adam melamun lagi?” Kebingungan, Amber mulai menggigit bibir. Selang satu desah cepat, ia pun meletakkan ponsel di atas meja lalu pergi menghampiri suaminya. “Piring itu bisa jadi transparan kalau kau terus menggosoknya.” Adam tersentak mendengar suara lembut istrinya itu. Sambil mengerjap, ia menoleh dengan alis terangkat tinggi. “Precious, kenapa kau kembali ke dapur? Apakah kau masih lapar? Makan malammu kurang?” Amber menggeleng sambil tersenyum kecut. “Tidak. Aku cuma heran apa yang membuatmu begitu lama. Lihatlah, tanganmu sampai keriput begini.” Dengan
“Adam,” bisik Amber sembari mengguncang pundak suaminya, “Adam!” Diiringi erangan kecil, Adam memaksakan diri untuk membuka mata. “Ada apa, Precious? Bukankah kita sudah berencana untuk bangun lebih siang hari ini?” “Ya, tapi ini darurat! Kau tahu siapa yang sejak tadi mengetuk pintu?” Dalam sekejap, raut sang pria berubah serius. “Ada yang mengetuk pintu? Siapa?” “Wartawan! Entah siapa yang memberitahukan alamat kita. Mereka sudah berbaris di luar sana,” terang Amber dengan suara pelan yang penuh penekanan. Bukannya ikut gelisah, Adam malah memperdalam kerut alis. “Lalu, kenapa kau panik?” Sang wanita hamil sontak terdiam. Sembari memundurkan kepala, ia berkedip-kedip. “Bukankah selama ini kau tidak mau rumah kita diketahui oleh publik? Kau menginginkan kehidupan yang tenang?” Tanpa terduga, Adam menyunggingkan senyuman. Wajahnya tampak ikhlas dan tanpa beban. “Kita tidak bisa selamanya bersembunyi, Precious.
"Jadi, pagi ini kau mau sarapan apa?" tanya Adam setelah menutup pintu. Sembari membuka mantel, Amber berkedip-kedip. "Apa saja boleh." "Tapi, aku sedang ingin membuatkan makanan spesial. Anggap saja itu sebagai perayaan kecil atas lancarnya wawancara tadi," terang sang pria seraya membantu sang istri melepas atribut musim dinginnya. "Kalau begitu, buatkan aku sup asparagus!" Amber mengacungkan telunjuk dengan mata berbinar. Adam spontan meringis. "Tidak ada asparagus di dapur. Bagaimana kalau sup brokoli saja?" "Itu juga boleh," sahut Amber manja. "Baiklah, mohon tunggu sebentar, Ratuku. Sarapan istimewamu akan segera tiba," tutur Adam sebelum mengecup punggung tangan sang istri. Setelah melucuti mantel dan sarung tangan, ia pun bergegas ke dapur. "Adam manis sekali," batin Amber saat melihat punggung suaminya menjauh. "Untunglah masalah cepat berlalu." Namun, belum sempat senyum Amber memudar, bunyi
“Tapi ...,” desahnya sebelum berkedip lambat dan menoleh ke arah pintu, “bagaimana dengan si Rambut Mencolok itu? Apakah dia baik-baik saja? Bagaimana kalau dia melakukan sesuatu yang nekat lagi?” Tak menduga akan mendapat respon semacam itu, Adam pun mematung. Sambil mengerutkan alis, ia memperhatikan wajah sang istri. “Kau tidak perlu khawatir, Precious. Dia dulu menceburkan diri ke kolam untuk mendapat simpati dariku. Sekarang, dia tidak punya alasan kuat semacam itu lagi.” “Bisa saja dia melakukan hal itu karena putus asa.” Melihat ketegangan Amber belum memudar, Adam kembali melebarkan senyum. Dengan lembut, ia mengelus pipi istrinya itu. “Aku tidak mau mengulangi kesalahan. Cukup dua kali kita terpisah oleh kesalahpahaman. Sekarang, kita tidak boleh terjebak oleh permainan Ruby lagi.” Sedetik kemudian, Adam menarik sang istri menuju dapur. “Daripada memikirkan hal yang tidak penting itu, kau sebaiknya membayangkan sup brokoli yang akan segera ku
"Lalu, bagaimana kau bisa terus berjalan?" sela Amber lembut. Ketika si Rambut Merah balas menatap, ia mengangkat bahu. "Ed itu seperti pohon duri. Untuk bisa menggenggamnya, kau harus berada di dekatnya." Air mata Ruby mendadak beku. Selang keheningan sejenak, ia terpejam di bawah tundukan. Hatinya terlalu berat untuk disangga. "Ini sangat sulit." "Kalau kau mau saran dariku, teruslah berjalan! Kau tidak akan tahu hal baik apa yang ada di depan kalau tidak menghampirinya," Amber mengangguk-angguk meyakinkan. "Bagaimana kalau tidak ada? Bagaimana kalau hidupku malah bertambah suram?" "Pasti ada. Kau tahu betapa terpuruknya Adam ketika meninggalkan keluarganya? Penduduk sekitar sini bahkan menyebutnya Kanibal sedangkan aku memanggilnya Tuan Dingin." Tiba-tiba, Amber menepuk-nepuk pundaknya sendiri. "Tapi kemudian, dia bertemu denganku. Hidupnya mendadak terang. Lihatlah bagaimana suamiku itu sekarang. Bisa kau bayangkan kalau dia ma