“Apa yang akan kau lakukan sekarang, hah?” hardik sang ibu di sela napasnya yang menderu. “Kau ingin diam saja? Menyaksikan penderitaan keluargamu sambil tertawa gembira? Kau ini tidak punya hati atau apa?”
Adam terpejam meredam kemarahan. Masih tersisa sedikit kesabaran dalam dirinya. Ia sadar bahwa akal sehat tetap harus dipertahankan walaupun hatinya berserakan.
“Kenapa kau diam saja? Jawab ibumu! Kau kira aku akan membiarkanmu lolos hanya dengan berpura-pura lugu? Semua ini kesalahanmu, Adam, kesalahanmu!”
“Kenapa Ibu selalu menyalahkanku?” balas pria yang akhirnya menegakkan kepala. Mata merahnya tidak lagi menyembunyikan kesedihan. “Sudah jelas bahwa Ed-lah yang bersalah. Dia mencuri konsepku dan mengaku-ngaku bahwa hubungan kami telah membaik. Padahal, Ibu tahu sendiri bagaimana kelakuannya terhadapku.”
“Ed tidak mungkin melakukan semua ini kalau kau kembali sejak dulu! Apa kau belum sadar juga? Sejak kau kabur, perusahaan menjadi goyah.
Amber pergi ke dapur dengan langkah tergesa-gesa. Tangannya menggenggam ponsel dengan erat, sementara matanya terbelalak mencari Adam. Mulutnya yang sedikit terbuka sudah siap untuk memanggil sang suami. Namun, begitu menemukan pria itu bergeming menghadap wastafel, kepanikannya teredam. Pundaknya tidak lagi tinggi dan tarikan napasnya pun berubah menjadi embusan samar. “Adam melamun lagi?” Kebingungan, Amber mulai menggigit bibir. Selang satu desah cepat, ia pun meletakkan ponsel di atas meja lalu pergi menghampiri suaminya. “Piring itu bisa jadi transparan kalau kau terus menggosoknya.” Adam tersentak mendengar suara lembut istrinya itu. Sambil mengerjap, ia menoleh dengan alis terangkat tinggi. “Precious, kenapa kau kembali ke dapur? Apakah kau masih lapar? Makan malammu kurang?” Amber menggeleng sambil tersenyum kecut. “Tidak. Aku cuma heran apa yang membuatmu begitu lama. Lihatlah, tanganmu sampai keriput begini.” Dengan
“Adam,” bisik Amber sembari mengguncang pundak suaminya, “Adam!” Diiringi erangan kecil, Adam memaksakan diri untuk membuka mata. “Ada apa, Precious? Bukankah kita sudah berencana untuk bangun lebih siang hari ini?” “Ya, tapi ini darurat! Kau tahu siapa yang sejak tadi mengetuk pintu?” Dalam sekejap, raut sang pria berubah serius. “Ada yang mengetuk pintu? Siapa?” “Wartawan! Entah siapa yang memberitahukan alamat kita. Mereka sudah berbaris di luar sana,” terang Amber dengan suara pelan yang penuh penekanan. Bukannya ikut gelisah, Adam malah memperdalam kerut alis. “Lalu, kenapa kau panik?” Sang wanita hamil sontak terdiam. Sembari memundurkan kepala, ia berkedip-kedip. “Bukankah selama ini kau tidak mau rumah kita diketahui oleh publik? Kau menginginkan kehidupan yang tenang?” Tanpa terduga, Adam menyunggingkan senyuman. Wajahnya tampak ikhlas dan tanpa beban. “Kita tidak bisa selamanya bersembunyi, Precious.
"Jadi, pagi ini kau mau sarapan apa?" tanya Adam setelah menutup pintu. Sembari membuka mantel, Amber berkedip-kedip. "Apa saja boleh." "Tapi, aku sedang ingin membuatkan makanan spesial. Anggap saja itu sebagai perayaan kecil atas lancarnya wawancara tadi," terang sang pria seraya membantu sang istri melepas atribut musim dinginnya. "Kalau begitu, buatkan aku sup asparagus!" Amber mengacungkan telunjuk dengan mata berbinar. Adam spontan meringis. "Tidak ada asparagus di dapur. Bagaimana kalau sup brokoli saja?" "Itu juga boleh," sahut Amber manja. "Baiklah, mohon tunggu sebentar, Ratuku. Sarapan istimewamu akan segera tiba," tutur Adam sebelum mengecup punggung tangan sang istri. Setelah melucuti mantel dan sarung tangan, ia pun bergegas ke dapur. "Adam manis sekali," batin Amber saat melihat punggung suaminya menjauh. "Untunglah masalah cepat berlalu." Namun, belum sempat senyum Amber memudar, bunyi
“Tapi ...,” desahnya sebelum berkedip lambat dan menoleh ke arah pintu, “bagaimana dengan si Rambut Mencolok itu? Apakah dia baik-baik saja? Bagaimana kalau dia melakukan sesuatu yang nekat lagi?” Tak menduga akan mendapat respon semacam itu, Adam pun mematung. Sambil mengerutkan alis, ia memperhatikan wajah sang istri. “Kau tidak perlu khawatir, Precious. Dia dulu menceburkan diri ke kolam untuk mendapat simpati dariku. Sekarang, dia tidak punya alasan kuat semacam itu lagi.” “Bisa saja dia melakukan hal itu karena putus asa.” Melihat ketegangan Amber belum memudar, Adam kembali melebarkan senyum. Dengan lembut, ia mengelus pipi istrinya itu. “Aku tidak mau mengulangi kesalahan. Cukup dua kali kita terpisah oleh kesalahpahaman. Sekarang, kita tidak boleh terjebak oleh permainan Ruby lagi.” Sedetik kemudian, Adam menarik sang istri menuju dapur. “Daripada memikirkan hal yang tidak penting itu, kau sebaiknya membayangkan sup brokoli yang akan segera ku
"Lalu, bagaimana kau bisa terus berjalan?" sela Amber lembut. Ketika si Rambut Merah balas menatap, ia mengangkat bahu. "Ed itu seperti pohon duri. Untuk bisa menggenggamnya, kau harus berada di dekatnya." Air mata Ruby mendadak beku. Selang keheningan sejenak, ia terpejam di bawah tundukan. Hatinya terlalu berat untuk disangga. "Ini sangat sulit." "Kalau kau mau saran dariku, teruslah berjalan! Kau tidak akan tahu hal baik apa yang ada di depan kalau tidak menghampirinya," Amber mengangguk-angguk meyakinkan. "Bagaimana kalau tidak ada? Bagaimana kalau hidupku malah bertambah suram?" "Pasti ada. Kau tahu betapa terpuruknya Adam ketika meninggalkan keluarganya? Penduduk sekitar sini bahkan menyebutnya Kanibal sedangkan aku memanggilnya Tuan Dingin." Tiba-tiba, Amber menepuk-nepuk pundaknya sendiri. "Tapi kemudian, dia bertemu denganku. Hidupnya mendadak terang. Lihatlah bagaimana suamiku itu sekarang. Bisa kau bayangkan kalau dia ma
"Kau pikir aku seburuk itu?" Ruby menaikkan sebelah alis. "Aku bisa ada di sini juga karena terpaksa." "Jadi, kau setuju untuk tinggal di kediaman keluarga Berg?" simpul Adam sambil mengetuk-ngetuk meja dengan telunjuk. "Ya! Kalau kalian mau mengantarku sekarang pun, aku tidak takut." Amber spontan tertunduk menahan tawa. Hatinya lega mengetahui Ruby sungguh-sungguh berubah. "Sayang sekali, kami tidak bisa mengantarmu sekarang," desah Adam sebelum melirik ke arah sang istri. "Tuan Berg meminta kita datang besok. Apakah kau keberatan kalau perempuan ini menginap semalam?" Seraya membalas dari ekor mata, Amber menggeleng. Senyum kecil menghiasi wajahnya. "Tidak apa-apa. Lagipula, kita sudah punya agenda hari ini dan Ruby juga butuh istirahat." "Terima kasih atas pengertianmu, Precious." "Sama-sama." Selagi pasangan itu mengumbar kemesraan, Ruby mendengus samar. Ia tidak bisa memungkiri bahwa sebagian hatinya masih suram. Karena itu, ketika malam tiba, ia menunggu Amber masuk k
"Kenapa dia lama sekali?" gumam Adam seraya menoleh ke arah pondok. Jarinya tak henti-henti mengetuk roda kemudi. "Bukankah dia hanya perlu mengemas satu koper?" "Biarkan saja, Jewel. Lagipula, kita tidak sedang buru-buru," timpal Amber lembut. "Tapi, tidak seharusnya dia membuat kita menunggu. Dia bukan ratu dan kita bukan sopir ataupun asistennya." Usai berdecak, Adam turun dari mobil. "Tunggulah sebentar dan kunci pintu! Aku akan memanggilnya." Belum sempat Amber menjawab, pintu sudah dirapatkan lagi. Melihat sang suami mulai berlari, ia pun mengerutkan sebelah alis. "Kenapa Adam tergesa-gesa begitu? Untuk apa juga dia memintaku mengunci pintu? Aneh sekali." Meskipun begitu, ia tetap mencondongkan badan. Selama beberapa detik, ia berjuang untuk meraih tombol pengunci. "Sejak kapan kau menjadi sebesar ini, Jewel? Mama mulai kesulitan bergerak," desahnya seraya memegangi perut dengan tangan yang lain.&n
Mendengar keributan dari celah pintu, Amber pun menggeliat. Dengan mata yang menyipit, ia mengintip. Ruby tampak sedang bertengkar dengan seseorang yang tidak dikenal. “Apa yang terjadi?” gumam Amber seraya menyeka wajah. Setelah merasa lebih segar, ia membongkar selimut lalu membuka pintu lebih lebar. Tepat pada saat itu pula, Ruby terduduk di atas salju. Wajahnya pucat dan napasnya tersengal-sengal. Merasa ada yang tidak beres, Amber bergegas turun memeriksa. Namun, belum sempat ia bertanya, perempuan yang memegangi perut itu berbisik, “Tolong aku.” Melihat jemari yang berlumuran darah, Amber pun terkesiap. Selang satu helaan napas cepat, ia menjatuhkan lutut dan memegangi pundak Ruby. “Kenapa kau bisa terluka begini?” desahnya panik. Tanpa menunggu jawaban ataupun perintah, Amber memeriksa kondisi sekitar. Pria yang tadi bersama Ruby sudah tidak terlihat, begitu pula dengan Adam. Tak tahu harus bagaimana, ia pun mulai berteriak, “