“Tapi ...,” desahnya sebelum berkedip lambat dan menoleh ke arah pintu, “bagaimana dengan si Rambut Mencolok itu? Apakah dia baik-baik saja? Bagaimana kalau dia melakukan sesuatu yang nekat lagi?”
Tak menduga akan mendapat respon semacam itu, Adam pun mematung. Sambil mengerutkan alis, ia memperhatikan wajah sang istri. “Kau tidak perlu khawatir, Precious. Dia dulu menceburkan diri ke kolam untuk mendapat simpati dariku. Sekarang, dia tidak punya alasan kuat semacam itu lagi.”
“Bisa saja dia melakukan hal itu karena putus asa.”
Melihat ketegangan Amber belum memudar, Adam kembali melebarkan senyum. Dengan lembut, ia mengelus pipi istrinya itu. “Aku tidak mau mengulangi kesalahan. Cukup dua kali kita terpisah oleh kesalahpahaman. Sekarang, kita tidak boleh terjebak oleh permainan Ruby lagi.”
Sedetik kemudian, Adam menarik sang istri menuju dapur. “Daripada memikirkan hal yang tidak penting itu, kau sebaiknya membayangkan sup brokoli yang akan segera ku
"Lalu, bagaimana kau bisa terus berjalan?" sela Amber lembut. Ketika si Rambut Merah balas menatap, ia mengangkat bahu. "Ed itu seperti pohon duri. Untuk bisa menggenggamnya, kau harus berada di dekatnya." Air mata Ruby mendadak beku. Selang keheningan sejenak, ia terpejam di bawah tundukan. Hatinya terlalu berat untuk disangga. "Ini sangat sulit." "Kalau kau mau saran dariku, teruslah berjalan! Kau tidak akan tahu hal baik apa yang ada di depan kalau tidak menghampirinya," Amber mengangguk-angguk meyakinkan. "Bagaimana kalau tidak ada? Bagaimana kalau hidupku malah bertambah suram?" "Pasti ada. Kau tahu betapa terpuruknya Adam ketika meninggalkan keluarganya? Penduduk sekitar sini bahkan menyebutnya Kanibal sedangkan aku memanggilnya Tuan Dingin." Tiba-tiba, Amber menepuk-nepuk pundaknya sendiri. "Tapi kemudian, dia bertemu denganku. Hidupnya mendadak terang. Lihatlah bagaimana suamiku itu sekarang. Bisa kau bayangkan kalau dia ma
"Kau pikir aku seburuk itu?" Ruby menaikkan sebelah alis. "Aku bisa ada di sini juga karena terpaksa." "Jadi, kau setuju untuk tinggal di kediaman keluarga Berg?" simpul Adam sambil mengetuk-ngetuk meja dengan telunjuk. "Ya! Kalau kalian mau mengantarku sekarang pun, aku tidak takut." Amber spontan tertunduk menahan tawa. Hatinya lega mengetahui Ruby sungguh-sungguh berubah. "Sayang sekali, kami tidak bisa mengantarmu sekarang," desah Adam sebelum melirik ke arah sang istri. "Tuan Berg meminta kita datang besok. Apakah kau keberatan kalau perempuan ini menginap semalam?" Seraya membalas dari ekor mata, Amber menggeleng. Senyum kecil menghiasi wajahnya. "Tidak apa-apa. Lagipula, kita sudah punya agenda hari ini dan Ruby juga butuh istirahat." "Terima kasih atas pengertianmu, Precious." "Sama-sama." Selagi pasangan itu mengumbar kemesraan, Ruby mendengus samar. Ia tidak bisa memungkiri bahwa sebagian hatinya masih suram. Karena itu, ketika malam tiba, ia menunggu Amber masuk k
"Kenapa dia lama sekali?" gumam Adam seraya menoleh ke arah pondok. Jarinya tak henti-henti mengetuk roda kemudi. "Bukankah dia hanya perlu mengemas satu koper?" "Biarkan saja, Jewel. Lagipula, kita tidak sedang buru-buru," timpal Amber lembut. "Tapi, tidak seharusnya dia membuat kita menunggu. Dia bukan ratu dan kita bukan sopir ataupun asistennya." Usai berdecak, Adam turun dari mobil. "Tunggulah sebentar dan kunci pintu! Aku akan memanggilnya." Belum sempat Amber menjawab, pintu sudah dirapatkan lagi. Melihat sang suami mulai berlari, ia pun mengerutkan sebelah alis. "Kenapa Adam tergesa-gesa begitu? Untuk apa juga dia memintaku mengunci pintu? Aneh sekali." Meskipun begitu, ia tetap mencondongkan badan. Selama beberapa detik, ia berjuang untuk meraih tombol pengunci. "Sejak kapan kau menjadi sebesar ini, Jewel? Mama mulai kesulitan bergerak," desahnya seraya memegangi perut dengan tangan yang lain.&n
Mendengar keributan dari celah pintu, Amber pun menggeliat. Dengan mata yang menyipit, ia mengintip. Ruby tampak sedang bertengkar dengan seseorang yang tidak dikenal. “Apa yang terjadi?” gumam Amber seraya menyeka wajah. Setelah merasa lebih segar, ia membongkar selimut lalu membuka pintu lebih lebar. Tepat pada saat itu pula, Ruby terduduk di atas salju. Wajahnya pucat dan napasnya tersengal-sengal. Merasa ada yang tidak beres, Amber bergegas turun memeriksa. Namun, belum sempat ia bertanya, perempuan yang memegangi perut itu berbisik, “Tolong aku.” Melihat jemari yang berlumuran darah, Amber pun terkesiap. Selang satu helaan napas cepat, ia menjatuhkan lutut dan memegangi pundak Ruby. “Kenapa kau bisa terluka begini?” desahnya panik. Tanpa menunggu jawaban ataupun perintah, Amber memeriksa kondisi sekitar. Pria yang tadi bersama Ruby sudah tidak terlihat, begitu pula dengan Adam. Tak tahu harus bagaimana, ia pun mulai berteriak, “
Mendengar ancaman tersebut, mata Celine terbelalak. "Ini sama sekali tidak lucu, Ed. Kau mau menceraikanku karena mereka? Ke mana perginya cintamu kepadaku?" "Rasa itu sudah lama hilang sejak aku kewalahan mengikuti keinginanmu. Kau egois, Celine. Aku menyesal pernah terpikat olehmu." Sekali lagi, Ed mendesak istrinya untuk menerima ponsel. "Cepat hubungi pembunuh itu!" "Tidak bisa! Dia selalu mematikan ponsel setiap selesai menghubungiku." Ed spontan meringis dan berkacak pinggang. "Kau kira aku main-main, hmm? Tunggu saja! Sebentar lagi, statusmu akan berubah menjadi janda." Tanpa basa-basi, pria itu berjalan menuju pintu. Namun, baru beberapa langkah, Celine telah menahan lengannya. "Lalu bagaimana dengan Keith? Jangan egois, Ed! Pikirkan nasib anak kita!" "Kau tidak perlu khawatir. Aku akan memenangkan hak asuhnya. Karena apa? Karena ibunya akan segera masuk penjara." Sebuah tamparan pun mendarat di pipi Ed. Selagi pria itu mendesa
Sambil mengelus perut, Amber melihat ke arah Ruby. Ia ingin tahu apa saja yang akan diperiksa oleh si perawat dan bagaimana hasilnya. Tanpa ia ketahui, laki-laki berseragam itu mendorong troli bukan menuju kasur pasien, melainkan dirinya. "Terima kasih, Perempuan Bodoh. Sebentar lagi, nyawamu akan memenuhi rekeningku," batin si pembunuh bayaran sinis. Perlahan-lahan, tangannya bergerak mendekati pisau bedah. Namun, tepat ketika ia baru menggenggam senjata, pintu tiba-tiba terbuka. Sedetik kemudian, dua orang gadis menghambur masuk disusul seorang pria dewasa. "Amber!" Dengan sangat terpaksa, si pembunuh bayaran mengubah haluan menuju dinding terdekat. Ia hanya bisa mengumpat tanpa suara. "Sial! Kenapa bisa ada pengunjung di jam ini?" "Benarkah kau hampir menjadi target pembunuhan?" tanya si gadis berkuncir seraya menjatuhkan diri di samping Amber. Dengan raut iba, ia merangkul wanita hamil itu. "Itu menyeramkan sekali." "Lalu
"Siapa yang menyuruhmu? Kenapa dia ingin membunuhku?" tanya Amber lantang. Padahal, tubuhnya bisa ambruk kapan saja. "Entahlah. Mungkin, karena kau sudah mengambil bekas suaminya? Atau ... mungkin juga, karena kehidupanmu lebih baik darinya. Kudengar perusahaan suaminya terancam bangkrut. Dia pasti merasa iri padamu." Mendengar pengakuan tersebut, Amber menghela napas tak percaya. "Celine? Dia yang mengirimmu ke sini?" "Apakah ada pesan terakhir yang ingin kau sampaikan kepadanya?" tanya si pembunuh bayaran sembari memutar pena di tangannya. Ia merasa di atas angin. Mangsanya telah tersudut oleh dinding. "Ya." Sang wanita menelan ludah. Sambil menahan ketakutan, ia menutup kedua telinga dengan tangan. "Katakan padanya kalau aku tidak akan mati!" Tepat ketika seruan itu berakhir, sebuah peluru berdesing. Sedetik kemudian, si pembunuh bayaran membungkuk memegangi pahanya yang berdarah. Erangannya menggelegar ke seluruh sudut parkiran
"Kenapa kau baru menjawab teleponku sekarang? Kau tahu segusar apa aku memikirkanmu? Kudengar kau mengalami luka yang cukup serius. Tolong katakan kalau itu tidak benar," cerocos Ed sambil berkacak pinggang. Wajahnya kusut dan matanya layu. Sama sekali tidak ada kecurigaan yang menghalangi bicaranya. "Ruby? Kenapa kau diam saja?" Adam tersenyum sinis mendengar sang kakak. Ia tidak bisa membedakan ketulusan itu asli atau palsu. Yang jelas, suara itu mengelupas luka lama. Butuh kekuatan lebih untuknya mampu berbicara. "Kau tahu? Aku sudah mengajukan perceraian. Aku menyesal telah mengesampingkan dirimu. Celine ternyata bukanlah perempuan yang tepat untukku. Dia itu iblis. Aku bodoh telah membelanya selama ini." Beberapa detik berlalu, Adam tetap bungkam. Ia masih menunggu momen yang tepat untuk menunjukkan keberadaan. "Hei, berhentilah memancing kekhawatiranku! Aku tahu, media lokal di sana pasti melebih-lebihkan. Celine menyewa oran
Amber diam-diam membuka pintu ruang kerja. Melihat suaminya sedang melamun, ia pun menarik sebelah sudut bibir. "Apa yang sedang kau lakukan, Jewel?" Adam spontan menoleh ke arah datangnya suara. Melihat kehadiran sang istri, senyumnya pun mengembang. "Hei .... Apakah Ashley sudah tidur?" "Sudah dari tadi," sahut Amber seraya menghampiri. Kemudian, dengan santai, ia duduk di pangkuan sang suami. "Kenapa kau masih di sini? Apakah pekerjaanmu belum selesai?" Selagi sang suami menggosok tengkuk, ia mulai menyoroti meja. Ternyata, komputer sudah dimatikan. Berkas-berkas pun sudah tertata rapi dalam map. Yang tersisa di sana hanyalah ponsel yang memajang sebuah gambar. "Kau sangat menyukai foto itu, hmm?" simpul Amber seraya melirik dengan tatapan manis. Disoroti oleh mata sehangat itu, Adam pun mendesahkan senyum. Setelah mengecup pundak sang istri, ia mengangguk. "Terima kasih, Precious. Semua ini berkat dirimu. Aku tidak mungkin bisa memperbaiki hubunganku dengan Ibu kalau kau ti
"Aku tahu, kau pasti meragukan ucapanku," ringis Nyonya Smith memecah keheningan. "Apa ada sesuatu yang harus kulakukan untuk membuktikan ucapanku? Ibumu ini sungguh-sungguh ingin berubah, Adam." Masih dengan alis berkerut, sang pria mendengus. "Kenapa baru sekarang? Apakah karena Ed menelantarkan Ibu?" Nyonya Smith menggeleng sigap. "Tidak, kau jangan salah paham. Ketegangan di antara kita tidak ada sangkut pautnya dengan Ed. Akulah yang terlalu bodoh memanfaatkannya untuk merebut semua milikmu." "Omong kosong ...." "Apa kau tahu kalau Ed memarahiku? Dia sudah jenuh terseret oleh keegoisanku. Kakakmu itu bilang kalau dia tidak mau membantuku untuk menindasmu lagi." Sebelum Adam sempat membantah, Nyonya Smith lanjut bicara. "Sejak itu, aku mulai sadar. Tapi, aku masih meyakinkan diri kalau kau tidak layak bahagia. Ibumu ini sangat bodoh, hmm?" Adam mendadak bungkam. Dari bawah kernyit dahinya, ia menatap sang ibu dengan saksama. "Karena itu juga, aku belum menggunakan sepeser
Usai sang ibu membanting pintu, Adam mengusap-usap lengan Amber. Sambil memperhatikan wajah kusut istrinya itu, ia berbisik, "Kau baik-baik saja?" Sang wanita mengangguk. "Kau?" Adam menarik napas panjang. Setelah menaikkan alis, ia melengkungkan bibir. "Ya. Aku lega tidak terjadi apa-apa. Aku sempat takut kalau ibuku melakukan sesuatu yang nekat. Maaf telah membiarkannya menggendong Ashley." "Tidak apa-apa, Jewel. Kurasa, Ashley justru senang telah bertemu dengan neneknya," tutur Amber seraya mengeus kepala sang putri. Bayi mungil itu sudah kembali merapatkan mata. "Lihatlah, dia tersenyum lagi." "Dia pasti ingin menghiburmu," bisik Adam sebelum mendaratkan kecupan lembut di kening Ashley. "Bukan hanya aku, tapi kau juga. Kita beruntung dikaruniai anak yang berbakti. Ini pasti karma baikmu. Kau tetap sabar menghadapi ibumu, meskipun sudah berkali-kali disakiti." Adam spontan menggeleng. "Karma baikmu juga, Precious. Kau jauh lebih ber
Beberapa detik berlalu, orang-orang masih bertukar pandang. Tidak ada yang berani bicara sampai Ruby memecah keheningan. "Apakah aku boleh menggendongnya?" "Tentu saja," sahut Amber seraya menepuk-nepuk lengan Adam. Memahami kode yang diberikan, Adam pun mengeluarkan Ashley dari tempat tidur mungilnya. Begitu bayi itu tiba dalam dekapan Ruby, semua mata mulai berkaca-kaca. "Astaga .... Dia menggemaskan sekali," bisik Ruby dengan suara bergetar. Keharuan nyaris mendesak air mata keluar dari batasnya. "Lihatlah hidung mungil ini ... sangat mirip dengan milik Amber, sedangkan bibir tipis ini ... seratus persen salinan ayahnya." "Apakah kau mau berfoto dengan Ashley?" tanya Amber ringan. Dalam sekejap, mata sendu Ruby diwarnai keterkejutan. "Apakah boleh? Bukankah kalian sepakat untuk tidak mempublikasikan wajah putri kalian?" "Berfotolah untuk kenang-kenangan. Kau bisa mencetak lalu menyimpannya dalam dompet atau buku harian," ujar Amber sembari melirik ke arah Nick. Menyad
“Cepatlah! Aku sudah tidak tahan!” pekik Amber seraya meremas baju suaminya. Adam pun berputar-putar memeriksa pekarangan. Barangkali, ia menjatuhkan kuncinya di sekitar sana. Sementara itu, Nick malah sibuk meraba tubuhnya sendiri. Ketika tangannya menekan saku celana, matanya membulat sempurna. "Bagaimana kalau kita naik mobilku saja?" usul pria berbadan gempal itu seraya memperlihatkan kunci mobilnya. Masih dengan napas tersengal-sengal, Amber menoleh ke arah kendaraan yang terparkir di samping mobil Adam. "Kalian kira beratku mencapai satu ton? Orang-orang pasti tertawa melihat kalian membawaku dengan truk itu!" omelnya dengan suara melengking. Nick spontan meringis mendengarnya. "Maaf, Nyonya. Itu bukan truk, tapi mini box van untuk kargo kering. Aku biasa menggunakannya untuk mengantar perhiasan." "Kau tidak perlu malu, Precious," sambung Adam ditemani anggukan meyakinkan. "Mobil itu terbiasa membawa baran
"Halo, Nyonya Smith. Bagaimana kondisimu dan si Kecil?" sapa Nick ketika menyambut kedatangan Amber dan Adam. Diam-diam, ia merasa bangga melihat peluitnya tergantung di leher sang wanita. "Sangat baik. Maaf kalau harus merepotkan dirimu. Sebetulnya, ini satu minggu lebih awal dari prediksi dokter. Tapi, Adam terus mendesak agar kami menginap di rumahmu." Melihat raut bersalah Amber, Nick pun terkekeh. "Sama sekali bukan masalah, Nyonya. Apa yang dipikirkan oleh Bos memang benar. Ada baiknya jika kita berjaga-jaga. Rumah sakit terlalu jauh dari pondok kalian." "Kau memang bijak, Nick," ujar Adam seraya menenteng tiga tas besar yang diambilnya dari bagasi. "Tidak salah jika aku menaruh kepercayaan padamu." Sekali lagi, pria bertubuh gempal itu terkekeh. Setelah mengambil salah satu tas dari tangan Adam, ia melambai. "Ayo kutunjukkan kamar kalian! Aku sudah meminta Tina untuk membersihkannya tadi pagi." Selagi Nick memimpin jalan, Amber mencondo
"Ikhlas," angguk Amber sigap. "Hanya saja, aku menyayangkan sikap mereka yang tidak pernah berubah. Entah sampai kapan mereka betah membuatmu menderita." Sembari tersenyum kecil, Adam mengelus pipi istrinya. "Tenang saja! Setelah ini, aku yakin mereka tidak akan meminta yang macam-macam lagi. Aku sudah tidak punya apa-apa untuk mereka rebut." "Bagaimana dengan rumah kita? Haruskah kita mengajukan pengalihan aset? Kurasa akan lebih aman kalau sertifikatnya tercatat atas namaku." Sembari menahan tawa, Adam mengangguk. Ia tahu, sebagian hati Amber sesungguhnya tidak rela melihatnya berkorban sedemikian besar. "Karena itulah, aku bersikeras untuk menyerahkan perusahaan kepadamu. Tapi kau menolak terus." "Aku tidak mau orang-orang menganggapmu budak cintaku, Jewel. Laki-laki mana yang menyerahkan seluruh hartanya kepada sang istri? Hanya laki-laki bodoh. Aku tidak mau kau dicap seperti itu." Gemas dengan sang istri, Adam pun mengecup
"Sekarang giliran aku yang memberikan hadiah," tutur Ruby canggung. "Hadiah? Kapan kau menyiapkannya?" tanya Amber terbelalak. "Belanja online bukanlah sesuatu yang sulit," tutur Ruby sebelum tersenyum simpul. Tanpa basa-basi lagi, ia menyodorkan kotak. "Bukalah! Anggap ini sebagai permintaan maaf sekaligus terima kasihku." Setelah menyerahkan peluitnya kepada Adam, si wanita hamil mengangkat penutup kotak. Begitu menemukan kain rajut merah yang terlipat rapi, ia mendesah samar. "Apakah ini bentuk protes karena kami membuang sweater putih pemberianmu dulu?" "Justru aku ingin mengubur kenangan buruk tentang itu. Kuharap, ini bisa membantu kalian mengingat Ruby yang baru." "Kalau begitu, mulai detik ini, aku dan Adam akan membuat banyak kenangan manis bersama sweater ini," tutur Amber seraya mengeluarkan hadiah dari dalam kotak. Namun, sedetik kemudian, lengkung bibirnya membeku. Ternyata, masih ada sweater lain di dalam kotak. "Kau memberi kami sweater pasangan?" desahnya tak pe
"Maaf," ucap Amber, enggan menyebut nama kakak iparnya, "Ruby ingin bicara denganmu." Dalam sekejap, mata Ed melebar. Tanpa basa-basi, ia masuk melalui celah antara pintu dan Amber. "Apakah Ruby berubah pikiran?" selidik Adam seraya bangkit dari kursi. Setelah menutup pintu, ia memandu sang istri untuk duduk dengan hati-hati. "Tidak." Alis sang pria pun melengkung sempurna. "Lalu?" "Ruby ingin mengakhiri hubungan mereka secepatnya. Dengan begitu, dia bisa tinggal di kediaman Tuan Berg tanpa kekhawatiran," terang Amber sebelum menyentak alis. "Lalu, bagaimana denganmu? Apakah terjadi sesuatu selama aku masih di dalam?" Sambil meninggikan sudut bibir, Adam mengecup tangan sang istri. "Percaya atau tidak, aku merasa biasa-biasa saja. Ya, aku kesal melihat wajah Ed. Tapi, mengetahui dia sudah mendapat balasan yang setimpal, aku tidak juga merasa lega. Hanya ... biasa-biasa saja, seperti tidak ada yang berubah."