Mendengar keributan dari celah pintu, Amber pun menggeliat. Dengan mata yang menyipit, ia mengintip. Ruby tampak sedang bertengkar dengan seseorang yang tidak dikenal.
“Apa yang terjadi?” gumam Amber seraya menyeka wajah. Setelah merasa lebih segar, ia membongkar selimut lalu membuka pintu lebih lebar.
Tepat pada saat itu pula, Ruby terduduk di atas salju. Wajahnya pucat dan napasnya tersengal-sengal. Merasa ada yang tidak beres, Amber bergegas turun memeriksa. Namun, belum sempat ia bertanya, perempuan yang memegangi perut itu berbisik, “Tolong aku.”
Melihat jemari yang berlumuran darah, Amber pun terkesiap. Selang satu helaan napas cepat, ia menjatuhkan lutut dan memegangi pundak Ruby. “Kenapa kau bisa terluka begini?” desahnya panik.
Tanpa menunggu jawaban ataupun perintah, Amber memeriksa kondisi sekitar. Pria yang tadi bersama Ruby sudah tidak terlihat, begitu pula dengan Adam. Tak tahu harus bagaimana, ia pun mulai berteriak, “
Mendengar ancaman tersebut, mata Celine terbelalak. "Ini sama sekali tidak lucu, Ed. Kau mau menceraikanku karena mereka? Ke mana perginya cintamu kepadaku?" "Rasa itu sudah lama hilang sejak aku kewalahan mengikuti keinginanmu. Kau egois, Celine. Aku menyesal pernah terpikat olehmu." Sekali lagi, Ed mendesak istrinya untuk menerima ponsel. "Cepat hubungi pembunuh itu!" "Tidak bisa! Dia selalu mematikan ponsel setiap selesai menghubungiku." Ed spontan meringis dan berkacak pinggang. "Kau kira aku main-main, hmm? Tunggu saja! Sebentar lagi, statusmu akan berubah menjadi janda." Tanpa basa-basi, pria itu berjalan menuju pintu. Namun, baru beberapa langkah, Celine telah menahan lengannya. "Lalu bagaimana dengan Keith? Jangan egois, Ed! Pikirkan nasib anak kita!" "Kau tidak perlu khawatir. Aku akan memenangkan hak asuhnya. Karena apa? Karena ibunya akan segera masuk penjara." Sebuah tamparan pun mendarat di pipi Ed. Selagi pria itu mendesa
Sambil mengelus perut, Amber melihat ke arah Ruby. Ia ingin tahu apa saja yang akan diperiksa oleh si perawat dan bagaimana hasilnya. Tanpa ia ketahui, laki-laki berseragam itu mendorong troli bukan menuju kasur pasien, melainkan dirinya. "Terima kasih, Perempuan Bodoh. Sebentar lagi, nyawamu akan memenuhi rekeningku," batin si pembunuh bayaran sinis. Perlahan-lahan, tangannya bergerak mendekati pisau bedah. Namun, tepat ketika ia baru menggenggam senjata, pintu tiba-tiba terbuka. Sedetik kemudian, dua orang gadis menghambur masuk disusul seorang pria dewasa. "Amber!" Dengan sangat terpaksa, si pembunuh bayaran mengubah haluan menuju dinding terdekat. Ia hanya bisa mengumpat tanpa suara. "Sial! Kenapa bisa ada pengunjung di jam ini?" "Benarkah kau hampir menjadi target pembunuhan?" tanya si gadis berkuncir seraya menjatuhkan diri di samping Amber. Dengan raut iba, ia merangkul wanita hamil itu. "Itu menyeramkan sekali." "Lalu
"Siapa yang menyuruhmu? Kenapa dia ingin membunuhku?" tanya Amber lantang. Padahal, tubuhnya bisa ambruk kapan saja. "Entahlah. Mungkin, karena kau sudah mengambil bekas suaminya? Atau ... mungkin juga, karena kehidupanmu lebih baik darinya. Kudengar perusahaan suaminya terancam bangkrut. Dia pasti merasa iri padamu." Mendengar pengakuan tersebut, Amber menghela napas tak percaya. "Celine? Dia yang mengirimmu ke sini?" "Apakah ada pesan terakhir yang ingin kau sampaikan kepadanya?" tanya si pembunuh bayaran sembari memutar pena di tangannya. Ia merasa di atas angin. Mangsanya telah tersudut oleh dinding. "Ya." Sang wanita menelan ludah. Sambil menahan ketakutan, ia menutup kedua telinga dengan tangan. "Katakan padanya kalau aku tidak akan mati!" Tepat ketika seruan itu berakhir, sebuah peluru berdesing. Sedetik kemudian, si pembunuh bayaran membungkuk memegangi pahanya yang berdarah. Erangannya menggelegar ke seluruh sudut parkiran
"Kenapa kau baru menjawab teleponku sekarang? Kau tahu segusar apa aku memikirkanmu? Kudengar kau mengalami luka yang cukup serius. Tolong katakan kalau itu tidak benar," cerocos Ed sambil berkacak pinggang. Wajahnya kusut dan matanya layu. Sama sekali tidak ada kecurigaan yang menghalangi bicaranya. "Ruby? Kenapa kau diam saja?" Adam tersenyum sinis mendengar sang kakak. Ia tidak bisa membedakan ketulusan itu asli atau palsu. Yang jelas, suara itu mengelupas luka lama. Butuh kekuatan lebih untuknya mampu berbicara. "Kau tahu? Aku sudah mengajukan perceraian. Aku menyesal telah mengesampingkan dirimu. Celine ternyata bukanlah perempuan yang tepat untukku. Dia itu iblis. Aku bodoh telah membelanya selama ini." Beberapa detik berlalu, Adam tetap bungkam. Ia masih menunggu momen yang tepat untuk menunjukkan keberadaan. "Hei, berhentilah memancing kekhawatiranku! Aku tahu, media lokal di sana pasti melebih-lebihkan. Celine menyewa oran
Melihat sang istri terbaring lemah, air mata Ed mulai berjatuhan. Pipi kurus Ruby tampak begitu pucat. Ia semakin merasa bersalah sudah lama tidak mengelusnya. "Maafkan aku. Aku tidak tahu kalau kondisimu sesulit ini." Mendengar pernyataan tersebut, rasa sesak dalam dada Ruby mendadak ganas. Ia tidak tahu lagi harus bernapas lewat hidung atau mulut. Otaknya kacau. Beruntung, Amber memperhatikan kegelisahannya. Perempuan hamil itu cepat-cepat mengguncang lengan Adam. "Jewel ...." "Ya?" Adam mengikuti arah telunjuk sang istri. Ruby terlihat seperti meminta pertolongan. Tanpa menunggu perintah, ia pun menarik kakaknya mundur. "Hentikan, Ed! Ini bukan momen yang tepat. Ruby baru saja sadar." "Jangan menghalangiku!" Usai menyibak tangan sang adik, Ed kembali memegangi wajah yang telah berpaling darinya. "Tenang saja, Ruby. Aku tidak akan membiarkan seorang pun menghalangi cinta kita. Mulai detik ini, kita a
"Maaf," ucap Amber, enggan menyebut nama kakak iparnya, "Ruby ingin bicara denganmu." Dalam sekejap, mata Ed melebar. Tanpa basa-basi, ia masuk melalui celah antara pintu dan Amber. "Apakah Ruby berubah pikiran?" selidik Adam seraya bangkit dari kursi. Setelah menutup pintu, ia memandu sang istri untuk duduk dengan hati-hati. "Tidak." Alis sang pria pun melengkung sempurna. "Lalu?" "Ruby ingin mengakhiri hubungan mereka secepatnya. Dengan begitu, dia bisa tinggal di kediaman Tuan Berg tanpa kekhawatiran," terang Amber sebelum menyentak alis. "Lalu, bagaimana denganmu? Apakah terjadi sesuatu selama aku masih di dalam?" Sambil meninggikan sudut bibir, Adam mengecup tangan sang istri. "Percaya atau tidak, aku merasa biasa-biasa saja. Ya, aku kesal melihat wajah Ed. Tapi, mengetahui dia sudah mendapat balasan yang setimpal, aku tidak juga merasa lega. Hanya ... biasa-biasa saja, seperti tidak ada yang berubah."
"Sekarang giliran aku yang memberikan hadiah," tutur Ruby canggung. "Hadiah? Kapan kau menyiapkannya?" tanya Amber terbelalak. "Belanja online bukanlah sesuatu yang sulit," tutur Ruby sebelum tersenyum simpul. Tanpa basa-basi lagi, ia menyodorkan kotak. "Bukalah! Anggap ini sebagai permintaan maaf sekaligus terima kasihku." Setelah menyerahkan peluitnya kepada Adam, si wanita hamil mengangkat penutup kotak. Begitu menemukan kain rajut merah yang terlipat rapi, ia mendesah samar. "Apakah ini bentuk protes karena kami membuang sweater putih pemberianmu dulu?" "Justru aku ingin mengubur kenangan buruk tentang itu. Kuharap, ini bisa membantu kalian mengingat Ruby yang baru." "Kalau begitu, mulai detik ini, aku dan Adam akan membuat banyak kenangan manis bersama sweater ini," tutur Amber seraya mengeluarkan hadiah dari dalam kotak. Namun, sedetik kemudian, lengkung bibirnya membeku. Ternyata, masih ada sweater lain di dalam kotak. "Kau memberi kami sweater pasangan?" desahnya tak pe
"Ikhlas," angguk Amber sigap. "Hanya saja, aku menyayangkan sikap mereka yang tidak pernah berubah. Entah sampai kapan mereka betah membuatmu menderita." Sembari tersenyum kecil, Adam mengelus pipi istrinya. "Tenang saja! Setelah ini, aku yakin mereka tidak akan meminta yang macam-macam lagi. Aku sudah tidak punya apa-apa untuk mereka rebut." "Bagaimana dengan rumah kita? Haruskah kita mengajukan pengalihan aset? Kurasa akan lebih aman kalau sertifikatnya tercatat atas namaku." Sembari menahan tawa, Adam mengangguk. Ia tahu, sebagian hati Amber sesungguhnya tidak rela melihatnya berkorban sedemikian besar. "Karena itulah, aku bersikeras untuk menyerahkan perusahaan kepadamu. Tapi kau menolak terus." "Aku tidak mau orang-orang menganggapmu budak cintaku, Jewel. Laki-laki mana yang menyerahkan seluruh hartanya kepada sang istri? Hanya laki-laki bodoh. Aku tidak mau kau dicap seperti itu." Gemas dengan sang istri, Adam pun mengecup