"Jadi, pagi ini kau mau sarapan apa?" tanya Adam setelah menutup pintu.
Sembari membuka mantel, Amber berkedip-kedip. "Apa saja boleh."
"Tapi, aku sedang ingin membuatkan makanan spesial. Anggap saja itu sebagai perayaan kecil atas lancarnya wawancara tadi," terang sang pria seraya membantu sang istri melepas atribut musim dinginnya.
"Kalau begitu, buatkan aku sup asparagus!" Amber mengacungkan telunjuk dengan mata berbinar.
Adam spontan meringis. "Tidak ada asparagus di dapur. Bagaimana kalau sup brokoli saja?"
"Itu juga boleh," sahut Amber manja.
"Baiklah, mohon tunggu sebentar, Ratuku. Sarapan istimewamu akan segera tiba," tutur Adam sebelum mengecup punggung tangan sang istri. Setelah melucuti mantel dan sarung tangan, ia pun bergegas ke dapur.
"Adam manis sekali," batin Amber saat melihat punggung suaminya menjauh. "Untunglah masalah cepat berlalu."
Namun, belum sempat senyum Amber memudar, bunyi
“Tapi ...,” desahnya sebelum berkedip lambat dan menoleh ke arah pintu, “bagaimana dengan si Rambut Mencolok itu? Apakah dia baik-baik saja? Bagaimana kalau dia melakukan sesuatu yang nekat lagi?” Tak menduga akan mendapat respon semacam itu, Adam pun mematung. Sambil mengerutkan alis, ia memperhatikan wajah sang istri. “Kau tidak perlu khawatir, Precious. Dia dulu menceburkan diri ke kolam untuk mendapat simpati dariku. Sekarang, dia tidak punya alasan kuat semacam itu lagi.” “Bisa saja dia melakukan hal itu karena putus asa.” Melihat ketegangan Amber belum memudar, Adam kembali melebarkan senyum. Dengan lembut, ia mengelus pipi istrinya itu. “Aku tidak mau mengulangi kesalahan. Cukup dua kali kita terpisah oleh kesalahpahaman. Sekarang, kita tidak boleh terjebak oleh permainan Ruby lagi.” Sedetik kemudian, Adam menarik sang istri menuju dapur. “Daripada memikirkan hal yang tidak penting itu, kau sebaiknya membayangkan sup brokoli yang akan segera ku
"Lalu, bagaimana kau bisa terus berjalan?" sela Amber lembut. Ketika si Rambut Merah balas menatap, ia mengangkat bahu. "Ed itu seperti pohon duri. Untuk bisa menggenggamnya, kau harus berada di dekatnya." Air mata Ruby mendadak beku. Selang keheningan sejenak, ia terpejam di bawah tundukan. Hatinya terlalu berat untuk disangga. "Ini sangat sulit." "Kalau kau mau saran dariku, teruslah berjalan! Kau tidak akan tahu hal baik apa yang ada di depan kalau tidak menghampirinya," Amber mengangguk-angguk meyakinkan. "Bagaimana kalau tidak ada? Bagaimana kalau hidupku malah bertambah suram?" "Pasti ada. Kau tahu betapa terpuruknya Adam ketika meninggalkan keluarganya? Penduduk sekitar sini bahkan menyebutnya Kanibal sedangkan aku memanggilnya Tuan Dingin." Tiba-tiba, Amber menepuk-nepuk pundaknya sendiri. "Tapi kemudian, dia bertemu denganku. Hidupnya mendadak terang. Lihatlah bagaimana suamiku itu sekarang. Bisa kau bayangkan kalau dia ma
"Kau pikir aku seburuk itu?" Ruby menaikkan sebelah alis. "Aku bisa ada di sini juga karena terpaksa." "Jadi, kau setuju untuk tinggal di kediaman keluarga Berg?" simpul Adam sambil mengetuk-ngetuk meja dengan telunjuk. "Ya! Kalau kalian mau mengantarku sekarang pun, aku tidak takut." Amber spontan tertunduk menahan tawa. Hatinya lega mengetahui Ruby sungguh-sungguh berubah. "Sayang sekali, kami tidak bisa mengantarmu sekarang," desah Adam sebelum melirik ke arah sang istri. "Tuan Berg meminta kita datang besok. Apakah kau keberatan kalau perempuan ini menginap semalam?" Seraya membalas dari ekor mata, Amber menggeleng. Senyum kecil menghiasi wajahnya. "Tidak apa-apa. Lagipula, kita sudah punya agenda hari ini dan Ruby juga butuh istirahat." "Terima kasih atas pengertianmu, Precious." "Sama-sama." Selagi pasangan itu mengumbar kemesraan, Ruby mendengus samar. Ia tidak bisa memungkiri bahwa sebagian hatinya masih suram. Karena itu, ketika malam tiba, ia menunggu Amber masuk k
"Kenapa dia lama sekali?" gumam Adam seraya menoleh ke arah pondok. Jarinya tak henti-henti mengetuk roda kemudi. "Bukankah dia hanya perlu mengemas satu koper?" "Biarkan saja, Jewel. Lagipula, kita tidak sedang buru-buru," timpal Amber lembut. "Tapi, tidak seharusnya dia membuat kita menunggu. Dia bukan ratu dan kita bukan sopir ataupun asistennya." Usai berdecak, Adam turun dari mobil. "Tunggulah sebentar dan kunci pintu! Aku akan memanggilnya." Belum sempat Amber menjawab, pintu sudah dirapatkan lagi. Melihat sang suami mulai berlari, ia pun mengerutkan sebelah alis. "Kenapa Adam tergesa-gesa begitu? Untuk apa juga dia memintaku mengunci pintu? Aneh sekali." Meskipun begitu, ia tetap mencondongkan badan. Selama beberapa detik, ia berjuang untuk meraih tombol pengunci. "Sejak kapan kau menjadi sebesar ini, Jewel? Mama mulai kesulitan bergerak," desahnya seraya memegangi perut dengan tangan yang lain.&n
Mendengar keributan dari celah pintu, Amber pun menggeliat. Dengan mata yang menyipit, ia mengintip. Ruby tampak sedang bertengkar dengan seseorang yang tidak dikenal. “Apa yang terjadi?” gumam Amber seraya menyeka wajah. Setelah merasa lebih segar, ia membongkar selimut lalu membuka pintu lebih lebar. Tepat pada saat itu pula, Ruby terduduk di atas salju. Wajahnya pucat dan napasnya tersengal-sengal. Merasa ada yang tidak beres, Amber bergegas turun memeriksa. Namun, belum sempat ia bertanya, perempuan yang memegangi perut itu berbisik, “Tolong aku.” Melihat jemari yang berlumuran darah, Amber pun terkesiap. Selang satu helaan napas cepat, ia menjatuhkan lutut dan memegangi pundak Ruby. “Kenapa kau bisa terluka begini?” desahnya panik. Tanpa menunggu jawaban ataupun perintah, Amber memeriksa kondisi sekitar. Pria yang tadi bersama Ruby sudah tidak terlihat, begitu pula dengan Adam. Tak tahu harus bagaimana, ia pun mulai berteriak, “
Mendengar ancaman tersebut, mata Celine terbelalak. "Ini sama sekali tidak lucu, Ed. Kau mau menceraikanku karena mereka? Ke mana perginya cintamu kepadaku?" "Rasa itu sudah lama hilang sejak aku kewalahan mengikuti keinginanmu. Kau egois, Celine. Aku menyesal pernah terpikat olehmu." Sekali lagi, Ed mendesak istrinya untuk menerima ponsel. "Cepat hubungi pembunuh itu!" "Tidak bisa! Dia selalu mematikan ponsel setiap selesai menghubungiku." Ed spontan meringis dan berkacak pinggang. "Kau kira aku main-main, hmm? Tunggu saja! Sebentar lagi, statusmu akan berubah menjadi janda." Tanpa basa-basi, pria itu berjalan menuju pintu. Namun, baru beberapa langkah, Celine telah menahan lengannya. "Lalu bagaimana dengan Keith? Jangan egois, Ed! Pikirkan nasib anak kita!" "Kau tidak perlu khawatir. Aku akan memenangkan hak asuhnya. Karena apa? Karena ibunya akan segera masuk penjara." Sebuah tamparan pun mendarat di pipi Ed. Selagi pria itu mendesa
Sambil mengelus perut, Amber melihat ke arah Ruby. Ia ingin tahu apa saja yang akan diperiksa oleh si perawat dan bagaimana hasilnya. Tanpa ia ketahui, laki-laki berseragam itu mendorong troli bukan menuju kasur pasien, melainkan dirinya. "Terima kasih, Perempuan Bodoh. Sebentar lagi, nyawamu akan memenuhi rekeningku," batin si pembunuh bayaran sinis. Perlahan-lahan, tangannya bergerak mendekati pisau bedah. Namun, tepat ketika ia baru menggenggam senjata, pintu tiba-tiba terbuka. Sedetik kemudian, dua orang gadis menghambur masuk disusul seorang pria dewasa. "Amber!" Dengan sangat terpaksa, si pembunuh bayaran mengubah haluan menuju dinding terdekat. Ia hanya bisa mengumpat tanpa suara. "Sial! Kenapa bisa ada pengunjung di jam ini?" "Benarkah kau hampir menjadi target pembunuhan?" tanya si gadis berkuncir seraya menjatuhkan diri di samping Amber. Dengan raut iba, ia merangkul wanita hamil itu. "Itu menyeramkan sekali." "Lalu
"Siapa yang menyuruhmu? Kenapa dia ingin membunuhku?" tanya Amber lantang. Padahal, tubuhnya bisa ambruk kapan saja. "Entahlah. Mungkin, karena kau sudah mengambil bekas suaminya? Atau ... mungkin juga, karena kehidupanmu lebih baik darinya. Kudengar perusahaan suaminya terancam bangkrut. Dia pasti merasa iri padamu." Mendengar pengakuan tersebut, Amber menghela napas tak percaya. "Celine? Dia yang mengirimmu ke sini?" "Apakah ada pesan terakhir yang ingin kau sampaikan kepadanya?" tanya si pembunuh bayaran sembari memutar pena di tangannya. Ia merasa di atas angin. Mangsanya telah tersudut oleh dinding. "Ya." Sang wanita menelan ludah. Sambil menahan ketakutan, ia menutup kedua telinga dengan tangan. "Katakan padanya kalau aku tidak akan mati!" Tepat ketika seruan itu berakhir, sebuah peluru berdesing. Sedetik kemudian, si pembunuh bayaran membungkuk memegangi pahanya yang berdarah. Erangannya menggelegar ke seluruh sudut parkiran