“Gagal bagaimana?” balas seorang pria dari seberang ponsel. Suaranya terdengar agak panik dan kesal. “Aku sudah berhasil membuat istrinya pergi. Tapi sekarang, Adam juga pergi. Aku seorang diri di hutan ini. Sekarang juga, cepat kirimkan jemputan untukku!” terang Ruby sembari menyeret koper dan mantelnya kembali ke pondok. Alih-alih marah, Edward malah tertawa. Kegeliannya membuat darah Ruby semakin mendidih. “Jangan menertawakanku! Sudah kukatakan kalau rencana ini tidak akan berhasil. Adam sudah tidak mencintaiku lagi. Sia-sia aku merendahkan diriku sendiri kalau hasilnya seperti ini.” “Jangan merasa rendah! Bukankah dulu kau sudah sering memperlihatkan tubuhmu kepadanya? Interaksi kalian dulu justru jauh lebih intim daripada rayuanmu semalam,” celetuk Edward, sukses membuat Ruby membekukan langkah dan mendesah tak percaya. “Suami macam apa kau ini? Istrimu hampir melayani laki-laki lain, tapi kau malah santai saja? Kau seh
“Sayang, kenapa kau belum tidur? Ingat kata dokter, kau harus banyak istirahat.” Mendengar suara lembut itu, Amber pun menoleh ke arah pintu. Sang ibu ternyata sedang berjalan menghampirinya. “Ini masih terlalu cepat untuk tidur, Ma,” balas perempuan pucat itu dengan tampang datar. Ia tidak bisa memalsukan senyum. Hatinya sudah terlalu kacau. “Kalau begitu, kau pasti senang mendapat panggilan ini. Lihatlah, teman-temanmu ingin menyapa.” Nyonya Lim menunjukkan layar ponselnya ke hadapan sang putri. Sedetik kemudian, tiga orang wanita kompak melambaikan tangan. Semuanya tersenyum walau mata mereka memancarkan iba. “Hai, Amber ....” Bukannya menjawab, Amber malah tertegun. Wajah-wajah itu telah membangkitkan kenangan. Terakhir mereka bertemu adalah di hari pernikahannya, hari di mana Adam masih bersamanya, hari ketika kebahagiaan mereka masih sempurna. Perlahan-lahan, air mata mulai tergenang di batas pelupuknya.
Mendengar suara serak itu, mata Sebastian pun melebar. Sembari menegakkan punggung dari sandaran kursi, ia mendesah tak percaya, “Amber?” Sang wanita tidak menjawab. Ia terlalu sibuk mengendalikan jeda napasnya yang terlalu rapat. Sebastian menjadi semakin yakin bahwa itu memang dirinya. “Hei, bagaimana keadaanmu? Apakah sudah merasa lebih baik?” tanya sang pria tanpa basa-basi. Ia sudah menahan kekhawatiran selama berjam-jam. Alih-alih menjawab, Amber malah membunyikan tangis. Tangannya kini mencengkeram dadanya yang sesak. “Tidak, Bas. Perasaanku malah semakin buruk.” “Kenapa?” selidik Sebastian lirih. “Haruskah aku terbang ke sana sekarang? Mungkin saja, aku bisa membuat perasaanmu menjadi lebih baik.” Amber menggeleng walau gerakannya tidak terlihat. “Jangan. Kau baru saja pulang. Aku tidak mau kau menyia-nyiakan waktu untuk kembali ke sini.” “Lalu bagaimana? Apa yang bisa kulakukan untuk mengurangi kesedihanmu?” tanya Sebast
“A-apa maksudmu, Moonstone? Aku tidak mengerti,” Ruby berpura-pura bodoh. Hanya itu cara untuk menyelamatkan diri yang terpikirkan olehnya. “Kau masih berani bersandiwara?” Selang satu dengus cepat, Adam meruncingkan telunjuk ke depan wajah sang wanita. “Jangan kira aku tidak tahu! Sejak awal, aku memang sudah mencurigai kedatanganmu.” Ruby pun terperangah. Sambil berusaha mengendalikan ketegangan, ia menggeleng lambat. “Curiga apa? Tentang niatku untuk merebutmu? Bukankah itu hal yang sangat jelas? Aku memang masih mencintai dan menginginkanmu, Adam.” “Kau sudah menghancurkan hidupku demi mendapat perhatian dari Ed, dan sekarang kau masih mau menyangkal?” hardik Adam dengan mata yang nyaris melompat keluar. Tanpa memedulikan tatapan dari orang-orang di sekitar mereka, ia mencengkeram kerah mantel Ruby. Sang wanita hanya sanggup membelalakkan mata dan menahan napas. “Kau sudah merusak keharmonisan keluargaku, membuat Amber marah dan pergi dari sisiku. Sekarang, kau masih berpura
Adam duduk di dekat jendela. Tatapan sendunya mengarah ke luar. Salju telah turun lebih lebat. Jika saja ia dan Amber masih di rumah, mereka pasti sedang duduk berdua, berbagi selimut sembari menikmati secangkir teh hangat. Namun kenyataannya, tidak ada kursi lain di sampingnya. Tidak ada cerita ataupun tawa yang memanjakan telinganya. Tanpa sadar, air mata mulai menghalangi pandangan Adam. Sebelum kesedihannya keluar dari batas, suara Nick membuyarkan lamunan. “Bos, kau menangis?” Adam spontan berkedip dan menegakkan punggung. Sembari menyentak alis, ia menggeleng samar. “Tidak.” “Ya, kau menangis,” tegas pria yang membungkuk memperhatikan mata bosnya. Setelah meletakkan dua cangkir kopi di ambang jendela, ia menarik kursi dan duduk di samping Adam. “Sebenarnya, ke mana istrimu pergi, Bos? Kau pasti sedang memikirkannya.” Adam menelan ludah pahit. Ia tidak terbiasa mengutarakan perasaan kepada orang lain. Namun, ia tidak memiliki pilihan lain.
"Untuk apa kau datang kemari? Bukankah kau sudah bahagia bersama perempuan itu? Tidak ada siapa pun yang mengganggu kalian lagi," bentak Amber ketika keluar dari pintu. Mata merahnya tampak begitu layu dan sendu. Sekalipun ia memaksakan pelupuk untuk terangkat lebih tinggi, kemarahannya tidak terlihat nyata bagi Adam. "Aku merindukanmu, Precious, sangat-sangat merindukanmu." Tanpa berpikir panjang, sang pria mengulurkan tangan. Ia sudah tidak sabar ingin merengkuh istrinya itu. Namun, sebelum jemari Adam tiba di lengan kurusnya, Amber melangkah mundur. "Jangan sentuh aku! Aku tidak mau dikotori oleh tanganmu yang hina itu." Seketika, sorot mata Adam kembali meredup. Senyumnya pecah bersamaan dengan desah kecewa. "Kenapa kau berkata begitu? Kau masih tidak percaya kalau aku tidak menyentuh perempuan licik itu?" "Tidak akan ada yang percaya, apalagi aku yang telah melihat tanda bukti di lehermu." Sembari menggerta
"Hei, sudah merasa lebih baik?" tanya Sebastian ketika Amber beranjak dari kasur. Setelah mengangguk lesu, wanita itu memegangi lehernya yang terasa gersang, "Aku mau minum." Dengan sigap, Sebastian mengambilkan segelas air. Selagi wanita hamil itu membasahi kerongkongan, ia mengusap kepalanya lembut. “Tubuhmu sudah tidak terlalu panas,” gumamnya lega. Sambil mengelap mulut, Amber menurunkan pandangan. Ia tidak ingin kesedihannya terlihat. “Terima kasih, Bas. Aku bisa melewati masalah ini berkat bantuanmu.” “Aku tidak melakukan apa-apa, Amber,” desah Sebastian seraya mengembalikan gelas ke atas meja. Kemudian, dengan alis berkerut samar, ia menatap temannya lekat-lekat. “Tapi, apa kau yakin masalah ini sudah berlalu?” Sang wanita terdiam sejenak. Keraguan telah membebani pikirannya. “Adam pasti menganggap aku sudah berpaling kepadamu. Dia tidak akan berani memintaku kembali padanya lagi,” jawabnya ragu. “Apakah dengan beg
Begitu membuka pintu, Amber terbelalak menatap kehampaan. Tidak ada seorang pun berlutut di sana. Yang ada hanya udara dingin dan hamparan salju di sekitar vila. “Adam?” panggilnya dengan suara bergetar. Pikiran buruk telah memenuhi kepalanya. Bagaimana kalau suaminya itu tidak sanggup mengatasi patah hati? Bagaimana kalau serangan paniknya datang? Atau yang lebih buruk, bagaimana kalau laki-laki itu nekat lagi? “Tidak! Adam tidak mungkin menyakiti diri sendiri,” desah Amber seraya mengusir ketakutan lewat gelengan kepala. Setelah menelan kepahitan, ia melangkah mengikuti intuisi. “Adam? Adam!” Malangnya, tidak ada seorang pun yang menyahut. Sembari terengah-engah, Amber terus memperhatikan sekeliling. Namun, sang suami tidak kunjung terlihat. Ia tidak tahu harus cemas atau lega karena suaminya tidak tergeletak di pekarangan hingga tiba-tiba, matanya mengenali mobil yang terparkir di samping mobil ibunya. “Jewel?” Mendapat secercah harapan, sudut bibir Amber pun menanggalkan be
Amber diam-diam membuka pintu ruang kerja. Melihat suaminya sedang melamun, ia pun menarik sebelah sudut bibir. "Apa yang sedang kau lakukan, Jewel?" Adam spontan menoleh ke arah datangnya suara. Melihat kehadiran sang istri, senyumnya pun mengembang. "Hei .... Apakah Ashley sudah tidur?" "Sudah dari tadi," sahut Amber seraya menghampiri. Kemudian, dengan santai, ia duduk di pangkuan sang suami. "Kenapa kau masih di sini? Apakah pekerjaanmu belum selesai?" Selagi sang suami menggosok tengkuk, ia mulai menyoroti meja. Ternyata, komputer sudah dimatikan. Berkas-berkas pun sudah tertata rapi dalam map. Yang tersisa di sana hanyalah ponsel yang memajang sebuah gambar. "Kau sangat menyukai foto itu, hmm?" simpul Amber seraya melirik dengan tatapan manis. Disoroti oleh mata sehangat itu, Adam pun mendesahkan senyum. Setelah mengecup pundak sang istri, ia mengangguk. "Terima kasih, Precious. Semua ini berkat dirimu. Aku tidak mungkin bisa memperbaiki hubunganku dengan Ibu kalau kau ti
"Aku tahu, kau pasti meragukan ucapanku," ringis Nyonya Smith memecah keheningan. "Apa ada sesuatu yang harus kulakukan untuk membuktikan ucapanku? Ibumu ini sungguh-sungguh ingin berubah, Adam." Masih dengan alis berkerut, sang pria mendengus. "Kenapa baru sekarang? Apakah karena Ed menelantarkan Ibu?" Nyonya Smith menggeleng sigap. "Tidak, kau jangan salah paham. Ketegangan di antara kita tidak ada sangkut pautnya dengan Ed. Akulah yang terlalu bodoh memanfaatkannya untuk merebut semua milikmu." "Omong kosong ...." "Apa kau tahu kalau Ed memarahiku? Dia sudah jenuh terseret oleh keegoisanku. Kakakmu itu bilang kalau dia tidak mau membantuku untuk menindasmu lagi." Sebelum Adam sempat membantah, Nyonya Smith lanjut bicara. "Sejak itu, aku mulai sadar. Tapi, aku masih meyakinkan diri kalau kau tidak layak bahagia. Ibumu ini sangat bodoh, hmm?" Adam mendadak bungkam. Dari bawah kernyit dahinya, ia menatap sang ibu dengan saksama. "Karena itu juga, aku belum menggunakan sepeser
Usai sang ibu membanting pintu, Adam mengusap-usap lengan Amber. Sambil memperhatikan wajah kusut istrinya itu, ia berbisik, "Kau baik-baik saja?" Sang wanita mengangguk. "Kau?" Adam menarik napas panjang. Setelah menaikkan alis, ia melengkungkan bibir. "Ya. Aku lega tidak terjadi apa-apa. Aku sempat takut kalau ibuku melakukan sesuatu yang nekat. Maaf telah membiarkannya menggendong Ashley." "Tidak apa-apa, Jewel. Kurasa, Ashley justru senang telah bertemu dengan neneknya," tutur Amber seraya mengeus kepala sang putri. Bayi mungil itu sudah kembali merapatkan mata. "Lihatlah, dia tersenyum lagi." "Dia pasti ingin menghiburmu," bisik Adam sebelum mendaratkan kecupan lembut di kening Ashley. "Bukan hanya aku, tapi kau juga. Kita beruntung dikaruniai anak yang berbakti. Ini pasti karma baikmu. Kau tetap sabar menghadapi ibumu, meskipun sudah berkali-kali disakiti." Adam spontan menggeleng. "Karma baikmu juga, Precious. Kau jauh lebih ber
Beberapa detik berlalu, orang-orang masih bertukar pandang. Tidak ada yang berani bicara sampai Ruby memecah keheningan. "Apakah aku boleh menggendongnya?" "Tentu saja," sahut Amber seraya menepuk-nepuk lengan Adam. Memahami kode yang diberikan, Adam pun mengeluarkan Ashley dari tempat tidur mungilnya. Begitu bayi itu tiba dalam dekapan Ruby, semua mata mulai berkaca-kaca. "Astaga .... Dia menggemaskan sekali," bisik Ruby dengan suara bergetar. Keharuan nyaris mendesak air mata keluar dari batasnya. "Lihatlah hidung mungil ini ... sangat mirip dengan milik Amber, sedangkan bibir tipis ini ... seratus persen salinan ayahnya." "Apakah kau mau berfoto dengan Ashley?" tanya Amber ringan. Dalam sekejap, mata sendu Ruby diwarnai keterkejutan. "Apakah boleh? Bukankah kalian sepakat untuk tidak mempublikasikan wajah putri kalian?" "Berfotolah untuk kenang-kenangan. Kau bisa mencetak lalu menyimpannya dalam dompet atau buku harian," ujar Amber sembari melirik ke arah Nick. Menyad
“Cepatlah! Aku sudah tidak tahan!” pekik Amber seraya meremas baju suaminya. Adam pun berputar-putar memeriksa pekarangan. Barangkali, ia menjatuhkan kuncinya di sekitar sana. Sementara itu, Nick malah sibuk meraba tubuhnya sendiri. Ketika tangannya menekan saku celana, matanya membulat sempurna. "Bagaimana kalau kita naik mobilku saja?" usul pria berbadan gempal itu seraya memperlihatkan kunci mobilnya. Masih dengan napas tersengal-sengal, Amber menoleh ke arah kendaraan yang terparkir di samping mobil Adam. "Kalian kira beratku mencapai satu ton? Orang-orang pasti tertawa melihat kalian membawaku dengan truk itu!" omelnya dengan suara melengking. Nick spontan meringis mendengarnya. "Maaf, Nyonya. Itu bukan truk, tapi mini box van untuk kargo kering. Aku biasa menggunakannya untuk mengantar perhiasan." "Kau tidak perlu malu, Precious," sambung Adam ditemani anggukan meyakinkan. "Mobil itu terbiasa membawa baran
"Halo, Nyonya Smith. Bagaimana kondisimu dan si Kecil?" sapa Nick ketika menyambut kedatangan Amber dan Adam. Diam-diam, ia merasa bangga melihat peluitnya tergantung di leher sang wanita. "Sangat baik. Maaf kalau harus merepotkan dirimu. Sebetulnya, ini satu minggu lebih awal dari prediksi dokter. Tapi, Adam terus mendesak agar kami menginap di rumahmu." Melihat raut bersalah Amber, Nick pun terkekeh. "Sama sekali bukan masalah, Nyonya. Apa yang dipikirkan oleh Bos memang benar. Ada baiknya jika kita berjaga-jaga. Rumah sakit terlalu jauh dari pondok kalian." "Kau memang bijak, Nick," ujar Adam seraya menenteng tiga tas besar yang diambilnya dari bagasi. "Tidak salah jika aku menaruh kepercayaan padamu." Sekali lagi, pria bertubuh gempal itu terkekeh. Setelah mengambil salah satu tas dari tangan Adam, ia melambai. "Ayo kutunjukkan kamar kalian! Aku sudah meminta Tina untuk membersihkannya tadi pagi." Selagi Nick memimpin jalan, Amber mencondo
"Ikhlas," angguk Amber sigap. "Hanya saja, aku menyayangkan sikap mereka yang tidak pernah berubah. Entah sampai kapan mereka betah membuatmu menderita." Sembari tersenyum kecil, Adam mengelus pipi istrinya. "Tenang saja! Setelah ini, aku yakin mereka tidak akan meminta yang macam-macam lagi. Aku sudah tidak punya apa-apa untuk mereka rebut." "Bagaimana dengan rumah kita? Haruskah kita mengajukan pengalihan aset? Kurasa akan lebih aman kalau sertifikatnya tercatat atas namaku." Sembari menahan tawa, Adam mengangguk. Ia tahu, sebagian hati Amber sesungguhnya tidak rela melihatnya berkorban sedemikian besar. "Karena itulah, aku bersikeras untuk menyerahkan perusahaan kepadamu. Tapi kau menolak terus." "Aku tidak mau orang-orang menganggapmu budak cintaku, Jewel. Laki-laki mana yang menyerahkan seluruh hartanya kepada sang istri? Hanya laki-laki bodoh. Aku tidak mau kau dicap seperti itu." Gemas dengan sang istri, Adam pun mengecup
"Sekarang giliran aku yang memberikan hadiah," tutur Ruby canggung. "Hadiah? Kapan kau menyiapkannya?" tanya Amber terbelalak. "Belanja online bukanlah sesuatu yang sulit," tutur Ruby sebelum tersenyum simpul. Tanpa basa-basi lagi, ia menyodorkan kotak. "Bukalah! Anggap ini sebagai permintaan maaf sekaligus terima kasihku." Setelah menyerahkan peluitnya kepada Adam, si wanita hamil mengangkat penutup kotak. Begitu menemukan kain rajut merah yang terlipat rapi, ia mendesah samar. "Apakah ini bentuk protes karena kami membuang sweater putih pemberianmu dulu?" "Justru aku ingin mengubur kenangan buruk tentang itu. Kuharap, ini bisa membantu kalian mengingat Ruby yang baru." "Kalau begitu, mulai detik ini, aku dan Adam akan membuat banyak kenangan manis bersama sweater ini," tutur Amber seraya mengeluarkan hadiah dari dalam kotak. Namun, sedetik kemudian, lengkung bibirnya membeku. Ternyata, masih ada sweater lain di dalam kotak. "Kau memberi kami sweater pasangan?" desahnya tak pe
"Maaf," ucap Amber, enggan menyebut nama kakak iparnya, "Ruby ingin bicara denganmu." Dalam sekejap, mata Ed melebar. Tanpa basa-basi, ia masuk melalui celah antara pintu dan Amber. "Apakah Ruby berubah pikiran?" selidik Adam seraya bangkit dari kursi. Setelah menutup pintu, ia memandu sang istri untuk duduk dengan hati-hati. "Tidak." Alis sang pria pun melengkung sempurna. "Lalu?" "Ruby ingin mengakhiri hubungan mereka secepatnya. Dengan begitu, dia bisa tinggal di kediaman Tuan Berg tanpa kekhawatiran," terang Amber sebelum menyentak alis. "Lalu, bagaimana denganmu? Apakah terjadi sesuatu selama aku masih di dalam?" Sambil meninggikan sudut bibir, Adam mengecup tangan sang istri. "Percaya atau tidak, aku merasa biasa-biasa saja. Ya, aku kesal melihat wajah Ed. Tapi, mengetahui dia sudah mendapat balasan yang setimpal, aku tidak juga merasa lega. Hanya ... biasa-biasa saja, seperti tidak ada yang berubah."