Author's Note~
Buku ini adalah lanjutan dari buku Mengukir Impian Baru, tetapi bisa dibaca tanpa membaca buku pertamanya. Meskipun cerita ini kembali ke masa lalu, tidak akan ada pengulangan bab, adegan, atau percakapan yang berlebihan yang diambil dari buku pertama.
Buku ini adalah fiksi belaka dan hasil imajinasi penulis. Apa yang tertuang dalam buku ini sama sekali bukan hal yang diyakini, dipercaya, atau disaksikan penulis dalam kehidupan nyata. Apabila terdapat kesamaan nama, karakter, tempat, dan peristiwa, itu murni sebuah kebetulan.
Sebagai peringatan, hanya beberapa bab awal saja yang bisa dibaca secara gratis. Penulis tidak menentukan mulai dari bab berapa dan jumlah koin yang dibutuhkan untuk membuka setiap bab yang terkunci. Bila ini memberatkan, semoga kita bisa bertemu pada karyaku yang lain. Jika teman-teman tetap lanjut membaca, terima kasih banyak atas dukungannya~
Selamat membaca dan terima kasih sudah memilih buku ini. ^^
___
~Jonah~
Aku tidak berdaya melihat istriku dalam keadaan tidak sadar. Aku memanggil namanya berulang kali, dia tidak memberikan respons. Bagian tubuhnya yang berani aku sentuh hanya tangannya. Aku panik melihat darah yang mengalir di antara kedua kakinya. Bayi kami. Ya, Tuhan. Apakah bayi kami ada dalam bahaya?
“Jonah, apakah kamu tidak apa-apa?” Aku tidak pernah merasa selega ini bisa mendengar suara kakak iparku. Nevan berlutut di depan tubuh adiknya yang berbaring di antara kami. Dia bergegas mengeluarkan stetoskop dari tas yang dibawanya, lalu mulai memeriksa keadaannya.
“Katakan bahwa dia baik-baik saja. Tolong, katakan bahwa istri dan anakku baik-baik saja,” kataku penuh harap. Ekspresi wajahnya tidak membuatku tenang. Dia kelihatan khawatir.
“Apakah kalian sudah menghubungi ambulans?” tanya Nevan kepadaku.
“Sudah, Pak. Mereka ….” Raven, pengawal pribadi istriku, yang menjawab. Kalimatnya terpotong begitu terdengar bunyi sirene semakin mendekat kepada kami.
“Jonah! Celeste! Oh, Tuhan. Celeste!” Terdengar pekikan Bunda saat melihat keadaanku dan istriku. Dia datang bersama Ayah dan Papa. Aku tidak kuat untuk berdiri dan menenangkannya. Jadi, aku membiarkan ayah dan ayah mertuaku untuk melakukan hal itu.
Keadaan sangat kacau saat ambulans datang dan para tenaga medis membantu Nevan untuk memindahkan tubuh adiknya. Orang-orang yang berkerumun membuat mereka kesulitan membawa tandunya ke ambulans. Aku dan Nevan ikut masuk ke mobil tersebut, sedangkan orang tua kami mengikuti di belakang dengan kendaraan mereka masing-masing.
Aku tidak mau melepaskan tangan istriku saat mereka memeriksa tubuhnya dan berusaha untuk memberikan pertolongan pertama. Dugaan pertama Nevan adalah kepala Celeste membentur kaca dengan keras sehingga dia kehilangan kesadaran. Tetapi jantungnya berdetak terlalu lemah dan darah itu membuatnya mengkhawatirkan keadaan si kecil. Jantungnya masih berdetak tetapi sama lemahnya dengan jantung ibunya. “Tolong, selamatkan mereka.”
Sampai di rumah sakit, dokter langsung mengambil alih dan Nevan ikut untuk mendengarkan apa yang terjadi kepada adiknya. Dokter lain memintaku untuk berbaring di dipan agar mereka bisa memeriksa keadaanku juga.
Apa yang terjadi? Siapa yang sudah mengirim orang untuk menembaki kaca jendela mobil kami? Untung saja kaca jendela itu anti peluru. Aku seharusnya mengerem saja tanpa membanting setir. Tetapi aku sangat panik tadi melihat tembakan pertama diarahkan langsung ke istriku.
Oh, Tuhan. Seharusnya hari ini kami hanya ziarah untuk memperingati satu tahun kepergian kakakku. Lalu kami pulang ke rumah dan bersantai. Hari ini aku sudah sengaja cuti dari tempat kerjaku. Tetapi dalam perjalanan menuju pemakaman, kami malah mengalami malapetaka.
Setelah dokter selesai memeriksa keadaanku yang hanya punya beberapa luka memar dan ringan, aku mencari keluargaku. Seorang suster mengantarkan aku kepada mereka. Sepertinya Nevan yang memintanya untuk melakukan hal itu. Kakiku lemas melihat tulisan yang ada di atas pintu. Ruang operasi. Papa dan Nevan segera datang mendekatiku lalu menolongku untuk duduk.
“Kamu tidak apa-apa, Nak? Apa kamu tidak sebaiknya beristirahat? Kamu pasti sangat terkejut dengan kejadian tadi,” kata Ayah khawatir. Bunda duduk di sisinya dan sedang menangis.
“Aku tidak apa-apa, Ayah. Keadaan istriku yang lebih mengkhawatirkan,” jawabku pelan.
“Mereka akan membayar mahal jika sesuatu terjadi kepada putri dan cucuku. Siapa pun pelakunya,” kata Ayah geram. “Bagaimana bisa ada orang yang tidak punya perasaan begitu? Apa kesalahan anak-anakku kepada mereka?”
Aku melihat Raven berdiri di sudut dekat pintu ruang operasi. Dia mengingatkan aku kepada Theo. Aku memanggilnya dan memintanya untuk menghubungi suaminya itu. Aku butuh informasi siapa pun pelakunya dan aku ingin nama mereka sekarang juga. Mengejutkan, pengawal pribadi istriku itu sudah melakukannya sebelum aku memintanya.
Berjam-jam menunggu, akhirnya dokter keluar dari ruang operasi. Kami segera mendekatinya. Dia memberi sebuah kabar bahagia. Putra kami telah lahir dengan selamat dan keadaannya sehat. Dia sedang dibaringkan di dada ibunya untuk belajar minum. Aku sangat lega mendengarnya.
“Kabar buruknya, istri Anda dalam keadaan koma. Dia mengalami pendarahan hebat pada otaknya. Meskipun keadaannya sudah stabil, kami tidak bisa memastikan kapan dia akan bangun,” ucap dokter itu meruntuhkan duniaku.
“Oh, Tuhan,” Bunda kembali terisak.
“Tetapi tadi Dokter bilang, bayi kami sedang belajar minum,” ucapku tidak mengerti.
“Meskipun istri Anda dalam keadaan koma, bukan berarti produksi ASI-nya terhenti. Sudah banyak kasus serupa. Ibu yang ada dalam keadaan koma tetap bisa menyusui bayinya,” katanya menjelaskan.
“Lakukan sesuatu, Dokter.” Aku memegang kedua lengan pria itu. “Tolonglah istriku. Aku tidak bisa kehilangan dia. Tolong, lakukan sesuatu.”
“Kami sudah melakukan yang harus kami lakukan, Pak. Yang bisa kita lakukan sekarang adalah menunggu sampai istri Anda bangun.” Aku menggeleng-geleng keras mendengarnya. Itu tidak cukup. Dia harus melakukan sesuatu.
“Jonah, mereka sudah melakukan apa yang bisa mereka lakukan.” Nevan menyentuh kedua tanganku agar melepaskan genggamanku dari dokter tersebut. Aku benci mengatakan ini, tetapi dia benar. Mereka sudah berjam-jam berjuang di dalam untuk menolongnya. Bahkan bayi kami lahir dengan selamat. “Kapan kami bisa melihat si kecil dan ibunya?”
“Setelah bayinya selesai menyusui, kami akan meletakkannya di kamar bayi. Suster akan menunjukkan dia kepada kalian semua melalui jendela.”
“Tidak. Aku tidak mau bayiku ada di kamar lain. Aku mau dia bersama ibunya.” Aku menegakkan tubuhku. Aku harus kuat. Demi Celeste dan putra kami, aku harus menguatkan diriku. “Seseorang mencoba membunuh kami dengan menembaki mobil. Siapa pun mereka, dia bisa menyuruh orang untuk datang membunuh istri dan putraku. Tolong, tempatkan mereka di kamar yang sama.”
“Jonah benar. Tolong tempatkan mereka di ruangan yang sama, Dok,” pinta Nevan.
“Baik, Dok. Mereka berdua akan kami tempatkan di ICU,” kata dokter itu menurut.
“Dan aku mau hanya dua suster yang bergantian memeriksa keadaannya. Aku tidak mau tiba-tiba ada suster tidak dikenal yang memasuki ruangan mereka. Raven dan rekannya juga akan bergantian menjaga istri dan putraku. Jadi, sediakan kursi yang nyaman untuk mereka berjaga di luar ruangan,” kataku lagi menambahkan. Raven segera maju dan berdiri di hadapan dokter tersebut.
“Aku akan meminta rekanku untuk memasang CCTV agar mereka berdua tetap terpantau penuh selama dua puluh empat jam. Jika ada dokter yang memeriksa keadaannya, dia harus mendapatkan izin Nevan. Sekali lagi, aku tidak mau ada dokter tidak dikenal yang masuk ke ruangan tersebut. Dan setiap tindakan medis atau pemberian obat, cairan, dan sebagainya harus atas izin Nevan.”
“Aku akan memastikan hal itu, Jonah. Jangan khawatir. Aku akan menjaga adikku sebaik mungkin.” Nevan menepuk bahuku.
“Kuatkan dirimu, Nak. Kamu tidak sendiri. Kami bersama kalian.” Papa, begitu panggilanku untuk ayah mertuaku, ikut menepuk bahuku. Aku mengangguk pelan.
Raven dan Nevan mengikuti dokter tersebut menuju kamar di mana istri dan putraku akan mereka tempatkan. Kami belum bisa menjenguk mereka. Orang tua kami menunggu sampai Nevan datang menjemput mereka nanti, sedangkan aku berniat membeli minuman. Pada saat yang bersamaan, ponselku bergetar. Aku mengeluarkannya dari saku celanaku dan melihat nama Theo.
“Ya?” jawabku sambil berjalan menuju kantin.
“Aku tidak bisa membiarkan istriku mengawal istrimu seorang diri, Jonah. Aku akan datang bersama pengawal yang lain. Lalu dua pengawal lagi untuk ganti sif juga akan aku perkenalkan kepadamu,” kata Theo dengan cepat. “Apakah Raven baik-baik saja? Dia tidak akan mengeluh mengenai apa pun, jadi aku perlu bertanya kepada orang yang melihat kondisinya.”
“Dia baik-baik saja.”
“Lima menit lagi, aku sampai.” Setelah mengucapkan salam, kami mengakhiri hubungan telepon.
Aku berbelok di ujung koridor, lalu tiba-tiba sebuah lengan yang kuat membekap mulutku dan menyeretku ke bagian koridor yang sepi. Aku berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan diri, tetapi dia lebih kuat dariku. Apakah ini tindakan lanjutan mereka karena aku tidak mati dalam penembakan itu? Sial. Aku tidak berhati-hati.
“Sampaikan salam Felix kepada Yosef. Itu pun kalau kamu masuk surga,” kata pria tersebut. Sesuatu ditempelkan ke sisi kepalaku, lalu terdengar bunyi benda yang sangat kecil dan aku mendadak tidak bisa merasakan apa pun. “Berikutnya adalah giliran istri dan anakmu.”
Dia melepaskan tubuhku dan aku terjatuh bebas ke lantai sehingga menimbulkan bunyi yang cukup keras. Aku kehilangan daya atas badanku sendiri. Saat melihat kubangan darah di sekitar kepalaku, barulah aku mengerti. Dia menembakku tepat di kepalaku.
Mengapa dia menyebut nama Felix dan Yosef? Sepupuku sudah meninggal dunia dengan mengakhiri hidupnya sendiri. Dia tidak tahan dengan pertanyaan yang diajukan oleh wartawan dan hinaan dari para penggemar Jason selama proses pengadilan berlangsung. Siapa yang bilang bahwa kata-kata tidak bisa membunuh? Dia ditemukan meninggal dengan gantung diri di selnya. Tetapi mengapa kakak kandung Yosef marah kepadaku? Mengapa Felix mengirim orang untuk membunuhku? Aku tidak melakukan kesalahan apa pun kepada keluarga mereka. Anggota keluarga merekalah yang telah berbuat jahat kepada kami. Adiknya telah membunuh Jason, kakakku, penerus utama ayahku, anak kesayangan ibuku. Kematian Yosef bukanlah kesalahan kami. Felix berengsek. Jadi, dia jugakah yang sudah mengirim orang untuk menembaki mobilku? Siapa sebenarnya dia? Bagaimana bisa sepupuku itu mengenal orang yang tidak segan-segan mengambil nyawa orang lain seperti ini? Berikutnya adalah giliran istri dan anakmu.
“Jangan sentuh istri dan anakku!!” seruku sekuat tenaga. Setelah dari tadi telingaku tidak berfungsi, akhirnya aku bisa mendengarkan suaraku sendiri lagi. Tenggorokanku juga terasa sakit karena aku berteriak terlalu keras. Dan aku bisa berada pada posisi duduk setelah dari tadi hanya berbaring tidak berdaya. Namun mengapa aku merasakan aku sedang duduk di permukaan yang empuk? Aneh. Bukankah tadi aku sedang berbaring di lantai yang keras dan dingin? Aku menyentuh permukaan yang sangat halus. Aku membuka mata lebar-lebar dan melihat ke sekelilingku. Perabotan, dinding, pintu, jendela, ini kamarku. Bagaimana aku bisa berada di sini? Bukankah aku sedang berada di rumah sakit? Oh, Tuhan. Celeste! Bayi kami! Aku harus segera melihat keadaan mereka di rumah sakit. Setelah bergelut dengan diri sendiri, aku memutuskan untuk mandi. Dia pasti ditempatkan di ruang ICU dan itu ruangan steril. Aku tidak boleh kotor. Aku memakai kaus dan celana panjang, lalu mencar
“Kamu mau ke mana, Jonah?” tanya Bunda saat aku berjalan mendekati pintu depan. Aku menoleh dan melihatnya sedang memegang ponselnya di dekat telinganya. “Aku pergi sebentar, Bunda,” jawabku singkat. “Segera kembali. Kamu harus hadir dalam acara pertunangan Jason,” kata Bunda dengan tegas. Dia kembali mendekatkan ponselnya ke wajahnya. “Apa kalian sudah bersama Celeste?” Itu pasti penata rias dan rambut yang diminta Bunda untuk datang ke rumah gadis itu. Ini keputusan yang berat, tetapi aku harus melakukannya. Jovita akan datang bersama orang tuanya untuk membatalkan acara pertunangan ini. Aku tidak punya pilihan lain selain menghalangi mereka untuk datang. Dan hanya ada satu orang yang bisa mencegah hal itu terjadi. Rumah keluarga Om Mahavir selalu berhasil menunjukkan betapa sukses dan besarnya perusahaan milik mereka. Bangunan bertingkat tiga itu memiliki dua puluh kamar. Ada lagi bangunan bertingkat tiga terpisah di halaman belakang khusus untuk p
Aku mengalihkan pandanganku agar tidak melihatnya. Seluruh keluarga kami sedang mengarahkan pandangan kepada mereka, jadi tidak ada yang melihat ekspresiku. Aku selamat untuk kali ini. Tetapi jika aku tidak bisa juga mengendalikan diriku sendiri, mereka semua bisa curiga melihat sikapku. Aku dan Celeste bukanlah siapa-siapa dalam fase kehidupan sekarang. Iya, dia adalah tunanganku, kekasihku, istriku, ibu dari anakku pada kehidupanku sebelum aku mati. Dia yang sekarang hanyalah orang yang aku kenal selama beberapa hari sejak dia datang ke kantor Ayah dan menandatangani surat perjanjian yang berujung pada pertunangannya dan Jason. Jovita dan orang tuanya tidak datang, maka aku sudah berhasil mengubah segalanya. Kakakku yang akan menjadi suaminya. Meskipun aku akan sangat menderita karena perubahan keadaan ini, tetapi hidupku dan Jason akan lebih panjang. Itu pertukaran yang adil. Dan aku salah duga. Ternyata Jason hanya membisikkan sesuatu kepada Celeste, buka
“Sore ini kalian akan mengepas pakaian, jadi kamu jangan datang terlambat. Lokasi butiknya dekat dengan kantor. Aku akan menjemput Celeste agar kita langsung bertemu di sana saja,” ucap Bunda. “Baik, Bunda,” jawab Jason menurut. Suasana sarapan pada pagi ini sangat berbeda dengan suasana sebelumnya. Aku mulai merasa ada yang tidak beres. Apakah keputusanku untuk menyelamatkan Jason adalah keputusan yang tepat? Yang membuatku curiga adalah sikap diam Jovita. Dia bukan wanita yang mudah menyerah. Aku tidak akan tenang sebelum pernikahannya dengan Yosef dilangsungkan. Tetapi wanita itu tidak pernah memiliki perasaan apa pun kepada sepupuku, apa mungkin dalam kehidupan kali ini dia akan berubah sikap kepadanya? Sial. Ciuman yang tidak sengaja terjadi semalam membuatku bimbang dengan keputusanku sendiri. Aku tidak boleh begini. Meskipun apa yang akan terjadi ke depan masih tanda tanya, aku tidak boleh meragukan pilihan yang aku buat sendiri. “Jonah, apa ka
Seharusnya aku tahu bahwa Jovita dan keluarganya tidak akan menyerah begitu saja. Lagi pula Yosef juga tidak bisa membuktikan bahwa anak dalam kandungan Jovita benar adalah anaknya. Maka satu-satunya jalan adalah menunggu sampai anak itu lahir. Terlalu lama untuk menunggu sampai dia lahir, tetapi aku tidak bisa menyarankan dilakukan tes DNA sekarang. Yang aku dengar, tes itu bisa membahayakan janin. Aku tidak peduli jika hal yang buruk terjadi kepada wanita ini. Dia terlalu jahat untuk mendapatkan simpati. Namun bayi itu tidak ada hubungannya dengan sikap ibunya, aku tidak bisa membahayakan nyawanya. “Aku tahu mengapa kalian menolak untuk menikahkan aku dengan Jason. Dia sudah bertunangan dengan Celeste, anak seorang pemilik restoran kecil. Bagaimana bisa keluarga Jarvis Putra yang terhormat memilih seorang pelayan untuk menjadi seorang menantu? Bukankah akan lebih baik bila kalian memilih aku? “Tetapi tidak apa-apa. Pada akhirnya nanti, akulah yang akan menj
“Karena itulah aku tidak akan pernah selingkuh,” kataku lagi. “Dia ada benarnya, Cel. Dia belum pernah berpacaran. Berbeda dengan Jason yang sudah beberapa kali terlihat dekat dengan perempuan.” Nola meletakkan kedua tangannya di atas meja, lalu memajukan tubuhnya. “Dilihat dari dekat begini, kamu ganteng juga. Tetapi mengapa kamu tidak disukai banyak orang?” “Apa kamu tidak lihat tatapan dingin dan ekspresi sombongnya itu? Wajar saja tidak ada yang suka dengannya,” ucap Celeste berbisik tetapi cukup keras untuk aku dengar. “Wow, Cel. Apakah kamu ada masalah dengan Jonah? Kita baru duduk, berapa, lima menit, dan kamu sudah mengejeknya dua kali?” tanya Nola tidak percaya. “Kalian punya hubungan apa?” Seorang pelayan datang mengantarkan pesanan kami, menyelamatkan Celeste dari menjawab pertanyaan sahabatnya. Minuman, sup, sayuran segar, dan daging mentah diletakkan di atas meja. Wanita itu membantu meletakkan beberapa potong daging sehingga memenuhi ala
Celeste segera merapikan gaun yang dikenakannya dan menegakkan tubuhnya, aku menjauhkan diri darinya begitu melihat dia tidak lagi membutuhkan bantuanku. Aku melihat ke arah Bunda dan mendesah lega dia yang datang, bukan yang lain. “Ma-maafkan aku, Tante. Aku tadi memanggil-manggil orang untuk meminta tolong, tetapi tidak ada yang menyahut. Jadi, Jonah yang mendengar seruanku datang. Aku yang mengizinkannya masuk ke sini untuk membantuku melepas ritsleting gaun yang macet.” Celeste segera menjelaskan apa yang terjadi kepada Bunda. Dia tidak perlu melakukannya. Bunda bukan tipe orang yang mudah curiga. “Untung saja aku yang datang. Kalau sampai Jason melihat ini, aku tidak mau membayangkan berapa lama kalian akan meributkan hal ini.” Bunda mendekati Celeste. “Pergilah. Mereka mencarimu untuk mengukur tubuhmu.” Aku menurut. Setelah urusan di butik selesai, kami makan malam bersama. Aku merasa seperti orang yang tidak seharusnya berada di tempat ini. Ayah memili
~Celeste~ “Jacob Nicholas Putra!” seruku melihat anakku yang berusia sembilan tahun malah asyik memakan es krim cokelat di ruang makan. Dia mengotori pakaiannya padahal kami harus pergi sekarang. Aku menoleh ke arah suamiku yang berdiri di sisiku. “Oke. Ini salahku.” Dia menurunkan putri kami dari pelukannya dan memberikan tangannya padaku. “Ayo, Jacob, kita bersihkan tanganmu dan ganti pakaianmu.” Aku mendesah napas keras melihat mereka berjalan menuju pintu belakang. Aku hanya beberapa menit berada di kamar untuk bersiap-siap setelah membantu anak-anak berpakaian. Saat aku pikir kami sudah siap untuk pergi, selalu saja terjadi kecelakaan serupa. Jacob makan sesuatu hingga mengotori tangan, wajah, dan pakaiannya atau Jolene yang menumpahkan minuman ke bajunya. Meninggalkan anak-anak dalam pengawasan suamiku memang bukan ide yang baik, tetapi siapa lagi yang bisa aku percaya kalau bukan dia? Andai saja Ayah dan Bunda ada di sini. Mereka masih dalam pe
Aku melihat ke arah arloji pemberian istriku yang melingkari pergelangan tanganku. Tidak peduli berapa harganya, benda itu sangat berarti bagiku. Pemberian pertama darinya untukku. Meskipun dia tidak ada di sini bersamaku, aku merasakan dukungannya.Hari ini pertama kalinya aku akan menghadiri rapat pemegang saham di perusahaan Anggara. Om dan Bunda tersenyum kepadaku saat mereka melihat aku duduk di kursi yang mereka sediakan untukku. Di sisi Om Mahavir. Wajah peserta lainnya menatapku dengan rasa ingin tahu. Mereka semua sudah mendengarkan kemampuan dan beberapa prestasiku, mereka pasti tidak sabar mau mendengar langsung apakah aku seperti yang dikatakan Om.Asisten Om Mahavir menenangkan ruangan dan memimpin jalannya rapat. Dia membacakan agenda dari pertemuan kami sebelum mempersilakan direktur utama untuk menyampaikan laporannya. Aku menghela napas panjang, bersiap mengikuti diskusi panjang nanti.“Aku tidak percaya proyek ini lolos begitu mudah,&rdqu
“Mengapa aku harus berpakaian seperti ini?” keluh Celeste untuk kesekian kalinya. Dia memakai gaun paling indah dan mahal yang selalu menjadi dambaan banyak wanita, tetapi dia mengeluh. Aku bahkan memberi dia gelang berlian untuk menyempurnakan penampilannya.“Kamu akan mengerti begitu kita tiba di sana.” Kali ini aku tidak menyetir dan meminta salah satu sopir keluarga kami untuk mengendarai mobilku.“Aku merasa seperti maneken yang kamu bawa ke pesta hanya untuk dipamerkan.” Dia memajukan bibirnya, menyatakan rasa tidak sukanya. Seandainya kami dalam perjalanan pulang, aku pasti akan menciumnya habis-habisan di mobil ini sampai senyuman menghiasi wajahnya. Tetapi aku tidak bisa melakukan itu sekarang, riasan wajahnya bisa rusak.“Malam ini istimewa, sayang. Aku mau mereka semua tahu bahwa meskipun aku masih muda, aku bisa mendapatkan uang yang banyak untuk membelikan istriku pakaian yang bagus dan perhiasan yang mahal.
Aku menyerahkan dokumen terakhir yang perlu aku tanda tangani sebagai manajer pemasaran kepada Fabian. Sudah tidak ada lagi dokumen atau laporan yang aku sisakan di atas meja. Dengan begitu, orang baru yang akan menggantikan aku tidak dibebani dengan tugas yang masih menjadi tanggung jawabku.“Terima kasih atas bimbingannya selama ini, Pak. Saya ikut bangga Bapak naik ke posisi baru,” ucap Fabian dengan tulus.“Terima kasih juga padamu, Fabian. Kamu asisten terbaik yang pernah aku miliki.” Aku melirik jam tanganku. “Apa kamu ada janji malam ini Mau makan malam bersamaku?”“Saya tidak ada janji, tetapi—” jawabnya dengan segan.“Tidak ada tetapi. Ayo, aku traktir.” Aku memasukkan ponsel ke dalam saku jasku, lalu berjalan mendekati pintu. Dia mengikuti aku keluar dan bergegas menyimpan dokumen tadi di lemari besi kemudian menguncinya.Fabian tidak menyebut makanan tertentu yang dia suka
~Jonah~Suasana rumah pada pagi itu tepat seperti dugaanku. Ketika aku masuk ruang makan dan Celeste tidak bersamaku, aku terpaksa memberi tahu Ayah dan Bunda bahwa dia pulang ke rumah Papa semalam. Bunda histeris dan Ayah segera menenangkannya.Namun tidak ada yang bisa membuat Bunda berhenti menangis sehingga kami pergi bersama untuk membujuk dia pulang. Aku mengendarai mobilku sendiri, sedangkan Ayah dan Bunda di mobil Ayah. Kami harus ke kantor setelah urusan ini selesai, jadi kami tidak bisa pergi dengan satu kendaraan.Bu Liana menyambut kedatangan kami, lalu mengantar kami ke ruang tamu. Dia meninggalkan kami untuk memanggil Celeste. Nevan masuk beberapa saat kemudian bersama seorang pelayan yang membawakan kudapan. Dia hanya mendesah pelan sebelum duduk di salah satu sofa kosong.“Tolong, maafkan adikku. Dia—” Nevan berusaha untuk menjelaskan.“Ini adalah kesalahanku. Celeste berhak untuk marah,” tukas Ayah. Ne
~Celeste~Restoran yang dimiliki Papa berawal dari warung makan sederhana yang dimulainya bersama Mama. Mereka mengawali usaha itu dari nol hingga akhirnya berdiri sebuah restoran berlantai tiga. Dari menu makanan sehari-hari khas Indonesia hingga orang tuaku mempekerjakan koki khusus masakan luar negeri. Restoran itu unik karena lantai dasar tetap diperuntukkan bagi makanan yang terjangkau layaknya warung nasi sederhana, sedangkan lantai dua khusus makanan yang sedikit lebih mahal.Pelanggan semakin banyak dan mereka berharap ada cabang lain yang jaraknya lebih dekat dari tempat tinggal atau kantor mereka. Karena itu Papa ingin membangun restoran yang kedua. Itu adalah prestasi terbesarnya setelah lama berdua kehilangan Mama.Lalu ada orang yang sengaja menghancurkan impian Papa dan sengaja merebut semua itu darinya. Dan orang itu tidak lain adalah ayah mertuaku sendiri? Bagaimana bisa orang kaya punya pikiran yang begitu egois? Mereka tidak lebih baik dari Fel
“Apa katamu? Kamu punya syarat? Kamu sudah mendapatkan posisi yang tidak perlu susah payah kamu perjuangkan dari nol, kamu masih berani mengajukan syarat?” ejek Felix. “Ayah lihat, ‘kan? Dia tidak lain hanyalah seorang pecundang yang akan membuat perusahaan kita bangkrut!”“Syarat hanya diajukan oleh orang yang percaya diri dengan kemampuannya. Dia belum memberi tahu syaratnya mengapa kamu langsung marah? Sabar, Felix. Lihat baik-baik bagaimana seorang pemimpin berdiskusi dan menyatakan pendapat tanpa bersitegang leher,” kata Om Mahavir.“Katakan, Jonah. Apa syarat darimu?” tanya Om kepadaku.“Aku hanya meminta hak penuh yang Om dapatkan sebagai direktur utama juga diberikan kepadaku saat aku menggantikan posisi Om. Aku tidak akan mau memimpin bila mendadak dibentuk dewan komisaris untuk membatasi wewenangku. Aku tidak keberatan dengan kehadiran para pemegang saham, dan aku akan menghormati setiap penda
Dia seharusnya tidak berada di sini. Untuk kejahatan yang sudah dia lakukan, dia tidak mungkin dibiarkan bebas dengan jaminan apa pun. Keberadaannya di dekat kami bisa mengancam nyawa kami. Dia tidak segan menyakiti keluarganya sendiri demi mencapai tujuannya. Lalu mengapa dia bisa berada di sini, di kantor Ayah?“Tenang, Nak. Masuklah. Dia tidak akan menyakiti siapa pun,” kata Ayah.Aku membuka pintu lebih lebar dan melihat ada dua orang polisi yang duduk di dekat Felix. Aku pun merasa sedikit tenang. Ada Ayah, Bunda, Om Mahavir, dan Tante Clara duduk bersama di ruangan itu. Meskipun aku bingung apa yang sedang terjadi, aku masuk dan menutup pintu. Ayah menunjuk di mana sebaiknya aku dan istriku duduk.“Kita tidak bisa berlama-lama karena Felix harus segera kembali ke tempatnya.” Ayah memajukan tubuhnya dan memasang wajah serius. “Aku dan Avir sudah berembuk sampai kami sampai pada sebuah keputusan yang sangat besar.” Ayah me
Pada keesokan harinya, kami menerima surat panggilan untuk hadir memberi kesaksian di kantor polisi. Aku, Celeste, dan Bunda meminta agar bisa hadir pada hari yang sama dan tidak berbeda hari seperti yang tercantum dalam surat panggilan tersebut. Pak Omar memberi kabar baik bahwa mereka memenuhi permintaan kami tersebut.Sebagai penasihat hukum keluarga kami, Pak Omar yang lebih banyak bicara mewakili kami bertiga. Dia yang menentukan mana pertanyaan yang bisa kami jawab dan yang mana yang tidak ada hubungannya dengan investigasi kasus yang sedang mereka tangani.Mereka lebih banyak bertanya seputar ledakan yang terjadi pada pintu apartemenku, perkelahian di jalan raya yang sengaja diblokir atas perintah Felix, penculikan Celeste, serta pemaksaan atas Bunda dan penembakan yang terjadi di pelabuhan.Aku menjawab sedetail mungkin mengenai peristiwa di apartemen dan jalan raya, karena mereka perlu memberi laporan kepada pihak asuransi. Aku tidak mau merogoh uangku