“Jangan sentuh istri dan anakku!!” seruku sekuat tenaga.
Setelah dari tadi telingaku tidak berfungsi, akhirnya aku bisa mendengarkan suaraku sendiri lagi. Tenggorokanku juga terasa sakit karena aku berteriak terlalu keras. Dan aku bisa berada pada posisi duduk setelah dari tadi hanya berbaring tidak berdaya.
Namun mengapa aku merasakan aku sedang duduk di permukaan yang empuk? Aneh. Bukankah tadi aku sedang berbaring di lantai yang keras dan dingin? Aku menyentuh permukaan yang sangat halus. Aku membuka mata lebar-lebar dan melihat ke sekelilingku.
Perabotan, dinding, pintu, jendela, ini kamarku. Bagaimana aku bisa berada di sini? Bukankah aku sedang berada di rumah sakit? Oh, Tuhan. Celeste! Bayi kami! Aku harus segera melihat keadaan mereka di rumah sakit. Setelah bergelut dengan diri sendiri, aku memutuskan untuk mandi. Dia pasti ditempatkan di ruang ICU dan itu ruangan steril. Aku tidak boleh kotor.
Aku memakai kaus dan celana panjang, lalu mencari sebuah tas. Aneh. Benda yang sudah aku letakkan dengan baik di dekat pintu kamar malah tidak ada. Koper kecil itu berisi pakaian Celeste dan bayi kami. Ayah dan Bunda tidak mungkin membawanya ke rumah sakit tanpa memberitahuku. Aku tidur di sini. Para pelayan juga tidak akan melakukannya.
Oke. Aku tidak punya banyak waktu untuk dibuang-buang. Aku bisa menggunakan tas lain dan mengisinya lagi dengan beberapa pakaian istriku dan segala keperluannya, juga untuk bayi kami. Aku bergegas masuk ke ruang pakaian, mengambil tas lainnya, dan tertegun melihat isi ruangan tersebut.
Ke mana pakaian istriku? Mengapa ruangan ini hanya dipenuhi dengan pakaianku? Dan mengapa semua diatur persis sama sebelum kami menikah? Tidak. Ini tidak mungkin. Apakah istriku telah meninggal? Tidak. Itu tidak boleh terjadi. Celeste tidak boleh meninggalkan aku.
Pakaian bisa aku urus nanti. Aku harus memastikan bahwa keadaan istriku baik-baik saja. Sebaiknya aku ke rumah sakit sekarang. Satu keanehan membuat langkahku terhenti di dekat pintu. Mengapa tidak ada vas yang selalu berisi bunga segar di atas bufet? Deretan foto pernikahan dan foto kami hanya berdua saja juga tidak ada. Jangan-jangan aku sudah gila karena tembakan itu.
Aku tidak berpapasan dengan seorang pelayan pun saat menuruni tangga dan berjalan menuju pintu depan. Ke mana Pak Raihan? Dia selalu siap sedia untuk membukakan pintu saat kami keluar atau masuk rumah. Biasanya juga pagi-pagi begini sudah ada beberapa pelayan yang mondar-mandir membersihkan rumah. Ke mana semua orang?
Saat aku membuka pintu depan, sebuah mobil bergerak mendekat, lalu berhenti tepat di depanku. Itu, ‘kan, mobil Jason? Kami sudah menjualnya karena tidak sanggup menahan kenangan tentang dia setiap kali kami melihat kendaraan pribadinya tersebut. Siapa yang menggunakannya?
Pintu bagian penumpang terbuka. Seorang pria yang sangat aku kenal keluar dari mobil tersebut. Model rambut itu, mata mengesalkan itu, wajah penuh kesombongan itu, tubuh berotot, dan tinggi badan itu hanya satu orang di dunia ini yang memilikinya.
“Selamat pagi, adikku. Kamu mau ke mana terburu-buru begitu?” tanyanya dengan nada bicara sok ramahnya yang biasanya membuatku muak itu. Tetapi sedikit pun aku tidak merasakan semua perasaan negatif yang biasanya aku rasakan kepadanya.
Ini bukan mimpi, ‘kan? Jason masih hidup? Dia benar-benar sedang berdiri di hadapanku. Suaranya juga terdengar jelas. Bahkan ekspresi wajah bingungnya itu tidak dibuat-buat. Aku mendekat, lalu memegang pipinya. Dia segera menepis tanganku itu dengan wajah tidak suka. Ini benar-benar dia! Aku segera memeluknya dengan erat.
“Jo! Apa kamu sudah gila?! Lepaskan aku! Apa ini peluk-peluk begini?” Jason berusaha keras untuk melepaskan diri dari pelukanku. Tetapi aku tidak membiarkannya pergi.
“Oh, Tuhan. Kamu nyata, Jace. Aku senang sekali melihatmu sehat dan masih hidup.” Aku tidak peduli ketika merasakan mataku memanas. Aku merindukan kakakku dan biar saja dia melihatku menangis. Ini adalah hari yang membahagiakan.
“Lepaskan aku!” Dia menghentak tubuhku dengan kuat tetapi aku tidak melepaskannya. “Berengsek kamu. Apa kamu sudah tidak waras?”
“Ada apa ini pagi-pagi sudah ribut? Apa kalian berdua benar-benar tidak bisa akur satu hari saja?” Terdengar suara Bunda dari arah belakangku. Bunda? Mengapa Bunda ada di rumah? Lalu siapa yang menjaga istri dan anakku di rumah sakit?
“Jonah sudah tidak waras, Bunda.” Jason segera menjauh dariku saat aku melepaskan pelukanku.
“Bunda? Siapa yang menjaga istri dan anakku di rumah sakit kalau Bunda ada di sini?” tanyaku dengan khawatir. Bunda menatapku dengan heran.
“Lihat, ‘kan? Dia sudah tidak waras. Punya pacar saja tidak, dia malah menyebut istri dan anak,” kata Jason. Aku menatap kakakku tanpa berkedip. “Ada apa? Lihat ini.” Jason meraih tangan kananku lalu mengangkatnya agar aku bisa melihatnya. “Mana buktinya bahwa kamu sudah menikah?” Mataku segera membulat. Cincinku. Ke mana jatuhnya cincin pernikahanku?
“Jonah? Apa kamu baik-baik saja?” Bunda menyentuh lenganku. Aku segera melihat ke arahnya lagi. “Kamu mau pergi ke mana sepagi ini? Biasanya kamu joging. Mengapa kamu berpakaian seperti ini?”
“Abaikan saja dia, Bunda.” Jason membuka kedua tangannya lebar-lebar. Bunda tersenyum lalu memeluknya. “Apa kabar Bunda kesayanganku?”
Sesuatu telah terjadi. Hal terakhir yang aku ingat adalah aku berada di rumah sakit karena sebuah kecelakaan. Seseorang menembakku dan tidak ada yang datang menolongku yang terbaring di lantai bersimbah darahku sendiri. Aku pikir aku sudah mati, lalu aku tiba-tiba terbangun di kamarku.
Jason yang sudah meninggal pun mendadak muncul di hadapanku dengan keadaan sehat. Bunda yang seharusnya berada di rumah sakit malah berada di rumah. Dan cincin pernikahanku tidak ada di jari manis kananku. Sebentar. Aku ingat hari ini. Satu-satunya hari di mana Jason pulang pagi.
Aku mengambil ponselku yang ada di saku celana dan membuka kunci layarnya dengan sidik jariku. Dua puluh April? Hari ini tanggal dua puluh April? Ini adalah tanggal pertunanganku dan Celeste. Oh, Tuhan. Ini juga seharusnya adalah tanggal pertunangan Jason dengan Celeste.
“Jonah. Kamu melamunkan apa lagi? Ayo, masuk. Kita duduk bersama di ruang keluarga. Ada banyak hal yang perlu kita bicarakan sebelum acara sore ini,” ajak Bunda. Aku menurut.
Bunda dan Jason berjalan di depanku. Aku berterima kasih kepada Pak Raihan yang menahan pintu tetap terbuka untukku. Dia pasti sedang sibuk bersama Bunda tadi untuk menerima instruksi mengenai tugasnya sepanjang hari ini. Aku melihat para pelayan mulai mengerjakan tugas mereka.
Ayah, Bunda, dan Jason mendiskusikan beberapa hal mengenai persiapan acara pertunangan kakakku itu dengan Celeste pada sore ini. Hanya keluargaku dan gadis itu yang akan hadir, kami tidak mengundang keluarga, kerabat, atau sahabat kami yang lainnya. Dan aku mengerti mengapa Ayah melakukan hal itu.
Mengapa aku kembali pada hari ini? Apakah itu artinya aku benar-benar sudah meninggal dan saat ini sedang hidup dalam dunia ilusiku sendiri? Mustahil orang yang sudah mati bisa hidup kembali. Aku melihat mayat Jason, bahkan memberanikan diri menyaksikan jasadnya yang telah melewati proses autopsi. Semua itu aku lakukan demi meyakinkan diriku sendiri bahwa dia telah meninggal.
Apakah ini artinya aku diberikan kesempatan kedua untuk menjalani hidupku dengan pilihan yang lebih baik? Apa yang lebih baik daripada hidup bersama Celeste dan bahagia bersamanya? Tidak. Aku bahagia bersamanya tetapi usiaku dan kakakku tidak panjang.
Lalu apakah itu artinya aku harus mengubah peristiwa hari ini? Jika aku bersama Celeste, maka Jason akan mati di tangan Yosef karena cemburu. Bila keadaan diubah, Jason yang bersama wanitaku, maka besar kemungkinan saudaraku dan aku akan selamat dari ulah sepupu kami.
Ini keputusan yang kejam. Aku hidup lagi dengan perasaan yang sama seperti saat aku meninggal. Bagaimana bisa aku melepaskan wanita yang aku cintai, istriku, ibu dari anakku, menjadi tunangan kakakku? Dan bagaimana aku bisa menahan diri tinggal satu atap dengannya tanpa bisa mencium dan memeluknya lagi?
“Kamu mau ke mana, Jonah?” tanya Bunda saat aku berjalan mendekati pintu depan. Aku menoleh dan melihatnya sedang memegang ponselnya di dekat telinganya. “Aku pergi sebentar, Bunda,” jawabku singkat. “Segera kembali. Kamu harus hadir dalam acara pertunangan Jason,” kata Bunda dengan tegas. Dia kembali mendekatkan ponselnya ke wajahnya. “Apa kalian sudah bersama Celeste?” Itu pasti penata rias dan rambut yang diminta Bunda untuk datang ke rumah gadis itu. Ini keputusan yang berat, tetapi aku harus melakukannya. Jovita akan datang bersama orang tuanya untuk membatalkan acara pertunangan ini. Aku tidak punya pilihan lain selain menghalangi mereka untuk datang. Dan hanya ada satu orang yang bisa mencegah hal itu terjadi. Rumah keluarga Om Mahavir selalu berhasil menunjukkan betapa sukses dan besarnya perusahaan milik mereka. Bangunan bertingkat tiga itu memiliki dua puluh kamar. Ada lagi bangunan bertingkat tiga terpisah di halaman belakang khusus untuk p
Aku mengalihkan pandanganku agar tidak melihatnya. Seluruh keluarga kami sedang mengarahkan pandangan kepada mereka, jadi tidak ada yang melihat ekspresiku. Aku selamat untuk kali ini. Tetapi jika aku tidak bisa juga mengendalikan diriku sendiri, mereka semua bisa curiga melihat sikapku. Aku dan Celeste bukanlah siapa-siapa dalam fase kehidupan sekarang. Iya, dia adalah tunanganku, kekasihku, istriku, ibu dari anakku pada kehidupanku sebelum aku mati. Dia yang sekarang hanyalah orang yang aku kenal selama beberapa hari sejak dia datang ke kantor Ayah dan menandatangani surat perjanjian yang berujung pada pertunangannya dan Jason. Jovita dan orang tuanya tidak datang, maka aku sudah berhasil mengubah segalanya. Kakakku yang akan menjadi suaminya. Meskipun aku akan sangat menderita karena perubahan keadaan ini, tetapi hidupku dan Jason akan lebih panjang. Itu pertukaran yang adil. Dan aku salah duga. Ternyata Jason hanya membisikkan sesuatu kepada Celeste, buka
“Sore ini kalian akan mengepas pakaian, jadi kamu jangan datang terlambat. Lokasi butiknya dekat dengan kantor. Aku akan menjemput Celeste agar kita langsung bertemu di sana saja,” ucap Bunda. “Baik, Bunda,” jawab Jason menurut. Suasana sarapan pada pagi ini sangat berbeda dengan suasana sebelumnya. Aku mulai merasa ada yang tidak beres. Apakah keputusanku untuk menyelamatkan Jason adalah keputusan yang tepat? Yang membuatku curiga adalah sikap diam Jovita. Dia bukan wanita yang mudah menyerah. Aku tidak akan tenang sebelum pernikahannya dengan Yosef dilangsungkan. Tetapi wanita itu tidak pernah memiliki perasaan apa pun kepada sepupuku, apa mungkin dalam kehidupan kali ini dia akan berubah sikap kepadanya? Sial. Ciuman yang tidak sengaja terjadi semalam membuatku bimbang dengan keputusanku sendiri. Aku tidak boleh begini. Meskipun apa yang akan terjadi ke depan masih tanda tanya, aku tidak boleh meragukan pilihan yang aku buat sendiri. “Jonah, apa ka
Seharusnya aku tahu bahwa Jovita dan keluarganya tidak akan menyerah begitu saja. Lagi pula Yosef juga tidak bisa membuktikan bahwa anak dalam kandungan Jovita benar adalah anaknya. Maka satu-satunya jalan adalah menunggu sampai anak itu lahir. Terlalu lama untuk menunggu sampai dia lahir, tetapi aku tidak bisa menyarankan dilakukan tes DNA sekarang. Yang aku dengar, tes itu bisa membahayakan janin. Aku tidak peduli jika hal yang buruk terjadi kepada wanita ini. Dia terlalu jahat untuk mendapatkan simpati. Namun bayi itu tidak ada hubungannya dengan sikap ibunya, aku tidak bisa membahayakan nyawanya. “Aku tahu mengapa kalian menolak untuk menikahkan aku dengan Jason. Dia sudah bertunangan dengan Celeste, anak seorang pemilik restoran kecil. Bagaimana bisa keluarga Jarvis Putra yang terhormat memilih seorang pelayan untuk menjadi seorang menantu? Bukankah akan lebih baik bila kalian memilih aku? “Tetapi tidak apa-apa. Pada akhirnya nanti, akulah yang akan menj
“Karena itulah aku tidak akan pernah selingkuh,” kataku lagi. “Dia ada benarnya, Cel. Dia belum pernah berpacaran. Berbeda dengan Jason yang sudah beberapa kali terlihat dekat dengan perempuan.” Nola meletakkan kedua tangannya di atas meja, lalu memajukan tubuhnya. “Dilihat dari dekat begini, kamu ganteng juga. Tetapi mengapa kamu tidak disukai banyak orang?” “Apa kamu tidak lihat tatapan dingin dan ekspresi sombongnya itu? Wajar saja tidak ada yang suka dengannya,” ucap Celeste berbisik tetapi cukup keras untuk aku dengar. “Wow, Cel. Apakah kamu ada masalah dengan Jonah? Kita baru duduk, berapa, lima menit, dan kamu sudah mengejeknya dua kali?” tanya Nola tidak percaya. “Kalian punya hubungan apa?” Seorang pelayan datang mengantarkan pesanan kami, menyelamatkan Celeste dari menjawab pertanyaan sahabatnya. Minuman, sup, sayuran segar, dan daging mentah diletakkan di atas meja. Wanita itu membantu meletakkan beberapa potong daging sehingga memenuhi ala
Celeste segera merapikan gaun yang dikenakannya dan menegakkan tubuhnya, aku menjauhkan diri darinya begitu melihat dia tidak lagi membutuhkan bantuanku. Aku melihat ke arah Bunda dan mendesah lega dia yang datang, bukan yang lain. “Ma-maafkan aku, Tante. Aku tadi memanggil-manggil orang untuk meminta tolong, tetapi tidak ada yang menyahut. Jadi, Jonah yang mendengar seruanku datang. Aku yang mengizinkannya masuk ke sini untuk membantuku melepas ritsleting gaun yang macet.” Celeste segera menjelaskan apa yang terjadi kepada Bunda. Dia tidak perlu melakukannya. Bunda bukan tipe orang yang mudah curiga. “Untung saja aku yang datang. Kalau sampai Jason melihat ini, aku tidak mau membayangkan berapa lama kalian akan meributkan hal ini.” Bunda mendekati Celeste. “Pergilah. Mereka mencarimu untuk mengukur tubuhmu.” Aku menurut. Setelah urusan di butik selesai, kami makan malam bersama. Aku merasa seperti orang yang tidak seharusnya berada di tempat ini. Ayah memili
~Celeste~ Aku tidak mengerti dengan apa yang aku rasakan, tetapi aku tidak bisa berhenti memikirkannya dan kesulitan tidur pada malam hari sejak ciuman pertama kami. Itu bukanlah ciuman penuh perasaan seperti yang aku saksikan pada film-film. Hanya sebuah kecelakaan. Tetapi kepalaku tidak berhenti mengulang adegan itu sampai aku mulai mempertanyakan apakah aku jatuh cinta kepada Jonah? Tidak mungkin. Aku tidak pernah punya perasaan apa pun kepada laki-laki mana pun. Aku terpaksa menikah demi menyelamatkan restoran Papa dan semua pegawai yang bekerja di sini. Aku tidak boleh jatuh cinta kepada laki-laki lain. Seharusnya aku belajar untuk mencintai Jason, tunanganku. Aaarrghh …! Aku membenci laki-laki itu. Ini tidak mungkin cinta. Aku, Celeste Renjana, tidak akan jatuh cinta semudah itu kepada laki-laki mana pun. Tetapi jika ini bukan cinta, apa yang membuat bayangan wajahnya saat menciumku tidak bisa keluar dari kepalaku? Dan setelah berhari-hari tidak
~Jonah~ Apa yang sudah kamu lakukan, Jonah?! Pertanyaan itu terus bergema di kepalaku. Aku tidak tahu. Mungkin aku merindukannya. Mungkin aku hanya ingin membungkam mulutnya yang berkata kasar. Bisa jadi aku hanya mencari alasan untuk bisa mencium bibirnya lagi. Tetapi aku kehilangan kendali bukan karena semua itu. Dia membalas ciumanku. Mengapa? Aku ingat bahwa dia sangat membenciku pada saat ini. Kami sering bertengkar, dia selalu melawanku, lalu apa yang membuat dia membalas ciumanku ketika kami bahkan tidak ada hubungan apa pun? Menenggelamkan diri dalam pekerjaan, tidak banyak membantuku. Fabian, asistenku, sampai heran melihat tingkahku yang gelisah. Tetapi aku tidak menjawab pertanyaannya. Saat dia memberitahuku bahwa Ayah dan Jason menunggu kehadiranku, aku mendesah keras. Kami kedatangan investor yang ingin tahu perkembangan penjualan unit apartemen baru kami. Pertemuan yang sebenarnya cukup dihadiri oleh mereka berdua. Divisiku beke
~Celeste~ “Jacob Nicholas Putra!” seruku melihat anakku yang berusia sembilan tahun malah asyik memakan es krim cokelat di ruang makan. Dia mengotori pakaiannya padahal kami harus pergi sekarang. Aku menoleh ke arah suamiku yang berdiri di sisiku. “Oke. Ini salahku.” Dia menurunkan putri kami dari pelukannya dan memberikan tangannya padaku. “Ayo, Jacob, kita bersihkan tanganmu dan ganti pakaianmu.” Aku mendesah napas keras melihat mereka berjalan menuju pintu belakang. Aku hanya beberapa menit berada di kamar untuk bersiap-siap setelah membantu anak-anak berpakaian. Saat aku pikir kami sudah siap untuk pergi, selalu saja terjadi kecelakaan serupa. Jacob makan sesuatu hingga mengotori tangan, wajah, dan pakaiannya atau Jolene yang menumpahkan minuman ke bajunya. Meninggalkan anak-anak dalam pengawasan suamiku memang bukan ide yang baik, tetapi siapa lagi yang bisa aku percaya kalau bukan dia? Andai saja Ayah dan Bunda ada di sini. Mereka masih dalam pe
Aku melihat ke arah arloji pemberian istriku yang melingkari pergelangan tanganku. Tidak peduli berapa harganya, benda itu sangat berarti bagiku. Pemberian pertama darinya untukku. Meskipun dia tidak ada di sini bersamaku, aku merasakan dukungannya.Hari ini pertama kalinya aku akan menghadiri rapat pemegang saham di perusahaan Anggara. Om dan Bunda tersenyum kepadaku saat mereka melihat aku duduk di kursi yang mereka sediakan untukku. Di sisi Om Mahavir. Wajah peserta lainnya menatapku dengan rasa ingin tahu. Mereka semua sudah mendengarkan kemampuan dan beberapa prestasiku, mereka pasti tidak sabar mau mendengar langsung apakah aku seperti yang dikatakan Om.Asisten Om Mahavir menenangkan ruangan dan memimpin jalannya rapat. Dia membacakan agenda dari pertemuan kami sebelum mempersilakan direktur utama untuk menyampaikan laporannya. Aku menghela napas panjang, bersiap mengikuti diskusi panjang nanti.“Aku tidak percaya proyek ini lolos begitu mudah,&rdqu
“Mengapa aku harus berpakaian seperti ini?” keluh Celeste untuk kesekian kalinya. Dia memakai gaun paling indah dan mahal yang selalu menjadi dambaan banyak wanita, tetapi dia mengeluh. Aku bahkan memberi dia gelang berlian untuk menyempurnakan penampilannya.“Kamu akan mengerti begitu kita tiba di sana.” Kali ini aku tidak menyetir dan meminta salah satu sopir keluarga kami untuk mengendarai mobilku.“Aku merasa seperti maneken yang kamu bawa ke pesta hanya untuk dipamerkan.” Dia memajukan bibirnya, menyatakan rasa tidak sukanya. Seandainya kami dalam perjalanan pulang, aku pasti akan menciumnya habis-habisan di mobil ini sampai senyuman menghiasi wajahnya. Tetapi aku tidak bisa melakukan itu sekarang, riasan wajahnya bisa rusak.“Malam ini istimewa, sayang. Aku mau mereka semua tahu bahwa meskipun aku masih muda, aku bisa mendapatkan uang yang banyak untuk membelikan istriku pakaian yang bagus dan perhiasan yang mahal.
Aku menyerahkan dokumen terakhir yang perlu aku tanda tangani sebagai manajer pemasaran kepada Fabian. Sudah tidak ada lagi dokumen atau laporan yang aku sisakan di atas meja. Dengan begitu, orang baru yang akan menggantikan aku tidak dibebani dengan tugas yang masih menjadi tanggung jawabku.“Terima kasih atas bimbingannya selama ini, Pak. Saya ikut bangga Bapak naik ke posisi baru,” ucap Fabian dengan tulus.“Terima kasih juga padamu, Fabian. Kamu asisten terbaik yang pernah aku miliki.” Aku melirik jam tanganku. “Apa kamu ada janji malam ini Mau makan malam bersamaku?”“Saya tidak ada janji, tetapi—” jawabnya dengan segan.“Tidak ada tetapi. Ayo, aku traktir.” Aku memasukkan ponsel ke dalam saku jasku, lalu berjalan mendekati pintu. Dia mengikuti aku keluar dan bergegas menyimpan dokumen tadi di lemari besi kemudian menguncinya.Fabian tidak menyebut makanan tertentu yang dia suka
~Jonah~Suasana rumah pada pagi itu tepat seperti dugaanku. Ketika aku masuk ruang makan dan Celeste tidak bersamaku, aku terpaksa memberi tahu Ayah dan Bunda bahwa dia pulang ke rumah Papa semalam. Bunda histeris dan Ayah segera menenangkannya.Namun tidak ada yang bisa membuat Bunda berhenti menangis sehingga kami pergi bersama untuk membujuk dia pulang. Aku mengendarai mobilku sendiri, sedangkan Ayah dan Bunda di mobil Ayah. Kami harus ke kantor setelah urusan ini selesai, jadi kami tidak bisa pergi dengan satu kendaraan.Bu Liana menyambut kedatangan kami, lalu mengantar kami ke ruang tamu. Dia meninggalkan kami untuk memanggil Celeste. Nevan masuk beberapa saat kemudian bersama seorang pelayan yang membawakan kudapan. Dia hanya mendesah pelan sebelum duduk di salah satu sofa kosong.“Tolong, maafkan adikku. Dia—” Nevan berusaha untuk menjelaskan.“Ini adalah kesalahanku. Celeste berhak untuk marah,” tukas Ayah. Ne
~Celeste~Restoran yang dimiliki Papa berawal dari warung makan sederhana yang dimulainya bersama Mama. Mereka mengawali usaha itu dari nol hingga akhirnya berdiri sebuah restoran berlantai tiga. Dari menu makanan sehari-hari khas Indonesia hingga orang tuaku mempekerjakan koki khusus masakan luar negeri. Restoran itu unik karena lantai dasar tetap diperuntukkan bagi makanan yang terjangkau layaknya warung nasi sederhana, sedangkan lantai dua khusus makanan yang sedikit lebih mahal.Pelanggan semakin banyak dan mereka berharap ada cabang lain yang jaraknya lebih dekat dari tempat tinggal atau kantor mereka. Karena itu Papa ingin membangun restoran yang kedua. Itu adalah prestasi terbesarnya setelah lama berdua kehilangan Mama.Lalu ada orang yang sengaja menghancurkan impian Papa dan sengaja merebut semua itu darinya. Dan orang itu tidak lain adalah ayah mertuaku sendiri? Bagaimana bisa orang kaya punya pikiran yang begitu egois? Mereka tidak lebih baik dari Fel
“Apa katamu? Kamu punya syarat? Kamu sudah mendapatkan posisi yang tidak perlu susah payah kamu perjuangkan dari nol, kamu masih berani mengajukan syarat?” ejek Felix. “Ayah lihat, ‘kan? Dia tidak lain hanyalah seorang pecundang yang akan membuat perusahaan kita bangkrut!”“Syarat hanya diajukan oleh orang yang percaya diri dengan kemampuannya. Dia belum memberi tahu syaratnya mengapa kamu langsung marah? Sabar, Felix. Lihat baik-baik bagaimana seorang pemimpin berdiskusi dan menyatakan pendapat tanpa bersitegang leher,” kata Om Mahavir.“Katakan, Jonah. Apa syarat darimu?” tanya Om kepadaku.“Aku hanya meminta hak penuh yang Om dapatkan sebagai direktur utama juga diberikan kepadaku saat aku menggantikan posisi Om. Aku tidak akan mau memimpin bila mendadak dibentuk dewan komisaris untuk membatasi wewenangku. Aku tidak keberatan dengan kehadiran para pemegang saham, dan aku akan menghormati setiap penda
Dia seharusnya tidak berada di sini. Untuk kejahatan yang sudah dia lakukan, dia tidak mungkin dibiarkan bebas dengan jaminan apa pun. Keberadaannya di dekat kami bisa mengancam nyawa kami. Dia tidak segan menyakiti keluarganya sendiri demi mencapai tujuannya. Lalu mengapa dia bisa berada di sini, di kantor Ayah?“Tenang, Nak. Masuklah. Dia tidak akan menyakiti siapa pun,” kata Ayah.Aku membuka pintu lebih lebar dan melihat ada dua orang polisi yang duduk di dekat Felix. Aku pun merasa sedikit tenang. Ada Ayah, Bunda, Om Mahavir, dan Tante Clara duduk bersama di ruangan itu. Meskipun aku bingung apa yang sedang terjadi, aku masuk dan menutup pintu. Ayah menunjuk di mana sebaiknya aku dan istriku duduk.“Kita tidak bisa berlama-lama karena Felix harus segera kembali ke tempatnya.” Ayah memajukan tubuhnya dan memasang wajah serius. “Aku dan Avir sudah berembuk sampai kami sampai pada sebuah keputusan yang sangat besar.” Ayah me
Pada keesokan harinya, kami menerima surat panggilan untuk hadir memberi kesaksian di kantor polisi. Aku, Celeste, dan Bunda meminta agar bisa hadir pada hari yang sama dan tidak berbeda hari seperti yang tercantum dalam surat panggilan tersebut. Pak Omar memberi kabar baik bahwa mereka memenuhi permintaan kami tersebut.Sebagai penasihat hukum keluarga kami, Pak Omar yang lebih banyak bicara mewakili kami bertiga. Dia yang menentukan mana pertanyaan yang bisa kami jawab dan yang mana yang tidak ada hubungannya dengan investigasi kasus yang sedang mereka tangani.Mereka lebih banyak bertanya seputar ledakan yang terjadi pada pintu apartemenku, perkelahian di jalan raya yang sengaja diblokir atas perintah Felix, penculikan Celeste, serta pemaksaan atas Bunda dan penembakan yang terjadi di pelabuhan.Aku menjawab sedetail mungkin mengenai peristiwa di apartemen dan jalan raya, karena mereka perlu memberi laporan kepada pihak asuransi. Aku tidak mau merogoh uangku