~Jonah~
Suasana rumah pada pagi itu tepat seperti dugaanku. Ketika aku masuk ruang makan dan Celeste tidak bersamaku, aku terpaksa memberi tahu Ayah dan Bunda bahwa dia pulang ke rumah Papa semalam. Bunda histeris dan Ayah segera menenangkannya.
Namun tidak ada yang bisa membuat Bunda berhenti menangis sehingga kami pergi bersama untuk membujuk dia pulang. Aku mengendarai mobilku sendiri, sedangkan Ayah dan Bunda di mobil Ayah. Kami harus ke kantor setelah urusan ini selesai, jadi kami tidak bisa pergi dengan satu kendaraan.
Bu Liana menyambut kedatangan kami, lalu mengantar kami ke ruang tamu. Dia meninggalkan kami untuk memanggil Celeste. Nevan masuk beberapa saat kemudian bersama seorang pelayan yang membawakan kudapan. Dia hanya mendesah pelan sebelum duduk di salah satu sofa kosong.
“Tolong, maafkan adikku. Dia—” Nevan berusaha untuk menjelaskan.
“Ini adalah kesalahanku. Celeste berhak untuk marah,” tukas Ayah. Ne
Aku menyerahkan dokumen terakhir yang perlu aku tanda tangani sebagai manajer pemasaran kepada Fabian. Sudah tidak ada lagi dokumen atau laporan yang aku sisakan di atas meja. Dengan begitu, orang baru yang akan menggantikan aku tidak dibebani dengan tugas yang masih menjadi tanggung jawabku.“Terima kasih atas bimbingannya selama ini, Pak. Saya ikut bangga Bapak naik ke posisi baru,” ucap Fabian dengan tulus.“Terima kasih juga padamu, Fabian. Kamu asisten terbaik yang pernah aku miliki.” Aku melirik jam tanganku. “Apa kamu ada janji malam ini Mau makan malam bersamaku?”“Saya tidak ada janji, tetapi—” jawabnya dengan segan.“Tidak ada tetapi. Ayo, aku traktir.” Aku memasukkan ponsel ke dalam saku jasku, lalu berjalan mendekati pintu. Dia mengikuti aku keluar dan bergegas menyimpan dokumen tadi di lemari besi kemudian menguncinya.Fabian tidak menyebut makanan tertentu yang dia suka
“Mengapa aku harus berpakaian seperti ini?” keluh Celeste untuk kesekian kalinya. Dia memakai gaun paling indah dan mahal yang selalu menjadi dambaan banyak wanita, tetapi dia mengeluh. Aku bahkan memberi dia gelang berlian untuk menyempurnakan penampilannya.“Kamu akan mengerti begitu kita tiba di sana.” Kali ini aku tidak menyetir dan meminta salah satu sopir keluarga kami untuk mengendarai mobilku.“Aku merasa seperti maneken yang kamu bawa ke pesta hanya untuk dipamerkan.” Dia memajukan bibirnya, menyatakan rasa tidak sukanya. Seandainya kami dalam perjalanan pulang, aku pasti akan menciumnya habis-habisan di mobil ini sampai senyuman menghiasi wajahnya. Tetapi aku tidak bisa melakukan itu sekarang, riasan wajahnya bisa rusak.“Malam ini istimewa, sayang. Aku mau mereka semua tahu bahwa meskipun aku masih muda, aku bisa mendapatkan uang yang banyak untuk membelikan istriku pakaian yang bagus dan perhiasan yang mahal.
Aku melihat ke arah arloji pemberian istriku yang melingkari pergelangan tanganku. Tidak peduli berapa harganya, benda itu sangat berarti bagiku. Pemberian pertama darinya untukku. Meskipun dia tidak ada di sini bersamaku, aku merasakan dukungannya.Hari ini pertama kalinya aku akan menghadiri rapat pemegang saham di perusahaan Anggara. Om dan Bunda tersenyum kepadaku saat mereka melihat aku duduk di kursi yang mereka sediakan untukku. Di sisi Om Mahavir. Wajah peserta lainnya menatapku dengan rasa ingin tahu. Mereka semua sudah mendengarkan kemampuan dan beberapa prestasiku, mereka pasti tidak sabar mau mendengar langsung apakah aku seperti yang dikatakan Om.Asisten Om Mahavir menenangkan ruangan dan memimpin jalannya rapat. Dia membacakan agenda dari pertemuan kami sebelum mempersilakan direktur utama untuk menyampaikan laporannya. Aku menghela napas panjang, bersiap mengikuti diskusi panjang nanti.“Aku tidak percaya proyek ini lolos begitu mudah,&rdqu
~Celeste~ “Jacob Nicholas Putra!” seruku melihat anakku yang berusia sembilan tahun malah asyik memakan es krim cokelat di ruang makan. Dia mengotori pakaiannya padahal kami harus pergi sekarang. Aku menoleh ke arah suamiku yang berdiri di sisiku. “Oke. Ini salahku.” Dia menurunkan putri kami dari pelukannya dan memberikan tangannya padaku. “Ayo, Jacob, kita bersihkan tanganmu dan ganti pakaianmu.” Aku mendesah napas keras melihat mereka berjalan menuju pintu belakang. Aku hanya beberapa menit berada di kamar untuk bersiap-siap setelah membantu anak-anak berpakaian. Saat aku pikir kami sudah siap untuk pergi, selalu saja terjadi kecelakaan serupa. Jacob makan sesuatu hingga mengotori tangan, wajah, dan pakaiannya atau Jolene yang menumpahkan minuman ke bajunya. Meninggalkan anak-anak dalam pengawasan suamiku memang bukan ide yang baik, tetapi siapa lagi yang bisa aku percaya kalau bukan dia? Andai saja Ayah dan Bunda ada di sini. Mereka masih dalam pe
Author's Note~ Buku ini adalah lanjutan dari buku Mengukir Impian Baru, tetapi bisa dibaca tanpa membaca buku pertamanya. Meskipun cerita ini kembali ke masa lalu, tidak akan ada pengulangan bab, adegan, atau percakapan yang berlebihan yang diambil dari buku pertama. Buku ini adalah fiksi belaka dan hasil imajinasi penulis. Apa yang tertuang dalam buku ini sama sekali bukan hal yang diyakini, dipercaya, atau disaksikan penulis dalam kehidupan nyata. Apabila terdapat kesamaan nama, karakter, tempat, dan peristiwa, itu murni sebuah kebetulan. Sebagai peringatan, hanya beberapa bab awal saja yang bisa dibaca secara gratis. Penulis tidak menentukan mulai dari bab berapa dan jumlah koin yang dibutuhkan untuk membuka setiap bab yang terkunci. Bila ini memberatkan, semoga kita bisa bertemu pada karyaku yang lain. Jika teman-teman tetap lanjut membaca, terima kasih banyak atas dukungannya~ Selamat membaca dan terima kasih sudah memilih buku ini. ^^ ___ ~Jonah~ Aku tidak berdaya melihat
Mengapa dia menyebut nama Felix dan Yosef? Sepupuku sudah meninggal dunia dengan mengakhiri hidupnya sendiri. Dia tidak tahan dengan pertanyaan yang diajukan oleh wartawan dan hinaan dari para penggemar Jason selama proses pengadilan berlangsung. Siapa yang bilang bahwa kata-kata tidak bisa membunuh? Dia ditemukan meninggal dengan gantung diri di selnya. Tetapi mengapa kakak kandung Yosef marah kepadaku? Mengapa Felix mengirim orang untuk membunuhku? Aku tidak melakukan kesalahan apa pun kepada keluarga mereka. Anggota keluarga merekalah yang telah berbuat jahat kepada kami. Adiknya telah membunuh Jason, kakakku, penerus utama ayahku, anak kesayangan ibuku. Kematian Yosef bukanlah kesalahan kami. Felix berengsek. Jadi, dia jugakah yang sudah mengirim orang untuk menembaki mobilku? Siapa sebenarnya dia? Bagaimana bisa sepupuku itu mengenal orang yang tidak segan-segan mengambil nyawa orang lain seperti ini? Berikutnya adalah giliran istri dan anakmu.
“Jangan sentuh istri dan anakku!!” seruku sekuat tenaga. Setelah dari tadi telingaku tidak berfungsi, akhirnya aku bisa mendengarkan suaraku sendiri lagi. Tenggorokanku juga terasa sakit karena aku berteriak terlalu keras. Dan aku bisa berada pada posisi duduk setelah dari tadi hanya berbaring tidak berdaya. Namun mengapa aku merasakan aku sedang duduk di permukaan yang empuk? Aneh. Bukankah tadi aku sedang berbaring di lantai yang keras dan dingin? Aku menyentuh permukaan yang sangat halus. Aku membuka mata lebar-lebar dan melihat ke sekelilingku. Perabotan, dinding, pintu, jendela, ini kamarku. Bagaimana aku bisa berada di sini? Bukankah aku sedang berada di rumah sakit? Oh, Tuhan. Celeste! Bayi kami! Aku harus segera melihat keadaan mereka di rumah sakit. Setelah bergelut dengan diri sendiri, aku memutuskan untuk mandi. Dia pasti ditempatkan di ruang ICU dan itu ruangan steril. Aku tidak boleh kotor. Aku memakai kaus dan celana panjang, lalu mencar
“Kamu mau ke mana, Jonah?” tanya Bunda saat aku berjalan mendekati pintu depan. Aku menoleh dan melihatnya sedang memegang ponselnya di dekat telinganya. “Aku pergi sebentar, Bunda,” jawabku singkat. “Segera kembali. Kamu harus hadir dalam acara pertunangan Jason,” kata Bunda dengan tegas. Dia kembali mendekatkan ponselnya ke wajahnya. “Apa kalian sudah bersama Celeste?” Itu pasti penata rias dan rambut yang diminta Bunda untuk datang ke rumah gadis itu. Ini keputusan yang berat, tetapi aku harus melakukannya. Jovita akan datang bersama orang tuanya untuk membatalkan acara pertunangan ini. Aku tidak punya pilihan lain selain menghalangi mereka untuk datang. Dan hanya ada satu orang yang bisa mencegah hal itu terjadi. Rumah keluarga Om Mahavir selalu berhasil menunjukkan betapa sukses dan besarnya perusahaan milik mereka. Bangunan bertingkat tiga itu memiliki dua puluh kamar. Ada lagi bangunan bertingkat tiga terpisah di halaman belakang khusus untuk p
~Celeste~ “Jacob Nicholas Putra!” seruku melihat anakku yang berusia sembilan tahun malah asyik memakan es krim cokelat di ruang makan. Dia mengotori pakaiannya padahal kami harus pergi sekarang. Aku menoleh ke arah suamiku yang berdiri di sisiku. “Oke. Ini salahku.” Dia menurunkan putri kami dari pelukannya dan memberikan tangannya padaku. “Ayo, Jacob, kita bersihkan tanganmu dan ganti pakaianmu.” Aku mendesah napas keras melihat mereka berjalan menuju pintu belakang. Aku hanya beberapa menit berada di kamar untuk bersiap-siap setelah membantu anak-anak berpakaian. Saat aku pikir kami sudah siap untuk pergi, selalu saja terjadi kecelakaan serupa. Jacob makan sesuatu hingga mengotori tangan, wajah, dan pakaiannya atau Jolene yang menumpahkan minuman ke bajunya. Meninggalkan anak-anak dalam pengawasan suamiku memang bukan ide yang baik, tetapi siapa lagi yang bisa aku percaya kalau bukan dia? Andai saja Ayah dan Bunda ada di sini. Mereka masih dalam pe
Aku melihat ke arah arloji pemberian istriku yang melingkari pergelangan tanganku. Tidak peduli berapa harganya, benda itu sangat berarti bagiku. Pemberian pertama darinya untukku. Meskipun dia tidak ada di sini bersamaku, aku merasakan dukungannya.Hari ini pertama kalinya aku akan menghadiri rapat pemegang saham di perusahaan Anggara. Om dan Bunda tersenyum kepadaku saat mereka melihat aku duduk di kursi yang mereka sediakan untukku. Di sisi Om Mahavir. Wajah peserta lainnya menatapku dengan rasa ingin tahu. Mereka semua sudah mendengarkan kemampuan dan beberapa prestasiku, mereka pasti tidak sabar mau mendengar langsung apakah aku seperti yang dikatakan Om.Asisten Om Mahavir menenangkan ruangan dan memimpin jalannya rapat. Dia membacakan agenda dari pertemuan kami sebelum mempersilakan direktur utama untuk menyampaikan laporannya. Aku menghela napas panjang, bersiap mengikuti diskusi panjang nanti.“Aku tidak percaya proyek ini lolos begitu mudah,&rdqu
“Mengapa aku harus berpakaian seperti ini?” keluh Celeste untuk kesekian kalinya. Dia memakai gaun paling indah dan mahal yang selalu menjadi dambaan banyak wanita, tetapi dia mengeluh. Aku bahkan memberi dia gelang berlian untuk menyempurnakan penampilannya.“Kamu akan mengerti begitu kita tiba di sana.” Kali ini aku tidak menyetir dan meminta salah satu sopir keluarga kami untuk mengendarai mobilku.“Aku merasa seperti maneken yang kamu bawa ke pesta hanya untuk dipamerkan.” Dia memajukan bibirnya, menyatakan rasa tidak sukanya. Seandainya kami dalam perjalanan pulang, aku pasti akan menciumnya habis-habisan di mobil ini sampai senyuman menghiasi wajahnya. Tetapi aku tidak bisa melakukan itu sekarang, riasan wajahnya bisa rusak.“Malam ini istimewa, sayang. Aku mau mereka semua tahu bahwa meskipun aku masih muda, aku bisa mendapatkan uang yang banyak untuk membelikan istriku pakaian yang bagus dan perhiasan yang mahal.
Aku menyerahkan dokumen terakhir yang perlu aku tanda tangani sebagai manajer pemasaran kepada Fabian. Sudah tidak ada lagi dokumen atau laporan yang aku sisakan di atas meja. Dengan begitu, orang baru yang akan menggantikan aku tidak dibebani dengan tugas yang masih menjadi tanggung jawabku.“Terima kasih atas bimbingannya selama ini, Pak. Saya ikut bangga Bapak naik ke posisi baru,” ucap Fabian dengan tulus.“Terima kasih juga padamu, Fabian. Kamu asisten terbaik yang pernah aku miliki.” Aku melirik jam tanganku. “Apa kamu ada janji malam ini Mau makan malam bersamaku?”“Saya tidak ada janji, tetapi—” jawabnya dengan segan.“Tidak ada tetapi. Ayo, aku traktir.” Aku memasukkan ponsel ke dalam saku jasku, lalu berjalan mendekati pintu. Dia mengikuti aku keluar dan bergegas menyimpan dokumen tadi di lemari besi kemudian menguncinya.Fabian tidak menyebut makanan tertentu yang dia suka
~Jonah~Suasana rumah pada pagi itu tepat seperti dugaanku. Ketika aku masuk ruang makan dan Celeste tidak bersamaku, aku terpaksa memberi tahu Ayah dan Bunda bahwa dia pulang ke rumah Papa semalam. Bunda histeris dan Ayah segera menenangkannya.Namun tidak ada yang bisa membuat Bunda berhenti menangis sehingga kami pergi bersama untuk membujuk dia pulang. Aku mengendarai mobilku sendiri, sedangkan Ayah dan Bunda di mobil Ayah. Kami harus ke kantor setelah urusan ini selesai, jadi kami tidak bisa pergi dengan satu kendaraan.Bu Liana menyambut kedatangan kami, lalu mengantar kami ke ruang tamu. Dia meninggalkan kami untuk memanggil Celeste. Nevan masuk beberapa saat kemudian bersama seorang pelayan yang membawakan kudapan. Dia hanya mendesah pelan sebelum duduk di salah satu sofa kosong.“Tolong, maafkan adikku. Dia—” Nevan berusaha untuk menjelaskan.“Ini adalah kesalahanku. Celeste berhak untuk marah,” tukas Ayah. Ne
~Celeste~Restoran yang dimiliki Papa berawal dari warung makan sederhana yang dimulainya bersama Mama. Mereka mengawali usaha itu dari nol hingga akhirnya berdiri sebuah restoran berlantai tiga. Dari menu makanan sehari-hari khas Indonesia hingga orang tuaku mempekerjakan koki khusus masakan luar negeri. Restoran itu unik karena lantai dasar tetap diperuntukkan bagi makanan yang terjangkau layaknya warung nasi sederhana, sedangkan lantai dua khusus makanan yang sedikit lebih mahal.Pelanggan semakin banyak dan mereka berharap ada cabang lain yang jaraknya lebih dekat dari tempat tinggal atau kantor mereka. Karena itu Papa ingin membangun restoran yang kedua. Itu adalah prestasi terbesarnya setelah lama berdua kehilangan Mama.Lalu ada orang yang sengaja menghancurkan impian Papa dan sengaja merebut semua itu darinya. Dan orang itu tidak lain adalah ayah mertuaku sendiri? Bagaimana bisa orang kaya punya pikiran yang begitu egois? Mereka tidak lebih baik dari Fel
“Apa katamu? Kamu punya syarat? Kamu sudah mendapatkan posisi yang tidak perlu susah payah kamu perjuangkan dari nol, kamu masih berani mengajukan syarat?” ejek Felix. “Ayah lihat, ‘kan? Dia tidak lain hanyalah seorang pecundang yang akan membuat perusahaan kita bangkrut!”“Syarat hanya diajukan oleh orang yang percaya diri dengan kemampuannya. Dia belum memberi tahu syaratnya mengapa kamu langsung marah? Sabar, Felix. Lihat baik-baik bagaimana seorang pemimpin berdiskusi dan menyatakan pendapat tanpa bersitegang leher,” kata Om Mahavir.“Katakan, Jonah. Apa syarat darimu?” tanya Om kepadaku.“Aku hanya meminta hak penuh yang Om dapatkan sebagai direktur utama juga diberikan kepadaku saat aku menggantikan posisi Om. Aku tidak akan mau memimpin bila mendadak dibentuk dewan komisaris untuk membatasi wewenangku. Aku tidak keberatan dengan kehadiran para pemegang saham, dan aku akan menghormati setiap penda
Dia seharusnya tidak berada di sini. Untuk kejahatan yang sudah dia lakukan, dia tidak mungkin dibiarkan bebas dengan jaminan apa pun. Keberadaannya di dekat kami bisa mengancam nyawa kami. Dia tidak segan menyakiti keluarganya sendiri demi mencapai tujuannya. Lalu mengapa dia bisa berada di sini, di kantor Ayah?“Tenang, Nak. Masuklah. Dia tidak akan menyakiti siapa pun,” kata Ayah.Aku membuka pintu lebih lebar dan melihat ada dua orang polisi yang duduk di dekat Felix. Aku pun merasa sedikit tenang. Ada Ayah, Bunda, Om Mahavir, dan Tante Clara duduk bersama di ruangan itu. Meskipun aku bingung apa yang sedang terjadi, aku masuk dan menutup pintu. Ayah menunjuk di mana sebaiknya aku dan istriku duduk.“Kita tidak bisa berlama-lama karena Felix harus segera kembali ke tempatnya.” Ayah memajukan tubuhnya dan memasang wajah serius. “Aku dan Avir sudah berembuk sampai kami sampai pada sebuah keputusan yang sangat besar.” Ayah me
Pada keesokan harinya, kami menerima surat panggilan untuk hadir memberi kesaksian di kantor polisi. Aku, Celeste, dan Bunda meminta agar bisa hadir pada hari yang sama dan tidak berbeda hari seperti yang tercantum dalam surat panggilan tersebut. Pak Omar memberi kabar baik bahwa mereka memenuhi permintaan kami tersebut.Sebagai penasihat hukum keluarga kami, Pak Omar yang lebih banyak bicara mewakili kami bertiga. Dia yang menentukan mana pertanyaan yang bisa kami jawab dan yang mana yang tidak ada hubungannya dengan investigasi kasus yang sedang mereka tangani.Mereka lebih banyak bertanya seputar ledakan yang terjadi pada pintu apartemenku, perkelahian di jalan raya yang sengaja diblokir atas perintah Felix, penculikan Celeste, serta pemaksaan atas Bunda dan penembakan yang terjadi di pelabuhan.Aku menjawab sedetail mungkin mengenai peristiwa di apartemen dan jalan raya, karena mereka perlu memberi laporan kepada pihak asuransi. Aku tidak mau merogoh uangku