Aku mengalihkan pandanganku agar tidak melihatnya. Seluruh keluarga kami sedang mengarahkan pandangan kepada mereka, jadi tidak ada yang melihat ekspresiku. Aku selamat untuk kali ini. Tetapi jika aku tidak bisa juga mengendalikan diriku sendiri, mereka semua bisa curiga melihat sikapku. Aku dan Celeste bukanlah siapa-siapa dalam fase kehidupan sekarang.
Iya, dia adalah tunanganku, kekasihku, istriku, ibu dari anakku pada kehidupanku sebelum aku mati. Dia yang sekarang hanyalah orang yang aku kenal selama beberapa hari sejak dia datang ke kantor Ayah dan menandatangani surat perjanjian yang berujung pada pertunangannya dan Jason.
Jovita dan orang tuanya tidak datang, maka aku sudah berhasil mengubah segalanya. Kakakku yang akan menjadi suaminya. Meskipun aku akan sangat menderita karena perubahan keadaan ini, tetapi hidupku dan Jason akan lebih panjang. Itu pertukaran yang adil.
Dan aku salah duga. Ternyata Jason hanya membisikkan sesuatu kepada Celeste, bukan mencium bibirnya. Mereka berdua berdiri berdekatan agar fotografer dan kamerawan mengabadikan foto dan video mereka. Ayah akan membutuhkannya untuk mempublikasikan pertunangan mereka di media nanti. Sekali lagi, aku menjaga agar ekspresi wajahku tetap datar saat Jason meletakkan tangannya di pinggang gadis itu.
“Bagaimana hasil pertemuanmu dengan dosenmu itu, Celeste? Apakah segalanya berjalan dengan lancar?” tanya Ayah saat kami semua sedang makan malam.
“Iya, Om. Aku akan sidang skripsi pada hari Rabu depan,” jawab Celeste dengan bangga.
“Itu berita yang sangat baik. Selamat, Nak.” Ayah menoleh ke arah Om Bisma. “Mengapa kamu tidak mengatakan berita ini kepadaku?”
“Jarvis, aku sedang fokus memperbaiki keadaan restoranku. Aku tidak sempat memikirkan hal lain. Lagi pula kamu sudah mengetahuinya sekarang.” Om Bisma tertawa kecil.
“Kalau Celeste sudah tidak sibuk lagi dengan skripsinya, maka kita pun tidak perlu menunda hari pernikahan mereka, sayang,” ucap Bunda memberi usul kepada Ayah. “Bukankah kita memilih hari setelah wisuda karena kita berpikir bahwa Celeste masih sibuk dengan kuliahnya?”
“Kamu benar juga.” Ayah melihat ke arah Jason yang dari tadi tidak berhenti meletakkan tangannya di tubuh gadis yang duduk di sisinya. “Bagaimana menurutmu, Jason?”
“Aku setuju saja dengan apa kata Ayah dan Bunda,” katanya dengan senyum bahagia di wajahnya. Dia menoleh ke arah tunangannya. “Bagaimana menurutmu, sayang? Apakah kamu keberatan jika pernikahan kita dilaksanakan lebih cepat?”
“Tidak,” jawab Celeste singkat. Dia melihat ke arahku sesaat sebelum menunduk dan melanjutkan menikmati makanannya. Apa arti tatapannya itu tadi?
“Sebelum kamu bertanya, aku juga tidak keberatan, Jarvis,” kata Om Bisma saat Ayah menoleh ke arahnya. Mereka semua tertawa.
“Bagus, kalau begitu!” ucap Bunda bersorak senang. “Aku akan menghubungi event organizer dan mulai menyusun rencana persiapannya. Setelah Celeste selesai sidang, kita akan mulai dari memilih pakaian untuk kalian berdua. Lalu foto pranikah agar bisa segera mencetak undangan.”
Ketika Ayah dan Om Bisma mendiskusikan hingga memutuskan tanggal yang tepat untuk hari besar tersebut, aku tertegun mendengarnya. Itu adalah tanggal pernikahan Jason dan Jovita. Cepat sekali jika mereka menikah dalam waktu dua minggu lagi. Aku butuh waktu lebih lama untuk membiasakan diri dengan perubahan baru ini.
Namun aku hanya diam. Aku tidak mungkin menyatakan tidak setuju. Semua orang akan curiga dan Bunda sudah pasti akan menggodaku dengan berpikir bahwa aku tertarik kepada Celeste. Jason juga akan sangat senang karena dia selalu menyimpulkan bahwa aku iri dengan semua miliknya. Gadis itu bukanlah miliknya. Celeste adalah milikku yang aku relakan menjadi miliknya.
Usai acara duduk bersama di ruangan tadi yang sangat menyiksa itu, akhirnya Ayah pamit kepada keluarga Celeste. Walaupun aku tidak ingin melihatnya, pandangan mataku lagi-lagi melihat ke arah tangan mereka yang saling bertautan. Aku tahu apa yang akan terjadi saat mereka berada di depan dan mengucapkan salam perpisahan. Maka aku pamit ke kamar kecil agar tidak melihat ciuman itu.
Bu Liana menunjukkan kepadaku di mana letak toilet yang sebenarnya sudah aku ketahui. Tetapi aku tetap berterima kasih kepadanya atas kebaikannya tersebut. Aku menunggu beberapa saat di dalam kamar kecil itu sampai kira-kira mereka sudah selesai dengan urusan mereka.
Mengapa aku tidak mati saja? Untuk apa aku hidup lagi dan kembali ke waktu ini? Apa pun pilihan yang aku ambil, keduanya tidak berakhir baik. Aku bersama Celeste, maka aku akan kehilangan Jason untuk selamanya. Sebaliknya, kakakku bersama kekasihku, aku yang merasa tersiksa. Mengapa aku tidak hidup lagi dengan kondisi yang sama seperti pada hari itu? Tanpa perasaan apa pun kepada Celeste? Mengapa waktu terulang lagi dengan perasaan cintaku yang sudah sangat kuat untuknya?
Koridor itu sepi saat aku keluar dari kamar kecil. Aku tidak terburu-buru keluar dari rumah tersebut. Ini akan menjadi hari terakhir aku datang ke sini. Tidak akan ada alasan lagi untukku berkunjung ke rumah ini karena aku dan Celeste sudah tidak punya hubungan apa pun.
Aku menoleh saat mendengar bunyi derap sepatu hak tinggi datang dari arah depanku. Celeste sedang berjalan ke arahku, lalu dia berhenti menunggu sampai aku dekat dengannya. Wajahnya tidak terlihat bahagia. Apakah berciuman dengan Jason seburuk itu? Aku pikir dia akan menyukainya. Karena bila dibandingkan denganku, Jace sangat ahli dalam memuaskan seorang perempuan.
“Kamu sakit perut atau apa? Mengapa kamu lama sekali di kamar mandi?” tanyanya tidak sabar. “Keluargamu sudah pergi. Papa dan Kakak sudah masuk ke kamar mereka dan aku yang disuruh untuk menunggu sampai kamu keluar.”
“Aku berada di kamar mandi selama itu?” Aku melirik jam tanganku.
“Tiga puluh menit. Kamu diare? Kokiku memasak makanan dengan sempurna, jangan bilang kamu sakit perut karena makan malam tadi.” Wajar saja dia terlihat marah. Dia disuruh menunggu selama setengah jam? Mengapa dia tidak masuk ke kamarnya saja? Ada Bu Liana yang akan mengantarku.
“Bukan aku yang memintamu menunggu. Jangan limpahkan kemarahanmu kepadaku,” kataku tidak peduli dengan protesnya itu. Aku berniat berjalan melewatinya. Jika keluargaku sudah pulang, aku tidak punya urusan apa pun lagi di rumah ini.
“Sebentar. Oh!” Celeste meletakkan tangannya di depan dadaku agar aku berhenti, tetapi kakinya yang menghalangi langkahku tiba-tiba kehilangan pijakan. Aku melingkarkan tanganku ke tubuhnya, dia juga segera berpegangan kepadaku agar tidak jatuh. Gadis ini mengapa jadi ceroboh begini? Aku menolongnya untuk berdiri dengan benar. “Lepaskan aku!” Aku menurutinya.
“Kamu mau bilang apa tadi?” tanyaku. Dia menatapku dengan bingung. “Kamu bilang, sebentar.”
“Entah. Aku lupa,” katanya acuh tak acuh. Dia membalikkan badannya. Lalu mataku tertuju kepada sesuatu yang ada di rambutnya.
“Hei.” Aku menyentuh bahunya. Bukannya berhenti dan membalikkan badan, dia malah memegang tanganku itu dengan kedua tangannya lalu berputar melewati bagian bawah tanganku dan berdiri di belakangku, memelintir tangan kananku tersebut. “Aku benci dengan kalian berdua yang suka sekali memegang tubuh orang seenaknya.”
Baik. Dia yang memulai, bukan aku. Aku menariknya agar kembali berdiri membelakangi aku hanya dengan satu hentakan saja. Dia membalas dengan menarik aku dan mengarahkan kakinya ke lekukan bagian belakang lututku. Aku mengangkat kakiku sehingga dia menendang udara dan kehilangan keseimbangan. Tetapi dia menarik aku untuk jatuh bersamanya.
“Sial,” umpatku pelan yang segera memutar tubuhku agar tidak menimpa tubuhnya, melainkan dia yang berada di atas tubuhku. Sakitnya tidak terbayangkan karena aku mendarat dengan posisi yang tidak siap. Bahkan dalam kesempatan kedua kami pun dia masih saja menyusahkan. Lalu aku hanya bisa terdiam saat bibirnya bertemu dengan bibirku.
“Ukh! Dasar laki-laki berengsek.” Celeste segera menjauhkan dirinya dariku. “Berani-beraninya kamu mengambil ciuman pertamaku!” Aku memegang kedua tangannya yang memukul dadaku. Rasanya lama sekali aku tidak bertengkar dan ribut seperti ini dengannya.
“Kamu yang mencuri ciuman pertamaku. Perempuan apa kamu ini menyerang laki-laki yang tidak menyakitimu?” Aku mengangkat tubuhnya dariku agar aku bisa kembali berdiri. Kalau bukan karena dia adalah tunangan Jason sekarang, aku sudah menahan tubuhnya dan menciumnya sepuasku.
“Kamu memegang bahuku sembarangan tadi,” protesnya kesal.
“Aku hanya ingin memberitahu ada daun di rambutmu,” kataku membela diri.
“Kamu bisa mengatakannya tanpa memegangku, ‘kan?” Dia kelihatan kesulitan untuk berdiri.
“Kamu butuh bantuan?” Aku mengulurkan tanganku kepadanya. Dia menatap tanganku sesaat lalu berusaha untuk berdiri sendiri. Benar-benar wanita keras kepala. Melihat dia menyerah, aku kembali memberikan tanganku kepadanya. Kali ini dia menerimanya.
Sebentar. Dia tadi bilang apa? Ciuman pertama? Kecelakaan tadi adalah ciuman pertamanya? Jadi, Jason tidak menciumnya saat mereka berpisah di depan rumah? Apa yang terjadi? Mengapa satu keadaan berubah tetapi situasi yang lain tetap sama? Apakah aku telah mengambil keputusan yang tepat atau jangan-jangan aku telah mengacaukan masa depan kami sendiri?
“Sore ini kalian akan mengepas pakaian, jadi kamu jangan datang terlambat. Lokasi butiknya dekat dengan kantor. Aku akan menjemput Celeste agar kita langsung bertemu di sana saja,” ucap Bunda. “Baik, Bunda,” jawab Jason menurut. Suasana sarapan pada pagi ini sangat berbeda dengan suasana sebelumnya. Aku mulai merasa ada yang tidak beres. Apakah keputusanku untuk menyelamatkan Jason adalah keputusan yang tepat? Yang membuatku curiga adalah sikap diam Jovita. Dia bukan wanita yang mudah menyerah. Aku tidak akan tenang sebelum pernikahannya dengan Yosef dilangsungkan. Tetapi wanita itu tidak pernah memiliki perasaan apa pun kepada sepupuku, apa mungkin dalam kehidupan kali ini dia akan berubah sikap kepadanya? Sial. Ciuman yang tidak sengaja terjadi semalam membuatku bimbang dengan keputusanku sendiri. Aku tidak boleh begini. Meskipun apa yang akan terjadi ke depan masih tanda tanya, aku tidak boleh meragukan pilihan yang aku buat sendiri. “Jonah, apa ka
Seharusnya aku tahu bahwa Jovita dan keluarganya tidak akan menyerah begitu saja. Lagi pula Yosef juga tidak bisa membuktikan bahwa anak dalam kandungan Jovita benar adalah anaknya. Maka satu-satunya jalan adalah menunggu sampai anak itu lahir. Terlalu lama untuk menunggu sampai dia lahir, tetapi aku tidak bisa menyarankan dilakukan tes DNA sekarang. Yang aku dengar, tes itu bisa membahayakan janin. Aku tidak peduli jika hal yang buruk terjadi kepada wanita ini. Dia terlalu jahat untuk mendapatkan simpati. Namun bayi itu tidak ada hubungannya dengan sikap ibunya, aku tidak bisa membahayakan nyawanya. “Aku tahu mengapa kalian menolak untuk menikahkan aku dengan Jason. Dia sudah bertunangan dengan Celeste, anak seorang pemilik restoran kecil. Bagaimana bisa keluarga Jarvis Putra yang terhormat memilih seorang pelayan untuk menjadi seorang menantu? Bukankah akan lebih baik bila kalian memilih aku? “Tetapi tidak apa-apa. Pada akhirnya nanti, akulah yang akan menj
“Karena itulah aku tidak akan pernah selingkuh,” kataku lagi. “Dia ada benarnya, Cel. Dia belum pernah berpacaran. Berbeda dengan Jason yang sudah beberapa kali terlihat dekat dengan perempuan.” Nola meletakkan kedua tangannya di atas meja, lalu memajukan tubuhnya. “Dilihat dari dekat begini, kamu ganteng juga. Tetapi mengapa kamu tidak disukai banyak orang?” “Apa kamu tidak lihat tatapan dingin dan ekspresi sombongnya itu? Wajar saja tidak ada yang suka dengannya,” ucap Celeste berbisik tetapi cukup keras untuk aku dengar. “Wow, Cel. Apakah kamu ada masalah dengan Jonah? Kita baru duduk, berapa, lima menit, dan kamu sudah mengejeknya dua kali?” tanya Nola tidak percaya. “Kalian punya hubungan apa?” Seorang pelayan datang mengantarkan pesanan kami, menyelamatkan Celeste dari menjawab pertanyaan sahabatnya. Minuman, sup, sayuran segar, dan daging mentah diletakkan di atas meja. Wanita itu membantu meletakkan beberapa potong daging sehingga memenuhi ala
Celeste segera merapikan gaun yang dikenakannya dan menegakkan tubuhnya, aku menjauhkan diri darinya begitu melihat dia tidak lagi membutuhkan bantuanku. Aku melihat ke arah Bunda dan mendesah lega dia yang datang, bukan yang lain. “Ma-maafkan aku, Tante. Aku tadi memanggil-manggil orang untuk meminta tolong, tetapi tidak ada yang menyahut. Jadi, Jonah yang mendengar seruanku datang. Aku yang mengizinkannya masuk ke sini untuk membantuku melepas ritsleting gaun yang macet.” Celeste segera menjelaskan apa yang terjadi kepada Bunda. Dia tidak perlu melakukannya. Bunda bukan tipe orang yang mudah curiga. “Untung saja aku yang datang. Kalau sampai Jason melihat ini, aku tidak mau membayangkan berapa lama kalian akan meributkan hal ini.” Bunda mendekati Celeste. “Pergilah. Mereka mencarimu untuk mengukur tubuhmu.” Aku menurut. Setelah urusan di butik selesai, kami makan malam bersama. Aku merasa seperti orang yang tidak seharusnya berada di tempat ini. Ayah memili
~Celeste~ Aku tidak mengerti dengan apa yang aku rasakan, tetapi aku tidak bisa berhenti memikirkannya dan kesulitan tidur pada malam hari sejak ciuman pertama kami. Itu bukanlah ciuman penuh perasaan seperti yang aku saksikan pada film-film. Hanya sebuah kecelakaan. Tetapi kepalaku tidak berhenti mengulang adegan itu sampai aku mulai mempertanyakan apakah aku jatuh cinta kepada Jonah? Tidak mungkin. Aku tidak pernah punya perasaan apa pun kepada laki-laki mana pun. Aku terpaksa menikah demi menyelamatkan restoran Papa dan semua pegawai yang bekerja di sini. Aku tidak boleh jatuh cinta kepada laki-laki lain. Seharusnya aku belajar untuk mencintai Jason, tunanganku. Aaarrghh …! Aku membenci laki-laki itu. Ini tidak mungkin cinta. Aku, Celeste Renjana, tidak akan jatuh cinta semudah itu kepada laki-laki mana pun. Tetapi jika ini bukan cinta, apa yang membuat bayangan wajahnya saat menciumku tidak bisa keluar dari kepalaku? Dan setelah berhari-hari tidak
~Jonah~ Apa yang sudah kamu lakukan, Jonah?! Pertanyaan itu terus bergema di kepalaku. Aku tidak tahu. Mungkin aku merindukannya. Mungkin aku hanya ingin membungkam mulutnya yang berkata kasar. Bisa jadi aku hanya mencari alasan untuk bisa mencium bibirnya lagi. Tetapi aku kehilangan kendali bukan karena semua itu. Dia membalas ciumanku. Mengapa? Aku ingat bahwa dia sangat membenciku pada saat ini. Kami sering bertengkar, dia selalu melawanku, lalu apa yang membuat dia membalas ciumanku ketika kami bahkan tidak ada hubungan apa pun? Menenggelamkan diri dalam pekerjaan, tidak banyak membantuku. Fabian, asistenku, sampai heran melihat tingkahku yang gelisah. Tetapi aku tidak menjawab pertanyaannya. Saat dia memberitahuku bahwa Ayah dan Jason menunggu kehadiranku, aku mendesah keras. Kami kedatangan investor yang ingin tahu perkembangan penjualan unit apartemen baru kami. Pertemuan yang sebenarnya cukup dihadiri oleh mereka berdua. Divisiku beke
Pada hari yang ditunggu-tunggu, rumah kami sudah dipenuhi dengan pekerja yang mondar-mandir dari pagi untuk menyiapkan acara besar. Makan malam bersama seluruh keluarga sebelum hari pernikahan Jason dan Celeste. Kakakku berdiri dengan bangganya memamerkan tunangannya kepada seluruh keluarga kami. Gadis itu terlihat tidak bahagia dan memaksakan dirinya untuk tersenyum. Aku sudah memberinya saran, maka terserah dia mau mengikutinya atau tidak. Ayah dan Bunda tidak akan memaksanya untuk menikahi Jason jika dia tidak bahagia dengan gaya hidup tunangannya yang bebas itu. Meskipun Jovita tidak berada di tempat ini, aku tetap mengawasi tindak-tanduk Lydia, sepupuku. Dia berteman baik dengan Jovita. Pada kehidupan sebelumnya, dia berusaha untuk menyakiti Celeste pada malam ini. Mungkin dia tidak akan melakukan apa pun, namun tidak ada salahnya berjaga-jaga. Kesempatan yang aku tunggu-tunggu akhirnya datang. Aku mendekati Yosef yang berdiri sendirian di dekat meja saj
“Jonah.” Ayah menatapku penuh harap, mengabaikan ucapan kakakku. Aku tidak akan pernah memahami orang tuaku. Mereka selalu mengandalkan Jason dalam segala hal. Namun ketika hal buruk terjadi, mereka berharap aku yang akan mengatasi semua persoalan. Apakah aku sebaiknya menelepon Theo dan memintanya mencari tahu keberadaan Celeste? Baiklah. Hanya dia satu-satunya orang yang aku yakin bisa menolongku di saat-saat seperti ini. “Aku ingin kamu mencari tahu di mana gadis bernama Celeste Renjana sekarang berada. Kamu bisa menyusuri CCTV yang ada di sepanjang jalan rumah kami menuju alamatnya. Baik. Aku tunggu.” Aku mengirim foto undangan pernikahan kakakku dan alamat rumah Celeste sebagai referensinya. Teringat kepada sesuatu, aku segera membuka sebuah aplikasi yang sudah aku pasang di ponselku. Aku hampir saja lupa. Aku memberikan sebuah kalung kepadanya. Di dalam liontinnya ada alat pelacak. Jadi, di mana pun dia berada, aku bisa mengetahuinya. Aku menyentuh laya
~Celeste~ “Jacob Nicholas Putra!” seruku melihat anakku yang berusia sembilan tahun malah asyik memakan es krim cokelat di ruang makan. Dia mengotori pakaiannya padahal kami harus pergi sekarang. Aku menoleh ke arah suamiku yang berdiri di sisiku. “Oke. Ini salahku.” Dia menurunkan putri kami dari pelukannya dan memberikan tangannya padaku. “Ayo, Jacob, kita bersihkan tanganmu dan ganti pakaianmu.” Aku mendesah napas keras melihat mereka berjalan menuju pintu belakang. Aku hanya beberapa menit berada di kamar untuk bersiap-siap setelah membantu anak-anak berpakaian. Saat aku pikir kami sudah siap untuk pergi, selalu saja terjadi kecelakaan serupa. Jacob makan sesuatu hingga mengotori tangan, wajah, dan pakaiannya atau Jolene yang menumpahkan minuman ke bajunya. Meninggalkan anak-anak dalam pengawasan suamiku memang bukan ide yang baik, tetapi siapa lagi yang bisa aku percaya kalau bukan dia? Andai saja Ayah dan Bunda ada di sini. Mereka masih dalam pe
Aku melihat ke arah arloji pemberian istriku yang melingkari pergelangan tanganku. Tidak peduli berapa harganya, benda itu sangat berarti bagiku. Pemberian pertama darinya untukku. Meskipun dia tidak ada di sini bersamaku, aku merasakan dukungannya.Hari ini pertama kalinya aku akan menghadiri rapat pemegang saham di perusahaan Anggara. Om dan Bunda tersenyum kepadaku saat mereka melihat aku duduk di kursi yang mereka sediakan untukku. Di sisi Om Mahavir. Wajah peserta lainnya menatapku dengan rasa ingin tahu. Mereka semua sudah mendengarkan kemampuan dan beberapa prestasiku, mereka pasti tidak sabar mau mendengar langsung apakah aku seperti yang dikatakan Om.Asisten Om Mahavir menenangkan ruangan dan memimpin jalannya rapat. Dia membacakan agenda dari pertemuan kami sebelum mempersilakan direktur utama untuk menyampaikan laporannya. Aku menghela napas panjang, bersiap mengikuti diskusi panjang nanti.“Aku tidak percaya proyek ini lolos begitu mudah,&rdqu
“Mengapa aku harus berpakaian seperti ini?” keluh Celeste untuk kesekian kalinya. Dia memakai gaun paling indah dan mahal yang selalu menjadi dambaan banyak wanita, tetapi dia mengeluh. Aku bahkan memberi dia gelang berlian untuk menyempurnakan penampilannya.“Kamu akan mengerti begitu kita tiba di sana.” Kali ini aku tidak menyetir dan meminta salah satu sopir keluarga kami untuk mengendarai mobilku.“Aku merasa seperti maneken yang kamu bawa ke pesta hanya untuk dipamerkan.” Dia memajukan bibirnya, menyatakan rasa tidak sukanya. Seandainya kami dalam perjalanan pulang, aku pasti akan menciumnya habis-habisan di mobil ini sampai senyuman menghiasi wajahnya. Tetapi aku tidak bisa melakukan itu sekarang, riasan wajahnya bisa rusak.“Malam ini istimewa, sayang. Aku mau mereka semua tahu bahwa meskipun aku masih muda, aku bisa mendapatkan uang yang banyak untuk membelikan istriku pakaian yang bagus dan perhiasan yang mahal.
Aku menyerahkan dokumen terakhir yang perlu aku tanda tangani sebagai manajer pemasaran kepada Fabian. Sudah tidak ada lagi dokumen atau laporan yang aku sisakan di atas meja. Dengan begitu, orang baru yang akan menggantikan aku tidak dibebani dengan tugas yang masih menjadi tanggung jawabku.“Terima kasih atas bimbingannya selama ini, Pak. Saya ikut bangga Bapak naik ke posisi baru,” ucap Fabian dengan tulus.“Terima kasih juga padamu, Fabian. Kamu asisten terbaik yang pernah aku miliki.” Aku melirik jam tanganku. “Apa kamu ada janji malam ini Mau makan malam bersamaku?”“Saya tidak ada janji, tetapi—” jawabnya dengan segan.“Tidak ada tetapi. Ayo, aku traktir.” Aku memasukkan ponsel ke dalam saku jasku, lalu berjalan mendekati pintu. Dia mengikuti aku keluar dan bergegas menyimpan dokumen tadi di lemari besi kemudian menguncinya.Fabian tidak menyebut makanan tertentu yang dia suka
~Jonah~Suasana rumah pada pagi itu tepat seperti dugaanku. Ketika aku masuk ruang makan dan Celeste tidak bersamaku, aku terpaksa memberi tahu Ayah dan Bunda bahwa dia pulang ke rumah Papa semalam. Bunda histeris dan Ayah segera menenangkannya.Namun tidak ada yang bisa membuat Bunda berhenti menangis sehingga kami pergi bersama untuk membujuk dia pulang. Aku mengendarai mobilku sendiri, sedangkan Ayah dan Bunda di mobil Ayah. Kami harus ke kantor setelah urusan ini selesai, jadi kami tidak bisa pergi dengan satu kendaraan.Bu Liana menyambut kedatangan kami, lalu mengantar kami ke ruang tamu. Dia meninggalkan kami untuk memanggil Celeste. Nevan masuk beberapa saat kemudian bersama seorang pelayan yang membawakan kudapan. Dia hanya mendesah pelan sebelum duduk di salah satu sofa kosong.“Tolong, maafkan adikku. Dia—” Nevan berusaha untuk menjelaskan.“Ini adalah kesalahanku. Celeste berhak untuk marah,” tukas Ayah. Ne
~Celeste~Restoran yang dimiliki Papa berawal dari warung makan sederhana yang dimulainya bersama Mama. Mereka mengawali usaha itu dari nol hingga akhirnya berdiri sebuah restoran berlantai tiga. Dari menu makanan sehari-hari khas Indonesia hingga orang tuaku mempekerjakan koki khusus masakan luar negeri. Restoran itu unik karena lantai dasar tetap diperuntukkan bagi makanan yang terjangkau layaknya warung nasi sederhana, sedangkan lantai dua khusus makanan yang sedikit lebih mahal.Pelanggan semakin banyak dan mereka berharap ada cabang lain yang jaraknya lebih dekat dari tempat tinggal atau kantor mereka. Karena itu Papa ingin membangun restoran yang kedua. Itu adalah prestasi terbesarnya setelah lama berdua kehilangan Mama.Lalu ada orang yang sengaja menghancurkan impian Papa dan sengaja merebut semua itu darinya. Dan orang itu tidak lain adalah ayah mertuaku sendiri? Bagaimana bisa orang kaya punya pikiran yang begitu egois? Mereka tidak lebih baik dari Fel
“Apa katamu? Kamu punya syarat? Kamu sudah mendapatkan posisi yang tidak perlu susah payah kamu perjuangkan dari nol, kamu masih berani mengajukan syarat?” ejek Felix. “Ayah lihat, ‘kan? Dia tidak lain hanyalah seorang pecundang yang akan membuat perusahaan kita bangkrut!”“Syarat hanya diajukan oleh orang yang percaya diri dengan kemampuannya. Dia belum memberi tahu syaratnya mengapa kamu langsung marah? Sabar, Felix. Lihat baik-baik bagaimana seorang pemimpin berdiskusi dan menyatakan pendapat tanpa bersitegang leher,” kata Om Mahavir.“Katakan, Jonah. Apa syarat darimu?” tanya Om kepadaku.“Aku hanya meminta hak penuh yang Om dapatkan sebagai direktur utama juga diberikan kepadaku saat aku menggantikan posisi Om. Aku tidak akan mau memimpin bila mendadak dibentuk dewan komisaris untuk membatasi wewenangku. Aku tidak keberatan dengan kehadiran para pemegang saham, dan aku akan menghormati setiap penda
Dia seharusnya tidak berada di sini. Untuk kejahatan yang sudah dia lakukan, dia tidak mungkin dibiarkan bebas dengan jaminan apa pun. Keberadaannya di dekat kami bisa mengancam nyawa kami. Dia tidak segan menyakiti keluarganya sendiri demi mencapai tujuannya. Lalu mengapa dia bisa berada di sini, di kantor Ayah?“Tenang, Nak. Masuklah. Dia tidak akan menyakiti siapa pun,” kata Ayah.Aku membuka pintu lebih lebar dan melihat ada dua orang polisi yang duduk di dekat Felix. Aku pun merasa sedikit tenang. Ada Ayah, Bunda, Om Mahavir, dan Tante Clara duduk bersama di ruangan itu. Meskipun aku bingung apa yang sedang terjadi, aku masuk dan menutup pintu. Ayah menunjuk di mana sebaiknya aku dan istriku duduk.“Kita tidak bisa berlama-lama karena Felix harus segera kembali ke tempatnya.” Ayah memajukan tubuhnya dan memasang wajah serius. “Aku dan Avir sudah berembuk sampai kami sampai pada sebuah keputusan yang sangat besar.” Ayah me
Pada keesokan harinya, kami menerima surat panggilan untuk hadir memberi kesaksian di kantor polisi. Aku, Celeste, dan Bunda meminta agar bisa hadir pada hari yang sama dan tidak berbeda hari seperti yang tercantum dalam surat panggilan tersebut. Pak Omar memberi kabar baik bahwa mereka memenuhi permintaan kami tersebut.Sebagai penasihat hukum keluarga kami, Pak Omar yang lebih banyak bicara mewakili kami bertiga. Dia yang menentukan mana pertanyaan yang bisa kami jawab dan yang mana yang tidak ada hubungannya dengan investigasi kasus yang sedang mereka tangani.Mereka lebih banyak bertanya seputar ledakan yang terjadi pada pintu apartemenku, perkelahian di jalan raya yang sengaja diblokir atas perintah Felix, penculikan Celeste, serta pemaksaan atas Bunda dan penembakan yang terjadi di pelabuhan.Aku menjawab sedetail mungkin mengenai peristiwa di apartemen dan jalan raya, karena mereka perlu memberi laporan kepada pihak asuransi. Aku tidak mau merogoh uangku