Intan mengenakan kembali bajunya, satu persatu kancing baju dia pasang kembali. Lalu Intan bertanya, “Mas, kapan kamu mau menikahi aku? Aku gak mau hanya jadi bahan pemuas nafsu belaka,” ungkap Intan. Dia kembali menagih haknya setelah kami selesai menyalurkan hasrat di kos tempat Intan tinggal.
Intan adalah seorang wanita yang tidak memiliki suami namun memiliki seorang anak. Kala itu pertama kali bertemu dengannya di sebuah tempat pijat refleksi yang menyediakan layanan pijat ++. Kebetulan sekali Intan yang melayaniku. Karena pelayanan Intan sangat memanjakan dan membuat hasratku terpenuhi, kami bertukar nomor W******p. Tubuh Intan tidak terlalu tinggi, tapi dia memiliki tubuh yang seksi, rambut panjang sepinggang, dan bagian tubuh lainnya yang membuat pria mana saja tergoda. Sejak pertemuan pertama itu, sialnya aku jatuh cinta kepadanya, seolah ada getaran yang berbeda. Dengan posisiku sebagai kepala toko dealer dan wajah tampan, tentu tidak sulit bagiku untuk meniduri Intan. Apakah aku single? Tidak, aku seorang pria beristri dengan seorang anak perempuan yang cantik persis seperti wajah ibunya. Nama istriku Naura, wanita cantik berkulit putih, hidung mancung, bibir tipis, sempurna. Dia tidak memiliki kekurangan apa pun, hanya sedikit kaku dan tidak bisa memanjakanku. Dia terlalu sibuk dengan anak dan pekerjaannya. Pelayanannya juga tidak seperti dulu ketika awal kami menikah, tidak ada nuansa baru sama sekali, sangat berbeda dengan pelayanan yang Intan berikan, selalu ada fantasi baru setiap harinya. Intan menatapku yang berdiam diri cukup lama, lalu dia bertanya, “Mas, kok malah melamun sih?” “Oh, enggak kok.” Lamunanku buyar seketika saat tangan nakal Intan bermain di dada bidangku. “Terus, gimana. Mas sudah berjanji akan menikahi Intan, cuma janji doang ya?” Intan merajuk, memajukan bibirnya, membuat dia terlihat semakin menggoda. Aku angkat bibir itu, lalu membekapnya dengan cepat. “Iya, secepatnya mas akan menikahi kamu,” ucapku menenangkan. “Janji ya mas?” Intan mengeluarkan jari kelingkingnya, aku segera menautkan jari kami, hitung-hitung membuat wanita ini senang. ********* “Mas, tumben sekali kamu pulang cepat,” sambut Naura sambil mengambil tas dari tanganku. Naura menatapku dengan seksama lalu bertanya, “Mas sakit?” Wanitaku itu memegang keningku setelah meletakkan tas kerjaku di meja. “Memang harus sakit dulu baru boleh pulang cepat?” tanyaku balik. “Tidak begitu, Naura siapkan teh hangat dulu,” ucapnya kemudian. Selepas dari kos Intan, istri keduaku tadi aku memang malas kembali ke kantor. Benar, aku sudah menikahi Intan. Beberapa waktu lalu dia meminta untuk dinikahi, tanpa pikir panjang aku mengabulkan permintaannya. Intan sudah tidak bekerja lagi, aku yang melarangnya. Sekarang, pelayanan Intan hanya milik diriku seorang. Aku segera masuk kamar dan berlalu masuk ke kamar mandi, penat sekali rasanya. Selepas mandi aku mencari handuk yang biasa Naura sediakan di gantungan. Dan sekarang entah kenapa dia lupa menyiapkannya. “Naura…” panggilku berulang kali memanggil namun baru saja dia terdengar mengetuk pintu kamar mandi. “Iya mas?” jawabnya dari luar. Aku membuka pintu kamar mandi sedikit, “Mana handuk?” “Sebentar mas, aku ambil dulu,” balasnya dari luar. Sesaat tak ada suara lagi, sampai dia mengetuk kembali. Aku membuka pintu kembali, kali ini membiarkan tubuh polosku dilihat olehnya. Tak ada ekspresi apa pun tergambar di wajah itu. Dia menyerahkan handuk dengan wajah biasa, sangat berbeda sekali dengan Intan, pasti dia langsung… Ah, sepertinya Naura sudah tidak berhasrat lagi padaku, bukan salahku jika mencari pelampiasan yang lain. Sembari melilit handuk ke tubuhku, lagi-lagi rajukan Intan terbayang-bayang di kepalaku. “Mas… mas kan sudah janji. Aku gak mau tau bagaimanapun caranya aku mau serumah sama mas. Aku juga istrimu, mas!” Rajukan Intan kali ini membuat kepalaku pusing kepalang. Pasalnya, beberapa waktu lalu dia meminta dinikahi dan aku sanggupi, tapi sekarang? Intan malah menuntut tinggal serumah. Bagaimana mungkin? Selama ini aku memfasilitasi istri simpananku ini dengan fasilitas yang lengkap. Tidak aku bedakan dengan Naura. Bahkan Intan juga aku beri mobil, walaupun mobil bekas, tapi masih sangat bagus dan tentu saja layak dipakai. Semua kebutuhan Intan sudah aku penuhi, uang untuk perawatan ke salon, uang belanja, dan kebutuhan lainnya. Begitu juga saat dia memintaku untuk menikahinya, aku juga penuhi. Kami akhirnya menikah meski secara siri. Sekarang tuntutannya bertambah, ingin tinggal serumah denganku. “Iya sayang, nanti kita cari cara agar Naura tidak curiga,” jawabku. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku, mengingat Intan membuat aku teringat tentang permintaan gilanya itu. Walau begitu, aku harus segera mencari cara agar bisa mewujudkan keinginan Intan. Jika tidak begitu, dapat dipastikan jatah ranjangku akan terancam. Setelah berpakaian, aku bergegas menuju ruang tengah, menghampiri Naura yang tengah menonton acara televisi. Naura melihat aku sekilas, sepertinya dia sadar ada yang ingin kusampaikan. “Ada apa?” tanya Naura santai, datar. “Mas mau bicara,” ucapku padanya. Naura memfokuskan pandangannya kepadaku. “Tentang apa?” tanyanya kemudian. Dia tidak menatapku seperti biasanya. “Adik perempuan sahabatku, sedang mencari kerja. Dia menitipkan sementara kepadaku. Aku tidak bisa menolaknya.” Aku memulai rencanaku. “Perempuan?” tanya Naura tanpa melirik. “I..ya apa ada masalah?” tanyaku, dengan sedikit gugup. Naura meletakkan remote televisi di atas meja dengan sangat keras. Lalu dia menatapku dengan pandangan yang cukup tajam.Nyali ku sedikit menciut menerima tatapan tajam dari Naura. Tidak seperti biasanya dia melayangkan tatapan seperti itu.Dia memalingkan pandangannya dari diriku lalu bertanya, "Kalau Naura tidak mengizinkan?""Gak bisa begitu dong. Mas kan kepala keluarga di sini, lagipula mas tidak ada niat macam-macam, hanya ingin membantu saja," ungkapku penuh penekanan."Lalu, kenapa mas bertanya kepada Naura?" Naura menatapku lagi."Mas hanya menjelaskan. Hanya ingin membalas budi kepada sahabat mas yang kebetulan dia adalah kakak dari Intan ini.""Terserah!" teriak Naura. Lalu Naura berlalu dari sana, meninggalkanku yang sedikit frustrasi.Aku menghela napas perlahan. Terserah jika dia marah, yang penting aku sudah membicarakan hal ini terlebih dahulu. Mau dia terima atau tidak, aku akan tetap membawa Intan ke rumah ini.****************Aku duduk termenung di ruang kerjaku. Sebentar lagi waktunya untuk pulang. Hari ini Intan mulai tinggal bersamaku dan bersama Naura juga. Sebenarnya aku agak gu
Sesampai di kamar Intan, aku melihat Intan tergeletak di lantai sambil memegangi perut nya. "Maaf apa punya obat sakit perut?" tanya Intan langsung ketika kami memasuki kamar nya. Bibir nya pucat pasi, tangan nya gemetar."Ada sih. Tapi racikan, mau?" Belum sempat Intan menjawab, Naura berlari ke kamar mengambil obat itu. Lalu Naura menyerahkan kepada Intan."Tapi obat ini racikan, apa mbak ada punya alergi?" tanya Naura."Bagi sebagian orang akan sedikit gatal-gatal," ucap Naura.Terlambat, Intan sudah menenggak obat tersebut."Ya...sudah mbak istirahat saja," ucap Naura."Ayo, mas." Naura menarik tangan ku.Sesampai di kamar, Naura masuk ke kamar mandi, dia mengganti pakaian seperti nya. Aku gusar, rencana ingin bercinta panas sirna. Tidak lama kemudian, Naura keluar menggunakan sebuah gaun tidur, tidak biasa. Dia terlihat sangat seksi.Aku yang sudah dipenuhi hawa nafsu, semakin terangsang melihat istri cantiku mengenakan baju itu. Tidak lama kemudian Naura berjalan ke ranjang,
Intan dan aku saling pandang, dengan gerakan tergesa-gesa kami melepaskan dekapan. Intan memungut pakaian nya yang terhambur di lantai. "Sembunyi sayang," ucapku gugup sambil merapikan pakaian, sementara itu Layla masih mengetok-ngetok cukup keras di depan pintu. Syukur nya aku mengunci pintu."Sembunyi dimana?" Tanya Intan panik bukan main, pasti saja jika ada Layla, maka ada Naura pula."Intan sembunyi di kamar mandi ya?" Intan berlari ke arah kamar mandi."Jangan! Pasti ketahuan." jawabku bingung."Disitu! Kamu masuk disitu!" Aku menunjuk sebuah lemari pakaian yang sudah tidak terpakai dan tidak mungkin sekali Naura membuka nya."Mas?" Intan melotot."Yang benar aja aku di suruh masuk lemari!" Intan seperti tidak terima."Ayah!" Suara Layla terdengar lagi, Intan mendengus sebal lalu masuk ke dalam lemari besar di pojok ruangan. Aku mengunci nya dari luar, jaga-jaga saja.Terdapat sedikit lobang di lemari itu, yang membuat Intan bisa mengintip keadaan di luar.Setelah ku pastikan s
Aku menarik napas perlahan, menetralisirkan perasaan gugup."Dari toilet." jawabku santai."Toilet kita rusak?" tanya Naura, matanya menatap pintu toilet yang ada di kamar kami.Aku panik bukan kepalang. Mencoba mencari alasan yang masuk akal."Sekalian ambil air minum." jawabku sambil berjalan menuju kasur.Naura menatap air minum yang ada di nakas. Aku paham maksud pikirannya, namun Naura tidak memperpanjang. Dia memilih kembali tidur dengan posisi membelakangi ku.Perasaanku sangat tidak nyaman. Apakah Naura tahu aku baru dari kamar Intan? Apa Naura tadi membuntutiku? Ah, memikirkannya semakin membuatku pusing. Perasaanku semakin tidak nyaman."Kamu terbangun?" aku mencoba bertanya kepada Naura. Dia tidak menjawab. Apakah dia sudah tidur?Aku memilih untuk diam. Pikiran di kepalaku semakin berkecamuk. Memikirkan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang tadi terjadi. Akibatnya aku tidak bisa tidur hingga pagi. Syukurnya besok aku tidak bekerja, sehingga bisa bangun lebih siang.Cahaya
"Kalian sudah berapa lama?" tanya Naura tanpa menatap kami."Kalian?" tanyaku memastikan."Iya, kamu dan Intan." jawab Naura datar."Kami tidak ada hubungan apa-apa, Mbak," jawab Intan gugup, wajahnya terlihat cukup pucat.Naura tertawa, seperti tawa yang dipaksakan."Iya, kalian sudah berapa lama mengenal? Kenapa jadi ke mana-mana jawabannya."Beberapa saat aku merutuki kebodohan jawaban Intan. Kami malah terlihat seperti ada apa-apa jika seperti ini. Aku juga bisa melihat Intan semakin gugup dibuatnya."Kami tidak terlalu kenal sebelumnya. Mas cuma mengenal kakak Intan, baru kali ini saja cukup banyak mengobrol. Biasanya setiap Mas ke rumah kakaknya, Intan di dalam kamar saja," aku menjelaskan dengan santai, agar terlihat tidak mencurigakan.Naura mengangguk-angguk saja."Naura kira sudah lama mengenal, karena kalian terlihat begitu tahu satu sama lain," jawab Naura ceplas-ceplos.Intan menggeleng cepat, gelengan yang patah-patah dan terkesan aneh."Tidak, Mbak, kami tidak begitu ak
Jantungku lagi-lagi rasanya berhenti. Wanita yang di depanku saat ini adalah Mika, sahabat karibnya Naura. Bisa-bisanya kami bertemu di saat seperti ini."Apa kabar, Mik?" aku berusaha sebisa mungkin untuk tidak terlihat gugup dan mencurigakan."Baik kok! Ini siapa?" tanya Mika bingung, menunjuk ke arah Intan."Ini saudara sepupuku, datang dari luar kota." jawabku cepat.Mika terlihat percaya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, "Kamu sudah jarang sekali main ke rumah, sibuk banget ya?" tanyaku kemudian.Mika menggeleng, perubahan ekspresi terlihat jelas dari wajahnya, "Aku kan bertengkar dengan Naura, kamu tidak tahu?"Aku cukup terkejut mendengar itu, kenapa Naura tidak pernah mengatakan apa pun kepadaku?"Panjang lah ceritanya, yang jelas sudah satu tahun kebelakang ini kami sudah tidak pernah lagi berhubungan," jelas Mika."Yasudah ya, Zain, aku sedang buru-buru, kapan-kapan kita mengobrol lagi."Aku mengangguk, lalu Mika berlalu, meninggalkan kami berdua. Aku menghela napas le
"Mas, itu CCTV ya?" pertanyaan Intan membuat keningku berkerut.Lalu aku melihat ke arah telunjuk Intan, mataku menyipit sempurna, memperhatikan benda itu. CCTV? Sejak kapan ada CCTV? Kami benar-benar tidak pernah memasang CCTV di kamar.Aku melepaskan pelukan kami dan berjalan dengan tergesa-gesa ke arah CCTV tersebut. Benar saja, itu adalah CCTV. Setelah aku periksa, CCTV itu menyala. Perasaanku campur aduk. Aku menggaruk kepala gusar dan tanpa berpikir panjang segera menarik tangan Intan untuk keluar kamar.“CCTV itu menyala,” aku duduk di sofa. Keningku berkerut, siapa lagi yang memasang itu jika bukan Naura? Dengan gerakan cepat, aku menelpon Naura.Tiga kali percobaan tidak ada jawaban, percobaan keempat baru mendapatkan jawaban.“Ada apa, Mas?” terdengar suara Naura dari seberang sana.“Sejak kapan kamar kita ada CCTV?” aku langsung memburu Naura dengan pertanyaan itu, tanpa basa-basi.“Sudah lama sih, jaga-jaga saja agar jika ada maling dia takut karena ada CCTV.” jawab Naura
Intan mengambil alat tes kehamilan yang sudah dia celupkan ke cairan urine."Apa hasilnya, Sayang?" aku bertanya, tidak sabar. Karena melihat Intan diam saja, tidak bergeming."Sayang?" aku kembali mendesak Intan yang masih saja diam sambil menatap alat itu."Mas, Intan hamil," jawab Intan. Dia terlihat syok dengan fakta itu. Dia menyerahkan alat tes kehamilan itu kepadaku. Garis dua, walau samar.Aku mengacak-acak rambut frustrasi."Tidak apa-apa kamu hamil, kita menikah secara sah, namun apa nanti kata Naura kalau tahu kamu hamil?""Terpaksa kamu harus pindah dari rumah ini," aku memberikan solusi yang masuk akal. Dengan Intan pindah rumah, akan lebih mempermudah bukan? Dia bisa dengan leluasa merawat dan membesarkan kandungannya tanpa harus sembunyi-sembunyi."Intan tidak mau pisah rumah sama Mas!" jawab Intan bersikukuh. Kepalaku pusing. Intan sangat keras kepala, ide-idenya sangat membahayakan dan terkesan egois kedengarannya."Akan susah, Sayang," jawabku lembut, sebisa mungkin
Aku berkutat di atas meja kerja pagi ini, menyelesaikan pekerjaan demi pekerjaan yang kian menumpuk karna beberapa hari terbengkalai. Aku mengerutkan dahi bingung sesekali, menghela nafas gusar. Aku tidak memiliki banyak waktu hari ini, bahkan untuk menengok Intan saja tidak sempat. Aku hari ini ulang tahun, sebenarnya itu bukan hal penting untukku, tapi Naura tadi berpesan dengan wajah datarnya tadi memintaku pulang lebih awal karna mereka akan merayakan nya bertiga, dengan Layla. Setengah jam lagi aku akan pulang. Aku menghela nafas gusar, mengabari Intan perihal perayaan ulang tahun ini, jika tidak dia akan marah jika aku tidak memberitahunya.[mas hari ini rayakan ulang tahun dengan Naura dan Layla]Setelah mengirimkan pesan itu, aku mengambil kopi yang sudah dingin, menyeruputnya dengan perlahan. Tidak lama kemudian balasan dari Intan masuk, cepat sekali.[romantis nya, keluarga bahagia]Terbaca sarkas dan cemburu, tapi yasudahlah. Tidak terasa jam pulang, aku segera pulang. Meni
Setelah menenangkan Layla aku segera menghampiri Naura yang ada di dapur.“Kamu tidur dimana semalam mas?” tanya Naura tiba-tiba. Matanya sembab, kenapa dia menangis?“Maafkan aku, Naura. Aku tertidur di kantor,” jawabku, mencoba terdengar setenang mungkin.Naura menatapku tajam, matanya menunjukkan keraguan. “Di kantor? Tapi Pak Junaidi bilang kamu gak ada di rombongan kemarin.”Aku terdiam sejenak, otakku berusaha mencari jawaban yang masuk akal. “Aku… ada keperluan mendadak di luar kantor. Makanya aku gak ikut rombongan.”Naura menghela napas panjang, tampak semakin curiga. “Keperluan mendadak apa, mas? Kenapa kamu gak bilang sama aku?”“Aku gak mau kamu khawatir. Lagipula, aku pikir aku bisa menyelesaikannya dengan cepat dan pulang tepat waktu, tapi ternyata terlambat.”Naura menggeleng pelan, air mata mulai menggenang di matanya. “Aku sudah capek dengan semua alasanmu, mas. Layla juga capek. Kami butuh kamu di sini, tapi kamu selalu ada alasan untuk tidak hadir.”Aku merasa bersa
Aku memijat pelipisku yang sedikit sakit. Setelah kejadian semalam aku langsung tertidur pulas, harusnya aku pulang tadi malam. Aku melihat disampingku Intan yang juga tengah tertidur, kelelahan.Tanganku bergerak mengambil ponsel di atas nakas. Ada sepuluh panggilan tidak terjawab dari Naura dan beberapa pesan.[mas, pulang jam berapa?][mas, kamu dimana? Jangan lupa besok ada acara loh disekolah Layla, pentas seni, kamu sudah janji bakal datang][mas, kamu gak jadi pulang malam ini?][mas, kata pak junaidi kamu gak ada di rombongan]Aku terduduk kaget, aku melupakan tentang pentas seni itu. Layla pasti akan marah. Aku melihat jam di dinding, menunjukan pukul tujuh pagi, masih ada waktu sekitar satu jam setengah. Aku bergegas mandi, membersihkan diriku. Sambil memikirkan alasan apa yang akan aku pakai. Setelah mandi aku melihat Intan sudah bangun dari tidur nya. Dia tersenyum kepadaku."Mas mau kemana?" tanya nya. Dia mengucek matanya, menetralisirkan pandangan."Mas pulang dulu ya?
Setiba di apartemen, kami segera beristirahat. Namun, ponselku berdering, menunda aktivitasku. Aku melihat sebuah panggilan video masuk dari Layla. Dengan panik, aku berdiri dan keluar dari kamar, memberikan kode terlebih dahulu kepada Intan."Ayah!" panggil Layla ketika aku mengangkat panggilan itu."Ayah, itu di mana?" tanya Layla polos.Aku tersenyum, berusaha menyembunyikan kegugupan yang tiba-tiba menyerang. "Ayah lagi di tempat kerja, sayang. Ada yang ingin Layla ceritakan?""Ayah kapan pulang?Bunda bilang ayah lagi sibuk," kata Layla dengan nada sedikit kecewa.Hatiku mencelos mendengar pertanyaan itu. "Ayah akan pulang secepatnya, Layla. Ayah janji."Setelah beberapa menit berbicara dengan Layla dan memastikan dia baik-baik saja, aku menutup panggilan. Kepalaku penuh dengan perasaan bersalah dan kebingungan. Intan mendekat, menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan."Kamu tidak perlu pulang secepat itu," katanya dengan nada cemburu yang terselubung. "Mereka bisa menunggu.
Intan terbangun pada pagi yang cerah dengan perasaan mual yang mengganggu. Dia berusaha duduk tegak di atas tempat tidur, mencoba meredakan rasa mualnya.Aku yang sedang tertidur di sampingnya terbangun oleh gerakannya. "Ada apa, sayang?" tanyaku, khawatir melihat ekspresi wajahnya yang tidak enak.Intan menatapku dengan ekspresi campuran antara bahagia dan khawatir. "Aku rasa... Aku rasa mual pagi ini," ucapnya perlahan."Pakaiannya aku beli kemarin, coba lihat apakah ukurannya pas," ujarku sambil memberikan paket kecil yang berisi pakaian yang kupilih untuknya kemarin.Intan membuka paket itu dan melihat dengan penuh harap. "Oh, terima kasih, Mas. Aku akan mencobanya."Dia bangkit perlahan dan pergi ke kamar mandi untuk berganti pakaian. Aku bisa melihat kebahagiaan yang terpancar dari wajahnya saat dia kembali ke kamar dengan pakaian baru yang pas dan nyaman."Mungkin kita harus pergi ke dokter hari ini, untuk memastikan semuanya baik-baik saja," kataku, mencoba menenangkan hatinya
Setelah tiba di apartemen, aku segera menuju kamar Intan, berkali-kali memencet bel namun tidak juga ada yang membukakan pintu.Hingga terdengar suara serak laki-laki dari dalam sana. Tidak lama kemudian, laki-laki itu keluar dan membukakan pintu."Cari siapa, Mas?" dia bertanya. Aku sudah emosi, siapa dia?"Lo siapa?" aku berteriak marah, karena tidak mengenal laki-laki di depanku ini.Laki-laki itu terlihat bingung, tetapi tetap tenang. "Maaf, Mas. Saya tukang servis AC. Mbak Intan yang memanggil saya untuk memperbaiki AC-nya yang rusak."Aku tertegun sejenak, merasa malu dengan kemarahanku yang tidak pada tempatnya. "Oh, maaf. Saya tidak tahu," kataku, merasa bersalah."Tak apa, Mas. Silakan masuk. Mbak Intan ada di dalam," katanya sambil memberi jalan.Aku masuk ke dalam dan melihat Intan yang sedang berdiri di ruang tamu, tersenyum melihat kebingunganku."Sudah bertemu dengan Pak Anton, tukang servis AC?" tanya Intan dengan senyum menggoda.Aku menggaruk kepala yang tidak gatal.
“Itu apa? Hasil usg?” tanya Naura tiba-tiba. Dia tidak sengaja melihat hasil usg yang terletak di atas meja tidak jauh dari kasur.Intan panik bukan kepalang, buntu sebuntu-buntunya ingin menjawab apa.“Sayang!” aku memanggil Naura berulang-ulang namun juga tidak mendapatkan jawaban. Lalu tidak sengaja aku melihat separuh tubuhnya berada dikamar Intan. Sedang apa dia?“Kamu sudah pulang?” tanya Naura. Seketika dia melupakan tentang hasil usg itu. Z“Sudah, kamu masak apa?” tanyaku.“Naura gak masak, kita pesan online aja.”Aku mengangguk, lagipun aku bukan tipe suami yang patriaki, jika istri tidak mau masak yasudah, selama masih ada uang, semua lancar.“Mau kemana tan?” tanyaku kepada Intan, berlagak seolah tidak tahu menahu tentang apapun.“Besok kayanya aku pulang mas,” Jawab Intan cepat, dia sudah paham alur skenario rupanyaz“Loh, kenapa?” tanyaku lagi, sudah seperti tetangga kepo.“Iya, karena susah juga cari kerja disini,” Naura diam saja mendengarkan percakapan kami, sepertiny
[besok Intan gugurin kandungan]Aku mengusap wajah gusar, apa lagi yang akan terjadi setelah ini?"Bro, intan mau gugurin kandungan," ucapanku membuat dua sahabatku itu menghentikan aktivitas mereka."Kenapa?" tanya Reza bingung."Ya, sebenarnya kami ada masalah lah." "Menurut kalian gimana? Biarin aja?" tanyaku bingung."Jangan bego." jawab Dimas cepat."Lo sudah nikah kan? Sah di mata agama kan? Dosa jatohnya kalau lo gak mencegah Intan gugurin kandunga," jelas Dimas."Lagian, kenapa juga segala digugurin. Kaya pacaran aja," Reza terlihat bingung."Intan itu maunya tetap tinggal dirumah gue, terus mau gue akuin hubungan kami ke Naura, gue tentang lah, yakali. Makanya dia mau gugurin kandungan karena gue menolak itu." "Siapa suruh lo nikahin ani-ani," sanggah Dimas cepat.Aku sebenarnya ingin marah dengan perkataan Dimas barusan. Tapi benar juga. Aku bahkan bertemu Intan ditempat yang hina."Cewek begitu, kalau dicintai tulus ya banyak tingkah," sanggah Reza."Lagian ya, lo itu buk
Aku menatap Naura sebentar, kenapa dia tiba-tiba bertanya tentang itu."Hamil?" tanyaku."Iya, kaya Intan." jawab Naura singkat, padat, mengagetkan."Eh, kok Intan sih. Maksudnya kaya Maura," Naura meralat, menyebutkan nama salah satu teman kami. "Maura hamil?" tanyaku, sedikit lega."Iya, sudah empat bulan.""Gapapa sih kalau kamu hamil, Layla punya adek deh.""Mas, mas gak selingkuh kan?" tanya Naura serius.Aku terkekeh, "emang mas bisa selingkuh dari istri yang bentukanya secantik ini?" tanyaku sambil menggoda.Naura tersenyum kecut, "jadi mas gak selingkuh?" Aku menggeleng yakin. "Tentu saja tidak." aku menjawab mantap. Naura mengangguk-anggukan kepalanya.Setelah itu Naura keluar kamar, dia ingin mengangkat jemuran. Hari sudah sore. Ponselku berbunyi, sebuah pesan masuk dari Dimas, sahabat dekatku. Kami juga dulu selalu satu sekolah dari sekolah dasar sampai kuliah.[bro, malam ini sibuk gak? kumpul lah, dirumah Reza]Aku membalas pesan itu dengan cepat.[boleh, ngopi kita] ak