Nyali ku sedikit menciut menerima tatapan tajam dari Naura. Tidak seperti biasanya dia melayangkan tatapan seperti itu.
Dia memalingkan pandangannya dari diriku lalu bertanya, "Kalau Naura tidak mengizinkan?" "Gak bisa begitu dong. Mas kan kepala keluarga di sini, lagipula mas tidak ada niat macam-macam, hanya ingin membantu saja," ungkapku penuh penekanan. "Lalu, kenapa mas bertanya kepada Naura?" Naura menatapku lagi. "Mas hanya menjelaskan. Hanya ingin membalas budi kepada sahabat mas yang kebetulan dia adalah kakak dari Intan ini." "Terserah!" teriak Naura. Lalu Naura berlalu dari sana, meninggalkanku yang sedikit frustrasi. Aku menghela napas perlahan. Terserah jika dia marah, yang penting aku sudah membicarakan hal ini terlebih dahulu. Mau dia terima atau tidak, aku akan tetap membawa Intan ke rumah ini. **************** Aku duduk termenung di ruang kerjaku. Sebentar lagi waktunya untuk pulang. Hari ini Intan mulai tinggal bersamaku dan bersama Naura juga. Sebenarnya aku agak gugup takut jika terbongkar, tapi mau tidak mau. Ponselku berbunyi, sebuah pesan masuk dari Intan. Dia sudah siap, aku akan menjemputnya sebentar lagi. Sebelum aku berangkat menuju kediaman Intan, aku menelepon Naura terlebih dahulu. "Naura, kamu di rumah?" tanyaku padanya. "Iya, barusan sampai rumah." jawab Naura kemudian. "Adik temanku sore ini datang, kamu siapkan kamar tamu dan masakin yang enak," pesanku pada Naura. "Iya." hanya jawaban itu yang terdengar dari bibir istriku. "Mas, mohon jangan cemberut di depannya, mas gak enak sama sahabat jadinya jika nanti Intan mengadu," kembali ku tegaskan Naura agar bisa menerima Intan nantinya. Naura tidak menjawab apa pun, aku menutup panggilan. Agar dia bisa segera menyiapkan kamar untuk Intan. Aku segera berangkat menjemput Intan. Tidak memerlukan waktu lama untuk tiba di kediaman Intan. Ketika Intan sudah ada duduk di bangku mobil sebelahku, Intan tersenyum nakal menatapku. "Aku sudah siapkan obat tidur untuk istri, mas. Dengan begitu tiap malam kita bisa menikmati malam berdua," ucap Intan girang. Aku hanya tersenyum saja, sebenarnya aku sangat gugup dan sedikit waswas. Tidak beberapa lama akhirnya sampai juga di rumah. Aku menyeret koper Intan masuk ke dalam rumah. "Naura...Naura..." aku berteriak memanggil Naura. "Iya mas, sebentar," Naura menjawab dari arah dapur. Tak beberapa lama batang hidungnya muncul juga. "Naura, ini adik teman mas, yang mas ceritakan kemarin." Aku memperkenalkan Intan kepada Naura. "Intan..." Intan mengulurkan tangan, senyum manis menghiasi bibir sensual yang menjadi candu bagiku. "Naura," Naura menjawab datar, memegang sekilas tangan Intan. "Mas antarkan kamu ke kamar," ucapku sambil menarik koper Intan. Tidak sengaja aku melihat tatapan aneh dari Naura, tapi aku acuhkan saja. "Rumahnya besar ya, bagus," celetuk Intan sambil melihat ke kanan dan kiri. "Kamar Intan di mana, mas?" "Itu," tunjukku pada sebuah kamar yang akan ditempati Intan. Intan menatap pintu kamar itu lalu dia menatapku. "Kamar mas di mana?" Lalu aku menunjuk ke arah kamar ku dengan Naura. "Pasti lebih besar, gak apa-apa, nasib jadi simpanan," Intan menghela napas lalu beranjak menuju kamarnya. Mata Intan mengedar, langkah kaki membawanya ke jendela. Intan membuka jendela yang langsung menghadap ke taman kecil penuh bunga. "Suka berkebun juga istri mas?" Intan mengamati bunga-bunga di luar kamarnya. "Naura suka bunga, suka memasak, dan masakannya enak." Intan langsung mendelik melihatku, apa ada yang salah? "Puji aja terus..." bibir sensual istri keduaku itu manyun, terlihat begitu seksi. Aku mendorong pintu menggunakan kaki agar sedikit tertutup. "Mas bukan memuji, hanya bercerita," jelasku padanya sambil mencium singkat bibir Intan. "Sama saja," ucapnya, masih manyun. Tak tahan melihatnya, langsung ku bekap saja bibir itu dengan bagian yang sama. Tangan Intan langsung melingkar di leherku, menekan agar ciuman kami lebih panas. Hal itu membuatku semakin berhasrat kepada Intan. "Mas malam ini jatahku, obat tidur sudah Intan siapkan, malam ini mas milikku," ucap Intan penuh penekanan. Aku iyakan saja perkataan Intan, lalu bergegas keluar kamarnya, takut jika Naura curiga. Selepas mandi semua berkumpul di meja makan, bersiap menyantap hidangan lezat buatan Naura. Dirasa ada yang kurang, aku berdiri mengambil gelas, lalu mataku tertuju ke sebuah bak sampah. Banyak sekali sayur-sayuran hancur tak jelas, kenapa demikian? Tapi aku tepis rasa penasaranku lalu aku kembali duduk. Naura benar-benar menyiapkan makanan yang lezat. "Biar saya bantu ambilkan nasinya," Intan berniat mengambil piring milikku. "Mas mau apa?" tanya Naura kepadaku. Aku menunjuk ayam goreng, sop, dan sambal. Naura sajikan terpisah di mangkuk, aku memang tidak suka makan dicampur aduk. "Mbak Intan silakan ambil sendiri, atau mau saya layani sekalian?" tanya Naura melihat Intan yang bengong. "Aku ambil sendiri." jawab Intan kemudian. Tak ada pembicaraan saat kami makan, kami makan dengan keadaan hening. Setelah makan malam, seperti biasa Naura akan menemani Layla terlebih dahulu sampai Layla tidur. Aku seorang diri di kamar. Naura belum masuk ke kamar. Tidak lama kemudian pesan masuk dari istri keduaku. Dia mengirimkan gambar, foto tubuhnya dibalut gaun merah, memperlihatkan tubuh sintalnya. [Spesial untuk pertempuran panas malam ini] Dia sengaja menggodaku. Baru jam delapan malam, hasratku sudah sangat menggebu-gebu. Aku melirik minuman Naura di atas meja. Dia biasa menaruh air putih di atas nakas, sebuah rutinitas baginya meminum air putih sebelum tidur. Dengan cepat aku memasukkan obat tidur ke dalam gelasnya. Kembali ponselku berbunyi, sebuah pesan masuk. Dari Intan. [Mas perutku sakit, sakit banget, istri mas pasti masukin aneh-aneh ke makanan yang aku makan] Aku beranjak dari tempat tidur, berniat ingin ke kamar Intan namun aku urungkan karena Naura belum tidur. Sudah hampir jam sembilan tapi Naura belum masuk kamar juga. Aku bergegas menuju kamar Layla. "Sudah tidur?" tanyaku pelan. Naura mengangguk, turun dari kasur. Dia menempelkan telunjuknya di bibir lalu menuntunku keluar kamar, menutup pintu kamar dengan pelan. "Ada apa?" tanya Naura padaku, aku jarang mencarinya memang. "Nggak kok. Tumben belum masuk kamar," jawabku kemudian. "Layla minta aku ceritakan dongeng dulu tadi. Kenapa gak tidur duluan?" Aku belum sempat menjawab terdengar suara teriakan cukup kencang dari kamar Intan. Aku dan Naura bergegas menuju sumber suara itu.Sesampai di kamar Intan, aku melihat Intan tergeletak di lantai sambil memegangi perut nya. "Maaf apa punya obat sakit perut?" tanya Intan langsung ketika kami memasuki kamar nya. Bibir nya pucat pasi, tangan nya gemetar."Ada sih. Tapi racikan, mau?" Belum sempat Intan menjawab, Naura berlari ke kamar mengambil obat itu. Lalu Naura menyerahkan kepada Intan."Tapi obat ini racikan, apa mbak ada punya alergi?" tanya Naura."Bagi sebagian orang akan sedikit gatal-gatal," ucap Naura.Terlambat, Intan sudah menenggak obat tersebut."Ya...sudah mbak istirahat saja," ucap Naura."Ayo, mas." Naura menarik tangan ku.Sesampai di kamar, Naura masuk ke kamar mandi, dia mengganti pakaian seperti nya. Aku gusar, rencana ingin bercinta panas sirna. Tidak lama kemudian, Naura keluar menggunakan sebuah gaun tidur, tidak biasa. Dia terlihat sangat seksi.Aku yang sudah dipenuhi hawa nafsu, semakin terangsang melihat istri cantiku mengenakan baju itu. Tidak lama kemudian Naura berjalan ke ranjang,
Intan dan aku saling pandang, dengan gerakan tergesa-gesa kami melepaskan dekapan. Intan memungut pakaian nya yang terhambur di lantai. "Sembunyi sayang," ucapku gugup sambil merapikan pakaian, sementara itu Layla masih mengetok-ngetok cukup keras di depan pintu. Syukur nya aku mengunci pintu."Sembunyi dimana?" Tanya Intan panik bukan main, pasti saja jika ada Layla, maka ada Naura pula."Intan sembunyi di kamar mandi ya?" Intan berlari ke arah kamar mandi."Jangan! Pasti ketahuan." jawabku bingung."Disitu! Kamu masuk disitu!" Aku menunjuk sebuah lemari pakaian yang sudah tidak terpakai dan tidak mungkin sekali Naura membuka nya."Mas?" Intan melotot."Yang benar aja aku di suruh masuk lemari!" Intan seperti tidak terima."Ayah!" Suara Layla terdengar lagi, Intan mendengus sebal lalu masuk ke dalam lemari besar di pojok ruangan. Aku mengunci nya dari luar, jaga-jaga saja.Terdapat sedikit lobang di lemari itu, yang membuat Intan bisa mengintip keadaan di luar.Setelah ku pastikan s
Aku menarik napas perlahan, menetralisirkan perasaan gugup."Dari toilet." jawabku santai."Toilet kita rusak?" tanya Naura, matanya menatap pintu toilet yang ada di kamar kami.Aku panik bukan kepalang. Mencoba mencari alasan yang masuk akal."Sekalian ambil air minum." jawabku sambil berjalan menuju kasur.Naura menatap air minum yang ada di nakas. Aku paham maksud pikirannya, namun Naura tidak memperpanjang. Dia memilih kembali tidur dengan posisi membelakangi ku.Perasaanku sangat tidak nyaman. Apakah Naura tahu aku baru dari kamar Intan? Apa Naura tadi membuntutiku? Ah, memikirkannya semakin membuatku pusing. Perasaanku semakin tidak nyaman."Kamu terbangun?" aku mencoba bertanya kepada Naura. Dia tidak menjawab. Apakah dia sudah tidur?Aku memilih untuk diam. Pikiran di kepalaku semakin berkecamuk. Memikirkan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang tadi terjadi. Akibatnya aku tidak bisa tidur hingga pagi. Syukurnya besok aku tidak bekerja, sehingga bisa bangun lebih siang.Cahaya
"Kalian sudah berapa lama?" tanya Naura tanpa menatap kami."Kalian?" tanyaku memastikan."Iya, kamu dan Intan." jawab Naura datar."Kami tidak ada hubungan apa-apa, Mbak," jawab Intan gugup, wajahnya terlihat cukup pucat.Naura tertawa, seperti tawa yang dipaksakan."Iya, kalian sudah berapa lama mengenal? Kenapa jadi ke mana-mana jawabannya."Beberapa saat aku merutuki kebodohan jawaban Intan. Kami malah terlihat seperti ada apa-apa jika seperti ini. Aku juga bisa melihat Intan semakin gugup dibuatnya."Kami tidak terlalu kenal sebelumnya. Mas cuma mengenal kakak Intan, baru kali ini saja cukup banyak mengobrol. Biasanya setiap Mas ke rumah kakaknya, Intan di dalam kamar saja," aku menjelaskan dengan santai, agar terlihat tidak mencurigakan.Naura mengangguk-angguk saja."Naura kira sudah lama mengenal, karena kalian terlihat begitu tahu satu sama lain," jawab Naura ceplas-ceplos.Intan menggeleng cepat, gelengan yang patah-patah dan terkesan aneh."Tidak, Mbak, kami tidak begitu ak
Jantungku lagi-lagi rasanya berhenti. Wanita yang di depanku saat ini adalah Mika, sahabat karibnya Naura. Bisa-bisanya kami bertemu di saat seperti ini."Apa kabar, Mik?" aku berusaha sebisa mungkin untuk tidak terlihat gugup dan mencurigakan."Baik kok! Ini siapa?" tanya Mika bingung, menunjuk ke arah Intan."Ini saudara sepupuku, datang dari luar kota." jawabku cepat.Mika terlihat percaya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, "Kamu sudah jarang sekali main ke rumah, sibuk banget ya?" tanyaku kemudian.Mika menggeleng, perubahan ekspresi terlihat jelas dari wajahnya, "Aku kan bertengkar dengan Naura, kamu tidak tahu?"Aku cukup terkejut mendengar itu, kenapa Naura tidak pernah mengatakan apa pun kepadaku?"Panjang lah ceritanya, yang jelas sudah satu tahun kebelakang ini kami sudah tidak pernah lagi berhubungan," jelas Mika."Yasudah ya, Zain, aku sedang buru-buru, kapan-kapan kita mengobrol lagi."Aku mengangguk, lalu Mika berlalu, meninggalkan kami berdua. Aku menghela napas le
"Mas, itu CCTV ya?" pertanyaan Intan membuat keningku berkerut.Lalu aku melihat ke arah telunjuk Intan, mataku menyipit sempurna, memperhatikan benda itu. CCTV? Sejak kapan ada CCTV? Kami benar-benar tidak pernah memasang CCTV di kamar.Aku melepaskan pelukan kami dan berjalan dengan tergesa-gesa ke arah CCTV tersebut. Benar saja, itu adalah CCTV. Setelah aku periksa, CCTV itu menyala. Perasaanku campur aduk. Aku menggaruk kepala gusar dan tanpa berpikir panjang segera menarik tangan Intan untuk keluar kamar.“CCTV itu menyala,” aku duduk di sofa. Keningku berkerut, siapa lagi yang memasang itu jika bukan Naura? Dengan gerakan cepat, aku menelpon Naura.Tiga kali percobaan tidak ada jawaban, percobaan keempat baru mendapatkan jawaban.“Ada apa, Mas?” terdengar suara Naura dari seberang sana.“Sejak kapan kamar kita ada CCTV?” aku langsung memburu Naura dengan pertanyaan itu, tanpa basa-basi.“Sudah lama sih, jaga-jaga saja agar jika ada maling dia takut karena ada CCTV.” jawab Naura
Intan mengambil alat tes kehamilan yang sudah dia celupkan ke cairan urine."Apa hasilnya, Sayang?" aku bertanya, tidak sabar. Karena melihat Intan diam saja, tidak bergeming."Sayang?" aku kembali mendesak Intan yang masih saja diam sambil menatap alat itu."Mas, Intan hamil," jawab Intan. Dia terlihat syok dengan fakta itu. Dia menyerahkan alat tes kehamilan itu kepadaku. Garis dua, walau samar.Aku mengacak-acak rambut frustrasi."Tidak apa-apa kamu hamil, kita menikah secara sah, namun apa nanti kata Naura kalau tahu kamu hamil?""Terpaksa kamu harus pindah dari rumah ini," aku memberikan solusi yang masuk akal. Dengan Intan pindah rumah, akan lebih mempermudah bukan? Dia bisa dengan leluasa merawat dan membesarkan kandungannya tanpa harus sembunyi-sembunyi."Intan tidak mau pisah rumah sama Mas!" jawab Intan bersikukuh. Kepalaku pusing. Intan sangat keras kepala, ide-idenya sangat membahayakan dan terkesan egois kedengarannya."Akan susah, Sayang," jawabku lembut, sebisa mungkin
Aku diam saja, kembali duduk disofa. Persetan dengan Intan, aku harus memikirkan banyak hal sekarang."Mas, kenapa dia?" aku kaget, Naura berdiri didepan pintu, sejak kapan dia disana? Apa dia mendengar percakapanku barusan?“Sayang, kamu sudah pulang? Dimana Layla.” aku menjawab cepat, mengalihkan pembicaraan.“Layla ditempat temanya, aku titipkan tadi, dia tidak mau pulang. Intan kenapa?” tanya Naura bingung. Naura menatap koper yang tergeletak dilantai.“dia mau pulang, karena merasa tidak enak merepotkan tinggal disini,” aku bingung menjawab apa, habis sudah alasan yang ada dikepalaku ini. Naura diam saja, terlihat tidak mau tahu lebih lanjut. “Yasudah, Naura mau ganti baju dulu.” jawab Naura.Dia berlalu saja, tidak penasaran tentang apapun. Syukurlah. Aku mengambil koper Intan, meletakanya didepan pintu. Aku sedang tidak ingin membujuknya. Karena aku merasa tidak salah, harusnya suami dihormati bukan?Aku segera masuk kekamar. Suara air keran terdengar, Naura sedang mandi. Aku