Intan terbangun pada pagi yang cerah dengan perasaan mual yang mengganggu. Dia berusaha duduk tegak di atas tempat tidur, mencoba meredakan rasa mualnya.Aku yang sedang tertidur di sampingnya terbangun oleh gerakannya. "Ada apa, sayang?" tanyaku, khawatir melihat ekspresi wajahnya yang tidak enak.Intan menatapku dengan ekspresi campuran antara bahagia dan khawatir. "Aku rasa... Aku rasa mual pagi ini," ucapnya perlahan."Pakaiannya aku beli kemarin, coba lihat apakah ukurannya pas," ujarku sambil memberikan paket kecil yang berisi pakaian yang kupilih untuknya kemarin.Intan membuka paket itu dan melihat dengan penuh harap. "Oh, terima kasih, Mas. Aku akan mencobanya."Dia bangkit perlahan dan pergi ke kamar mandi untuk berganti pakaian. Aku bisa melihat kebahagiaan yang terpancar dari wajahnya saat dia kembali ke kamar dengan pakaian baru yang pas dan nyaman."Mungkin kita harus pergi ke dokter hari ini, untuk memastikan semuanya baik-baik saja," kataku, mencoba menenangkan hatinya
Setiba di apartemen, kami segera beristirahat. Namun, ponselku berdering, menunda aktivitasku. Aku melihat sebuah panggilan video masuk dari Layla. Dengan panik, aku berdiri dan keluar dari kamar, memberikan kode terlebih dahulu kepada Intan."Ayah!" panggil Layla ketika aku mengangkat panggilan itu."Ayah, itu di mana?" tanya Layla polos.Aku tersenyum, berusaha menyembunyikan kegugupan yang tiba-tiba menyerang. "Ayah lagi di tempat kerja, sayang. Ada yang ingin Layla ceritakan?""Ayah kapan pulang?Bunda bilang ayah lagi sibuk," kata Layla dengan nada sedikit kecewa.Hatiku mencelos mendengar pertanyaan itu. "Ayah akan pulang secepatnya, Layla. Ayah janji."Setelah beberapa menit berbicara dengan Layla dan memastikan dia baik-baik saja, aku menutup panggilan. Kepalaku penuh dengan perasaan bersalah dan kebingungan. Intan mendekat, menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan."Kamu tidak perlu pulang secepat itu," katanya dengan nada cemburu yang terselubung. "Mereka bisa menunggu.
Aku memijat pelipisku yang sedikit sakit. Setelah kejadian semalam aku langsung tertidur pulas, harusnya aku pulang tadi malam. Aku melihat disampingku Intan yang juga tengah tertidur, kelelahan.Tanganku bergerak mengambil ponsel di atas nakas. Ada sepuluh panggilan tidak terjawab dari Naura dan beberapa pesan.[mas, pulang jam berapa?][mas, kamu dimana? Jangan lupa besok ada acara loh disekolah Layla, pentas seni, kamu sudah janji bakal datang][mas, kamu gak jadi pulang malam ini?][mas, kata pak junaidi kamu gak ada di rombongan]Aku terduduk kaget, aku melupakan tentang pentas seni itu. Layla pasti akan marah. Aku melihat jam di dinding, menunjukan pukul tujuh pagi, masih ada waktu sekitar satu jam setengah. Aku bergegas mandi, membersihkan diriku. Sambil memikirkan alasan apa yang akan aku pakai. Setelah mandi aku melihat Intan sudah bangun dari tidur nya. Dia tersenyum kepadaku."Mas mau kemana?" tanya nya. Dia mengucek matanya, menetralisirkan pandangan."Mas pulang dulu ya?
Setelah menenangkan Layla aku segera menghampiri Naura yang ada di dapur.“Kamu tidur dimana semalam mas?” tanya Naura tiba-tiba. Matanya sembab, kenapa dia menangis?“Maafkan aku, Naura. Aku tertidur di kantor,” jawabku, mencoba terdengar setenang mungkin.Naura menatapku tajam, matanya menunjukkan keraguan. “Di kantor? Tapi Pak Junaidi bilang kamu gak ada di rombongan kemarin.”Aku terdiam sejenak, otakku berusaha mencari jawaban yang masuk akal. “Aku… ada keperluan mendadak di luar kantor. Makanya aku gak ikut rombongan.”Naura menghela napas panjang, tampak semakin curiga. “Keperluan mendadak apa, mas? Kenapa kamu gak bilang sama aku?”“Aku gak mau kamu khawatir. Lagipula, aku pikir aku bisa menyelesaikannya dengan cepat dan pulang tepat waktu, tapi ternyata terlambat.”Naura menggeleng pelan, air mata mulai menggenang di matanya. “Aku sudah capek dengan semua alasanmu, mas. Layla juga capek. Kami butuh kamu di sini, tapi kamu selalu ada alasan untuk tidak hadir.”Aku merasa bersa
Intan mengenakan kembali bajunya, satu persatu kancing baju dia pasang kembali. Lalu Intan bertanya, “Mas, kapan kamu mau menikahi aku? Aku gak mau hanya jadi bahan pemuas nafsu belaka,” ungkap Intan. Dia kembali menagih haknya setelah kami selesai menyalurkan hasrat di kos tempat Intan tinggal.Intan adalah seorang wanita yang tidak memiliki suami namun memiliki seorang anak. Kala itu pertama kali bertemu dengannya di sebuah tempat pijat refleksi yang menyediakan layanan pijat ++. Kebetulan sekali Intan yang melayaniku.Karena pelayanan Intan sangat memanjakan dan membuat hasratku terpenuhi, kami bertukar nomor WhatsApp. Tubuh Intan tidak terlalu tinggi, tapi dia memiliki tubuh yang seksi, rambut panjang sepinggang, dan bagian tubuh lainnya yang membuat pria mana saja tergoda.Sejak pertemuan pertama itu, sialnya aku jatuh cinta kepadanya, seolah ada getaran yang berbeda. Dengan posisiku sebagai kepala toko dealer dan wajah tampan, tentu tidak sulit bagiku untuk meniduri Intan.Apaka
Nyali ku sedikit menciut menerima tatapan tajam dari Naura. Tidak seperti biasanya dia melayangkan tatapan seperti itu.Dia memalingkan pandangannya dari diriku lalu bertanya, "Kalau Naura tidak mengizinkan?""Gak bisa begitu dong. Mas kan kepala keluarga di sini, lagipula mas tidak ada niat macam-macam, hanya ingin membantu saja," ungkapku penuh penekanan."Lalu, kenapa mas bertanya kepada Naura?" Naura menatapku lagi."Mas hanya menjelaskan. Hanya ingin membalas budi kepada sahabat mas yang kebetulan dia adalah kakak dari Intan ini.""Terserah!" teriak Naura. Lalu Naura berlalu dari sana, meninggalkanku yang sedikit frustrasi.Aku menghela napas perlahan. Terserah jika dia marah, yang penting aku sudah membicarakan hal ini terlebih dahulu. Mau dia terima atau tidak, aku akan tetap membawa Intan ke rumah ini.****************Aku duduk termenung di ruang kerjaku. Sebentar lagi waktunya untuk pulang. Hari ini Intan mulai tinggal bersamaku dan bersama Naura juga. Sebenarnya aku agak gu
Sesampai di kamar Intan, aku melihat Intan tergeletak di lantai sambil memegangi perut nya. "Maaf apa punya obat sakit perut?" tanya Intan langsung ketika kami memasuki kamar nya. Bibir nya pucat pasi, tangan nya gemetar."Ada sih. Tapi racikan, mau?" Belum sempat Intan menjawab, Naura berlari ke kamar mengambil obat itu. Lalu Naura menyerahkan kepada Intan."Tapi obat ini racikan, apa mbak ada punya alergi?" tanya Naura."Bagi sebagian orang akan sedikit gatal-gatal," ucap Naura.Terlambat, Intan sudah menenggak obat tersebut."Ya...sudah mbak istirahat saja," ucap Naura."Ayo, mas." Naura menarik tangan ku.Sesampai di kamar, Naura masuk ke kamar mandi, dia mengganti pakaian seperti nya. Aku gusar, rencana ingin bercinta panas sirna. Tidak lama kemudian, Naura keluar menggunakan sebuah gaun tidur, tidak biasa. Dia terlihat sangat seksi.Aku yang sudah dipenuhi hawa nafsu, semakin terangsang melihat istri cantiku mengenakan baju itu. Tidak lama kemudian Naura berjalan ke ranjang,
Intan dan aku saling pandang, dengan gerakan tergesa-gesa kami melepaskan dekapan. Intan memungut pakaian nya yang terhambur di lantai. "Sembunyi sayang," ucapku gugup sambil merapikan pakaian, sementara itu Layla masih mengetok-ngetok cukup keras di depan pintu. Syukur nya aku mengunci pintu."Sembunyi dimana?" Tanya Intan panik bukan main, pasti saja jika ada Layla, maka ada Naura pula."Intan sembunyi di kamar mandi ya?" Intan berlari ke arah kamar mandi."Jangan! Pasti ketahuan." jawabku bingung."Disitu! Kamu masuk disitu!" Aku menunjuk sebuah lemari pakaian yang sudah tidak terpakai dan tidak mungkin sekali Naura membuka nya."Mas?" Intan melotot."Yang benar aja aku di suruh masuk lemari!" Intan seperti tidak terima."Ayah!" Suara Layla terdengar lagi, Intan mendengus sebal lalu masuk ke dalam lemari besar di pojok ruangan. Aku mengunci nya dari luar, jaga-jaga saja.Terdapat sedikit lobang di lemari itu, yang membuat Intan bisa mengintip keadaan di luar.Setelah ku pastikan s