Karel seketika terdiam. Dia memandang Lara yang menatapnya dengan matanya yang berair."Lara," ucapnya dengan suara yang gemetar."Aku ...." Dia tertahan hanya pada satu kata, mengindari mata Lara dengan menunduk dan menggertakkan rahangnya."Kamu tidak perlu menjelaskan apapun, Karel. Aku cukup tahu saja kalau kamu tidak ada bedanya dengan manusia lainnya. Aku harus sadar kalau kamu juga tidak sempurna. Aku harus sadar kalau rasa hormatku yang aku berikan padamu selama ini ternyata tidak ada artinya."Lara menyeka air matanya. Rasanya terus berjatuhan padahal Lara sudah menahannya sekuat tenaga."Padahal selama ini aku mengagumimu, Karel. Rasa hormatku padamu tidak pernah berubah sampai hari ini karena aku tahu kalau kamu berperan besar dalam hidupku. Aku tidak akan memungkiri itu. ...."Apa kamu menyimpan sakit hati padaku? Sampai kamu memilih untuk hanya menjadi penonton saat melihat ada orang yang sekarat di depanmu. Apa kalau yang terlibat kecelakaan saat itu bukan Alex kamu aka
“Pergilah, Karel! Aku tidak perlu memberi tahumu apa alasannya, ‘kan? Karena kamu sudah mengetahui sendiri. Bagimana perasaan kami sekarang ini, bagaimana cara kami memandangmu, kamu tahu itu.”Kalimat Ibra mengakhiri kediaman Karel yang selama beberapa saat menjadi maskot di antara mereka yang berdiri di depan jendela ruang ICU.Karel memandang Ibra yang merotasikan matanya dengan malas, menghidarinya sedangkan Lara sama sekali tidak mau melihatnya.Karel undur diri dari hadapannya dan berjalan meninggalkan mereka. Dengan langkah kaki yang tersandung gamang, dia sadar telah kehilangan kepercayaan dari semua orang. Terutama dari Lara.Sakit?Ya ... rasanya sangat sakit sekali sampai dia tak bisa mengatakan apapun.Mungkin, lebih sakit dari cintanya yang tidak mendapatan balasan, lebih sakit dari cintanya yang bertepuk sebelah tangan. Karena ... cinta yang bertepuk sebelah tangan itu, Karel masih bisa menjangkau Lara. Masih bisa betergur sapa dengannya, masih bisa melihat senyumnya s
Karel harap itu hanya sebuah bercandaan. Tapi senyum putus asa Pramita menjawab lebih banyak dari apa yang dia pikirkan.“GILA KAMU! SUDAH GILA!”Karel menunjuk Pramita dengan emosi yang bergejolak di dalam dadanya.Dia berlari pergi dari sana tetapi Pramita menghalanginya dengan cepat.Pramita memeluknya dari belakang dan dengan isak tangis mengatakan,“Kamu tidak akan berhasil mencegahnya, Karel. Tinggallah di sini lebih lama denganku!”“LEPAS!”Karel memberontak lepas dari Pramita. Dia masuk ke dalam mobilnya. Memastikan apakah memang Pramita mengatakan kebenaran ataukah hanya sebatas ancaman.“Kamu tidak akan berhasil, Karel. Kado ulang tahun Lara adalah hari yang tidak akan pernah dia rayakan ke depannya. Dia dapat kado kematian suaminya, kematian Alex!”Karel tidak peduli. Dia memacu mobilnya untuk menuju jalan seruni nomor tiga kosong lima.Dia melihat melalui kaca spion di atasnya, Pramita mengikutinya di belakang. Menyetir seperti orang yang kesetanan demi mengejar Karel.Jal
Lara meradang hatinya melihat anak lelakinya seperti ini. Neo itu tidak lebih seperti Alex. Dia tidak pandai menunjukkan perasaannya tapi dia adalah seorang pemikir. Pikirannya berjalan jauh lebih cepat daripada kekuatan batinnya. Sehingga saat beban pikirannya bertambah semakin besar, tubuhnya yang kalah. Dia limbung dan jatuh sakit.Lara menunjukkan senyumnya saat dia ikut duduk di ranjang Neo. Mencegah anak lelakinya itu untuk bangun. Mengusap lembut rambut hitamnya agar dia sabar menunggu jawaban Lara.“Doakan saja, Neo. Papa sedang berjuang untuk kembali pada kita sekarang. Neo tidak perlu khawatir dengan yang Neo lihat tadi di televisi karena itu adalah gambaran hari kemarin. Yang terjadi sekarang setidaknya papa jauh lebih baik.”“Tapi Neo betulan tidak ingin kehilangan papa, Mama.”“Tentu tidak, Sayangku. Neo tahu kalau kekuatan doa itu besar, ‘kan? Dulu Neo selalu mendengar adik Shen berdoa agar papa cepat kembali selama papa tersesat. Lalu pada suatu hari, adik Shen akhirnya
‘Dia tidak mungkin mati begitu saja. Dia pasti berada di suatu tempat.’Setidaknya begitu yang dipikirkan oleh Karel semakin dia mencerna apa yang tadi dikatakan oleh Eza.Karel tidak tahu ke mana perginya. Caranya mencari informasi seseorang memiliki keterbatasan. Tidak sama dengan Alex yang bisa mengetahui apapun yang dia mau dengan hanya menjentikkan jarinya pada Ibrani.Karel menghela napasnya. Dia benar-benar tidak tahan dengan perempuan itu. Hal bodoh yang dia lakukan pertama adalah ....Dia pergi meninggalkan Alex. Bersikap menjadi pecundang. Dengan tidak melakukan apapun. Padahal Karel adalah seorang dokter. Bagaimana dia melakukan hal seperti itu?Setidaknya, jika dia meninggalkan Alex begitu saja, harusnya dia bisa menangkap Pramita—meski itu juga tidak akan mengubah apapun.‘Tapi aku juga malah melepasnya dan tidak tahu kemana perginya dia.’Karel membatin dengan kesal. Menjatuhkan keningnya di atas setir bundar.Memilih untuk berhenti di tepi jalan. Memaksa kepalanya untu
Lara kebetulan berada di sana?Tidak! Itu bukan sebuah kebetulan karena pada kenyataannya Sanha lah yang memberi tahu Lara di mana keberadaan Pramita. Lewat Ibrani, lelaki itu mengaku dia tahu di mana keberadaan Pramita.Beberapa saat sebelum Lara menampar Pramita.....Kembali sedikit jauh ke belakang. Ini adalah hari di mana Pramita berselisih paham dengan Sanha. Hari di mana Alex mengalami kecelakaan fatal dan merenggut nyawa Ron.Hari itu, Sanha baru saja mendengar apa yang dikatakan oleh Pramita di halaman rumahnya.“Kamu ikuti ke mana Alex pergi! Kabarkan pada lelaki bernama Joe itu! Jadi timingnya akan bisa pas. Alex selalu melewati Jalan Seruni untuk menuju ke rumahnya karena itu adalah jalan terakhir sebelum sampai ke komplek perumahan dia tinggal.”“Kenapa aku harus mengikuti Alex? Apa yang kamu rencanakan, Pramita?” tanya Sahna sungguh-sungguh.Menatap pada kedua mata Pramita yang sudah diselubungi oleh kebencian.“Membunuh Alex, apa lagi memangnya?”“Ini sudah terlalu jau
Lara menahan air matanya saat dia melayangkan tangannya ke rahang perempuan itu dengan sekuat tenaga yang dia punya.Hingga Pramita limbung ke paving halaman yang ada di depan King's Queen dengan keadaan sudut bibir yang berdarah.Dari sudut pandang Sanha, dia memang menceritakan sebuah kebenaran.Lara memang datang ke sini dimulai dari saat dia ada di rumahnya, baru saja mengantar tidur Shenina dan Neo yang sudah sembuh dari demamnya.Lara masih ingat Ibra menghubunginya dan kurang lebih dia mengucapkan,'Kamu mau ikut denganku, Lara? Aku menemukan perempuan itu. Si Pramita.'Tanpa banyak alasan, tentu saja Lara mengiyakannya.Dia menitipkan anak-anak pada Laras, ibunya yang memang dia minta untuk menginap di sana.Dia bertemu dengan Ibra yang menjemputnya di halaman.Tadinya, Lara juga memiliki kekhawatiran seperti yang disampaikan oleh Ibra.Apa di sana akan ada jebakan yang dilakukan oleh lelaki bernama Sanha si bodyguardnya Pramita itu?Tapi Ibra tidak sebodoh yang Lara kira kare
“Saudari Pramita Helena Malik, anda juga kami tahan karena terlibat dalam dugaan kasus pembunuhan berencana yang merenggut satu nyawa.”Pramita bisa mendengar hal itu.Tapi sungguh dia tidak peduli sekarang karena semuanya telah terlambat. Semuanya telah ada di garis akhir, yang tidak akan bisa dia perbaiki, sama sekali.Dia melihat Sanha yang ada di sampng pintu mobil polisi yang parkir di sekitar King’s Queen.Klub malam itu juga kena sidak karena Pramita ditangkap di sini.Kedua tangannya diborgol dan dia dibawa petugas tanpa perlawaban. Tubuhnya kebas sekujur badan saat dia tiba di samping Sanha yang memandangnya selama beberapa detik sebelum menunduk seraya berujar,“Seandainya kamu menurut untuk tidak melanjutkan dendam irasional-mu itu, kita tidak akan pernah berakhir seperti ini. Kita mungkin dalam kesulitan soal materi, tapi tidak dengan tidur di tahanan seperti ini, Pramita.”“Sanha ....”Sanha tidak menjawabnya, dia memilih untuk masuk ke dalam mobil tahanan.Dia ikut dihuk