Daffa menoleh pada Julies. “Sudah hampir dua bulan Daiva dan Cheryl menikah. Tapi, sampai sekarang mereka belum juga pamer soal kehamilan.”Julies mengerutkan keningnya. “Jadi … Cheryl belum hamil, sampai sekarang?”Daffa menggeleng kemudian tersenyum miring. “Cheryl punya rahasia yang disembunyikan dari Daiva dan keluarganya.”“Rahasia apa?” Julies kembali bertanya. Benar-benar penasaran dengan rahasia yang disembunyikan Cheryl.“Kok kamu bisa tahu, kalau Cheryl punya rahasia? Rahasianya, dia nggak bisa punya anak?” tanya Julies kembali.Daffa mengangguk. “Nanti, dia bakal tuduh Daiva kalau Daiva-lah yang nggak bisa dia kasih keturunan. Padahal, Daiva udah berhasil buat Dara hamil.“Anak ini akan jadi senjata untuk Daiva dan Cheryl agar berhenti mengganggu perusahaan Papa. Mereka berdua akan tahu akibatnya.“Daiva akan dipecat jadi menantu, kemudian Cheryl akan digunjing habis-habisan oleh orang tuanya karena sudah berani menuduh Daiva tidak bisa menghasilkan anak.“Sekali lagi aku l
Perempuan itu menatap sayu sang suami. “Mas? Kenapa ada di sini?”“Kening kamu terbentur trotoar. Sampai pingsan dan berdarah. Dijahit, tiga jahitan.” Daffa menjelaskan kronologi kenapa Dara berada di rumah sakit.Ia baru ingat. Pikirannya langsung tertuju pada janin di perutnya. Lalu mengusapnya dengan cepat.“Mas … dia baik-baik aja, kan?” tanyanya dengan panik.Daffa mengangguk. Lalu mengusap sisian wajah Dara. “Dia baik-baik aja. Karena kamu melindunginya. Tangan kamu yang tergores. Tapi, hanya sedikit.”Dara melihat punggung telapak tangannya. “Syukurlah dia baik-baik aja.” Dara menoleh pada Daffa. “Kenapa Mas bisa tahu, saya ada di sana? Mas nyariin saya?”“Ada alasan lain, selain aku lagi nyari kamu? Kenapa sih, sering banget kabur kalau ada masalah? Kenapa nggak pernah mau dengarkan penjelasan aku dulu.”Dara menunduk. Takut pada Daffa yang dirasa tengah memarahinya.“Jangan nunduk. Aku lagi ngomong. Lihat aku dan dengarkan ucapanku!” kata Daffa dengan tegas.“Et dah si Daffa.
Julies terhenyak. Sementara Fahri menoleh ke arah Daffa. Lalu mengulas senyumnya dengan lebar."Hati manusia selalu berubah-ubah, Daff. Gue ngomong kayak gitu karena gue masih cinta. Kayak elo gitu deh. Lama-lama terbiasa dengan nggak adanya orang yang dulu kita cinta."Untung saja, Fahri pandai bertutur kata. Sehingga saat mengungkapkan pernyataan tadi, Fahri tampak santai dan serius. Daffa mengangguk paham. Karena dia pun pernah berada di posisi Fahri.Ditinggal pergi begitu saja tanpa alasan jelas. Hanya saja, Daranya Fahri meninggal karena kecelakaan beruntun. Sementara Julies, pergi berobat ke luar negeri."Dara. Jangan pergi lagi hanya karena merasa bersalah. Kamu nggak salah, ingat itu! Semua sudah ketentuan Tuhan. Posisi kita sama kok. Menikah dengan orang yang bukan menyentuh kita untuk pertama kalinya."Julies kembali berbicara. Agar Dara mau mendengarkan, agar jangan pergi lagi dari hidup Daffa.Dia tahu betul bagaimana perasaan Daffa karena kehilangan Dara. Di hati Daffa h
Dara menunduk. Tak mampu menatap mata Daffa yang menatapnya dengan lekat. Dara tahu arti dari tatapan itu. Tatapan ingin menerkamnya.Daffa pun mengadahkan wajah Dara. "Look at me! Jangan berpikir aku orang asing, Dara. Aku suamimu. Kenapa terus seperti ini, seolah kita ini tidak saling mengenal."Dara mengulas senyum tipis. "Maaf, Mas. Tapi, jangan melihat saya seperti itu. Saya jadi takut."Daffa terkekeh mendengar ucapan jujur Dara. "Okay. Aku tidak akan menatapmu seperti tadi. Kamu malu, sebenarnya. Dilihat Fahri dan Julies."Kemudian Daffa menoleh ke arah Julies dan Fahri. Tengah menatapnya dengan mulut sedikit terbuka."Kenapa?" tanya Daffa pada Julies. Perempuan itu selalu menjadi pusat perhatian sebab tingkahnya yang lucu.Julies pun menutup mulutnya kembali. Lalu menggaruk pelipisnya karena salah tingkah."Ri. Kita pulang aja, yuk! Dara udah boleh pulang," ucap Julies mencari topik.Fahri mengangguk. Lalu beranjak dari duduknya. Mengh
Setelah mendapat persetujuan dari Dara, pria itu kembali meraup bibir Dara. Memegang kedua bahu Dara dengan bibir menyatu sempurna.Deru napas yang diembuskan Dara menyatu dengan napas yang dikeluarkan Daffa. Berirama, saling memberikan kenikmatan.Detik berikutnya, Daffa membuka seluruh pakaian yang dikenakan Dara. Pun dengan dirinya. Hingga kedua insan itu sudah dalam kondisi polos.Membaringkan tubuh Dara di atas tempat tidur. Menyelinap masuk di ceruk leher Dara hingga membuat perempuan itu mengadahkan wajahnya.Membiarkan Daffa menjelajahi setiap inci tubuh Dara. Membiarkan Daffa menyalurkan hasrat yang selama ini ia tahan.“Eeumm!” lirih Dara kemudian.Daffa menyeringai kecil. Lalu mengecup kening sang istri. Mulai menyatukan dirinya di bawah sana. Dara sudah merasakan benda asing itu masuk sempurna di bawah sana.Terasa penuh Dara rasakan. Hingga membuatnya memejamkan matanya. Daffa mulai melajukan temponya dengan sedang.Agar Dara tidak tersiksa dengan miliknya yang mungkin te
Tak lama, mereka sampai di kafe. Dara turun lebih dulu, meninggalkan Daffa yang masih di dalam mobil, menggeleng-geleng melihat tingkahnya. "Untung sayang... Kalau enggak... Bisa repot aku," batinnya.Saat masuk kafe, Dara melihat Fahri di pojokan, tengah serius menatap layar laptopnya. Dengan riang, dia menyapa, "Selamat siang, Mas Fahri."Fahri menoleh dan tersenyum kecil. "Siang. Sama siapa ke sini?"Dara melirik ke belakang, memastikan Daffa masih di luar. "Sama Mas Daffa, disuruh ikut. Katanya takut ada Daiva datang ke rumah lagi."Fahri terkekeh pelan. "Oh. Bukan karena takut kamu kabur lagi?"Dara mendengus sambil mengerucutkan bibir, duduk di sofa di sebelah Fahri. Kafe itu masih sepi, membuat percakapan mereka lebih intim. Setelah lima menit berdiam, Dara bertanya, "Mbak Julies nggak ke sini, Mas?"Fahri tersenyum tipis. "Nggak. Lagi istirahat. Udah aku chat sih, tapi belum dibalas. Mungkin masih tidur."Dara mengangguk paham, lalu tersenyum hangat. "Good luck ya, Mas. Semoga
Dara menyelesaikan makan siangnya dengan semangat, lalu menoleh ke arah Daffa yang masih fokus pada layar laptopnya. Ia pun memanggil dengan nada manja."Mas?""Heuum. Kenapa, Sayang?" jawab Daffa tanpa mengalihkan pandangannya."Mbak Julies ajak saya keluar. Boleh, ya? Kan sama Mbak Julies, bukan sama orang lain. Boleh ya, Mas?" Dara mengedipkan matanya, memasang ekspresi rayuan yang memelas, berharap Daffa tak menolak.Daffa melepas kacamata dan menatap istrinya, mendesah kecil seolah tahu betul apa yang sedang Dara lakukan. Ia melirik jam di pergelangan tangannya, lalu mengangguk perlahan. "Jangan lama-lama. Jam lima sore udah ke sini lagi."Dara tersenyum antusias. "Oke, Mas! Tapi, habis pulang main sama Mbak Julies, langsung pulang ke rumah, kan?"Daffa mengangguk tenang. "Ya, Mama sama Papa mau ke rumah nanti malam.""Oh, begitu. Kalau begitu, saya pamit dulu, ya!" Dara melambaikan tangan dengan ceria, lalu berjalan keluar ruangan.Daffa mendengar langkahnya menjauh sebelum ia m
Julies bangkit berdiri, tubuhnya tegap dan tatapannya menusuk. "Maksud lo apa sih, bohongin gue soal Daffa yang lo bilang masih nungguin gue? Jelas-jelas dia udah nikah sama Dara. Bener-bener, nggak becus jadi kakak ipar."Cheryl tertawa sinis, mengibaskan rambutnya dengan gerakan lambat yang menantang. "Karena Daffa udah khianatin lo, Juls. Lo tahu kan? Dia perkosa pembantunya sendiri sampai hamil."Dara tercekat, dengan cepat menoleh ke arah Cheryl, marah dan kaget bercampur jadi satu. Cheryl hanya memutarbalikkan fakta, menutupi kebusukan dirinya sendiri. Benar-benar tanpa nurani! batin Dara, hanya bisa berteriak dalam hatinya.Julies mendengus kecil, menahan marah. "Oh ya? Bagus dong. Biar cepet punya anak, bahagia jadi keluarga sakinah, mawadah, warahmah. Kalah duluan sama adiknya sendiri," balas Julies dengan senyum tipis penuh sindiran yang mengena langsung ke kelemahan Cheryl.Seketika itu juga, wajah Cheryl berubah. Senyum sinisnya hilang, berganti dengan ekspresi geram dan d