Julies terhenyak. Sementara Fahri menoleh ke arah Daffa. Lalu mengulas senyumnya dengan lebar."Hati manusia selalu berubah-ubah, Daff. Gue ngomong kayak gitu karena gue masih cinta. Kayak elo gitu deh. Lama-lama terbiasa dengan nggak adanya orang yang dulu kita cinta."Untung saja, Fahri pandai bertutur kata. Sehingga saat mengungkapkan pernyataan tadi, Fahri tampak santai dan serius. Daffa mengangguk paham. Karena dia pun pernah berada di posisi Fahri.Ditinggal pergi begitu saja tanpa alasan jelas. Hanya saja, Daranya Fahri meninggal karena kecelakaan beruntun. Sementara Julies, pergi berobat ke luar negeri."Dara. Jangan pergi lagi hanya karena merasa bersalah. Kamu nggak salah, ingat itu! Semua sudah ketentuan Tuhan. Posisi kita sama kok. Menikah dengan orang yang bukan menyentuh kita untuk pertama kalinya."Julies kembali berbicara. Agar Dara mau mendengarkan, agar jangan pergi lagi dari hidup Daffa.Dia tahu betul bagaimana perasaan Daffa karena kehilangan Dara. Di hati Daffa h
Dara menunduk. Tak mampu menatap mata Daffa yang menatapnya dengan lekat. Dara tahu arti dari tatapan itu. Tatapan ingin menerkamnya.Daffa pun mengadahkan wajah Dara. "Look at me! Jangan berpikir aku orang asing, Dara. Aku suamimu. Kenapa terus seperti ini, seolah kita ini tidak saling mengenal."Dara mengulas senyum tipis. "Maaf, Mas. Tapi, jangan melihat saya seperti itu. Saya jadi takut."Daffa terkekeh mendengar ucapan jujur Dara. "Okay. Aku tidak akan menatapmu seperti tadi. Kamu malu, sebenarnya. Dilihat Fahri dan Julies."Kemudian Daffa menoleh ke arah Julies dan Fahri. Tengah menatapnya dengan mulut sedikit terbuka."Kenapa?" tanya Daffa pada Julies. Perempuan itu selalu menjadi pusat perhatian sebab tingkahnya yang lucu.Julies pun menutup mulutnya kembali. Lalu menggaruk pelipisnya karena salah tingkah."Ri. Kita pulang aja, yuk! Dara udah boleh pulang," ucap Julies mencari topik.Fahri mengangguk. Lalu beranjak dari duduknya. Mengh
Klek!Pintu kamar itu terkuak, membiarkan bayangan sang empunya memasuki ruangan. Dara, yang sedang asyik dengan pekerjaannya, membalikkan tubuhnya dan terkejut, sepasang matanya membulat. Di ambang pintu, seorang pria berdiri dengan senyum menyeringai, seperti seekor serigala yang baru saja menemukan mangsa barunya. Mata Daiva berbinar penuh nafsu ketika melihat Dara yang cantik berada di dalam kamar pribadinya.Dengan langkah gontai, akibat mabuk yang masih mengguncang tubuhnya, Daiva menghampiri Dara yang berdiri mematung di samping ranjang king size. Udara di sekitarnya terasa semakin mencekam."Ma-maaf Tuan. Sa-saya hanya membersihkan kamar Tuan," ucap Dara terbata-bata, suaranya bergetar menahan rasa takut yang menjalari setiap inci tubuhnya.Pria itu semakin mendekat, menghidu aroma tubuh Dara dengan napas yang memburu. Senyumannya kian melebar, bak iblis yang puas melihat mangsanya tak berdaya."Wangi tubuhmu begitu memikat. What’s your name?" tanya Daiva dengan suara berat,
Pagi hari telah tiba. Mata Dara membuka dengan pelan, mengedarkan pandangannya ke sekitar. Tubuhnya masih lemas, namun ia tahu bahwa ia harus segera keluar dari rumah itu. "Sial! Kenapa aku ada di kamar neraka ini lagi?" ucapnya lirih, hampir seperti bisikan pada dirinya sendiri. Daffa terbangun, terbangkit dari tidur di sofa. Tangisan Dara yang mulai pecah kembali telah mengusik tidurnya. Segera pria itu menghampiri Dara, menjaga jarak agar tidak membuat Dara salah paham. "Hei! Sudah bangun?" tanyanya dengan lembut, nada suaranya penuh perhatian. Dara mengangkat wajahnya dengan cepat, matanya terbelalak ketakutan. Dengan sigap, ia menutup tubuhnya dengan kedua tangannya, trauma yang mendalam pada seorang pria sudah pasti ia rasakan. "Siapa kamu? Jangan sentuh saya!" ucapnya penuh ketakutan, tubuhnya gemetar. "Jangan takut. Aku bukan Daiva. Aku Daffa. Apa yang sudah kakakku lakukan padamu? Dan... kamu siapa?" tanya Daffa dengan suara selembut mungkin, berusaha menenangkan Dara.
Melawati menoleh pada anak bungsunya itu. "Oh. Lagi beresin kamar kamu. Memang sangat rajin Dara itu. Sudah cantik, polos, rajin, dan penurut. Mau nggak, Daffa?"Melawati tiba-tiba menawarkan Dara padanya. Apa maksudnya? Sedangkan Daffa memang akan bertanggung jawab atas apa yang dilakukan Daiva pada Dara."Tapi, Ma. Bagaimana bisa Mama menawarkan Dara padaku?" tanya Daffa dengan pelan.Melawati mengembuskan napasnya dengan panjang. "Daiva sebentar lagi akan menikah. Kamu ... sebentar lagi lulus S-3. Mama ingin anak-anak Mama menikah, Daffa.""Hanya itu?"Melawati menoleh kembali pada Daffa. "Lalu ... maunya apa lagi, Daffa? Suka nggak, sama Dara? Mama nggak peduli dengan latar belakangnya, Daf. Mama tahu, dia berasal dari keluarga tidak mampu. Tapi, sepertinya anak itu cocok untuk kamu."Daffa mengerutkan keningnya. Melawati menjodohkannya dengan Dara. Lalu, bagaimana jika Dara hamil anak Daiva?"Ma ... Dara.""Yaa. Dara kenapa, Daf? Bukan selera kamu? Lalu, kamu mau cari yang sepert
Mendengar itu, Daiva lantas menoleh cepat ke arah mamanya. Sementara Daffa hanya tersenyum miring. Lalu Daiva menoleh pada Daffa. 'Tampaknya Daffa tahu, aku yang sudah melakukan itu pada Dara. Hhhh. Kena kamu, Daffa!' ucapnya dalam hati. "Bukankah tadi kamu keluar dari kamar Daffa?" tanya Daiva dengan santainya. Semua orang yang ada di sana lantas menoleh pada Daiva. Daffa mengerutkan keningnya. Licik. Kata yang pantas untuk Daffa dan Dara ucapkan pada pria berhati iblis itu. "Apa! Daffa! Apa yang kamu lakukan, huh? Jangan mentang-mentang Mama ingin kamu menikah dengan gadis ini, dengan seenaknya kamu melakukan itu pada Dara!" teriak Melawati. Perempuan itu sedang naik pitam. Marah karena anak kesayangannya itu sudah melakukan hal yang tak terduga. Padahal, bukan dia pelakunya. "Daiva! Kenapa lempar batu sembunyi tangan? Elo yang udah perkosa Dara. Bukan gue! Biadab!" pekik Daffa. Tak terima dengan ucapan Daiva yang sudah memfitnahnya. Daiva melipat tangan di dada. "Ada bukti?
Dara tertunduk. Tak mampu menatap Melawati, takut akan ancaman Daiva yang terus-menerus bilang akan membunuhnya jika Melawati sampai tahu bahwa dialah yang sudah memperkosanya."Dara. Kalau memang Daffa yang sudah menodai kamu, saya akan menikahkan kamu dengannya setelah Daiva menikah," kata Melawati menegaskan kembali.Dara kemudian mengangkat wajahnya. "Jangan, Bu. Mas Daffa tidak perlu tanggung jawab. Dia tidak bersalah. Ini salah saya. Saya yang sudah menggodanya. Sekali lagi saya minta maaf."Daripada Daffa dipaksa menikah oleh Melawati, lebih baik Dara berbohong agar pernikahannya dengan Daffa tidak terjadi. Bukan hanya karena Daffa tidak bersalah, tapi karena bukan Daffa yang sudah melakukan itu padanya."Haaah! Lalu, kenapa kamu bilang kalau kamu diperkosa, Dara?" tanya Melawati dengan kecurigaan.Dara menelan salivanya dengan susah payah. Ia ragu menatap Melawati, mencoba mencari cara agar dirinya diusir saja dari rumah itu."Ma-maafkan saya, Bu. Saat itu saya bingung harus j
Malam hari tiba. Waktu menunjuk angka sembilan tepat. Ia pun bergegas masuk ke dalam kamarnya sebelum Daiva pulang lalu memakainya kembali. Daiva benar-benar melakukan ini setiap malam pada Dara. Hingga membuat perempuan itu lelah tak berdaya. "Semoga pria itu tidak pulang malam ini. Tubuhku sudah rontok karena dia sentuh setiap hari. Aku ingin istirahat. Jangan hadirkan dia di malam ini, Tuhan." Dara membuang napasnya dengan panjang. Kemudian membaringkan tubuhnya di atas kasur mini itu. Ditatapnya kembali tes pack yang tadi siang ia gunakan untuk memeriksa apakah dia hamil atau tidak. Ternyata, dua garis terpampang nyata di sana. Membuat Dara rasanya ingin menyudahi saja hidupnya. "Ke mana aku harus pergi? Bahkan, lari dari rumah ini saja aku tidak tahu caranya bagaimana. Juga, ke mana aku harus bersembunyi dari semua orang di rumah ini. "Aku harus pergi ke mana supaya mereka tidak dapat menemuiku. Mana mungkin aku pulang ke kampung halamanku. Yang ada, mereka akan membully ha