Waktu telah menunjukkan pukul tujuh malam. Di tengah keremangan ruang tamu yang hangat oleh cahaya lampu, Melawati duduk di sebelah Dara, menantunya yang kini tengah mengandung lima bulan.Ia memeluk Dara erat-erat, merasakan debar lembut yang terpancar dari tubuh perempuan muda itu, kemudian mengusap perlahan perutnya dengan tangan penuh kasih.“Jangan menghilang lagi, ya, Nak. Mama mohon, tolong…” lirih Melawati, suaranya menggurat kekhawatiran yang dalam. Tatapannya penuh harap, dan di ujung matanya tampak kekhawatiran yang tak bisa disembunyikan.Dara terdiam sejenak, hatinya bergolak antara rasa bersalah dan terima kasih atas kasih sayang yang tulus dari mertuanya.Menghilangnya Dara memang telah membuat orang-orang di rumah ini khawatir, terutama Melawati. Ia menunduk, menghela napas, lalu mengangguk pelan.“Maafkan saya, Ma. Saya janji, tidak akan menghilang lagi,” ujar Dara tulus, suaranya bergetar. Ia berhara
Daffa menarik napas panjang, menatap Dara dengan sorot yang dalam sebelum menuntunnya perlahan ke kamar. Sesampainya di dalam, ia meminta Dara duduk di tepi tempat tidur.Sementara Daffa berjalan menuju laci di samping tempat tidur dan mengeluarkan ponsel lain yang selama ini tak pernah ia tunjukkan pada Dara.Dara menatap ponsel itu, sedikit terkejut karena baru sadar bahwa suaminya ternyata menyimpan dua ponsel. Ia sempat ingin bertanya, namun rasa takut dan kepercayaan yang ia miliki membuatnya memilih diam."Semua rahasia tentang Cheryl ada di ponsel ini," ucap Daffa tenang, mengusap layar ponselnya hingga menemukan video yang ingin ia tunjukkan pada Dara.Daffa menyodorkan ponsel itu, memperlihatkan video yang menampilkan Cheryl di dalam ruangan rumah sakit, berbincang dengan seorang dokter kandungan. Di video itu, suara dokter terdengar jelas.“Kami sudah memeriksa kondisi Anda dan hasilnya sudah keluar tiga hari yang lalu. Tingkat kesuburan calon suami Anda sangat baik, sangat
Lima belas menit kemudian, setelah sarapan, mereka bergegas menuju rumah sakit. Dara tampak bersemangat ingin mengetahui perkembangan buah hati mereka yang telah berusia lima bulan dalam kandungan.Namun, sesampainya di rumah sakit, langkah Daffa tiba-tiba terhenti ketika pandangannya bertemu dengan sosok Cheryl yang baru keluar dari ruangan laboratorium.Cheryl menatap mereka sekilas, lalu menghampiri dengan langkah cepat. Daffa menyipitkan matanya, memasang wajah ketus."Lagi ngapain lo di sini?" tanya Daffa dingin. Matanya menyipit saat menangkap secarik kertas di tangan Cheryl. Tanpa berpikir panjang, ia merebut surat itu dengan kasar."Daffa, balikin!" Cheryl berseru sambil mencoba merebut kembali surat tersebut dari tangan Daffa.Daffa hanya tertawa mencibir sambil mengacungkan surat itu di depan wajah Cheryl, lalu dengan kasar mengembalikannya."Si Julies pasti tahu deh, rumah sakit terkenal di luar negeri yang katanya bisa menumbuhka
Daiva terdiam, menelan ludah sejenak. "Aku minta maaf karena telah mengkhianati kamu, Cheryl. Tapi aku punya alasan yang cukup untuk melakukan itu pada Dara. Bukan sekadar nafsu," ucapnya dengan berat. "Aku sudah tahu jika kesuburanmu bermasalah."Cheryl tertawa miris, sorot matanya basah oleh amarah dan kekecewaan. "Lalu, kalau kamu sudah tahu aku nggak bisa kasih kamu anak, kenapa masih mau menikahiku? Bukankah anak itu pelengkap dalam rumah tangga?""Apakah kamu lupa, Cheryl?" Daiva tersenyum tipis, dengan nada getir. "Orang tuamu yang memaksa keluargaku. Mereka mengancam keluargaku agar aku menikahimu."Cheryl terperangah, menyadari kebenaran yang pahit dari hubungan mereka. Tangannya mengepal, dan ia meraup wajahnya dengan kasar, menahan luapan emosinya."Lalu, dari mana kamu tahu soal kesuburanku? Tidak ada seorang pun yang tahu tentang ini. Bahkan orang tuaku."Daiva mendekat, tangannya menggenggam kedua lengan Cheryl erat, menatapnya dalam-
Di dalam ruang periksa rumah sakit yang tenang, suara lembut dari mesin USG menggema. Dara berbaring di tempat tidur periksa dengan perasaan campur aduk, sementara Daffa duduk di sampingnya, menatap layar monitor dengan tatapan penuh harap.Di layar, bayangan janin tampak samar namun jelas, bergerak pelan dalam rahim Dara. Detak jantungnya terdengar jelas, memenuhi ruangan dengan irama kehidupan yang menggetarkan.Dokter Ami tersenyum lembut sambil menatap monitor. "Janinnya sehat, aktif, dan tumbuh dengan baik," ucapnya menenangkan. "Tapi, jenis kelaminnya belum terlihat. Masih malu-malu, ya, selalu menutupinya."Daffa mengangguk sambil terkekeh kecil. "Yang penting sehat, Dok. Soal jenis kelamin, biar nanti jadi kejutan saat lahiran," katanya dengan nada lega.Setelah menyelesaikan pemeriksaan, Dokter Ami mempersilakan Dara dan Daffa duduk di kursi di depannya. Ia menuliskan resep obat yang harus diminum Dara karena persediaannya hampir habis."K
Daffa menghela napas panjang. “Aku nggak pernah membela dia. Aku cuma nggak mau Cheryl makin hancur dan bawa keluarga kita ke dalam masalah,” katanya dengan suara yang berangsur pelan. “Kesehatan Papa lebih penting sekarang daripada urusan Cheryl dan Daiva.”Sementara itu, Dara yang mengamati perdebatan mereka malah tertarik pada hal lain. Ia menoleh ke arah Julies, menyadari bahwa Julies dan Fahri tampak akrab."Mbak?" panggil Dara pada Julies."Ya, kenapa, Dara?" Julies menjawab sambil menoleh.“Eumm… Mbak sama Mas Fahri, udah jadian ya?” tanya Dara dengan wajah polos.Fahri, yang duduk di samping Julies, hanya tersenyum canggung. Sementara itu, Julies tampak bingung dan tidak tahu harus menjawab apa. Ia akhirnya menggeleng pelan, memberi isyarat bahwa mereka belum ada hubungan apa-apa. Daffa yang sedang berusaha meredam emosinya hanya bisa memutar mata mendengar pertanyaan Dara.“Kepo bange
Sementara itu, di suatu ruangan sunyi, Cheryl duduk di sebelah tempat tidur, menatap Dara yang masih tak sadarkan diri. Ia melirik ke arah perut Dara yang mulai tampak membuncit, lalu menghela napas panjang, matanya penuh pikiran yang sulit diurai."Masih kecil, tapi sudah bisa menghasilkan anak. Umur berapa sih kamu, Dara? Wajahmu begitu belia. Tak heran Daiva tertarik sama kamu. Wajah manis dan polos ini, pasti dia suka," ujar Cheryl dengan nada mengejek, meski matanya memandang Dara dengan dingin.Tak lama kemudian, Dara mulai membuka matanya perlahan, menatap sekitar dengan bingung dan takut. Ketika pandangannya berfokus, ia tersentak melihat Cheryl duduk di sampingnya."Mbak! Kenapa saya ada di sini? Mbak lagi ngapain di sini?" tanyanya, suara Dara bergetar ketakutan. Tubuhnya yang masih lemas mencoba bangkit, namun tidak berhasil.Cheryl menghela napas panjang, matanya menatap Dara tanpa emosi. "Aku mau nego sama kamu, Dara," katanya datar.D
Cheryl tersenyum miring, bibirnya terangkat seakan mengukir ironi di wajahnya yang dulu penuh kelembutan. Matanya bersinar, bukan dengan kehangatan, melainkan dengan kilatan tajam yang dingin dan tak kenal ampun, seperti bayangan bulan yang terpantul di permukaan pisau yang baru saja diasah.Ia menarik tangan Dara dan mencengkeramnya, mengukir bekas luka yang tak terlihat, namun akan terus teringat dalam ingatan."Kenapa bisa, kamu datang ke sini? Tahu tempat ini dari mana? Aku tak pernah membawamu ke sini, atau... kamu juga membuntutiku, hingga akhirnya tahu tempat rahasia ini?" Suaranya tak lebih dari bisikan tajam yang mampu memotong udara, membuat ruangan seolah berhenti bernapas.Di hadapannya berdiri sosok yang tak asing, Daiva, suaminya. Mata pria itu penuh keputusasaan, serupa lautan yang pasang surut dalam badai.Dia berjalan mendekat, seakan di antara mereka ada tali tak kasat mata yang menariknya, meskipun bayang-bayang kehancuran melingkupinya."Lepaskan Dara. Dia tidak sa