Daffa menghela napas panjang. “Aku nggak pernah membela dia. Aku cuma nggak mau Cheryl makin hancur dan bawa keluarga kita ke dalam masalah,” katanya dengan suara yang berangsur pelan. “Kesehatan Papa lebih penting sekarang daripada urusan Cheryl dan Daiva.”
Sementara itu, Dara yang mengamati perdebatan mereka malah tertarik pada hal lain. Ia menoleh ke arah Julies, menyadari bahwa Julies dan Fahri tampak akrab.
"Mbak?" panggil Dara pada Julies.
"Ya, kenapa, Dara?" Julies menjawab sambil menoleh.
“Eumm… Mbak sama Mas Fahri, udah jadian ya?” tanya Dara dengan wajah polos.
Fahri, yang duduk di samping Julies, hanya tersenyum canggung. Sementara itu, Julies tampak bingung dan tidak tahu harus menjawab apa. Ia akhirnya menggeleng pelan, memberi isyarat bahwa mereka belum ada hubungan apa-apa. Daffa yang sedang berusaha meredam emosinya hanya bisa memutar mata mendengar pertanyaan Dara.
“Kepo bange
Sementara itu, di suatu ruangan sunyi, Cheryl duduk di sebelah tempat tidur, menatap Dara yang masih tak sadarkan diri. Ia melirik ke arah perut Dara yang mulai tampak membuncit, lalu menghela napas panjang, matanya penuh pikiran yang sulit diurai."Masih kecil, tapi sudah bisa menghasilkan anak. Umur berapa sih kamu, Dara? Wajahmu begitu belia. Tak heran Daiva tertarik sama kamu. Wajah manis dan polos ini, pasti dia suka," ujar Cheryl dengan nada mengejek, meski matanya memandang Dara dengan dingin.Tak lama kemudian, Dara mulai membuka matanya perlahan, menatap sekitar dengan bingung dan takut. Ketika pandangannya berfokus, ia tersentak melihat Cheryl duduk di sampingnya."Mbak! Kenapa saya ada di sini? Mbak lagi ngapain di sini?" tanyanya, suara Dara bergetar ketakutan. Tubuhnya yang masih lemas mencoba bangkit, namun tidak berhasil.Cheryl menghela napas panjang, matanya menatap Dara tanpa emosi. "Aku mau nego sama kamu, Dara," katanya datar.D
Cheryl tersenyum miring, bibirnya terangkat seakan mengukir ironi di wajahnya yang dulu penuh kelembutan. Matanya bersinar, bukan dengan kehangatan, melainkan dengan kilatan tajam yang dingin dan tak kenal ampun, seperti bayangan bulan yang terpantul di permukaan pisau yang baru saja diasah.Ia menarik tangan Dara dan mencengkeramnya, mengukir bekas luka yang tak terlihat, namun akan terus teringat dalam ingatan."Kenapa bisa, kamu datang ke sini? Tahu tempat ini dari mana? Aku tak pernah membawamu ke sini, atau... kamu juga membuntutiku, hingga akhirnya tahu tempat rahasia ini?" Suaranya tak lebih dari bisikan tajam yang mampu memotong udara, membuat ruangan seolah berhenti bernapas.Di hadapannya berdiri sosok yang tak asing, Daiva, suaminya. Mata pria itu penuh keputusasaan, serupa lautan yang pasang surut dalam badai.Dia berjalan mendekat, seakan di antara mereka ada tali tak kasat mata yang menariknya, meskipun bayang-bayang kehancuran melingkupinya."Lepaskan Dara. Dia tidak sa
Daffa berhenti sejenak, napasnya berderak seperti api yang tertahan. "Mau apa lo, Cheryl? Balikin Dara sekarang juga!"Cheryl menatapnya dengan ekspresi pahit, kemarahan yang seperti badai hitam berkecamuk di dalam dirinya. "Daiva udah khianati gue! Dia tidur sama perempuan ini, sampai dia mengandung benihnya. Jadi, Dara harus bayar untuk semua ini!" ucapnya, suaranya penuh dendam yang tertahan.Daffa mendengus keras, amarahnya semakin tak terbendung. "Karena lo tahu lo cacat, lo jadi gila?! Urus masalah lo sama Daiva, jangan sama Dara! Dan jangan pernah anggap anak itu sebagai anak Daiva!" Matanya bersinar tajam, seakan kata-katanya bisa menghancurkan tembok amarah Cheryl.Cheryl tertawa pahit, suara tawanya menggema, menyayat di udara. "Oh, ya? Kalau orang tua gue tahu Daiva punya anak dari perempuan lain, mereka gak akan segan menghancurkan keluarga lo." Suaranya serupa pisau yang menggores tanpa ampun."Gue nggak takut! Papa bakal nutup perusahaan itu. Bokap gue gak akan kerja di
Adicandra, yang sejak tadi mendengarkan, maju mendekat. "Papa akan tetap menutup perusahaan itu, Daff. Papa sudah jual asetnya ke Pak Galih. Jadi, kita udah nggak perlu takut lagi pada ancaman Cheryl. Kalau kamu mau lapor polisi, silakan." Kata-katanya tegas, seperti petir yang menggulung badai amarah dari hari-hari yang panjang.Daffa menyadari bahwa ini adalah akhir dari semua ancaman Cheryl, sebuah kesempatan untuk benar-benar menutup lembaran penuh luka ini. "Kalau begitu, aku ke sana dulu, Ma. Tolong jaga Dara."Dara memanggilnya, suaranya pelan namun dipenuhi kecemasan. "Mas... hati-hati, ya. Jangan sampai Mas jadi korban selanjutnya."Daffa tersenyum tipis, mengecup kening istrinya. "Aku akan berhati-hati," ucapnya lembut. Setelah itu, ia melangkah pergi, menahan napas dalam dadanya yang dipenuhi berbagai perasaan, menuju tempat Cheryl ditahan.Sesampainya di rumah kosong itu, Daffa melangkah mantap. Pintu yang ia dorong terbuka dengan keras, menim
Cheryl terhenyak sesaat. la menatap ke arah Daffa dengan wajah yang sulit diartikan. Berantalakan. Itulah Cheyl sekarang."Lo mau gue pergi ke mana sih huh?" tanya Cheryl dengan sisa-sisa keputusasaannya."Terserah! Ke mana pun elo pergi, gue gak peduli. Yang penting, jangan pemah muncul lagi di hadapan gue dan Dara!" kelakar Daffa kemudian.Cheryl mengembuskan napasnya dengan pelan. "Gimana kondisi Daiva sekarang? Operasinya masih belum selesai?" Cheryl mulai menanyakan kondisi suaminya.Daffa mengendikan bahunya. "Mana gue tahu. Nggak ada kabar dari orang tua gue soal kondisi Daiva. Maybe selamat, bisa jadi nggak."Daffa mengajak Fahri dan Julies untuk meninggalkan tempat itu. Setelah akhirnya berhasil membungkam mulut Cheryl yang terlalu meninggikan ucapannya.Kini, perempuan itu sudah tak bisa mengancam keluarganya lagi. Apalagi meminta kepada Dara agar anaknya diberikan padanya Sudah selesai. Cheryl sudah tidak punya kekuatan lagi selain hanya bisa termenung.Menyesali perbuatann
"Iya, iya. Nggak akan memanggil Tu Kak Daiva pake 'tuan' lagi." Dara pun mengalah. Walau sempat keceplosan mengucapkan itu."Juls, nggak mau pulang?" tanya Fahri yang sudah mulai jenuh melihat percakapan yang dilakukan Dara dan Daffa.Membahas masalah tentang ketidaksukanya Daffa mendengar Dara memanggil Daiva dengan sebutan 'tuan'.Julies mengangguk. "Ya udah. Yuk, pulang. Udah malam juga. Besok gue ada janji temu sama klien. Gak bisa temenin elo di cafe. Sorry, ya."Fahri mengangguk sembari mengulas senyumnya. Lalu, pamit pulang pada keempat orang yang masih stay di sana.Fahri mengantar pulang Julies. Seperti biasanya selalu ia antar jika sedang pergi berdua."Dara orangnya asyik ya, Ri. Polos, lugu, apa adanya. Selalu berucap jujur, nggak pernah berbohong walau hanya sedikit."Julies tak pernah berhenti mengagumi kepolosan Dara. Sangat menyukai istri dari mantan kekasihnya itu."Maka dari itu, dulu gue sempat marah ke elo karena gak terima Daffa nikah sama Dara, karena gue kasihan
Fahri mengungkapkan perasaannya kepada Julies di hari itu.Mendengar pernyataan cinta dari Fahri, lantas membuat perempuan itu menerbitkan senyumnya dengan manis. Senang bukan main lantaran ada pria yang mau menerima dia apa adanya."Are you seriously?" tanya Kulies ingin memastikan jika Fahn memang benar-benar Mencintainya.Fahri mengangguk antusias. "Ya. Gue serius. Gue cinta sama elo, Juls. Karena memang gue cinta apa adanya. Karena memang sudah waktunya gue buka hati lagi. Jangan salah paham, gue beneran suka sama elo.”Julies tersenyum dengan lebar. Lalu mengangguk antusias "Ya, gue percaya sama elo, Fahri. Dan gue juga mau jadi pacar lo.Kini, mereka sudah saling mengungkapkan perasaannya masing-masing. Hingga akhirnya mereka pun menjalin hubungan setelah tahu perasaan yang mereka miliki. Saling mencintai pasangan apa adanya.Kini, Fahri yang memeluk Julies. Bahagia karena akhirnya dia bisa mengungkapkan perasaan itu pada perempuan yang selalu mengusik hatinya setiap han. Selalu
Klek!Pintu kamar itu terkuak, membiarkan bayangan sang empunya memasuki ruangan. Dara, yang sedang asyik dengan pekerjaannya, membalikkan tubuhnya dan terkejut, sepasang matanya membulat. Di ambang pintu, seorang pria berdiri dengan senyum menyeringai, seperti seekor serigala yang baru saja menemukan mangsa barunya. Mata Daiva berbinar penuh nafsu ketika melihat Dara yang cantik berada di dalam kamar pribadinya.Dengan langkah gontai, akibat mabuk yang masih mengguncang tubuhnya, Daiva menghampiri Dara yang berdiri mematung di samping ranjang king size. Udara di sekitarnya terasa semakin mencekam."Ma-maaf Tuan. Sa-saya hanya membersihkan kamar Tuan," ucap Dara terbata-bata, suaranya bergetar menahan rasa takut yang menjalari setiap inci tubuhnya.Pria itu semakin mendekat, menghidu aroma tubuh Dara dengan napas yang memburu. Senyumannya kian melebar, bak iblis yang puas melihat mangsanya tak berdaya."Wangi tubuhmu begitu memikat. What’s your name?" tanya Daiva dengan suara berat,